Paradigma Baru Pendidikan Nasional

BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Buku
Buku dengan 231 halaman ini dilaporkan berjudul “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” judul buku ini merupakan salah satu topik kajian yang membahas tentang perkuliahan Analisis Kebijakan Pendidikan yang dibimbing oleh Ibu Dr. Murniati AR, M.Pd.

B. Pengarang
Buku “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” ini merupakan karya dari penulis yaitu Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.Sc. Ed

C. Tahun Terbit
Buku “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” ini diterbitkan tahun 2006 di Jakarta, diterbitkan oleh Rineka Cipta.

D. Alasan Pemilihan Judul
1. Buku ini merupakan salah satu bahan materi Mata Kuliah “Analisis Kebijakan Pendidikan”
2. Buku ini memiliki informasi berbagai masalah tentang teori-teori dan praktek-praktek Analisis Kebijakan Pendidikan secara komprehensif.
3. Buku ini menjelaskan Tentang Tinjauan Kebijakan pendidikan di Masa Lalu dan Refleksi Masa Lalu dan Tantangan Masa Depan.



BAB II
TELAAH BUKU

Di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan kita membentuk negara kesatuan Republik Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dapat survive di dalam menghadapi berbagai kesulitan. Kenyataannya ialah dewasa ini bangsa Indonesia dilanda dan masih berada di tengah-tengah krisis yang menyeluruh. Kita dilanda oleh krisis politik, krisis ekonomi, krisis hukum, krisis kebudayaan, dan tidak dapat disangkal juga di dalam bidang pendidikan. Memang pendidikan tidak terlepas dari kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan suatu bangsa. Bukankah pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan kebudayaan itu sendiri berkembang karena pendidikan? Dengan demikian di dalam masa krisis dewasa ini ada dua hal yang menonjol yaitu:
1. bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya yaitu politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan,
2. krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia dewasa ini merupakan pula refleksi dari krisis pendidikan nasional.
Bercermin pada pengalaman sukses maupun kegagalan masa lalu sampai pada masa krisis dewasa ini, buku ini berusaha menunjukkan selain usaha-usaha yang perlu dilaksanakan pasca-krisis, juga mengemukakan tantangan-tantangan masa depan dari masyarakat dan bangsa Indonesia memasuki kehidupan global yang kompetitif dalam milenium ketiga serta peranan pendidikan di dalamnya.



Tinjauan Kebijakan Pendidikan Masa Lalu
Pendidikan tidak terlepas dari politik sungguhpun pendidikan tidak dapat menggantikan fungsi politik. Kenyataannya ialah meskipun pendidikan tidak dapat menggantikan politik, tetapi tanpa pendidikan, tujuan-tujuan politik sulit untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu fungsi dan peranan pendidikan di dalam kehidupan suatu bangsa tidak terlepas dari kehidupan politik serta juga ekonomi, hukum, dan kebudayaan pada umumnya.
A. Masa Pra-Orde Baru
Pada masa Orde Baru, politik dijadikan sebagai panglima. Segala kegiatan diarahkan kepada berbagai usaha untuk mencapai tujuan politik misalnya membangkitkan nasionalisme, rasa persatuan bangsa, penggalangan kekuatan bangsa di dalam kehidupan perang dingin pada waktu itu. Kehidupan ekonomi yang terlalu nasionalistis mengakibatkan kehidupan ekonomi bangsa terisolasi. Dalam kehidupan kebudayaan sangat ditonjolkan kehidupan nasionalisme yang mengarah kepada nasionalisme yang sempit atau chauvinisme. Di dalam bidang kebudayaan sangat ditonjolkan terbentuknya identitas bangsa yang cenderung berlebihan. Kecenderungan-kecenderungan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kebudayaan pada waktu itu juga memasuki dunia pendidikan. Praksis pendidikan diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar.
Dengan sendirinya pendidikan tidak difungsikan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat. Pendidikan tidak diorientasikan kepada kebutuhan pasar tetapi pada kebutuhan politik. Metodologi pendidikan dalam cara-cara indoktriner mulai memasuki dunia pendidikan dari jenjang sekolah dasar Pendidikan sampai pendidikan tinggi. Pendidikan telah mulai diarahkan kepada pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di dalam suasana perang dingin. Pendidikan untuk perdamaian diganti dengan pendidikan untuk berpihak kepada blok-blok dunia yang terpecah antara kapitalisme dan komunisme. Pendidikan di Indonesia mulai diarahkan bukan kepada peningkatan kualitas tetapi dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam mencapai tujuan politik. Otoriterisme di dalam segala bentuknva mulai memasuki kehidupan bermasyarakat termasuk di dalam bidang pendidikan. Segala sesuatu diarahkan kepada kemauan penguasa sehingga kebebasan berpikir, berpikir alternatif, berpikir kritis semakin lama semakin dikubur. Hasilnya ialah manusia manusia yang tidak mempunyai alternatif selain alternatif yang telah disodorkan oleh penguasa.
B. Masa Orde Baru
Diakui bahwa banyak yang telah dicapai di dalam pembangunan selama Orde Baru. Dari salah satu bangsa' yang termiskin di dunia menjadi bangsa di dalam kelompok, bangsa-bangsa yang berpendapatan menengah. Namun demikian perkembangan yang pesat dilihat dari segi pendapatan per kapita telah mengorbankan hak asasi manusia dan kemerdekaan individu. Di dalam bidang politik segala sesuatu diarahkan kepada uniformitas atau keseragaman di dalarn, berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah: tunggal dari organisasi-organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Stabilitas politik dan keamanan merupakan ajaran utama untuk mencapai perkembangan ekonomi yang tinggi. Akibatnya ialah berkembangnya kelas menengah yang lamban dan lemah, yang tidak kreatif dan produktif, dan diarahkan oleh birokrasi yang kaku. Sejalan dengan itu tantangan politik dan sosial yang sangat homogen telah mematikan kehidupan demokrasi. Lahirlah kepemimpinan "mohon petunjuk" dan "mohon pengarahan Bapak" sehingga tidak ads tempat bagi inisiatif individu. Hak-hak asasi manusia ditindas demi untuk pembangunan ekonomi. Kurang lancarnya komunikasi politik karena telah digantikan oleh suara penguasa yang selalu benar. Yang lahir ialah bukannya demokrasi yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mempunyai pendapat sendiri dan mempunyai kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. Tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat. Yang lahir ialah disiplin semu yang melahirkan suatu masyarakat beo.
Pertumbuhan ekonomi dijadikan panglima dengan mempri oritaskan tercapainya target-target pertumbuhan sehingga telah melahirkan pembangunan ekonomi yang tanpa perasaan. Akibatnya ialah terjadi kesenjangan antar-daerah, antar sektor, dan antar-masyarakat. Struktur ekonomi yang tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik telah menyebabkan dasar ekonomi yang rapuh dan ketergantungan industri pada bahan baku impor. Selanjutnya, kehidupan ekonomi semakin lama semakin tergantung kepada utang luar negeri yang besar. Akibat kehidupan ekonomi yang demikian ialah lahimya suatu sistem pendidikan yang tidak peka untuk meningkatkan daya saing, yang tidak produktif karena tergantung kepada bahan baku impor. Selanjutnya, pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Sejalan dengan itu pula lahirlah ekonomi biaya tinggi karena korupsi yang melahirkan penanganan kehidupan ekonomi yang tidak profesional tetapi mengikuti jalan pintas. Dengan sendirinya output pendidikan tidak mempunyai daya saing apalagi mempunyai daya saing global. Di dalam bidang hukum, akibat matinya demokrasi maka lahirlah pemerintahan yang tidak bersih dengan praktek praktek yang merugikan masyarakat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Kesadaran politik masyarakat semakin lemah, masyarakat semakin tertutup karena adanya pemimpin pemimpin yang tidak bermoral.
Di dalam bidang kebudayaan dan kehidupan sosial tampak kualitas kebudayaan yang menafikan kehidupan keragaman dan diarahkan kepada homogenitas budaya untuk kepentingan politik. Sejalan dengan itu kualitas kehidupan beragama menjadi semu, bahkan agama belum dijadikan sebagai sumber nilai. Toleransi hidup beragama semakin luntur dan semu. Tumbuhlah budaya kekerasan, dan premordialisme yang semakin kental. Keteladanan para pemimpin semakin berkurang dan hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil dan bukan bagi para pemimpin atau penguasa. Dengan demikian kesenjangan di dalam masyarakat semakin lama semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin. Tidak mengherankan apabila gejala kemiskinan absolut semakin nyata dan ke, hidupan rakyat banyak semakin marginal.
Keadaan kehidupan sosial politik, hukum, dan kebudayaan seperti digambarkan di atas juga tercermin di dalam system pendidikan nasional yang semata-mata hanya untuk mencapai target kuantitatif. Toleransi hidup bersama dalam kebhinnekaan semakin berkurang bahkar perbedaan-perbedaan semakin dipertajam dengan berbagai bentuk premordialisme yang terbuka ataupun yang ditutup-tutupi. Toleransi hidup beragama semakin lama semakin hilang, pendidikan budi pekerti sulit dilaksanakan karena ketiadaan panutan para. pemimpin. Mudah dimengerti praksis pendidikan tidak lagi diarahkan kepada peningkatan kualitas tetapi kepada didikan target-target kuantitas. Dengan sendirinya pendidikan tidak, mempunyai daya saing global sebagaimana yang dilaporkan di dalam berbagai laporan intemasional. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah meskipun, diterapkan apa yang disebut prinsip "link and match ". Akuntabilitas pendidikan pada mass itu ditentukan oleh penguasa bukan oleh kopsumen. Masyarakat semakin lama semakin jauh dari pemilikan pendidikannya. Pendidikan semakin lama semakin terlempar dari kebudayaan dan telah merupakan hasil karya birokrasi., Selanjutnya peranan keluarga dan masyarakat, terlepas dari praksis pendidikan.
Masa Krisis: Refleksi Kegagalan Pendidikan Nasional
Apakah yang dapat kita pelajari dari mass krisis dewasa ini? Krisis menyeluruh yang telah membawa masyarakat dan bangsa Indonesia ke dalam keadaan keterpurukan, bermula dari krisis moneter merambat menjadi krisis ekonomi dan berakhir kepada krisis kepercayaan. Para pernimpin masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah mengalami krisis kepercayaan masyarakat. Antara kelompok masyarakat terjadi salah pengertian bahkan saling curiga-mencurigai, saling tidak percaya. Bahkan gejala-gejala "SARA" telah mulai terbuka dalam masyarakat kita yang dapat membawa kepada disintegrasi nasional. Berbagai praduga-praduga premordial dibesar-besarkan sehingga menambah krisis kepercayaan yang sedang merambah di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Para pengemban hukum diragukan integritasnya oleh kebanyakan anggota masyarakat. Supremasi hukum menjadi sirna karena sekelompok pemimpin atau penguasa berada di atas hukum. Dengan kata lain, krisis kepercayaan telah menjadi warns yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa ini. Dan oleh karena pendidikan adalah merupakan proses pembudayaan maka krisis kebudayaan yang kita alami dewasa ini adalah pula merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang konkret. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat pendidikan Indonesia dari krisis, maka tugas tersebut merupakan suatu tugas pembangunan kembali kebudayaan kita. Pendidikan kita dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi semata-mata alat dari suatu orde ekonomi atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat. Selain itu, perubahan kebudayaan tanpa didukung oleh praksis pendidikan, akan menyebabkan berbagai bentuk reformasi kebudayaan akan sia-sia. Reformasi yang berkesinambungan adalah reformasi yang didukung oleh proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.
Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Membentuk masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani Indonesia tentunya memerlukan berbagai paradigma baru. Paradigma lama ticlak memadai lagi. Suatu masyarakat yang demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berpikir manusia bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasamya, paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat, mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik baik di dalam manajemen maupun di dalam, penyusunan kurikulum harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang, demokratis. Demikian pula di dalam, menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetisi di dalam kerja sama, mengembangkan, sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Demikian pula paradigma.pendidikan baru bukanlah mematikan kebhinnekaan malahan mengembangkan kebhinnekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinnekaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Paradigma baru pendidikan nasional haruslah dituangkan dan dijabarkan di dalam berbagai program pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan.
Reposisi Pendidikan Nasional
Dengan paradigma baru pendidikan nasional untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani Indonesia maka posisi pendidikan nasional harus disesuaika dengan tuntutan tersebut. Di dalam menentukan posisi pendidikan nasional tersebut beberapa konsep perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih lanjut di dalam program-program serta kegiatan yang nyata. Konsep tersebut adalah sebaga berikut:
1. Redefinisi pendidikan nasional.
2. Pendidikan adalah proses pemberdayaan.
3. Pendidikan adalah proses pembudayaan.

