BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya Manusia. Dimana dewasa ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM). Dimana mutu Sember Daya Manusia (SDM) berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam pendidikan, komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.
Mutu pendidikan tercapai apabila masukan, proses, keluaran, guru, sarana dan prasarana serta biaya apabila seluruh komponen tersebut memenuhi syarat tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut yang lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab. Tenaga kependidikan pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut tenaga kependidikan untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Pendidikan yang bermutu sangat membutuhkan tenaga kependidikan yang professional.
Tenaga kependidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan pengetahuan, ketrampilan, dan karakter peserta didik. Oleh karena itu tenaga kependidikan yang professional akan melaksanakan tugasnya secara professional sehingga menghasilkan tamatan yang lebih bermutu. Menjadi tenaga kependidikan yang profesional tidak akan terwujud begitu saja tanpa adanya upaya untuk meningkatkannya, adapun salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan pengembangan profesionalisme ini membutuhkan dukungan dari pihak yang mempunyai peran penting dalam hal ini adalah kepala sekolah, dimana kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah.
Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin pendidikan. Karena kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber organisasi dan bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan keprofesionalan kepala sekolah ini pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan mudah dilakukan karena sesuai dengan fungsinya, kepala sekolah memahami kebutuhan sekolah yang ia pimpin sehingga kompetensi guru tidak hanya mandeg pada kompetensi yang ia miliki sebelumnya, melainkan bertambah dan berkembang dengan baik sehingga profesionalisme guru akan terwujud.
Tenaga kependidikan profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode yang tepat, akan tetapi mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Profesionalisme tenaga kependidikan juga secara konsinten menjadi salah satu faktor terpenting dari mutu pendidikan. Tenaga kependidikan yang profesional mampu membelajarkan murid secara efektif sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan. Namun, untuk menghasilkan guru yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya.
Namun banyak faktor penghambat tercapainya kualitas keprofesionalan kepemimpinan kepala sekolah seperti proses pengangkatannya tidak trasnparan, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat, wawasan kepala sekolah yang masih sempit , serta banyak faktor penghambat lainnya yang menghambat tumbuhnya kepala sekolah yang professional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output). Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengkaji “Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah”
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa: “Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pememliharaan sarana dan prasarana”.
Namun kenyataan dilapangan masih banyak kepala sekolah yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin pendidikan ini disebabkan karena dalam proses pengangkatannya tidak ada trasnfaransi, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat serta banyak faktor penghambat lainnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output).
Berdasarkan uraian di atas penyusun sangat tertarik untuk membahas profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah. Untuk mempermudah dalam pemahaman pemabahasan ini, berikut penyusun sajikan kerangka teoritisnya.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah
2. Untuk mengetahui bagaimana tugas yang dijalankan oleh kepala sekolah
3. Untuk memahami peran kepala sekolah
4. Untuk mengaetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam merealisasikan keprofesionalan kepala sekolah
5. Untuk mengetahui dan memahami upaya pemecahan dalam merealisasikan peningkatan profesionalisme kepala sekolah.
C. Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui bagaimana gambaran profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah
2. Dapat mengetahui bagaimana tugas yang dijalankan oleh kepala sekolah
3. Dapat memahami peran kepala sekolah
4. Dapat mengetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam merealisasikan keprofesionalan kepala sekolah
5. Dapat mengetahui dan memahami upaya pemecahan dalam merealisasikan peningkatan profesionalisme kepala sekolah.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Profesionalisme, Kepemimpinan, dan Kepala Sekolah
1. Profesionalisme
Kusnandar (2007:46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang”. Selanjutnya Profesionalisme menurut Surya (2007:214) adalah sebutan yang mengacu pada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota asuatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Sementara Danin (2002:23) mendefinisikan bahwa: “Profesionalisme adalah komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakanny dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu Kemudian Freidson (1970) dalam Sagala (2005:199) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah “sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”. Jadi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dapat tercapai secara berkesinambungan.
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu organisai karena sebagian besar keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Pentingnya kepemimipinan seperti yang dikemukakan oleh James M. Black pada Manajemen a Guide to Executive Command dalam Samsudin (2006:287) yang dimaksud dengan “Kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan dan menggerakkan orang lain agar mau bekerja sama di bawah kepemimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Sementara Indrafachrudi (2006:2) mengartikan “Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian rupa sehingga tercapailah tujuan itu”. Kemudian menurut Ukas (2004:268) “Kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi orang lain, agar ia mau berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud dan tujuan”. Sedangkan George R. Terry dalam Thoha (2003:5) mengartikan bahwa “Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi”. Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempangaruhi orang lain untuk mau bekerja sama agar mau melakukan tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuan bersama.
3. Kepala Sekolah
Kepala sekolah bersal dari dua kata yaitu “Kepala” dan “Sekolah” kata kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedang sekolah adalah sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelejaran. Jadi secara umum kepala sekolah dapat diartikan pemimpin sekolah atau suatu lembaga di mana temapat menerima dan memberi pelajaran. Wahjosumidjo (2008:83) mengartikan bahwa: “Kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. Sementara Rahman dkk (2006:106) mengungkapkan bahwa “Kepala sekolah adalah seorang guru (jabatan fungsional) yang diangkat untuk menduduki jabatan structural (kepala sekolah) di sekolah”. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah adalah sorang guru yang mempunyai kemampuan untuk memimpin segala sumber daya yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan bersama. Jadi profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah berarti suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dalam menjalankan dan memimpin segala sumber daya ayang ada pada suatu sekolah untuk mau bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama.
D. Peran dan Tanggungjawab Kepala Sekolah
Kepemimpinan merupakan salah satu elemen penting dalam mencapai, mempertahankan dan meningkatkan kinerja organisasi. Koseptualisasi teori-teori kepemimpinan, telah menarik perhatian dan diskusi panjang para peneliti dan para praktisi. Desentralisasi dan otonomi pendidikan akan berhasil dengan baik, jika diiringi pemberdayaan pola kepemimpinan kepala sekolah yang optimal. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif.
Sebagai pengelola pendidikan, berarti kepala sekolah bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pendidikan dengan cara melaksanakan administrasi sekolah dengan seluruh substansinya. Disamping itu kepala sekolah bertanggungjawab terhadap kualitas sumber daya manusia yang ada agar mereka mampu menjalankan tugas-tugas pendidikan. Oleh karena itusebagai pengelola, kepala sekolah memiliki tugas untuk mengembangkan kinerja para personal (terutama para guru) ke arah profesionalisme yang diharapkan.
Sebagai pemimpin formal, kepala sekolah bertanggungjawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya menggerakkan para bawahan ke arah pencapaiantujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini kepala sekolah bertugasmelaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, baik fungsi yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun penciptaan iklim sekolah yang kondusif bagi terlaksananya proses belajar mengajar secara efektif dan efisien. (Moch. Idhochi Anwar, 2003: 75)
Dalam persepektif kebijakan pendidikan nasional (depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran kepala sekolah yaitu yaitu, sebagai : (1) edukator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor; (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; (7) wirausahawan. (http://www.depdiknas.go.id/inlink)
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, dibawah ini akan diuraikan peran kepala sekolah dalam suatu lembaga pendidikan.
1. Kepala Sekolah Sebagai Edukator (Pendidik)
Kepala sekolah sebagai edukator harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik di sekolahnya, menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberikan nasehat kepada warga sekolah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga pendidik serta melaksanakan model pembelajaran yang menarik. Kepala sekolah harus berusaha menanamkan, memajukan dan meningkatkan sedikitnya 4 macam nilai, yaitu pembinaan mental, moral, fisik dan artistik.
Dalam rangka meningkatkan kinerja sebagai edukator, kepala sekolah harus merencanakan dan melaksanakan program sekolah dengan baik, antara lain:
a. Mengikutkan tenaga pendidik dalam penataran guna menambah wawasan, juga memberi kesempatan kepada tenaga pendidik untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan belajar ke jenjang yang lebihtinggi.
b. Menggerakkan tim evaluasi hasil belajar untuk memotivasi peserta didik agar lebih giat belajar dan meningkatkan prestasinya.
c. Menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah dengan menekankan disiplin yang tinggi.
2. Kepala Sekolah Sebagai Manajer
Tugas manajer adalah merencanakan, mengorganisasikan, mengatur, mengkoordinasikan dan mengendalikan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajer adalah orang yang melakukan sesuatu secara benar (Vincent Gaspersz, 2003: 201). Dengan demikian, kepala sekolah harus mampu merencanakan dan mengatur serta mengendalikan semua program yang telah disepakati bersama.
3. Kepala Sekolah Sebagai Administrator
Kepala sekolah sebagai administrator sangat diperlukan karena kegiatan di sekolah tidak terlepas dari pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan dan pendokumentasian seluruh program sekolah. Kepala sekolah dituntut memahami dan mengelola kurikulum, administrasi peserta didik, administrasi sarana dan prasarana, dan administrasi kearsipan. Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara efektif agar administrasi sekolah dapat tertata dan terlaksana dengan baik.
Kemampuan kepala sekolah sebagai administrator harus diwujudkan dalam penyusunan kelengkapan data administrasi pembelajaran, bimbingan dan konseling, kegiatan praktikum, kegiatan di perpustakaan, data administrasi peserta didik, guru, pegawai TU, penjaga sekolah, teknisi dan pustakawan, kegiatan ekstrakurikuler, data administrasi hubungan sekolah dengan orang tua murid, data administrasi gedung dan ruang dan surat menyurat.
Kepala sekolah sebagai administrator dalam hal ini juga berkenaan dengan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Masalah keuangan adalah masalah yang peka. Oleh karena itu dalam mengelola bidang ini kepala sekolah harus hati-hati, jujur dan terbuka agar tidak timbul kecurigaan baik dari staf maupun dari masyarakat atau orang tua murid.
4. Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Sebagai supervisor, kepala sekolah berfungsi untuk membimbing, membantu dan mengarahkan tenaga pendidik untuk menghargai dan melaksanakan prosedur-prosedur pendidikan guna menunjang kemajuan pendidikan. Kepala sekolah juga harus mampu melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja tenaga pendidik. Hal ini dilakukan sebagai tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga pendidik tidak melakukan penyimpangan dan lebih hati-hati dalam melaksanakan tugasnya.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Danim (2002:59) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran danbimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran danbimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik.