1. Redefinisi Pendidikan Nasional
Pendidikan temyata perlu dilihat di dalam lingkupan pe ngertian yang luas. Ada tiga hal yang perlu dikaji kemba' yaitu: Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebaga schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu rumusan mengenai pendidikan yang hanya membedakan antara pendidikan forma dan non-formal perlu disempumakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegani peranan penting di dalam pembentukan tingkah laku manusi dalam kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan inteligensi akademi peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum inteligens manusia perlu diberikan kesempatan pengembangannya d dalam program kurikulum yang luas dan fleksibel di dalan pendidikan formal dan non-formal. Selanjutnya pendidikai terriyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya. Tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and civilized human being). Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebaga proses hominisasi dan humanisasi seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang berbudaya, kini dan masa depan.
2. Pendidikan adalah Proses Pemberdayaan
Selama ini kita lihat betapa pendidikan telah diredusir sebagai proses untuk lulus EBTANAS atau UMPTN tetapi tidak diarahkan kepada membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab. Sesuai dengan UUD 1945, pendidikan seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini berarti pendidikan adalah usaha untuk memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah manusia yang dapat berpikir kreatif, yang mandiri, dan yang dapat membangun dirinya dan masyarakatnya. Manusia yang berdaya adalah manusia yang produktif. Pendidikan kita Selama ini, dalam proses, metodologi, sistem, telah menghasilkan manusia-manusia robot dan hanya dapat menerima petunjuk dan pengarahan dari atas. Oleh sebab itu masyarakat bukannya menjadi berdaya tetapi diperdayakan oleh sistem yang otoriter.
3. Pendidikan adalah Proses Pembudayaan
Selama Orde Baru kita lihat pendidikan telah diasingkan dari kehidupan kebudayaan di dalam arti yang luas. Pendidikan' menjadi semata-mata alat kekuasaan atau dipolitikkan oleh segolongan elit penguasa. Pendidikan seharusnya merupakan suatu proses pembudayaan yang diarahkan kepada berkembangnya kepribadian seorang yang mandiri sebagai anggota masyarakat yang demokratis. Dengan ketiga konsep tersebut di atas yang kemudian harus, dan perlu dijabarkan di dalam program dan kegiatan yang nyata maka posisi pendidikan nasional yang baru tersebut akan menghasilkan pendidikan yang mempunyai akuntabilitas tinggi dari masyarakat karena lahir dari kebutuhan masyarakat dan ditangani oleh masyarakat sendiri. Inilah yang dimaksud dengan "community based management".
Reaktualisasi Pendidikan Nasional
Setelah kita poisisikan kembali (reposisi) pendidikan nasional dalam rangka untuk membangun masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani Indonesia, maka sistem pendidikan nasional perlu direaktualisasikan kembali. Selama ini kita lihat betapa pendidikan nasional sebenarnya telah mandeg karena tidak menjawab dinamika tuntutan masyarakat. Masyarakat menginginkan suatu pemerintahan yang bersih, pemimpin-pemimpin yang bermoral, program-program untuk rakyat dan bukan rakyat untuk program. Pendidikan nasional yang sebenarnya adalah mengaktualisasikan kebutuhan masyarakat yang riil sebagaimana yang dituntut oleh UUD 1945 yaitu masyarakat dan bangsa yang cerdas. Aktualisasi pendidikan nasional dengan posisi yang baru dan paradigma baru dalam mewujudkan masyarakat Indonesia baru menuntut prinsip-prinsip dasar sebagai berikut.
1. Partisipasi masyarakat di dalam mengelola pendidikannya (community based education).
2. Demokratisasi proses pendidikan.
3. Sumber daya pendidikan yang profesional.
4. Sumber daya penunjang yang memadai.