5. Kepala Sekolah Sebagai Leader (Pemimpin)
Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada.
Kepribadian kepala sekolah sebagai leader menurut Ordway (1966) dalam Rahman (2006:45) harus menunjukkan sifat-sifat:
a. Kesadaran akan tujuan dan arah
b. Antusiasme
c. Keramahan dan kecintaan
d. Integritas (keutuhan, kejujuran dan ketulusan hati)
e. Penguasaan teknis
f. Ketegasan dalam mengambil keputusan
g. Kecerdasan
h. Keterampilan mengajar
i. Kepercayaan
6. Kepala Sekolah Sebagai Pencipta Iklim Kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan.
7. Kepala Sekolah Sebagai Wirausahawan (Entrepreneur)
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang dikatakan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya. Kepala sekolah sebagai wirausahawan harus mampu mencari, menemukan dan melaksanakan berbagai pembaharuan yang innovatif dengan menggunakan strategi yang tepat, sehingga terjalin hubungan yang harmonisantara kepala sekolah, staf, tenaga pendidik dan peserta didik, di samping itu juga agar pendidikan yang ada menjadi semakin baik.
C. Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah
Paradigma baru manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas secara efektif dan efisien, perlu didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam hal ini, pengembangan SDM merupakan proses peningkatan kemampuan manusia agar mampu melakukan pilihan-pilahan. Proses pengembangan SDM tersebut harus menyentuh berbagai bidang kehidupan yang tercermin dalam pribadi pimpinan, termasuk pemimpin pendidikan, seperti kepala sekolah.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa: “Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pememliharaan sarana dan prasarana”. Namun kenyataan dilapangan masih banyak kepala sekolah yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin pendidikan ini disebabkan karena dalam proses pengangkatannya tidak ada trasnfaransi, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat serta banyak faktor penghambat lainnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output).
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu kepala sekolah harus mengetahui tugas-tugas yang harus ia laksankan. Adapun tugas-tugas dari kepala sekolah seperti yang dikemukakan Wahjosumidjo (2008:97) adalah:
Kepala sekolah bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan. Kepala sekola bertindak dan bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan oleh para guru, siswa, staf, dan orang tua siswa tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kepala sekolah
Dengan waktu dan sumber yang terbatas seorang kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan.Dengan segala keterbatasan, seorang kepala sekolah harus dapat mengatur pemberian tugas secara cepat serta dapat memprioritaskan bila terjadi konflik antara kepentingan bawahan dengan kepentingan sekolah.
Kepala sekolah harus berfikir secara analitik dan konsepsional. Kepala sekolah harus dapat memecahkan persoalan melalui satu analisis, kemudian menyelesaikan persoalan dengan satu solusi yang feasible. Serta harus dapat melihatsetiap tugas sebagai satu keseluruhan yang saling berkaitan.
Kepala sekolah adalah seorang mediator atau juru penengah. Dalam lingkungan sekolah sebagai suatu organisasi di dalamnya terdiri dari manusia yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda yang bisa menimbulkan konflik untuk itu kepala sekolah harus jadi penengah dalam konflik tersebut.
Kepala sekolah adalah seorang politisi. Kepala sekolah harus dapat membangun hubungan kerjasama melalui pendekatan persuasi dan kesepakatan (compromise). Peran politis kepala sekolah dapat berkembang secara efektif, apabila: (1) dapat dikembangkan prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, (2) terbentuknya aliasi atau koalisi, seperti organisasi profesi, OSIS, BP3, dan sebagainya; (3) terciptanya kerjasama (cooperation) dengan berbagai pihak, sehingga aneka macam aktivitas dapat dilaksanakan.
Kepala sekolah adalah seorang diplomat. Dalam berbagai macam pertemuan kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yang dipimpinnya.
Kepala sekolah mengambil keputusan-keputusan sulit. Tidak ada satu organisasi pun yang berjalan mulus tanpa problem. Demikian pula sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari persoalan dan kesulitan-kesulitan. Dan apabila terjadi kesulitan-kesulitan kepala sekolah diharapkan berperan sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang sulit tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Peningkatan Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah Dilakukan Melalui Suatu Strategi
Melalui strategi perbaikan mutu inilah diharapkan dapat mengatasi masalah rendahnya pendidikan mutu pendidikan yang mengoptimalkan segala sumber daya yang terdapat di sekolah. Upaya peningkatan profesionalisme kepala sekolah merupakan proses keseluruhan dan organisasi sekolah serta harus dilakukan secara berkesinambungan karena peubahan yang terjadi selalu dinamis serta tidak bisa diprediksi sehingga kepala sekolah maupun tenaga kependidikan harus selalu siap dihadapkan pada kondisi perubahan. Ada istilah seorang tenaga pendidik yang tadinya professional belum tentu akan terus professional bergitupun sebaliknya, tenaga kependidikan yang tadinya tidak professional belum tentu akan selamanya tidak professional. Dari pernyataan itu jelas kalau perubahan akan selalu terjadi dan menuntut adanya penyasuaian sehingga kita dapat mengatasi perubahan tersebut dengan penuh persiapan.
Dalam upaya peningkatan mutu sekolah dan profesionalisme kepala sekolah harus ada pihak yang berperan dalam peningkatan mutu tersebut. Dan yang berperan dalam peningkatan profesionalisme kepala sekolah adalah pengawas sekolah yang juga merupakan pemimpin pendidikan yang bersama-sama kepala sekolah memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan sekolah.
Upaya peningkatan keprofesionalan kepala sekolah tidak akan terwujud begitu tanpa adanya motivasi dan adanya kesadaran dalam diri kepala sekolah tersebut serta semangat mengabdi yang akan melahirkan visi kelembagaan maupun kemampuan konsepsional yang jelas. Dan ini merupakan faktor yang paling penting sebab tanapa adanya kesadaran dan motivasi semangat mengabdi inilah semua usaha yang dilakukan untuk meningkatkan keprofesionalannya hasilnya tidak akan maksimal dan perealisasiannyapun tidak akan optimal. Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukannya, Southern Regional Education Board (SREB) telah mengidentifikasi 13 faktor kritis terkait dengan keberhasilan kepala sekolah dalam mengembangkan keprofesionalannya. Ketigabelas faktor tersebut adalah:
1. Menciptakan misi yang terfokus pada upaya peningkatan prestasi belajar siswa, melalui praktik kurikulum dan pembelajaran yang memungkinkan terciptanya peningkatan prestasi belajar siswa.
2. Ekspektasi yang tinggi bagi semua siswa dalam mempelajari bahan pelajaran pada level yang lebih tinggi.
3. Menghargai dan mendorong implementasi praktik pembelajaran yang baik, sehingga dapat memotivasi dan meningkatkan prestasi belajar siswa.
4. Memahami bagaimana memimpin organisasi sekolah, dimana seluruh guru dan staf dapat memahami dan peduli terhadap siswanya.
5. Memanfaatkan data untuk memprakarsai upaya peningkatan prestasi belajar siswa dan praktik pendidikan di sekolah maupun di kelas secara terus menerus.
6. Menjaga agar setiap orang dapat memfokuskan pada prestasi belajar siswa.
7. Menjadikan para orang tua sebagai mitra dan membangun kolaborasi untuk kepentingan pendidikan siswa.
8. Memahami proses perubahan dan memiliki kepemimpinan untuk dapat mengelola dan memfasilitasi perubahan tersebut secara efektif.
9. Memahami bagaimana orang dewasa belajar (baca: guru dan staf) serta mengetahui bagaimana upaya meningkatkan perubahan yang bermakna sehingga terbentuk kualitas pengembangan profesi secara berkelanjutan untuk kepentingan siswa.
10. Memanfaatkan dan mengelola waktu untuk mencapai tujuan dan sasaran peningkatan sekolah melalui cara-cara yang inovatif.
11. Memperoleh dan memanfaatkan berbagai sumber daya secara bijak.
12. Mencari dan memperoleh dukungan dari pemerintah, tokoh masyarakat dan orang tua untuk berbagai agenda peningkatan sekolah.
13. Belajar secara terus menerus dan bekerja sama dengan rekan sejawat untuk mengembangkan riset baru dan berbagai praktik pendidikan yang telah terbukti.(www.sreb.org)
Untuk menghadapi tantangan dan permasalahan pendidikan nasional yang amat berat saat ini, mau tidak mau pendidikan harus dipegang oleh para manajer dan pemimpin yang sanggup menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang ada, baik pada level makro maupun mikro di sekolah. Merujuk pada permasalahan yang ada berikut ini diuraikan secara singkat tentang 20 profil profesionalitas kepala sekolah yang dibutuhkan saat ini sebagai berikut:
1. Mampu menginspirasi melalui antusiasme yang menular.
Pendidikan harus dikelola secara sungguh-sungguh, oleh karena itu para manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menunjukkan semangat dan kesungguhan di dalam melaksanakan segenap tugas dan pekerjaanya. Semangat dan kesungguhan dalam bekerja ini kemudian ditularkan kepada semua orang dalam organisasi, sehingga mereka pun dapat bekerja dengan penuh semangat dan besungguh-sungguh.
2. Memiliki standar etika dan integritas yang tinggi.
Penguasaan standar etika dan integritas yang tinggi oleh para manajer atau pemimpin pendidikan tidak hanya terkait dengan kepentingan kepemimpinan dalam organisasi, namun juga tidak lepas dari hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah usaha untuk menciptakan manusia-manusia yang memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi. Oleh karena itu, pendidikan sudah seharusnya dipegang oleh para manajer (pemimpin) yang memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi, sehingga pada gilirannya semua orang dalam organisasi dapat memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi.
3. Memiliki tingkat energi yang tinggi.
Mengurusi pendidikan sebenarnya bukanlah mengurusi hal-hal yang sifatnya sederhana, karena didalamnya terkandung usaha untuk mempersiapkan suatu generasi yang akan mengambil tongkat estafet kelangsungan suatu bangsa.di masa yang akan datang. Kegagalan pendidikan adalah kegagalan kelanjutan suatu generasi. Untuk mengurusi pendidikan dibutuhkan energi dan motivasi yang tinggi dari para manajer dan pemimpin pendidikan. Pendidikan membutuhkan manajer (pemimpin) yang memiliki ketabahan, daya tahan (endurance) dan pengorbanan yang tinggi dalam mengelola pendidikan.