Partisipasi Masyarakat
Sesuai dengan tuntutan masyarakat demokrasi maka masyarakat harus ikut serta secara aktif di dalam menyelenggarakan pendidikannya. Dewasa ini kita lihat bagaimana pendidikan nasional telah menjadi urusan birokrasi di mans masyarakat tidak ikut serta di dalam prosesnya. Salah satu konsekuensi dari partisipasi masyarakat untuk menghidupkan masyarakat demokrasi ialah community based education (CBE). CBE menuntut masyarakat (orang tua, pemimpin masyarakat lokal, pemimpin nasional), dunia kerja, dunia industri harus ikut serta di dalam membina pendidikannya. Sesuai dengan keinginan untuk desentralisasi baik di dalam pemerintahan maupun di dalam kepengurusan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang riil, maka desentralisasi pendidikan telah merupakan suatu tuntutan. Dengan demikian, struktur manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan keikutsertaan secara aktif masyarakat di dalam pelaksanaannya. Pendidikan yang berakar dari masyarakat berarti pula adanya partisipasi dan kontrol dari masyarakat yang empunya pendidikan tersebut. Lembaga-lembaga social (social institutions) yang lama perlu diperkuat dan yang baru perlu didirikan untuk melaksanakan tugas tersebut. Selanjutnya, partisipasi masyarakat menuntut otonomi dari lembaga-lembaga pendidikan. Otonomi lembaga lembaga pendidikan berarti lembaga-lembaga pendidikan tersebut terlepas dari kungkungan birokrasi dan menjadi, suatu lembaga profesional dengan tanggung jawab yang jelas. Otonomi lembaga pendidikan tidak mengurangi partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. Kedua komponen tersebut perlu dijalin dalam suatu kerjasama yang saling menguntungkan.-Masyarakat membantu penyelenggaraan serta mengontrol pelaksanaannya; sedangkan kegiatan di dalam lembaga pendidikan tersebut dilaksanakan oleh tenaga-tenaga yang berwenang dan profesional. Eksperimen dan inovasi-inovasi pendidikan diberikan tempat yang seluas-luasnya di dalam otonomi lembaga pendidikan (school based education management). Berkaitan erat dengan demokratisasi pendidikan ialah peninjauan, kembali program-program dalam berbagai,jenjangnya. Kurikulum yang sentralistis dan sangat beret harus ditinjau kembali sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sudah tentu sebagai suatu negara kesatuan diperlukan adanya kurikulum nasional. Namun kurikulum nasional tidak mengikat dan memberikan,,; tempat yang seluas-luasnya bagi kurikulum yang didesen-, tralisasikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat local. Antara kurikulum nasional dan kurikulum lokal perlu diadakan suatu keseimbangan yang produktif. UU Otonomi Daerah serta UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat' dan Pemerintah Daerah memberikan peluang-peluang yang besar bagi inovasi pendidikan pads tingkat lokal.
Fungsi Kurikulum Nasional
Sumber Daya Manusia yang profesional
Desentralisasi dan demokratisasi proses pendidikan memerlukan tenaga-tenaga yang terampil dan profesional. Pada masa Orde Baru kita lihat matinya berpikir kritis dan inisiatif. Yang ditumbuhkan ialah berpikir uniform untuk mencapai suatu standar nasional yang abstrak. Demikian pula pare pengasuh pendidikan nasional tidak mengembangkan kemampuan kualitas di dalam manajemennya serta proses, pendidikan tidak diarahkan kepada mengembangkan berpikir kritis dan inovatif. Dengan demikian pendidikan semacam itu tidak mempunyai relevansi dan akuntabilitas. Kurikulum, semakin menjauhkan peserta didik dari keterlibatannya dengan kehidupan yang nyata. Pendidikan semakin lama semakin terasing dari proses pengembangan kebudayaan. Kunci dari pelaksanaan prinsip ini antara lain adanya pendidikan dan pengembangan profesi guru yang profesional. Lembaga lembaga pendidikan guru kita sangat lemah dilihat dari berbagai sisi, balk dari segi persiapan ilmu yang dituntut di dalam abad informasi dan masyarakat belajar abad 21, juga dari persiapan profesional para pendidik kita yang sangat minim.
Sarana dan Sumber Daya Pendidikan Penunjang yang Memadai
Memang diakui selama ini cukup banyak yang telah kita capai, dan investasi di dalam pengembangan pendidikan relatif cukup besar. Namun demikian dilihat secara makro, investasi pendidikan kita tergolong yang rendah di kawasan Asia. Di dalam kaftan ini peranan masyarakat (pendidikan swasta) perlu mendapat kajian kembali. Di dalam berbagai penelitian menunjukkan justru masukan swasta untuk pembiayaan pendidikan sekolah dasar di Indonesia termasuk yang terendah. Hal ini perlu dipersoalkan oleh karena negara seperti Vietnam yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dari Indonesia, masyarakatnya memberikan partisipasi yang hampir sama dengan pembiayaan yang bersumber dari pemerintah. Dilihat dari segi ini, partisipasi pendidikan swasta perlu digalakkan dan dihargai dan bukan dihalang-halangi. ataupun dihujat.
Artikulasi Sistem Pendidikan sesuai dengan Jiwa Desentralisasi
Pengalaman kita selama ini, jenjang pendidikan kita dikotak kotakkan sesuai dengan pengaturan birokrasi. Sebagai bentuk yang sangat ekstrem pendidikan tinggi tidak mempunyai orientasi ke bawah tetapi berorientasi ke atas. Dengan demikian pendidikan tinggi kita tidak mempunyai relevansi dengan kebutuhan pembangunan daerah atau pembangunan masyarakat lokal. Juga pendidikan tinggi kita tidak berhubungan dengan jenjang pendidikan di bawahnya. Pendidikan menengah juga terpisah dari pendidikan dasar karena pengaturan birokrasi. Hal ini sangat tidak menguntungkan bagi pengembangan masyarakat dan budaya daerah karena tidak ditunjang secara sinergetik oleh sistem pendidikannya. Sesuai dengan jiwa otonomi, artikulasi berbagai jenis dan jenjang pendidikan di daerah perlu segera dibangun agar sistem pendidikan secara keseluruhan menunjang ke arah terbentuknya masyarakat demokratis yang dimulai dari bawah (grass root). Dengan demikian aktualisasi pendidikan nasional sebagai proses pembudayaan akan lebih cepat dan berhasil.
Paradigma Lama, Anomali, dan paradigm baru Pendidikan Nasional
Thomas S. Kuhn di dalam bukunya yang terkenal The Structure of Scientific Revolutions yang pertama kali mempopulerkan makna paradigma' di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan praktek atau tingkah laku manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Bermula dari kajian sejarah dan filsafat rains, pengertian paradigma juga telah digunakan oleh ahli-ahli ilmu tingkah laku (behavioral sciences). Orde Baru bukan hanya sekadar suatu rezim pemerintahan tetapi jugs suatu "state of thinking" atau model berpikir. Dalam kaitan ini Orde Baru telah merupakan suatu paradigma. Oleh sebab itu pengertian Orde Baru haruslah dilihat secara keseluruhan dari totalitas hidup manusia Indonesia termasuk di dalamnya pengaturan masalah-masalah social seperti pendidikan. Memang pengertian mengenai paradigma harus dilihat dari kaca mats keseluruhan atau holistik kehidupan di mana dan kapan paradigma itu lahir dan digunakan. Paradigma merupakan pula suatu model penelitian atau model herpikir yang dianut oleh sekelompok manusia apakah pemimpin, apakah kelompok ilmuwan di dalam melihat suatu perkembangan. Tidak seluruhnya paradigma atau kelompok paradigma yang dilaksanakan berhasil sebagaimana yang diharapkan. Banyak hasil pelaksanaan paradigma mengalami anomali. Ada hal hal yang tidak beres di dalam pelaksanaan berbagai