4. Memiliki keberanian dan komitmen
Saat ini pendidikan dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah-ubah, yang menuntut keberanian dari para manajer (pemimpin) pendidikan untuk melakukan perubahan-perubahan agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan yang ada. Selain itu, pendidikan membutuhkan manajer (pemimpin) yang memiliki komitmen tinggi terhadap pekerjaannya. Kehadirannya sebagai manajer (pemimpin) benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan organisasi, yang didasari rasa kecintaannya terhadap pendidikan.
5. Memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dan bersikap nonkonvensional.
Saat ini permasalahan dan tantangan yang dihadapi pendidikan sangat kompleks, sehingga menuntut cara-cara penyelesaian yang tidak mungkin hanya dilakukan melalui cara-cara konvensional. Manajer (pemimpin) pendidikan yang memiliki kreativitas tinggi akan mendorong terjadinya berbagai inovasi dalam praktik-praktik pendidikan, baik pada tataran manjerialnya itu sendiri maupun inovasi dalam praktik pembelajaran siswa.
6. Berorientasi pada tujuan, namun realistis
Tujuan pendidikan berbeda dengan tujuan-tujuan dalam bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memahami tujuan-tujuan pendidikan. Di bawah kepemimpinnanya, segenap usaha organisasi harus diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan dengan menjalankan fungsi-fungsi manajemen beserta seluruh substansinya. Pencapaian tujuan pendidikan disusun secara realistis, dengan ekspektasi yang terjangkau oleh organisasi, tidak terlalu rendah dan juga tidak terlalu tinggi.
7. Memiliki kemampuan organisasi yang tinggi
Kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang melibatkan banyak komponen, yang di dalamnya membutuhkan upaya pengorganisasian secara tepat dan memadai. Bagaimana mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada, bagaimana mengoptimalkan kurikulum dan pembelajaran, bagaimana mengoptimalkan sumber dana, dan bagaimana mengoptimalkan lingkungan merupakan hal-hal penting dalam pendidikan yang harus diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga menuntut kemampuan khusus dari para manajer (pemimpin) pendidikan dalam mengorganisasikannya.
8. Mampu menyusun prioritas
Begitu banyaknya kegiatan yang harus dilakukan dalam pendidikan sehingga menuntut para manajer (pemimpin) pendidikan untuk dapat memilah dan memilih mana yang penting dan harus segera dilaksanakan dan mana yang bisa ditunda atau mungkin diabaikan. Kemampuan manajer (pemimpin) pendidikan dalam menyusun prioritas akan terkait dengan efektivitas dan efisiensi pendidikan.
9. Mendorong kerja sama tim dan tidak mementingkan diri sendiri, upaya yang terorganisasi.
Kegiatan dan masalah pendidikan yang sangat kompleks tidak mungkin diselesaikan secara soliter dan parsial. Manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat bekerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berada dalam lingkungan internal maupun eksternal. Demikian pula, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mendorong para bawahannya agar dapat bekerjasama dengan membentuk team work yang kompak dan cerdas, sekaligus dapat meletakkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi.
10. Memiliki kepercayaan diri dan memiliki minat tinggi akan pengetahuan.
Masalah dan tantangan pendidikan yang tidak sederhana, menuntut para manajer (pemimpin) pendidikan dapat memiliki keyakinan diri yang kuat. Dalam arti, dia meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dia juga memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sosial, moral maupun intelektual. Keyakinan diri yang kuat bukan berarti dia lantas menjadi seorang yang “over confidence”, mengarah pada sikap arogan dan menganggap sepele orang lain.. Di samping itu, sudah sejak lama pendidikan dipandang sebagai kegiatan intelektual. Oleh karena itu, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menunjukkan intelektualitas yang tinggi, dengan memiliki minat yang tinggi akan pengetahuan, baik pengetahuan tentang manajerial, pengetahuan tentang perkembangan pendidikan bahkan pengetahuan umum lainnya.
11. Sesuai dan waspada secara mental maupun fisik.
Tugas dan pekerjaan manajerial pendidikan yang kompleks membutuhkan kesiapan dan ketangguhan secara mental maupun fisik dari para manajer pendidikan. Beban pekerjaan yang demikian berat dan diluar kapasitas yang dimilikinya dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik. Agar dapat menjalankan roda organisasi dengan baik, seseorang manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menjaga dan memelihara kesehatan fisik dan mentalnya secara prima. Selain itu, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat memperhatikan kesehatan mental dan fisik dari seluruh anggota dalam organisasinya.
12. Bersikap adil dan menghargai orang lain.
Dalam organisasi pendidikan melibatkan banyak orang yang beragam karakteristiknya, dalam kepribadian, keyakinan, cara pandang, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan sebagainya. Kesemuanya itu harus dapat diperlakukan dan ditempatkan secara proporsional oleh manajer (pemimpin). Manajer (pemimpin) pendidikan harus memandang dan menjadikan keragaman karakteristik ini sebagai sebuah kekuatan dalam organisasi, bukan sebaliknya.
13. Menghargai kreativitas
Untuk meningkatkan mutu pendidikan dibutuhkan sentuhan kreativitas dari semua orang yang terlibat di dalamnya. Tidak hanya menajer (pemimpin) yang dituntut untuk berfikir kreatif, tetapi semua orang dalam organisasi harus ditumbuhkan kreativitasnya. Pemikiran kreatif biasanya berbeda dengan cara-cara berfikir pada umumnya. Dalam hal ini, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mengakomodasi pemikiran-pemikiran kreatif dari setiap orang dalam organisasi, yang mungkin saja pemikiran-pemikiran itu berbeda dengan sudut pandang yang dimilikinya.
14. Menikmati pengambilan resiko.
Tatkala keputusan untuk berubah dan berinovasi telah diambil dan segala resiko telah diperhitungkan secara cermat. Namun dalam implementasinya, tidak mustahil muncul hal-hal yang berasa di luar dugaan sebelumnya, maka dalam hal ini, manajer (pemimpin) pendidikan harus tetap menunjukkan ketenangan, keyakinan dan berusaha mengendalikan resiko-resiko yang muncul. Jika memang harus berhadapan dengan sebuah kegagalan, manajer (pemimpin) pendidikan harus tetap dapat menunjukkan tanggung jawabnya, tanpa harus mencari kambing hitam dari kegagalan tersebut. Selanjutnya, belajarlah dari pengalaman kegagalan tersebut untuk perbaikan pada masa-masa yang akan datang.
15. Menyusun pertumbuhan jangka panjang
Kegiatan pendidikan bukanlah kegiatan sesaat, tetapi memiliki dimensi waktu yang jauh ke depan. Seorang manajer (pemimpin) pendidikan memang dituntut untuk membuktikan hasil-hasil kerja yang telah dicapai pada masa kepemimpinannya, tetapi juga harus dapat memberikan landasan yang kokoh bagi perkembangan organisasi, jauh ke depan setelah dia menyelesaikan masa jabatannya. Kecenderungan untuk melakukan praktik “politik bumi hangus” harus dihindari. Yang dimaksud dengan “politik bumi hangus” disini adalah praktik kotor yang dilakukan manajer (pemimpin) pendidikan pada saat menjelang akhir jabatannya, misalnya dengan cara menghabiskan anggaran di tengah jalan, atau merubah struktur organisasi yang sengaja dapat menimbulkan chaos dalam organisasi, sehingga mewariskan masalah-masalah baru bagi manajer (pemimpin) yang menggantikannya.
16. Terbuka terhadap tantangan dan pertanyaan.
Menjadi manajer (pemimpin) pendidikan berarti dia akan dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan yang harus dihadapi, merentang dari yang sifatnya ringan hingga sangat berat sekali. Semua itu bukan untuk dihindari atau ditunda-tunda tetapi untuk diselesaikan secara tuntas.
17. Tidak takut untuk menantang dan mempertanyakan.
Selain harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sudah ada (current problems) secara tuntas, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memiliki keberanian untuk memunculkan tantangan dan permasalahan baru, yang mencerminkan inovasi dalam organisasi. Dengan demikian, menjadi manajer (pemimpin) pendidikan tidak hanya sekedar melaksanakan rutinitas dan standar pekerjaan baku, tetapi memunculkan pula sesuatu yang inovatif untuk kemajuan organisasi.
18. Mendorong pemahaman yang mendalam untuk banyak orang.
Kegiatan pendidikan menuntut setiap orang dalam organisasi dapat memahami tujuan, isi dan strategi yang hendak dikembangkan dalam organisasi. Manajer (pemimpin) pendidikan berkewajiban memastikan bahwa setiap orang dalam organisasi dapat memahaminya secara jelas, sehingga setiap orang dapat memamahi peran, tanggung jawab dan kontribusinya masing-masing dalam organisasi. Selain itu, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mengembangkan setiap orang dalam organisasi untuk melakukan perbuatan belajar sehingga organisasi pendidikan benar-benar menjadi sebuah learning organization.
19. Terbuka terhadap ide-ide dan pandangan baru.
Pandangan yang keliru jika pendidikan dipandang sebagai sebuah kegiatan monoton dan rutinitas belaka. Pendidikan harus banyak melahirkan berbagai inovasi yang tidak hanya dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan itu sendiri tetapi juga kepentingan di luar pendidikan. Untuk dapat melahirkan inovasi, manajer (pemimpin) pendidikan harus terbuka dengan ide-ide dan pandangan baru, baik yang datang dari internal maupun eksternal, terutama ide dan pandangan yang bersumber dari para pengguna jasa (customer) pendidikan.
20. Mengakui kesalahan dan beradaptasi untuk berubah.
Asumsi yang mendasarinya adalah manajer (pemimpin) pendidikan adalah manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Jika melakukan suatu kesalahan, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memiliki keberanian untuk mengakui kesalahannya tanpa harus mengorbankan pihak lain atau mencari kambing hitam. Lakukan evaluasi dan perbaikilah kesalahan pada masa-masa yang akan datang. Jika memang kesalahan yang dilakukannya sangat fatal, baik secara moral, sosial, maupun yuridis atau justru dia terlalu sering melakukan kesalahan mungkin yang terbaik adalah adanya kesadaran diri bahwa sesungguhnya dia tidak cocok dengan tugas dan pekerjaan yang diembannnya, dan itulah pilihan yang terbaik bagi dirinya dan organisasi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepala sekolah merupakan peimipin formal yang tidak bisa diisi oleh orang-orang tanpa didasarkan atas pertimbangan tertentu. Untuk itu kepal sekolah bertangggung jawab melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan baik yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun dalam mencipatakan iklim sekolah yang kondusif yang menumbuhnkan semangat tenaga pendidik maupun peserta didik. Dengan kepemimpinan kepala sekolah inilah, kepala sekolah diharapakan dapat memberikan dorongan serta memberikan kemudahan untuk kemajuan serta dapat memberikan inspirasi dalam proses pencapaian tujuan.
Kepala sekolah diangkat melalui prosedur serta persyaratan tertentu yang bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan yang mengimplikasikan meningkatkanya prestasi belajar peserta didik. Kepala sekolah yang professional akan berfikir untuk membuat perubahan tidak lagi berfikir bagaimana suatu perubahan sebagaimana adanya sehingga tidak terlindas oleh perubahan tersebut. Untuk mewujudkan kepala sekolah yang professional tidak semudah membalikkan telapak tangan, semua itu butuh proses yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Council of Chief State School Officers, (2009). School Principal Standard of Competencies, One Massachusetts Avenue, NW. Suite 700. Washington, DC 20001-1431. Standar kompetensi ini antara lain diadaptasi oleh Negara Bagian California dan Illinois sebagai standar profesional para kepala sekolah, http:// www.sreb.org
E. Mulyasa. (2006). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung. Remaja Rosdakarya
http://www.depdiknas.go.id/inlink
Kusnandar.(2007). Guru Profesional. Jakarta. Raja Grafindo
Luthans. Fred. (1992). Organizational Behavior, McGraw-Hill, Inc. San Fransisco.
Maman. Ukas. (2004). Manajemen. Bandung. Agini
Miftah Toha. (2003). Kepemimpinan dalam Manajemen, Jakarta. Raja Grafindo
Muhammad Surya. (2007). Organisasi profesi, kode etik dan Dewan Kehormatan Guru. Jakarta. Rajawali Press.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990 Tentang Pendidikan Dasar.
Rahman. (at all). (2006). Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jatinangor: Alqaprint.
Sadili. Samsudin. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung. Pustaka Setia
Soekarto Indarafachrudi. (2006). Bagaimana Memimpin Sekolah yang efektif. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sudarwan. Danim. (2002). Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung. Pustaka Setia.
Surya. Muhammad. (2007) Organisasi profesi, kode etik dan Dewan Kehormatan Guru. Bandung. Remaja Rosdakarya
Syaiful. Sagala. (2005). Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung. Alfabeta
Tony Bush & Marianne Coleman. (2006). Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan (Terj. Fahrurrozi). Jogjakarta
Wahjosumidjo. (2008). Kepemimpinan Kepala Sekolah. Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta. Rajawali Pers
Jumat, 25 Maret 2011
TAKE HOME MANAJEMEN STRATEJIK
KONSEP KONSEP DASAR MANAJEMEN STRATEJIK
Subtansi Manajemen Stratejik
Salah satu upaya pimpinan yang harus dilakukan dalam mewujudkan berbagai kegiatan organisasi yang mampu memenuhi kebutuhan masa depan adalah melalui kegiatan manejemen stratejik yang mampu menampilkan suatu keputusan yang dapat direalisasikan oleh seluruh personel, sehingga tercipta suatu interaksi yang efektif yang mampu melahirkan keputusan bersama dalam melakukan tugas yang mampu memenuhi kebutuhan berbagai pihak tersebut, diperlukan adanya suatu kegiatan manajemen puncak dalam melakukan manajemen stratejik.
Menurut Hunger dan Wheelen (2001:4), manejemen stratejik adalah serangkaian keputusan dan tindakan manejerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Manejemen stratejik meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang), implementasi strategis dan evaluasi serta pengendalian. Manejemen startejik menekankan pada pengamatan serta pengendalian.
Menurut (Jauch dan Glueck, 1988:6). Manejemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai objektifnya” (David, 2002:5).
Perumusan strategik
Perumusan strategi adalah pengembanagan rencana jangka panjang untuk manajemen efektif dari kesempatan dan ancaman lingkungan, dilihat dari kekuatan dan kelemahan perusahaan, didasarkan oleh data dan informasi kuantitatif dan kualitatif yang akurat dari dalam dan luar organisasi. “melalui perumusan perncanaan strategik perlu dilakukan analisis mengenai tantangan internal dan eksdternal secara cermat”(Nawawi, 2000:153)
Dari hasil perumusan stratejik akan diperoleh berbagai program kegiatan yang akan dilaksankan dalam suatu organisasi. Menurut Nawawi (2000:166) Analis internal dan eksternal dalam realisasi manejemen stratejik melalui penyusunan perencanaan, khususnya di lingkungan organisasi non-profit bidang pendidikan adalah : Analis internal dan eksternal (lokal, nasional,dan global) digunakan sebagai masukan dalam merumuskan Rencana Strategik (RENSTRA) dan Rencana Operasional (RENOP) pada departemen.
Oleh karena itu perumusan Stratejik hendaknya menggambarkan visi,misi,tujuan dan langkah-langkah yang dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh personal organisasi dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Menurut Hunger da Wheelen (2001:12), perumusan strategi meliputi menentukan misi perusahaan, menentukan tujuan-tujuan yang dapat dicapai, pengembangan strategi, dan penetapan pedoman kebijakan.
Misi Organisasi adalah tujuan atau alasan mengapa organisasi hidup. Pernyataan misi yang disusun dengan baik mendefinisikan tujuan mendasar dan unik yang membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lain, dan mengidentifikasi jangkauan operasi perusahaan dalam produk yang ditawarkan dan pasar yang dilayani.
Tujuan adalah hasil akhir aktivitas perencanaan. Tujuan merumuskan apa yang akan diselesaikan dan kapan akan diselesaikan, Sasaran adalah pernyataan terbuka yang berisi suatu harapan yang akan diselesaikan tanpa perhitungan apa yang akan dicapai dan tidak ada penyelesaian waktu penyelesaian.
Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuannya. Strategi akan memaksimalkan keunggulan kompeteti dan meminimalkan keterbatasan bersaing.
Kebijakan menyediakan pedoman luas untuk pengambilan keputusan organisasi secara keseluruhan.
Implementasi Strategi
Implementasi merupakan perwujudan dari program-program yang telah ditetapkan dalam perumusan strategi. Menurut Hungerda Wheelen (2001:17-18) mengemukakan bahwa “Implementasi strategi adalah proses dimana manajemen mewujudkan strategi dan kebijakannya dalam tindakan melalui pengembanagan program, anggaran, dan prosedur.
Program adalah pernyataan aktivitas-aktivitas atau langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan perencanaan sekali pakai
Anggaran adala program yang dinyatakan dalam bentuk satuan uang, setiap program akan dinyatakan secara rinci dalam biaya, yang dapat digunakan oleh manajemen untuk merencanakandan mengendalikan.
Prosedur kadang-kadang disebut standar operating procedures (SOP). Prosedur adalah sistem langkah-langkah atau teknik-teknik yang berurutan yang menggambarkan secara rinci bagaimana suatu tugas atau pekerjaan diselesaikan.
Evaluasi dan Pengendalian
Evaluasi merupakan penilaian terhadap perbandingan hasil proses kegiatan yang telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dilakukan. Menurut Hunger dan Wheelen (2001:19), Evaluasi dan pengendalian adalah proses yang melaluinya aktivitas-aktivitas perusahaaan dan hasil kinerja dimonitor melakukan tindakan perbaikan dan memecahkan masalah.
Agar evaluasi dan pengendalian efektif, manajer harus mendapatkan umpan balik yang jelas, tepat, dan tidak bias dari orang-orang bawahannya yang ada dalam hirarki perusahaan. Dengan mengunakan umpan balik tersebut, manajer membandingkan apa yang sesungguhnya direncanakan dalam tingkat perumusan.
Dalam mewujudkan elemen-elemen dasar dari proses manajemen srtatejik yang dikemukakan diatas maka seoarang manajer harus mampu memahami visi, misi dari suatu organisasi.
Implementasi Manajemen Strategik
Implementasi manajemen stratejik bagaimanapun akan meningkatkan kinerja organisasi, sebab manajemen stratejik berupaya melakukan peng¬amatan terhadap tedadinya perubahan lingkungan. Ketiga SMK Negeri yang ada di Banda Aceh setiap saat melakukan pengamatan terhadap perubahan lingkungan.'Perubahan lingkungan yang dimaksud disini adalah kesiapan ketiga SMK dalam mengantisipasi apa yang dibutuhkan SMK dan bagaimana menyerap berbagai kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa ketiga SMK tersebut. Secara bersama-sama ketiga SMK melakukan perubahan, walaupun perubahan yang mereka lakukan tidaklah sama karaktemya. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan corak dan program studi ketiga SMK.
Implementasi manajemen stratejik dapat dilaksanakan berdasarkan perencanaan stratejik, perencanaan itu didasarkan atas dua dasar, menurut Saladin (2003:24) dua. dasar perencanaan stratejik itu adalah: (1) Perencanaan intuitif antisipatif: adalah suatu perencanaan yang didasarkan pads pengalaman-pengalaman, naluri, pertimbangan dan reflektif seorang manajer, dengan perkataan lain perencanaan strategi intuitif antisipatif adalah perencanaan berdasarkan pengalaman mass lalu, pertimbangan dan cara berpikir reflektif, (2) Perencanaan Jangka Panjang Formal: adalah perencanaan berdasarkan prosedur, penelitian, melibatkan banyak orang dan menghasilkan seperangkat rencana tertulis. secara visual, menurut Saladin (2003:25).