paradigma tersebut. Ketidakberesan, yang disebut anomali, membuka jalan kepada penemuan baru atau teori baru. Kesadaran akan anomali menjadi pemicu lahirnya paradigma baru. Anomali menimbulkan krisis, dan krisis memicu kepada lahirnya paradigma baru. Lord Bacon mengatakan bahwa "kebenaran lebih mudah muncul dari kesalahan ketimbang kekacauan." Memang Orde Baru telah meletakkan paradigma-paradigma: baru di dalam keseluruhan kehidupan manusia Indonesia seisms 32 tahun. Orde Baru sebagai suatu sistem dengan' paradigma-paradigmanya tentunya bukanlah merupakan suatu kekacauan, tetapi lebih merupakan suatu kesalahan. Oleh sebab itu di dalam era reformasi perlu kita kaji kembali anomali-anomali yang terjadi dan membentuk paradigma baru di dalam usaha kita membangun masyarakat Indonesia, baru. Di dalam transisi dari paradigma yang berlaku melalui krisis' ke paradigma baru memerlukan rekonstruksi fundamen¬fundamen baru yaitu mengubah generalisasi-generalisasi teoritis yang paling elementer. Tulisan ini mencoba mencari paradigma baru untuk sistem pendidikan nasional di dalam, era reformasi. Dari manakah kita merekonstruksi paradigm paradigma baru tersebut? Tentunya pertama-tama mengkaji praksis pendidikan yang lahir dari paradigma Orde Baru, melihat anomali-anomali yang terjadi yaitu pelanggaran atau pergeseran atas harapan yang telah ditentukan. Kesadaran, akan anomali melahirkan kebutuhan paradigma baru yaitu rekonstruksi terhadap asas-asas yang mendasar. Paradigms' baru pendidikan nasional merupakan suatu konspirasi komitmen kelompok, tentunya pertama-tama bagi para pakar pendidikan, di dalam usaha meletakkan dasar-dasar yang, paling rasional untuk mengubah praksis pendidikan di dalam rangka membangun masyarakat Indonesia baru.
Empat Indikator Sistem Pendidikan Indonesia
Pembukaan UUD 1945 antara lain dikatakan bahwa tujuan kits membentuk negara Republik Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh sebab itu pendidikan nasional telah menempatkan diri di dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sejak lahirnya Republik Proklamasi. Banyak kemajuan yang sudah dicapai, proses dan mutu pendidikan semakin lama semakin meningkat dan semakin kompleks. Perubahan-perubahan fundamental telah terjadi di dalam sistem pendidikan nasional sejak 54 tahun yang lalu. Suatu sistem pendidikan kolonial yang elitis diubah menjadi pendidikan yang populis artinya yang membuka pintu untuk merangkum seluruh anak bangsa.
Selama 54 tahun perjalanan bangsa Indonesia, pendidikan telah menernpati tempat yang terhormat di dalam pembangunan masyarakat dan bangsa meskipun tentunya masih terdapat banyak masalah dan kekurangan. Namun sebagai suatu bangsa yang dilahirkan di dalam kancah perjuangan melawan penjajahan maka perjuangan mencerdaskan bangsa ini merupakan suatu tekad dan kerja keras yang berkesinambungan. Selama perjalanan berbangsa dan bertanah air, penulis telah mencatat dan mencermati empat indikator' perkem¬bangan sistem pendidikan nasional yaitu:
1. popularisasi pendidikan,
2. sistematisasi pendidikan,
3. proliferasi pendidikan, dan
4. politisasi pendidikan.
Popularisasi Pendidikan
Seperti telah dijelaskan, pads jaman kolonial pendidikan hanyalah merupakan hak dari sekelompok kecil masyarakat, sedangkan masyarakat luas boleh dikatakan mendapatkan pendidikan yang sangat terbatas dan diskriminatif atau diserahkan kepada praktek pendidikan tradisional tanpa bantuan dari pemerintah, bahkan dikucilkan. Namun dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pendidikan telah dianggap sebagai hak semua orang dan bukan lagi hak istimewa dari sekelompok kecil masyarakat Indonesia. Selanjutnya, kesempatan pendidikan untuk semua orang telah melahirkan gerakan "more education ", atau di dalam sejarah pendidikan dikenal sebagai ledakan pendidikan (education explosion) terlebih-lebih di negara-negara berkembang yang barn merdeka sesudah perang dunia kedua. Sesungguhnya kebutuhan untuk memperoleh pendidikan yang baik bukan hanya dirasakan oleh negara-negara berkembang tetapi jugs oleh negara-negara maju. Melihat pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat dilahirkanlah konsep pengembangan sumber daya manusia (human resources development) yang dianggap sangat penting di samping adanya sumber-sumber daya alamiah (natural resources). Memang kenyataan menunjukkan banyak negara yang tidak mempunyai sumber-sumber daya dalam tetapi dapat maju karena kemampuan sumber daya manusianya. Di dalam rangka untuk mewujudkan suatu dunia yang lebih bahagia, dilahirkanlah spa yang disebut teori pemberantasan kemiskinan melalui pemutusan lingkaran setan yang menyebabkan kemiskinan absolut. Salah satu faktor dari lingkaran setan itu ialah rendahnya pendidikan. Memang benar tingkat pendidikan yang rendah tidak dapat membawa manusia kepada kehidupan yang layak. Lahirlah gerakan dunia yang disebut education for all yaitu pendidikan telah merupakan suatu kebutuhan pokok (basic needs) di dalam kehidupan manusia. Didorong oleh prinsip ini maka maraklah antara lain program-program wajib belajar. Indonesia melaksanakan wajib belajar sekolah dasar 6 tahun yang telah dicapai pads tahun 1984 dengan penghargaan Aviciena dari UNESCO kepada Presiden Republik Indonesia. Kesuksesan wajib belajar 6 tahun dilanjutkan dengan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun atau wajib belajar sekolah lanjutan tingkat pertama. Bahkan ada daerah yang sudah mulai melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Gerakan yang menjadi populer di seluruh, dunia ini bukannya tanpa kritik. Salah satu dari trend pendidikan abad 21 diprediksikan bahwa pendidikan format atau wajib belajar sebenarnya tidak perlu terlalu lama, cukup sampai anak berusia 15 tahun, yang ditekankan ialah belajar dari kehidupan dan kemudian pendidikan dapat dilanjutkan kembali.
Sistematisasi Pendidikan
Dengan dalih untuk meningkatkan mutu dan standar pendidikan nasional maka diadakanlah berbagai usaha dan peraturan untuk menyeragamkan pendidikan nasional. Berdasar dari asumsi-asumsi efisiensi dan keseragaman maka pendidikan nasional diusahakan diatur melalui undang-undang positif serta berbagai peraturan yang menjamin uniformitas suatu sistem. Demikianlah kita mulai mengenal norma-norma nasional yang dicapai melalui ujian nasional seperti EBTANAS dan UMPTN. Berbagai cara dilaksanakan dengan menerapkan prinsip TQM (Total Quality Management) didalam bidang pendidikan untuk mencapai mutu pendidikan yang dicita-citakan. Berbagai tes-tes standar dikembangkan untuk menyeragamkan mutu pendidikan di seluruh negara. Memang hasil sistematisasi pendidikan, dilihat dari segi tertentu, menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan seperti percepatan pencapaian target-target kuantitatif pendidikan. Namun demikian banyak pula hasil-hasil negatif yang dilahirkan di dalam usaha sistematisasi tersebut. Matinya inisiatif, kehilangan berpikir kritis serta berbagai pengaruh¬pengaruh negatif lainnya telah lahir dari sistem pendidikan yang sangat kaku karena diatur oleh keinginan pencapaian keseragaman nasional. llmu pendidikan perbandingan telah digunakan untuk dijadikan acuan perkembangan sistem pendidikan di banyak negara dan demi untuk menghilangkan ketertinggalan telah mengabaikan adanya unsur-unsur kehhumekaan yang ada dalam kehidupan masyarakat seperti di Indonesia.