Pemberdayaan
Pemberdayaan yang dilakukan dengan menggunakan manajemen stratejik memudahkan organisasi seperti SMK yang ada di Banda Aceh mencapai tujuan-tujuannya melalui berbagai pengendalian dan dapat memecahkan masalah secara tepat dan mengenali masalah secara akurat. Pemecahan masalah akan memudahkan dalam melakukan pemberdayaan jika prinsip prinsip manajemen stratejik diterapkan. Pemecahan masalah yang dilakukan tidak lagi menganut prinsip-prinsip tradisional atau konvensional tetapi harus mengacu kepada pola pemberdayaan.
Manajemen stratejik yang diterapkan di lingkungan SMK Banda Aceh adalah untuk memberdayakan seluruh sumber daya yang ada. Pemberdayaan yang dilakukan secara terencana, diharapkan dapat meningkatkan proses pengendalian sumber daya yang ada baik sumber days internal dan eksternal, maupun sumber daya manusia dan fasilitasnya. Untuk melaksanakan pemberdayaan itu, pengendalian menjadi isu sentral agar seluruh rencana pemberdayaan dapat dilaksanakan dengan cara yang tepat. Karena itu, proses pemberdayaan yang dilakukan dengan menggunakan manajemen stratejik dilakukan secara bertahap. Tahapan itu diawali oleh strategi implementasi, pengorgani¬sasian, penggerakan dan kepen-drapinan Berta pengendalian.
Seluruh SMK yang ada di Banda aceh secara sadar atau tidak, telah merencanakan prinsip-prinsip manajemen stratejik yang cenderung mencapai suatu perubahan manajemen dengan menggunakan tahapan tahapan. Tahapan-tahapan ini pads dasarnya dilakukan sebagai cara untuk meruntut apa yang harus dilakukan sehingga runtutan itu menjamin terciptanya kesinambungan program yang akan dilaksanakan.
Organisasi Berbasis Masyarakat
Organisasi berbasis masyarakat seperti SMK yang ada di Banda Aceh, menjadikan stakeholdersnya sebagai dasar dalam memberdayakan perangkat yang ada. Pemberdayaan itu dilakukan dengan pengendalian yang ketat sehingga proses pemberdayaan tetap mengacu kepada tahapan-tahapan sebagai penjamin terciptanya proses pemberdayaan sebagaimana yang direncanakan. Bagaimana pemberdayaan SMK di Banda Aceh dilakukan dengan mengacu kepada manajemen stratejik. Strategi implementasi akan menentukan keunggulan manajemen SMK yang menggunakan manajemen stratejik sebagai instrumen pemberdayaannya Pemberdayaan organisasi yang dilakukan setiap SMK di Banda Aceh dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen stratejik, yang meliputi penguatan struktur organisasi, menerapkan kurikulum yang sesuai kebutuhan, dan pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya fasilitas, telah melahirkan keunggulan dalam mengendalikan organsiasi SMK sesuai dengan tujuannya.
Mengacu keberbagai implementasi manajemen stratejik yang diseleng¬garakan SMK Banda Aceh, maka dapat dikatakan bahwa konsep manajemen stratejik untuk memberdayakan SMK memiliki kontribusi terhadap kinerja setiap SMK tersebut. Pemberdayaan bagi SMK memang bukanlah merupakan tujuan yang bersifat sesaat atau tentatif, pemberdayaan dilakukan sebagai upaya SMK agar dapat menyesuaikan dri dengan perkembangan yang tedadi, terutama perkembangan yang datangnya dari lingklungan eksternal SMK. Implementasi manajemen stratejik yang diterapkan SMK tidak hanya satu aspek saja, tetapi terdiri dari berbagai aspek sehingga memungkinkan SMK dapat bergerak secara dinamis. Perbedaan penerapan antara manajemen stratejik dengan manajemen biasa di SMK Negeri Banda Aceh, sangat signifikan terhadap pemberdayaan setiap SMK untuk melaksanakan seluruh program masing-masing. Manajemen stratejik yang diterapkan memberikan kesempatan yang lugs bagi setiap SMK untuk dapat merealisir visi, mini dan tujuannya sehingga memungkinkan bagi setiap SMK melaksanakan pendidikan dan pelatihan.
Sumber:
Usman, Nasir. dan AR, Murniati. (2009). Implementasi Manajemen Stratejik Dalam Pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan. Bandung. Citapustaka Media Perintis.
Konsep Manajemen Strategik Sebagai Paradigma Baru di Lingkungan Organisasi Pendidikan
Dalam bidang ekonomi khususnya di lingkungan bisnis yang mengembangkan manajemen secara teoritis dan praktis, Manajemen Strategik telah cukup lama dikenal dan dikembangkan. Berbeda dengan di lingkungan organisasi non profit, khususnya bidang pendidikan, kehadiran Manajemen Strategik pada dasarnya merupakan suatu paradigma baru.
Sebagai paradigma baru, jika diimplementasikan pada lingkungan organisasi pendidikan, tidak mungkin dilakukan sebagai kegiatan pengambilalihan seluruh kegiatannya sebagaimana dilaksanakan di lingkungan organisasi profit (bisnis), karena kedua organisasi tersebut satu dengan yang lain berbeda dalam banyak aspek, terutama dari segi filsafat yang mendasarinya dan tujuan yang hendak dicapai.
Pengimplementasian Manajemen Strategik di lingkungan organisasi bidang bisnis didasari oleh falsafah yang berisi nilai-nilai persaingan bebas antar organisasi bisnis sejenis, melalui pendayagunaan semua sumber yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang bersifat strategik. Tujuan tersebut adalah mempertahankan dan mengembangkan eksistensi masing-masing untuk jangka waktu panjang, melalui kemampuan meraih laba kompetitif secara berkelanjutan. Sedang organisasi pendidikan didasari oleh filsafat yang berisi nilai-nilai pengabdian dan kemanusiaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perbedaan lain terletak pada pengorganisasian masing-masing. Setiap organisasi profit memiliki otonomi dalam menjalankan manajemennya, berupa kebebasan mewujudkan pengembangan organisasinya antara lain dengan memilih pengimplementasian Manejemen Strategik atau manajemen lainnya yang dinilai terbaik. Di organisasi non profit khususnya bidang pendidikan, organisasi ini diatur dengan manajemen umum oleh pemerintah Pusat ataupunn daerah, yang secara berencana dan sistematis telah menetapkan berbagai pengaturan yang mengikat dalam memilih dan mengimplementasikan manajemennya.
Pengertian Manajemen Strategi
Manajemen Strategi merupakan rangkaian dua perkataan terdiri dari kata“Manajemen” dan “Strategi” yang masing-masing memiliki pengertian tersendiri, yang setelah dirangkaikan menjadi satu terminologi berubah dengan memiliki pengertian tersendiri pula. Pengertian manajemen strategi ada 4 (empat). Pengertian pertama Manajemen Strategi adalah “proses atau rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara pelaksanaannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan dimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organiasasi, untuk mencapai tujuannya”. Dari pengertian tersebut terdapat beberapa aspek yang penting, antara lain:
a. Manajemen Strategi merupakan proses pengambilan keputusan.
b. Keputusan yang ditetapkan bersifat mendasar dan menyeluruh yang berarti berkenaan dengan aspek-aspek yang penting dalam kehidupan sebuah organisasi, terutama tujuannya dan cara melaksanakan atau cara mencapainya.
c. Pembuatan keputusan tersebut harus dilakukan atau sekurang-kurangnya melibatkan pimpinan puncak (kepala sekolah), sebagai penanggung jawab utama pada keberhasilan atau kegagalan organisasinya.
d. Pengimplementasian keputusan tersebut sebagai strategi organisasi untuk mencapai tujuan strateginya dilakukan oleh seluruh jajaran organisasi (warga sekolah), seluruhnya harus mengetahui dan menjalankan peranan sesuai wewenang dan tanggung jawab masing masing.
e. Keputusan yang ditetapkan manajemen puncak (kepala sekolah) harus diimplementasikan oleh seluruh warga sekolah dalam bentuk kegiatan/pelaksanaan pekerjaan yang terarah pada tujuan strategi organisasi.
Pengertian manajemen strategi yang kedua adalah “usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang muncul guna mencapai tujuannya yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan”. Dari pengertian tersebut terdapat konsep yang secara relatif luas dari pengertian pertama yang menekankan bahwa “manajemen strategi merupakan usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi”, yang mengharuskan kepala sekolah dengan atau tanpa bantuan manajer bawahannya (Wakasek, Pembina Osis, Kepala Tata Usaha), untuk mengenali aspek-aspek kekuatan organisasi yang sesuai dengan misinya yang harus ditumbuhkembangkan guna mencapai tujuan strategi yang telah ditetapkan. Untuk setiap peluang atau kesempatan yang terbuka harus dimanfaatkan secara optimal.
Pengertian yang ketiga, Manajemen Strategi adalah “arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada pengembangan strategi yang efektif untuk membantu mencapai tujuan organisasi”. Pengertian ini menekankan bahwa arus keputusan dari para pimpinan organisasi (Ka Dinas, Kepala Sekolah) dan tindakan berupa pelaksanaan keputusan, harus menghasilkan satu atau lebih strategis, sehingga dapat memilih yang paling efektif atau yang paling handal dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Pengertian yang keempat, “manajemen strategi adalah perencanaan berskala besar (disebut Perencanaan Strategi) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut VISI), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut MISI), dalam usaha menghasilkan sesuatu (Perencanaan Operasional) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategi) dan berbagai sasaran (Tujuan Operasional) organisasi.” Pengertian yang cukup luas ini menunjukkan bahwa Manajemen Strategi merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak ke arah yang sama pula.
Komponen pertama adalah Perencanaan Strategi dengan unsur unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan Strategi organisasi. Sedang komponen kedua adalah Perencanaan Operasional dengan unsur unsurnya adalah Sasaran atau Tujuan Operasional, Pelaksanaan Fungsi fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan situasional, jaringan kerja Internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik. Diagram manajemen strategi sebagai suatu sistem dapat dilihat pada halaman berikut.