Proliferasi Pendidikan
Ketika kita memproklamirkan kemerdekaan, pendidikan boleh dikatakan sebagian besar diartikan sebagai pendidikan disekolah. Di dalam perdebatan penyusunan undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah pada tahun 1950 tampak di situ bahwa pengertian pendidikan sekolah atau pendidikan formal jugs mengandung arti pendidikan untuk masyarakat. Memang pada mulanya pendidikan masyarakat lebih diartikan kepada pemberantasan buta huruf. Kenyataan pada saat itu jumlah anggota masyarakat yang melek huruf sangat terbatas akibat politik pendidikan elitis pada jaman kolonial dan kemudian pada mass pendidikan militerisme Jepang. Pengertian yang sempit mengenai pendidikan yang kebanyakan berarti pendidikan di dalam sekolah (schooling), tampak di dalam UU No. 4 Tahun 1950 yang terutama diarahkan kepada pendidikan di sekolah atau dengan kata lain yang berkaitan dengan pengajaran. Di dalam perkembangan masyarakat kita, ditambah pula dengan kemajuan teknologi, maka pengertian dan lingkupan pendidikan menjadi lebih luas lagi dengan munculnya berbagai sarana pendidikan yang dulunya tidak dikenal oleh masyarakat. Massa media berupa televisi yang mengudara pada awal tahun 60-an, demikian pula mass media yang lain semakin bertambah banyak, dan pada akhir akhir ini munculnya teknologi komunikasi yang semakin canggih sehingga kita mengenal pendidikan maya (virtual education) yang mengglobal. Demikian pula masalah, pendidikan perlu diperluas dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan tenaga kerja karena semakin maraknya perkembangan industri. Dengan demikian terjadi proliferasi yang sangat cepat balk di dalam pendidikan formal, pendidikan non-formal, dan pendidikan informal. Multifikasi dari jenis dan sumber pendidikan telah memberikan banyak masalah yang dulu tidak dikenal di dalam manajemen pendidikan. Sejalan dengan proliferasi pendidikan maka tanggung jawab, pendidikan tampaknya lama-kelamaan bergeser dari pendidikan keluarga ke lingkungan di luar keluarga bahkan di luar gedung sekolah. Perluasan ruang lingkup pendidikan telah mengubah dimensi-dimensi pendidikan yang dahulu menjadi tanggung jawab keluarga sekarang beralih pada kekuatan-kekuatan di luar lingkungan keluarga. Proliferasi pendidikan menjadikan pendidikan formal sifatnya sangat formalistic dan sistematis, lama-kelamaan telah mengalihkan fungsi pendidikan formal clan kebutuhan hidup kepada tuntutan popularisasi pendidikan. Akibatnya ialah sistem pendidikan berorientasi kepada aspek supply dan ticlak lagi diorientasikan kepada kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja. Matra muncullah berbagai jenis program pendidikan dan pelatihan yang tidak seluruhnya dapat disistematisasikan. Kondisi ini menimbulkan berbagai masalah manajemen antar-departemen clan antar-instansi, dan akibatnya ialah kebutuhan rill akan tenaga kerja terampil cenderung terlantarkan. Masalah-masalah pendidikan digiring kepada persoalan-persoalan formal seperti ijazah yang harus mendapat pengakuan atau legitimasi dari pemerintah. Akibatnya ialah terjadi pertentangan antara kebutuhan akan tenaga yang terampil dan formalitas ijazah yang clituntut oleh pemerintah. Proliferasi pendidikan seharusnya merupakan peringatan di dalam penyelenggaraan program-program pendidikan agar lebih berorientasi kepada demand tenaga kerja yang sangat cepat berkembang terutama dengan kesempatan yang terbuka dalam sektor swasta. Pada tahun-tahun permulaan pembangunan Orde Baru memang sebagian besar sumber dana (budget) berada pada tangan pemerintah. Namun demikian pada tahun 80-an ketika sektor industri mulai berkembang pesat, maka dana pembangunan kebanyakan berasal dari masyarakat dan dana pinjaman dari luar yang semakin lama semakin besar jumlahnya sehingga seharusnya peranan pemerintah berkurang dan menjadi koordinator di dalam pelaksanaannya. Namun demikian, yang terjadi ialah kebijakan orientasi pemerintah untuk tetap memegang kekuasaan di dalam berbagai segi kehidupan termasuk pengaturan sistem pendidikan nasional beserta pelatihan-pelatihan tenaga kerja. Akibatnya ialah dunia pendidikan semakin lama semakin terasing dari kebutuhan masyarakat. Pada akhir-akhir rezim Orde Baru memang telah mulai dicoba suatu usaha untuk mendekatkan pendidikan kepada kebutuhan masyarakat. Namun demikian perubahan orientasi tersebut sudah terlambat karena seharusnya pendekatan yang demikian harus muncul dari dunia usaha dan bukan kebalikannya. Akibatnya ialah sistem yang coba diterapkan untuk mengubah orientasi dari, supply oriented kepada demand oriented dirasakan sebagai, suatu paksaan yang terlambat. Involvement masyarakat atau sektor swasta di dalam pendidikan clan pelatihan seharusnya dimulai sejak awal. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan prinsip "tuntunan dari atas" telah melepaskan tanggung jawab pendidikan, pelatihan dan menganggapnya sebagai tugas pemerintah.
Politisasi Pendidikan
Antara, pendidikan dan politik terdapat kaftan yang sangat erat. Keduanya pada hakikatnya tidak clapat dipisahkan satu dengan yang lain. Para pemikir politik sejak jaman purba, misalnya pemikir-pemikir pada masa Yunani telah menunjuk
kan betapa erat keterkaitan antara pendidikan clan politik. Keduanya mempunyai titik singgung yang sama ialah pertanyaan mengenai tujuan hidup manusia clan masyarakat. Keduanya menginginkan adanya kehidupan yang berbahagia. Balk pendidikan maupun kehidupan politik kedua-duanya diarahkan bagaimana mencipta pribadi dan masyarakat, yang membentuk kehidupan bersama, dapat menciptakan kehidupan yang berbahagia. Namun demikian di dalam sejarah perkembangan lahirnya negara-negara, peranan pendidikan di dalam didik- kehidupan politik sebenarnya tidak begitu besar. Meskipun diakui bahwa tanpa pendidikan, kehidupan bersama. Yang berbahagia di dalam suatu negara tidak dapat diciptakan, Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa politik (partai-partai politik) memperebutkan pendidikan sebagai sarana untuk melanggengkan kehidupan politiknya. Melalui proses pendidikan dapat dialihkan pemikiran-pemikiran, ide-ide"' dan cara-cara untuk mewujudkan kehidupan bersama yang berbahagia. Dengan demikian muclah dimengerti mengapa terjadi proses politisasi terhadap pendidikan nasional. Pendidikan dapat dijadikan atas untuk mempertahankan ideology suatu negara. Coba kita lihat di dalam kehidupan Negara negara di dunia ini seperti pemerintah Nazi jaman kekuasaan Hitler, pemerintahan diktator seperti Mussolini dan negara-negara komunis sesudah revolusi Bolsewik. Pendidikan nasional adalah kepanjangan dari pendidikan politik dari Yang berkuasa. Setiap negara tentunya menginginkan adanya pendidikan untuk warga negaranya sesuai dengan keinginan penguasa. Yang menjadi masalah kemudian ialah pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa dan bukan sebagai sarana untuk kehidupan bernegara, Di dalam kapan ini sejarah pendidikan telah menunjukkan bagaimana pendidikan nasional telah dijadikan sebagai sarana indoktrinasi ideologi negara atau partai politik yang berkuasa. Pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang mengembangkan hati nurani dari peserta didik agar dia menjadi warga negara bertanggung jawab. Hanya warga negara yang mendapatkan pendidikan Yang menjadi manusia mandiri dan merupakan manusia yang bermoral serta hidup berdasarkan hati nuraninya. Memang kenyataan menunjukkan bahwa negara-negara diktator di manapun di dunia meskipun telah menggunakan pendidikan nasionalnya sebagai alat indoktrinasi untuk mempertahankan kekuasaan dari suatu rezim tertentu, akhirnya tidak dapat mematikan hati nurani manusia. Hal ini menunjukkan bahwa kemanusiaan yang ingin dikembangkan oleh proses pen¬didikan bersifat universal dan sesuai dengan hakikat manusia itu sendiri. Apabila kita mengartikan proses pendidikan sebagai proses hominisasi dan proses humanisasi, maka pendidikan nasional tidak dapat lain yaitu untuk mengembangkan anggota masyarakat yang sadar akan hak-hak politiknya, sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga dia dapat menjadi anggota masyarakat dan anggota negaranya yang bertanggung jawab, produktif, serta memiliki nilai-nilai etika.
Demikianlah empat indikator yang dapat kita gunakan sebagai kategori dalam melihat perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari indikator-indikator tersebut telah lahir dan dibangun bermacam-macam paradigma yang merupakan dasar dari pengembangan pendidikan nasional seperti yang telah dijelaskan oleh Thomas S. Kuhn mengenai lahirnya paradigma di dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Paradigma paradigma tersebut tidak terlepas dari para ilmuwan yang mempunyai kesamaan pemikiran, model berpikir, serta metodologi yang sama yang telah terbentuk di dalam ikons- telasi kehidupan masyarakat di mans para ilmuwan hidup. Hal ini dapat kita lihat di dalam era Orde Baru betapa ilmuwan-ilmuwan di dalam pengembangan model serta metodologi telah dibentuk oleh cara-cara berpikir, rekayasa berpikir dan rekayasa kehidupan politik, sosial dan budaya pada masa era Orde Baru tersebut. Oleh sebab itu di dalam usaha kita untuk membangun masyarakat Indonesia bard, perlu kita kaji kembali model-model, metodologi yang telah lahir sebagai paradigma yang mendasari kehidupan masya-. rakat Indonesia pada masa lalu. Berdasarkan analisis tersebut, dapat kita bentuk paradigma-paradigma baru yang dapat kita jadikan landasan untuk membangun masyarakat Indonesia baru dalam era reformasi. Tanga analisis yang sistematis dan menyeluruh tidak dapat kita bangun paradigma baru. Paradigma yang berdasarkan conjecture saja akan jatuh kepada posisi semula yaitu kembali kepada paradigma lama.
Paradigma Sistem Pendidikan Nasional Era Pra Krisis
Bangsa Indonesia dilanda krisis total yang menerpa seluruh aspek kehidupan masyarakat dan berbangsa. Krisis yang bermula dari krisis moneter ekonomi kemudian berkembang menjadi krisis politik, hukum, kebudayaan, dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan. Krisis yang menyeluruh tersebut pada hakikatnya merupakan refleksi krisis kebudayaan karena berkaitan dengan rapuhnya kaidah-kaidah etik dan moral dari bangsa kita. Menurut pendapat penulis, krisis kebudayaan adalah pula merupakan krisis pendidikan. Bukankah kebudayaan itu merupakan jaringan yang dibentuk dan membentuk pribadi-pribadi masyarakat Indonesia? Oleh sebab itu sudah pada waktunya apabila kita meninjau kembali paradigma-paradigma yang telah mendasari krisis pendidikan nasional. Dari analisis mengenai paradigma-paradigma sistem pendidikan nasional beserta hasil-hasil yang telah dicapai, maka kita akan mempunyai suatu gambaran keseluruhan mengenai kekeliruan-kekeliruan yang telah kita lakukan pada masa lalu. Dari hasil yang telah kita capai selama masa era pia-krisis akan kita temukan anomali-anomali yang terjadi, yaitu kesenjangan antara apa yang diharapkan dan apa yang telah dihasilkan Perlu kiranya kita gunakan suatu cars penelaahan era krisis tersebut yaitu melihatnya secara keseluruhan. Metodologi gestalt atau metodologi holistik sangat kita perlukan oleh karena krisis yang kita alami merupakan suatu krisis total.
Pemaparan selanjutnya berupa uraian singkat mengenai paradigma-paradigma yang telah digunakan di dalam keempat indikator sistem pendidikan nasional, basil-basil yang telah dicapai dalam penggunaan paradigms, serta mendeteksi anomali-anomali yang terjadi. Berturut-turut akan dikemukakan di bawah ini keempat indikator tersebut.