Diagram 1. Manajemen Strategi Sebagai Sistem
Di samping itu dari pengertian Manajemen Strategi yang terakhir, dapat disimpulkan beberapa karakteristiknya sebagai berikut:
a. Manajemen Strategi diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategi (RENSTRA) yang dijabarkan menjadi Perencanaan Operasional (RENOP), yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk Program program kerja.
b. Rencana Strategi berorientasi pada jangkauan masa depan (25-30 tahun). Sedang Rencana Operasionalnya ditetapkan untuk setiap tahun atau setiap lima tahun.
c. VISI, MISI, pemilihan strategi yang menghasilkan Strategi Utama (Induk) dan Tujuan Strategi Organisasi untuk jangka panjang, merupakan acuan dalam merumuskan RENSTRA, namun dalam teknik penempatannya sebagai keputusan Manajemen Puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat di dalamnya.
d. RENSTRA dijabarkan menjadi RENOP yang antara lain berisi program program operasional.
e. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak (Pimpinan) karena sifatnya sangat mendasar dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi.
f. Pengimplementasian Strategi dalam program program untuk mencapai sasarannya masing masing dilakukan melalui fungsi fungsi manajemen yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.
Berdasarkan karakteristik dan komponen Manajemen Strategi sebagai sistem, terlihat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat intensitas dan formalitas pengimplementasiannya di lingkungan organisasi non profit (pendidikan). Beberapa faktor tersebut antara lain adalah ukuran besarnya organisasi, gaya manajemen dari pimpinan, kompleksitas lingkungan ideologi, sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya termasuk kependudukan, peraturan pemerintah dsb. sebagai tantangan eksternal. Tingkat intensitas dan formalitas itu dipengaruhi juga oleh tantangan internal, antara lain berupa kemampuan menterjemahkan strategi menjadi proses atau rangkaian kegiatan pelaksanaan pekerjaan sebagai pelayanan umum yang efektif, efisien dan berkualitas (dalam bidang pendidikan misalnya menetapkan model/sistem instruksional, sumber sumber belajar, media pembelajaran dll).
Dimensi- Dimensi Manajemen Strategi
Berdasarkan pengertian dan karakteristiknya dapat disimpulkan bahwa Manajemen Strategi memiliki beberapa dimensi atau bersifat multidimensional. Dimensi dimensi dimaksud adalah :
a. Dimensi Waktu dan Orientasi Masa Depan
Manajemen Strategi dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi suatu organisasi berpandangan jauh ke masa depan, dan berperilaku proaktif dan antisipatif terhadap kondisi masa depan yang diprediksi akan dihadapi. Antisipasi masa depan tersebut dirumuskan dan ditetapkan sebagai Visi organisasi yang akan diwujudkan 25-30 tahun lebih di masa depan. Visi dapat diartikan sebagai “kondisi ideal yang ingin dicapai dalam eksistensi organisasi di masa depan”. Sehubungan dengan itu, visi adalah gambaran kondisi masa depan dari suatu organisasi yang belum tampak sekarang tetapi merupakan konsepsi yang dapat dibaca oleh setiaporang (anggota organisasi). Visi memiliki kekuatan yang mampu mengundang, memanggil, dan menyerukan pada setiap orang untuk memasuki masa depan. Visi organisasi harus dirumuskan oleh manajemen puncak organisasi”.
Visi merupakan gambaran yang jelas tentang apa yang akan dicapai berikut rincian dan instruksi setiap langkah untuk mencapai tujuan. Suatu visi dikatakan efektif jika sangat diperlukan dan memberikan kepuasan, menghargai masa lalu sebagai pengantar masa depan. Visi adalah pernyataan tentang tujuan organisasi yang diekspresikan dalam produk dan pelayanan yang ditawarkan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi, kelompok masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang diperoleh, serta aspirasi dan cita-cita masa depan. Sehingga secara sederhana Visi organisasi dapat diartikan sebagai sudut pandang ke masa depan dalam mewujudkan tujuan strategi organisasi, yang berpengaruh langsung pada misinya sekarang dan di masa depan. Sehubungan dengan itu Misi organisasi pada dasarnya berarti keseluruhan tugas pokok yang dijabarkan dari tujuan strategi untuk mewujudkan visi organisasi.
b. Dimensi Internal dan Eksternal
Dimensi Internal adalah kondisi organisasi non profit (pendidikan) pada saat sekarang, berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang harus diketahui secara tepat. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan Evaluasi Diri antara lain dengan menggunakan Analisis Kuantitatif dengan menggunakan perhitungan-perhitungan statistik, menggunakan data kuantitatif yang tersedia di dalam Sistem Informasi Manajemen (SIM). Namun kerap kali data kuantitatif tidak memadai, karena lemahnya SIM dalam mencatat, mencari, melakukan penelitian dan mengembangkan data pada masa lalu. Oleh karena itu Evaluasi Diri tidak boleh tergantung sepenuhnya pada data kuantitatif, karena dapat juga dilakukan dengan Analisis Kualitatif dengan menggunakan berbagai informasi kualitatif atau sebagian data kuantitatif dan sebagian lagi data kualitatif.
Untuk Analisis Kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan Analisis SWOT. Dimensi lingkungan eksternal pada dasarnya merupakan analisis terhadap lingkungan sekitar organisasi (sekolah), yang terdiri dari Lingkungan Operasional, Lingkungan Nasional dan Lingkungan Global, yang mencakup berbagai aspek atau kondisi, antara lain kondisi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, adat istiadat, agama, dll. Pengimplementasian Manajemen Strategi perlu mengidentifikasi dan mendayagunakan kelebihan atau kekuatan dan mengatasi hambatan atau kelemahan organisasi.
c. Dimensi Pendayagunaan Sumber-Sumber.
Manajemen strategi sebagai kegiatan manajemen tidak dapat melepaskan diri dari kemampuan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki, agar secara terintegrasi terimplementasikan dalam fungsi-fungsi manajemen ke arah tercapainya sasaran yang telah ditetapkan di dalam setiap RENOP, dalam rangka mencapai Tujuan Strategi melalui pelaksanaan Misi untuk mewujudkan Visi Organisasi (sekolah).
Sumber daya yang ada terdiri dari Sumber Daya Material khususnya berupa sarana dan prasarana, Sumber Daya finansial dalam bentuk alokasi dana untuk setiap program, Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Teknologi dan Sumber Daya Informasi. Semua sumberdaya ini dikategorikan dalam sumber daya internal, yang dalam rangka evaluasi diri (Analisis Internal) harus diketahui dengan tepat kondisinya.
d. Dimensi Keikutsertaan Manajemen Puncak (Pimpinan)
Manajemen strategi yang dimulai dengan menyusun Rencana Strategi merupakan pengendalian masa depan organisasi, agar eksistensi sesuai dengan visinya dapat diwujudkan. Rencana Strategi harus mampu mengakomodasi seluruh aspek kehidupan organisasi yang berpengaruh pada eksistensinya di masa depan merupakan wewenag dan tanggung jawab manajemen puncak. Rencana Strategi sebagai keputusan utama yang prinsipil, tidak saja ditetapkan dengan mengikutsertakan, tetapi harus dilakukan secara proaktif oleh manajemen puncak, karena seluruh kegiatan untuk merealisasikannya merupakan tanggung jawabnya.
e. Dimensi Multi Bidang
Manajemen Strategi sebagai Sistem, pengimplementasiannya harus didasari dengan menempatkan organisasi sebagai suatu sistem. Dengan demikian berarti sebuah organisasi akan dapat menyusun RENSTRA dan RENOP jika tidak memiliki keterikatan atau ketergantungan sebagai bawahan pada organisasi lain sebagai atasan.
Dalam kondisi sebagai bawahan (sekolah merupakan bawahan Dinas P & K) berarti tidak memiliki kewenangan penuh dalam memilih dan menetapkan visi, misi, tujuan dan strategi. Sekolah hanya berperan sebagai penyusun RENOP dan program tahunan. Dari uraian tersebut jelas bahwa RENSTRA dan RENOP bersifat multi dimensi, terutama jika perumusan RENSTRA hanya dilakukan pada banyak organisasi non profit termasuk pendidikan yang tertinggi. Dengan dimensi yang banyak tersebut, maka mudah terjadi tidak seluruh dimensi dapat diakomodasi.
Keunggulan dan Manfaat Manajemen Strategi Bagi Organisasi Pendidikan
Pengimplementasian Manajemen Strategi melalui perumusan RENSTRA dan RENOP dengan menggunakan strategi tertentu dalam melaksanakan fungsi- fungsi manajemen, dan mewujudkan tugas pokok dilingkungan organisasi pendidikan harus diukur dan dinilai keunggulannya. Dari pengukuran tersebut dan seluruh proses pengimplementasiannya, maka diketahui manfaat Manajemen Strategi bagi organisasi.
Keunggulan dan Manfaat Manajemen Strategi dalam organasasi pendidikan antara lain :
a. Keunggulan Implementasi Manajemen Strategi
Keunggulan implementasi manajemen strategi dapat dievaluasi dengan menggunakan tolok ukur sebagai berikut :
1) Profitabilitas
Keunggulan ini menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan diselenggarakan secara efektif dan efisien, dengan penggunaan anggaran yang hemat dan tepat, sehingga diperoleh profit berupa tidak terjadi pemborosan.
2) Produktivitas Tinggi
Keunggulan ini menunjukkan bahwa jumlah pekerjaan (kuantitatif) yang dapat diselesaikan cenderung meningkat. Kekeliruan atau kesalahan dalam bekerja semakin berkurang dan kualitas hasilnya semakin tinggi, serta yang terpenting proses dan hasil memberikan pelayanan umum (siswa dan masyarakat) mampu memuaskan mereka.
3) Posisi Kompetitif
Keunggulan ini terlihat pada eksistensi sekolah yang diterima, dihargai dan dibutuhkan masyarakat. Sifat kompetitif ini terletak pada produknya (misalnya: kualitas lulusan) yang memuaskan masyarakat yang dilayani.
4) Keunggulan Teknologi
Semua tugas pokok berlangsung dengan lancar dalam arti pelayanan umum dilaksanakan secara cepat, tepat waktu, sesuai kualitas berdasarkan tingkat keunikan dan kompleksitas tugas yang harus diselesaikan dengan tingkat rendah, karena mampu mengadaptasi perkembangan dan kemajuan teknologi.