Anomali-Anomali
1. Peningkatan kuantitatif pendidikan tidak sejalan dengan peningkatan produktivitas. Tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia termasuk terendah di Asia.
2. Tingkat pengangguran sarjana semakin lama semakin meningkat.
3. Popularisasi pendidikan tidak sejalan dengan investasi untuk sektor pendidikan dan anggaran belanja pemerintah.
4. Popularisasi pendidikan tidak sejalan dengan usaha-usaha Berens peningkatan kualitas.

Popularisasi Pendidikan
1. Meningkatnya tingkat pendidikan rata-rata penduduk ternyata tidak dengan sendirinya menurunkan kemiskinan absolut.
2. Peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak diikuti dengan peningkatan investasi dalam bidang pendidikan sehingga sulit untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan.
3. Angka partisipasi sekolah dasar, sekolah menengah, dan pendidikan tinggi terus meningkat. Pads tahun 1984 sudah dicapai target wajib belajar 6 tahun sebagai pendidikan universal. Namun demikian angka partisipasi untuk pendidikan tinggi adalah yang terendah di Asia.

Sistematisasi Pendidikan
1. Dengan adanya sistem yang baku dapat dihasilkan:
2. perencanaan dan manajemen yang efisien,memudahkan supervisi, dan
3. peningkatan mutu pendidikan.
4. Penyeragaman pendidikan akan menghasilkan terwujudnya kesatuan bangsa.
5. Etatisme dalam pendidikan akan menjaga mutu pendidikan nasional.

Hasil-Hasil yang Dicapai
1. Lahirnya UU No. 2 Tabun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta berbagai PP-nya, serta keputusan-keputusan lainnya yang menyeragamkan sistem, isi, kurikulum berbagai jenis dan jalur pendidikan.
2. Adanya satu sistem nasional yang kaku, menutup pintu bagi inovasi dan eksperimentasi.
3. Pendidikan swasta yang menjadi salah satu pilar pendidikan nasional sejak perjuangan kemerdekaan telah disubordinasikan pads sistem yang satu-satunya dipunyai negara.
4. Peningkatan pendidikan merupakan pemutusan mata rantai kemiskinan (teori lingkaran setan penanggulangan kemiskinan).
5. Mempercepat terpenuhinya wajib belajar pendidikan sekolah dasar untuk semua anak usia sekolah dasar (Education for all).
6. Merintis pelaksanaan wajib belajar 9 tahun untuk meningkatkan kecerdasan rakyat.

Anomali-Anomali
1. Sentralisasi pengelolaan, kurikulum, pengadaan dan penyebaran tenaga pengajar sekolah dasar ternyata menghasilkan berbagai dislokasi tenaga-tenaga guru.
2. Pembakuan berbagai jenis kurikulum dari TK sampai pendidikan tinggi.
3. Dengan berdalih meningkatkan mutu diadakan sistem evaluasi terpusat seperti EBTANAS dan UMPTN.
4. Lembaga-lembaga yang birokratik didirikan untuk memupuk sistem kekuasaan yang mematikan inovasi pendidikan seperti KOPERTIS, dan BAN.
5. Lembaga-lembaga pendidikan dari dan oleh masyarakat (swasta) dipersempit ruang geraknya.

Proliferasi Pendidikan
1. Praksis pendidikan terjadi di sekolah maupun di luar sekolah.
2. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama orang tua, masyarakat, dan negara.
3. Pertumbuhan ekonomi harus diikuti dengan penyiapan tenaga-tenaga terampil oleh sistem pendidikan nasional.

Hasil Hasil yang Dicapai
1. Multifikasi jenis dan sumber pendidikan yaitu pendidikan sekolah, pendidikan luar sekolah, berbagai jenis pelatihan, radio dan televisi, media massa.
2. Semakin lama tanggung jawab masyarakat berkurang dan tanggung jawab negara semakin besar baik dalam biaya maupun dalam manajemen.
3. Hasil sistem pendidikan nasional semakin menjauhi kebutuhan tenaga terampil, baik tenaga tingkat bawah, menengah, maupun pendidikan tinggi.




Anomali-Anomali
1. Pendekatan formal tentang pendidikan telah mengabaikan pengaruh-pengaruh informal dalam pembentukan watak, peserta didik. Pendidikan telah dipersempit artinya sebagai "schooling".
2. Pendidikan dianggap sebagai state business yang non- profit, sedangkan negara sendiri kekurangan biaya untuk pendidikan.
3. Sistem pendidikan nasional berorientasi kepada supply, bukan kepada demand (kebutuhan) konsumen.

Politisasi Pendidikan
1. Pendidikan adalah alat mempertahankan ideologi negara atau lebih sempit lagi untuk mempertahankan kepentingan pemerintah yang berkuasa.
2. Pendidikan nasional yang baik dengan sendirinya dapat, memecahkan masalah-masalah sosial budaya.
3. Manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas pendidikan.

Hasil-Hasil yang Dicapai
1. Meskipun cara-cara indoktrinasi melalui P-4 dilaksanakan mulai TK sampai pendidikan tinggi, rezim Orde Baru ditumbangkan jugs oleh gerakan mahasiswa.
2. Politisasi pendidikan ternyata tidak mematikan kekuatan hati nurani.
3. Politik praksis dapat memanipulasi tujuan etis pendidikan.



Anomali-Anomali
1. Sakralisasi ideologi nasional bertentangan dengan pengembangan berpikir kritis yang menjadi tujuan pendidikan yang sebenarnya.
2. Pendidikan dibebani tujuan suci tetapi tidak didukung dengan dana yang memadai dan profesi guru yang terpuruk.
3. Debirokratisasi penyelenggaraan pendidikan clan secara berangsur memberikan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan (otonomi lembaga).

Usulan Program 2000- 2004
1. Desentralisasi penyelenggaran pendidikan nasional secara bertahap, mulai pada tingkat provinsi dengan sekaligus mempersiapkan sarana, SDM, dan dana yang memadai pada tingkat kabupaten.
2. Perampingan birokrasi pendidikan dengan restrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien.
3. Menghapus berbagai peraturan perundangan yang menghalangi inovasi dan eksperimen. Melaksanakan otonomi lembaga pendidikan.
4. Revisi atau mengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan peraturan perundangan pelaksanaannya.

Proliferasi Pendidikan
1. Proliferasi "delivery system" pendidikan semakin kompleks dalam dunia yang terbuka memerlukan kebijakan yang terintegrasi dalam berbagai program, termasuk program pelatihan, media masa, dan media elektronika.
2. Pendidikan dan pelatihan tenaga-tenaga profesional dalam berbagai tingkat diorientasikan terutama pada kebutuhan daerah dan kebutuhan pasar kerja di daerah.
3. Pemanfaatan secara optimal dan mengkoordinasikan lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan mengikutsertakan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah daerah, dunia industri, untuk menanggulangi pengangguran akibat krisis.
4. Memperbanyak lembaga-lembaga pelatihan praktis di daerah agar lahir SDM yang produktif dan sejalan dengan itu menahan arus urbanisasi.

Usulan Program 2000 — 2004
1. Menumbuhkan partisipasi masyarakat, terutama di daerah dalam kesadarannya terhadap pentingnya pendidikan clan pelatihan untuk membangun masyarakat Indonesia baru. Suatu wadah masyarakat diperlukan untuk menampung keterlibatan masyarakat tersebut.
2. Menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia usaha.


Politisasi Pendidikan
1. Pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis yaitu yang sadar akan hak-hak serta kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
2. Masyarakat, termasuk keluarga, bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Usulan Program Pasca-Krisis
1. Membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan kepentingan politik dengan menerapkan sistem merit clan profesionalisme.
2. Menegakkan disiplin serta tanggung jawab pars pelaksanaan lembaga-lembaga pendidikan.
3. Menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Usulan Program 2000 — 2004
1. Depolitisasi pendidikan nasional. Komitmen politik dari masyarakat dan pemerintah untuk membebaskan pendidikan sebagai alat penguasa.
2. Meningkatkan harkat profesi pendidikan dengan mening katkan mutu pendidikannya, syarat-syarat serta pe manfaatan tenaga profesional, disertai dengan meningkatkan renumerasi profesi pendidikan yang memadai secara bertahap.