5) Keunggulan SDM
Di lingkungan organisasi pendidikan dikembangkan budaya organisasi yang menempatkan manusia sebagai faktor sentral, atau sumberdaya penentu keberhasilan organisasi. Oleh karena itu SDM yang dimiliki terus dikembangkan dan ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan sikapnya terhadap pekerjaannya sebagai pemberi pelayanan kepada siswa. Bersamaan dengan itu dikembangkan pula kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi oleh sekolah pada masa sekarang dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang timbul sebagai pengaruh globalisasi di masa yang akan datang.
6) Iklim Kerja
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa hubungan kerja formal dan informal dikembangkan sebagai budaya organisasi berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam budaya organisasi pendidikan, setiap SDM sebagai individu dan anggota organisasi terwujud hubungan formal dan hubungan informal antar personil yang harmonis sesuai dengan posisi, wewenang dan tanggung jawab masing – masing di dalam dan di luar jam kerja.
7) Etika dan Tanggung Jawab Sosial
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa dalam bekerja terlaksana dan dikembangkan etika dan tanggung jawab sosial yang tinggi, dengan selalu mendahulukan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan/atau organisasi. Tolok ukur keunggulan tersebut di atas sangat penting artinya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sekarang dan di masa mendatang. Untuk itu diperlukan kerjasama dan dukungan masyarakat dalam menumbuhkembangkan organisasi dalam mengimplementasikan Manajemen Strategi secara optimal, agar keunggulan keunggulan di atas dapat diwujudkan yang hasilnya akan menguntungkan masyarakat pula. Dalam kenyataan yang pada masa sekarang, bagi organisasi pendidikan (sekolah) kondisi untuk mewujudkan keunggulan tersebut masih menghadapi berbagai dilema. Organisasi pendidikan yang ada pada saat ini secara relatif bersifat konsumtif, sedang untuk melaksakan Manajemen Strategi secara relatif diperlukan dana/anggaran yang tidak sedikit. Dalam kondisi seperti ini sangat diperlukan kemampuan mewujudkan keseimbangan antara kesediaan pemerintah dalam menyediakan dana/anggaran yang memadai, dan dalam menggali serta mengatur pendayagunaan sumber-sumber daya lain, seperti orang tua, masyarakat, pinjaman/bantuan.
Manfaat Manajemen Strategi
Berdasarkan keunggulan yang dapat diwujudkan seperti telah diuraikan di atas, berarti dalam pengimplemantasian Manajemen Strategi di lingkungan organisasi pendidikan terdapat beberapa manfaat yang dapat memperkuat usaha mewujudkannya secara efektif dan efisien. Manfaat yang dapat dipetik adalah : “manajemen strategi dapat mengurangi ketidakpastian dan kekomplekan dalam menyusun perencanaan sebagai fungsi manajemen, dan dalam proses pelaksanaan pekerjaan dengan menggunakan semua sumber daya yang secara nyata dimiliki melalui proses yang terintegrasi dengan fungsi manajemen yang lainnya dan dapat dinilai hasilnya berdasarkan tujuan organisasi.” Secara terinci manfaat manajemen strategi bagi organisasi non profit (pendidikan) adalah :
1) Organisasi pendidikan (sekolah) sebagai organisasi kerja menjadi dinamis, karena RENSTRA dan RENOP harus terus menerus disesuaikan dengan kondisi realistik organisasi (analisis internal) dan kondisi lingkungan (analisis eksternal) yang selalu berubah terutama karena pengaruh globalisasi. Dengan kata lain Manajemen Strategi sebagai pengelolaan dan pengendalian yang bekerja secara realistik dalam dinamikanya, akan selalu terarah pada Tujuan Strategi dan Misi yang realistik pula.
2) Implementasi Manajemen strategi melalui realiasi RENSTRA dan RENOP berfungsi sebagai pengendali dalam mempergunakan semua sumber daya yang dimiliki secara terintegrasi dalam pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen, agar berlangsung sebagai proses yang efektif dan efisien. Dengan demikian berarti Manajemen Strategi mampu menunjang fungsi kontrol, sehingga seluruh proses pencapaian Tujuan Strategi dan perwujudan Visi berlangsung secara terkendali.
3) Manajemen Strategi diimplementasikan dengan memilih dan menetapkan strategi sebagai pendekatan yang logis, rasional dan sistematik, yang menjadi acuan untuk mempermudah perumusan dan pelaksanaan program kerja. Strategi yang dipilihdan disepakati dapat memperkecil dan bahkan meniadakan perbedaan dan pertentangan pendapat dalam mewujudkan keunggulan yang terarah pada pencapaian tujuan strategi.
4) Manajemen Strategi dapat berfungsi sebagai sarana dalam mengkomunikasikan gagasan, kreativitas, prakarsa, inovasi dan informasi baru serta cara merespon perubahan dan perkembangan lingkungan operasional, nasional dan global, pada semua pihak sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Dengan demikian akan memudahkan dalam menyepakati perubahan atau pengembangan strategi yang akan dilaksanakan, sesuai dengan atau tanpa merubah keunggulan yang akan diwujudkan oleh organisasi.
5) Manajemen Strategi sebagai paradigma baru di lingkungan organisasi pendidikan, dapat mendorong perilaku proaktif semua pihak untuk ikut serta sesuai posisi, wewenang dan tanggungjawab masing – masing. Dengan demikian setiap unit dan atau satuan kerja akan berusaha mewujudkan keunggulan di bidangnya untuk memperkuat keunggulan organisasi.
6) Manajemen Strategi di dalam organisasi pendidikan menuntut semua yang terkait untuk ikut berpartisipasi, yang berdampak pada meningkatnya perasaan ikut memiliki (sense of belonging), perasaan ikut bertanggungjawab (sense of responsibility), dan perasaan ikut berpartisipasi (sense of participation). Dengan kata lain manajemen strategi berfungsi pula menyatukan sikap bahwa keberhasilan bukan sekedar untuk menajemen puncak, tetapi merupakan keberhasilan bersama atau untuk keseluruhan organisasi dan bahkan untuk masyarakat yang dilayani.
Berdasarkan uraian tentang keunggulan dan manfaat manajemen strategi di atas perlu dipahami bahwa pengimplementasiannya di lingkungan organisasi pendidikan bukanlah jaminan kesuksesan. Keberhasilan tergantung pada SDM atau pelaksananya bukan pada Manajemen Strategi sebagai sarana. SDM sebagai pelaksana harus terdiri dari personil yang profesional, memiliki wawasan yang luas dan yang terpenting adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap moral dan/atau etika untuk tidak menggunakan manajemen strategi demi kepentingan diri sendiri atau kelompok.
Manajemen Pengendalian Mutu Terpadu (Total Quality Management) di Lingkungan Organisasi Non Profit
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah pada sistem manajemen yang disebut TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini adalah pengawasan menyeluruh dari seluruh anggota organisasi (warga sekolah) terhadap kegiatan sekolah. Penerapan TQM berarti semua warga sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan.
Sebelum hal itu tercapai, maka semua pihak yang terlibat dalam proses akademis, mulai dari komite sekolah, kepala sekolah, kepala tata usaha, guru, siswa sampai dengan karyawan harus benar – benar mengerti hakekat dan tujuan pendidikan ini. Dengan kata lain, setiap individu yang terlibat harus memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh dari individu yang terlibat, tidak mungkin akan diterapkan TQM.
Dalam ajaran TQM, lembaga pendidikan (sekolah) harus menempatkan siswa sebagai “klien” atau dalam istilah perusahaan sebagai “ stakeholders” yang terbesar, maka suara siswa harus disertakan dalam setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yang demokratis manajemen tidak mampu menerapkan TQM, yang terjadi adalah kualitas pendidikan didominasi oleh pihak – pihak tertentu yang seringkali memiliki kepentingan yang bersimpangan dengan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),
Penerapan TQM berarti pula adanya kebebasan untuk berpendapat. Kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim yang dialogis antara siswa dengan guru, antara siswa dengan kepala sekolah, antara guru dan kepala sekolah, singkatnya adalah kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh warga sekolah. Pentransferan ilmu tidak lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan dengan budaya akademis.
Selain kebebasan berpendapat juga harus ada kebebasan informasi. Harus ada informasi yang jelas mengenai arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi maupun secara nasional. Secara internal, manajemen harus menyediakan informasi seluas- luasnya bagi warga sekolah. Termasuk dalam hal arah organisasi adalah program program, serta kondisi finansial. Singkatnya, TQM adalah sistem menajemen yang menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan menghambat potensi perkembangan sekolah itu sendiri.
Dalam era kemandirian sekolah dan era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas dan tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah adalah menciptakan sekolah yang mereka pimpin menjadi semakin efektif, dalam arti menjadi semakin bermanfaat bagi sekolah itu sendiri dan bagi masyarakat luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas dan tanggung jawab para pemimpin sekolah tersebut menjadi nyata, kiranya kepala sekolah perlu memahami, mendalami dan menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yang dewasa ini telah dikembang-mekarkan oleh pemikir – pemikir dalam dunia bisnis. Salah satu ilmu manajemen yang dewasa ini banyak diadopsi adalah TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.
Manajemen Mutu Terpadu (TQM)
Manajemen Mutu Terpadu sangat populer di lingkungan organisasi profit, khususnya di lingkungan berbagi badan usaha/perusahaan dan industri, yang telah terbukti keberhasilannya dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya masing – masing dalam kondisi bisnis yang kompetitif. Kondisi seperti ini telah mendorong berbagai pihak untuk mempraktekannya di lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan lembaga pendidikan.
Manajemen Mutu Terpadu adalah manejemen fungsional dengan pendekatan yang secara terus menerus difokuskan pada peningkatan kualitas, agar produknya sesuai dengan standar kualitas dari masyarakat yang dilayani dalam pelaksanaan tugas pelayanan umum (public service) dan pembangunan masyarakat (community development). Konsepnya bertolak dari manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki, yang harus diintegrasi pula dengan pentahapan pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen, agar terwujud kerja sebagai kegiatan memproduksi sesuai yang berkualitas. Setiap pekerjaan dalam manajemen mutu terpadu harus dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan dan alat), pelaksanaan teknis dengan metode kerja/cara kerja yang efektif dan efisien, untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut Cassio seperti yang dikutip oleh Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.g. statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and training at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.
Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998:45) yang mengatakan bahwa “TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorentasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998:48) menyatakan pula bahwa “Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, karakteristik TQM sebagai berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal
2. Memiliki opsesi yang tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yang terkendali
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.
Pengertian Kualitas di Lingkungan Organisasi Non Profit
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses untuk mewujudkannya, merupakan bagian yang tidak mudah dalam pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini disebabkan oleh karena ukuran produktivitasnya tidak sekedar bersifat kuantitatif, misalnya hanya dari jumlah lokal dan gedung sekolah atau laboratorium yang berhasil dibangun, tetapi juga berkenaan dengan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkannya.
Demikian juga jumlah lulusan yang dapat diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit untuk ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan dengan itu di lingkungan organisasi bidang pendidikan yang bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005: 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa hasil yang dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung dan lokal yang dibangun sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa hasil yang tidak dapat diukur secara kuantitatif, karena bersifat kualitatif yang hanya dapat diketahui setelah melewati tenggang waktu tertentu yang cukup lama.
Masih menurut Hadari Nawawi (2005:47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu dapat dikatakan sukses, jika menunjukkan gejala – gejala sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk dalam memberikan pelayanan umum dan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan peningkatan kualitas SDM terus meningkat.
2. Kekeliruan dalam bekerja yang berdampak menimbulkan ketidakpuasan dan komplain masyarakat yang dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin waktu dan disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin sempurna, terkendali dan tidak berkurang/hilang tanpa diketahui sebab – sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung melalui pengawasan melekat, sehingga mampu menghemat pembiayaan, mencegah penyimpangan dalam pemberian pelayanan umum dan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
6. Pemborosan dana dan waktu dalam bekerja dapat dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan dan keahlian bekerja terus dilaksanakan sehingga metode atau cara bekerja selalu mampu mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai cara bekerja yang paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus meningkat.
Berkenaan dengan kualitas dalam pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio dalam bukunya Hadari Nawawi mengatakan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio juga mengutip pengertian kualitas dari The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada dengan itu dikatakan bahwa : “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Dilihat dari pengertian kualitas yang terakhir seperti tersebut di atas, berarti kualitas di lingkungan organisasi profit ditentukan oleh pihak luar di luar organisasi yang disebut konsumen, yang selain berbeda beda, juga selalu berubah dan berkembang secara dinamis.
Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan tidak mungkin diwujudkan jika tidak didukung dengan tersedianya sumber – sumber untuk mewujudkan kualitas proses dan hasil yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat, terdapat berbagai sumber kualitas yang dapat mendukung pengimplementasian TQM secara maksimal. Beberapa di antara sumber – sumber kualitas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting karena berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan dan kebijakan, pemilihan dan pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini tidak mungkin diciptakan dan dikembangkan pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen yang berorentasi pada kualitas produk dan pelayanan umum.
2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat penting karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang berkualitas, sangat tergantung pada ketersediaan informasi dan data yang akurat, cukup/lengkap dan terjamin kekiniannya sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas pokok organiasi.
3. Sumberdaya manusia yang potensial
SDM di lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif dalam arti dapat dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM juga merupakan potensi yang berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) untuk mewujudkan eksistensinya. Kualitas pelaksanaan tugas pokok sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh SDM, baik yang telah diwujudkan dalam prestasi kerja maupun yang masih bersifat potensial dan dapat dikembangkan.
4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi dalam organisasi sebagai sumber kualitas, sama pentingnya satu dengan yang lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi harus dilibatkan secara maksimal, sehingga saling menunjang satu dengan yang lainnya.
5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber – sumber kualitas yang ada bersifat sangat mendasar, karena tergantung pada kondisi pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau dapat memohon untuk dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM tidak boleh digantungkan pada individu kepala sekolah sebagai sumber kualitas, karena sikap dan perilaku individu terhadap kualitas dapat berbeda. Dengan kata lain sumber kualitas ini harus ditransformasikan pada filsafat kualitas yang berkesinambungan dalam merealisasikan TQM.
Semua sumber kualitas di lingkungan organisasi pendidikan dapat dilihat manifestasinya melalui dimensi dimensi kualitas yang harus direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama dengan warga sekolah yang ada dalam lingkungan tersebut. Dimensi kualitas yang dimaksud adalah :
a. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja dalam arti unjuk perilaku dalam bekerja yang positif, merupakan gambaran konkrit dari kemampuan mendayagunakan sumber – sumber kualitas, yang berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi organisasi (sekolah).
b. Iklim Kerja
Penggunaan sumber sumber kualitas secara intensif akan menghasilkan iklim kerja yang kondusif di lingkungan organisasi. Di dalam iklim kerja yang diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yang efektif melalui kerja di dalam tim kerja, yang saling menghargai dan menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif dan inovasi untuk selalu meningkatkan kualitas.
c. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber sumber kualitas secara efektif dan efisien akan memberikan nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap dalam melaksanakan tugas pokok dan hasil yang dicapai oleh organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat pada rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yang dilayani (siswa).
d. Kesesuaian dengan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber – sumber kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi pada kemampuan personil untuk menyesuaikan proses pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya dengan karakteristik operasional dan standar hasilnya berdasarkan ukuran kualitas yang disepakati.
e. Kualitas Pelayanan dan Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yang dapat diamati dari pendayagunaan sumber – sumber kualitas yang efektif dan efisien terlihat pada peningkatan kualitas dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada siswa.
f. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan sumber sumber kualitas yang sukses di lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui dari persepsi masyarakat (brand image) dalam bentuk citra dan reputasi yang positip mengenai kualitas lulusan baik yang terserap oleh lembaga pendidikan yang lebih tinggi ataupun oleh dunia kerja.
Sumber:
Nawawi. Hadari. (2003); Manajemen Strategik, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Memahami Konsep Kualitas
1. Konsep Kualitas
Westely dan Mintzberg membuat suatu pertanyaan yang penting bagi beberapa konsep, yaitu: Suatu proses yang asing tampaknya terpikir sebagai konsep seperti juga halnya budaya dan karisme, yang bergerak dari praktek menjadi suatu riset akademik. Hilangnya penggunaannya tersebut dalam prektek, seiring dengan prosesnya menjadi subjek akademik serta upaya untuk meletakkan dasar serta menjadi siuatu kepemilikan, untuk menyumbangkan pada dunia ilmiah. Dalam prosesnya mengeksperisikan kenyatan yang bahwa para praktisi yang ada mulanya mencoba untuk menggungkap maknanya (Westely dan Mintzberg). Kualitas adalah sutu ide yang dinamis dan agar perbedaan mengenai pengertian kualitas tersebut tidak mengakibatkan timbulnya kebinggungan, maka diperlukan diskusi mengenai hal tersebut.
Kualitas dalam percakapan sehari-hari utamanya digunakan sebagi suatu konsep yang absolut. Kualitas dapat juga dikaji sebagai konsep yang relatif, kualitas bukan sebagai atribut suatu produk atau pelayanan, tetapi sebagi sesuatu yang hakiki. Defenisi relatif kualitas ini memiliki dua aspek. Pertama, adalah pengukuran pada spesifikasinya. Kedua, memenuhi keperluan pelanggan.
Peters berargumentasi bahwa kualitas yang dirasakan oleh produk bisnis atau pelayanan adalah yang paling penting (faktor terpenting) yang mempengaruhi perfoma pruduk tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa kulitas yang didefenisikan oleh pelanggan lebih penting daripada harga, terutama dalam memnentukan permintaan terbesar akan barang dan jasa.
2. Quality Control, Quality Assurance, dan Total quality
Quality control adalah konsep kualitas tertua. Konsep ini melibatkan deteksi dan elimininasi komponen atau produk akir yang tidak memenuhi standar. Total Quality Managemen mengabungkan Quality assurance, untuk kemudian diperluas dan dikembangkan.
3. Produk dalam konteks pendidikan
Jika produk merupakan subjek, jaminan kualitas adalah prosesnya, maka diperlukan pemahaman spesifikasi dan pengawasan sumber supply dan raw material (bahan masukan mentah) yang ahrus memenuhi standar proses, seta autput yang harus didefenisikan spesifikasinya. Dalam pendidikan modelnya tidak semudah itu karena diperlukan seleksi awal. Peserta didik yang telah “dipoduksi” tidak mungkin untuk memberikan jaminan dengan jaminan standar tertentu.
4. Pendidikan dan Pelanggannya
Dalam hal ini pendidikan dapat didefinisankan sebagai penyedia jasa. Jasa yang diberikan termasuk biaya pendidikan, penilaian, dan bimbingan bagi peserta didik, orang tua peserta didik dan pendudukung lainya.
Dalam konsep TQM anggota staf adalah disebut sebagai pelanggan internal. Salah satu tujuan TQM adalah untuk merubah hubungan internal menjadi lebih operasional tampa adanya konplik intrernal dan persaingan.
5. Menserasikan Perbedaan Kebutuhan Pelanggan
Suatu metode yang dapat memutuskan perbedaan minat adalah dengan menyadari ekstensinya dalam organisasi tersebut serta merta pemecahan inti isu yang dapat mempersatukanya.
Total Quality Management (TQM) Dalam Konteks Pendidikan
TQM adalah suatu filosofi suatu peningkatan yang berkelanjutan, yang dapat dijadikan alat peraktis oleh lembaga pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, serta harapan pelanggan sekarang dan di masa depan.
TQM bukan merupakan inspeksi, tetapi TQM adalah sebuah upaya untuk mengerjakan segala sesuatu benar sejak dari sejak awal proses setiap waktu terjadi.
Sebagai suatu pendekatan, TQM mencari suatu bentuk permanen dalam lembaga, sehingga fokusnya bukan di arahkan pada kebijakan jangka pendek melainkan diarahkan pada peningkatan kualitas jangka panjang.
TQM juga merupakan sebuah Kaizen, yaitu pendekatan yang mengarah pada peningkatan secara berkelanjutan (tahap demi tahap).
TQM merupakan perubahan budaya. TQM memerlukan sutu sikap perubahan dan metode kerja. Perubahan bukan hanya tentang merubah perilaku staf, karena