BAB III
PEMBAHASAN

Kebijakan Pendidikan Masa Orde Baru
Persoalan pendidikan di Indonesia kian lama begitu kompleks. Banyak hal yang tidak mungkin memperoleh solusi cepat dan mudah. Sertifikasi guru yang sejatinya ingin memecahkan permasalahan kesejahteraan guru yang dianggap pangkal dari masalah pendidikan di Indonesia, ternyata belum seutuhnya menjadi jawaban yang diinginkan bersama. Ujian nasional yang sebenarnya bertujuan baik justru menjadi awal lahirnya mutu pendidikan yang semu. Lalu, apa sebenarnya yang dicari dalam pendidikan di Indonesia? Mengapa pendidikan kita begitu sarat dengan permasalahan yang sepertinya tidak pernah selesai? Apa yang salah dalan pendidikan kita?Oleh karena itu, memberikan gambaran dan ulasan jawaban singkat jelas tidak bisa. Pangkal dari kesalahan pendidikan kita terletak pada masa lalu pendidikan Indonesia yang didalamnya termasuk: aspek mental manusia Indonesia, aristokrasi dan feodalisme masyarakat, serta perlakuan kolonialisme Belanda maupun Jepang di Indonesia. Dan, tulisan di bawah ini berupaya memberikan ilustrasi pendidikan Indonesia dari masa ke masa, terutama gambaran awal pendidikan modern yang mulai diterapkan pemerintah Kolonial Belanda. Dengan adanya tilikan masa lalu maka kita setidaknya bisa memetakan akar masalah pendidikan di Indonesia.
Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika menerapkan pola pendidikan modern. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah ongko loro dan ongko siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya. Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini. Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini. Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk memperoleh kesempatan ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun militer pemerintah Kolonial Belanda. Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi. Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja. Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya. Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri. Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya. Menjadi guru toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi terbawah model birokrasi Kolonial Belanda. Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya. Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak. Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah. Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS. Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.
Pendidikan Masa Pendudukan Jepang
Pada masa Jepang, pendidikan mengalami demokratisasi. Artinya dualisme pendidikan yang terjadi pada masa sebelumnya ditiadakan. Semua rakyat Indonesia berkesempatan memperoleh pendidikan yang sederajat dan sama. Justru pada masa ini orang-orang keturunan Timur Jauh, Eropa, dan Belanda terpaksa mengalami hambatan sosialisasi yang disebabkan oleh kebijakan Jepang yang tidak memperbolehkan mereka untuk akses di bidang-bidang tertentu. Jepang dengan sengaja menciptakan kondisi seperti itu. Jepang membuat kebijakan pendidikan dasar 6 (enam) tahun tanpa memandang alasan sosial dan budaya. Begitu pula Jepang membuat SMP dan SMA yang sama dengan kondisi sekarang ini. Masing-masing ditempuh selama 3 (tiga) tahun. Agar masyarakat Indonesia mempercayai janji-janji Jepang, penguasa membuat kebijakan menyeluruh tentang pendidikan. Pada pendidikan non formal penguasa Jepang menyelenggarakan pendidikan ketrampilan kejuruan dan pembebasan buta huruf. Kurikulum pendidikan masa Jepang mengandung nilai-nilai yang unik. Oleh karena Jepang adalah negara berbentuk fasis, mereka sengaja menerapkan propaganda militer pada setiap kandungan nilai pada setiap mata pelajarannya. Pelajaran-pelajaran berisi tentang kebangkitan dan semangat militer Jepang. Pelajaran yang dimasuki pengaruh militerisme adalah sejarah, ilmu budaya, ilmu geografi, seni musik dan tari, serta pendidikan jasmani. Di samping itu penguasa Jepang mewajibkan setiap siswa untuk melakukan seikerei dan taiso. Seikerei adalah menghormati sang matahari pada waktu pagi hari dengan sikap badan membungkuk 900. Sedangkan taiso adalah senam pagi yang diselenggarakan untuk menyehatkan badan dan pikiran.
Pendidikan Masa Indonesia Merdeka
Pada dasarnya pendidikan pada masa Indonesia Merdeka tak jauh dengan sistem persekolahan hasil kebijakan pendudukan Jepang di atas. Pada masa ini, kualitas pendidikan masih dikatakan stabil dengan kurikulum mencomot dari apa yang dilakukan penguasa Jepang terhadap rakyat Indonesia. Hanya saja, karena persoalan revolusi yang belum selesai dan kemelut politik yang terus-menerus, maka sektor pendidikan menjadi korban kebijakan politik. Pendidikan mengalami sedikit pengabaian. Pendidikan di tingkat atas agak diabaikan sementara oleh pemerintah Indonesia sendiri. Pada masa awal kemerdekaan ini, guru-guru bekas pengajar pada masa kolonial Belanda dipekerjakan kembali meskipun dengan gaji yang lebih kecil. Kondisi yang berubah membuat mereka tidak terbiasa dengan keadaan. Banyak dari mereka yang masih menerapkan pola pengajaran ketat dan disiplin ala Belanda, sehingga cenderung menghasilkan setidaknya mutu lulusan yang sama dengan masa Kolonial Belanda.
Pendidikan Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pendidikan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Agar bangsa Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang sama dengan negara-negara maju lainnya, maka secara kuantitas dibangunlah semua sarana pendidikan di setiap daerah. Alhasil, sekolah begitu banyak berdiri di tanah air. Secara kuantitatif pendidikan mengalami perkembangan yang pesat. Setiap anak dapat bersekolah dengan mudah. Namun di sisi lain, kualitas tidak bisa terjaga dengan baik. Kekurangan guru yang baik menjadi problematika pemerintah Indonesia. Sekolah Pendidikan Guru yang berdiri pada awal kemerdekaan tidak cukup menyediakan lulusannya yang siap pakai. Jumlah sekolah melebihi kapasitas guru yang ada. Akibatnya, pemerintah mengambil jalan pintas. Semua lulusan setingkat SLTA diperbolehkan menjadi guru meski mereka tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan sebagai guru yang layak.Di daerah-daerah, terjadi kemerosotan pendayagunaan sarana dan prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat tajam antara sekolah desa dengan sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya mengandalkan kebijakan pusat yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas berhasil, namun penyediaan sarana dan prasarana lainnya tidak mendukung. Sementara itu, sekolah perkotaan dengan bantuan orang tua siswa dan akses yang mudah pada pemerintah pusat mendapatkan bantuan buku-buku perpustakaan dan sarana pendukung lain yang baik. Pada masa ini, kualitas lulusan siswa tidak sebanding dengan perkembangan sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu banyak namun tingkat kualitasnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Agaknya beban kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan dengan kemampuan kognitif siswa yang harus menyerap semua informasi dan pengetahuan. Di sisi lain, perubahan kurikulum terjadi hampir setiap 10 (sepuluh) tahun. Kurikulum 1978 diganti dengan munculnya kurikulum 1984. Kurikulum 1984 diganti dengan kurikulum 1994. Demikian pula kurikulum 1994 mengalami beragam tambahn yang dibuktikan dengan adanya suplemen 1994. Agaknya perubahan kurikulum tersebut dilaksanakan karena terkait dengan perkembangan jaman. Tuntutan perbaikan kualitas dan juga kepentingan politik tertentu melahirkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan ideologi. Contohnya adalah pemberlakuan materi PSPB pada kurikulum 1984 yang sarat dengan muatan ideologis dan politis. Demikian pula salah satu syarat kenaikan kelas seorang siswa harus mendapatkan nilai minimal 6,0 dengan skala 1 sampai dengan 10 pada nilai raport. Jika nilai dibawah itu, maka siswa tidak dapat naik kelas meskipun pelajaran lain mendapat 9 (sembilan). Pada masa pemberlakuan kurikulum 1984 ini model pembelajaran yang sangat terkenal adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif di mana guru memberikan peluang dan respon bagi siswa yang memang memiliki kecerdasan dan kepintaran. Sistem ini dipergunakan untuk merubah model pengajaran yang kaku dan statis seperti yang dilaksanakan pada masa sebelumnya.
Pendidikan Masa Reformasi
Pada masa reformasi, jelas sekali kebijakan yang dihasilkan terkait dengan aspek politik dan ekonomi. Munculnya suplemen 1999 juga dalam rangka kepentingan politik yang mendasarinya. Namun semenjak penataran P-4 (Eka Prasetya Pancakarsa) ditiadakan maka dunia pendidikan dikembalikan pada posisi yang semestinya. Pada tahun 2004 mulai diberlakukan kebijakan kurikulum baru. Kurikulum berbasis kompetensi menjadi jawaban atas perkembangan jaman. Kurikulum ini berusaha untuk memberikan solusi atas perubahan jaman dan globalisasi yang melanda dunia mana saja. Namun demikian, dunia pendidikan bukan berarti lepas dari persoalan yang ada. Pembaharuan kurikulum ternyata tidak diimbangi dengan manajemen dan kebijakan baru dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan. Ujian nasional dengan pemberlakuan standar nilai yang dilakukan secara terpusat telah memberangus standar proses yang seharusnya menjadi titian utama kurikulum 2004. Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru menjadi satu faktor yang belum dituntaskan pada masa reformasi ini. Kesejahteraan guru mulai diperhatikan ketika era Presiden Abdurrahman Wahid menaikkan gaji guru hingga sama dengan pegawai negeri lainnya. Pada akhirnya era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kesejahteraan guru dan anggaran pendidikan 20% disahkan melalui undang-undang guru dan dosen serta sistem pendidikan nasional. Sertifikasi guru dilaksanakan secara menyeluruh dengan konsekuensi guru mendapatkan penghasilan tambahan sebesar satu kali gaji pokok. Kurikulum 2006 akhirnya diberlakukan pula dalam menekankan makna keberfungsian semangat kompetensi dan kepentingan lokal. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga memberikan subsidi dana bagi sekolah dari tingkat dasar sampai SLTP lewat Dana Bos. Di samping itu, pemerintah memberlakukan MBS sebagai model manajemen sebuah sekolah yang efektif dan efisien. Pemerintah pula memilah dan mencoba memberikan kriteria bagi upaya peningkatan kualitas sekolah secara utuh. Kriteria SSN, akselerasi, imersi, RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi sesuatu yang lazim pada situasi persekolahan saat ini






BAB IV
KESIMPULAN

Pergantian era kekuasaan sangat mempengaruhi model dan kebijakan pendidikan yang dihasilkan. Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari situasi politik sebuah bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan sebagai sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan. Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan semata. Pada masa Jepang, pendidikan tak lepas dari propaganda Jepang yang disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Akibatnya, semua rakyat mengakui kehebatan dan superioritas Jepang sebagai bangsa maju di kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti: Romusha, Heiho, dan Peta. Sebaliknya, pada masa Indonesia merdeka pendidikan diarahkan sebagai medium pembangkit rasa nasionalisme. Karena keadaan tertentu, periode ini tidak banyak pengembangan pendidikan yang bisa diharapkan. Secara kualitas, pendidikan tetap terjaga mutunya hanya pendirian bangunan sekolah tidak banyak artinya. Pada masa Orde Baru, perubahan kurikulum senantiasa silih berganti. Perubahan dilaksanakan dalam rangka mengantisipasi kepentingan global yang berubah. Hal ini pun masih dilanjutkan dengan pergantian kurikulum pada era reformasi. Kurikulum 2006 merupakan alternatif terakhir dari bangunan kurikulum dalam sejarah Indonesia. Artinya, pemerintah tetap belajar dari pengalaman. Lintasan pendidikan yang berusia cukup tua pada akhirnya menghasilkan kebijakan yang penuh nuansa keberpihakan pada esensi pendidikan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Tilaar, H.A.R. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Rineka Cipta
PEMBAHASAN
Jalaludin, 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
http://forumgurusejarahkendal.blogspot.com/2010/11/sejarah-pendidikan-indonesia-1900-2010.html
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
-----------------. 1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Rickleffs. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Zaenuddin, 2008. Reformasi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Herzberg dan Teori Maslow

Makalah Aves

PERENCANAAN SUMBER DAYA PENDIDIKAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN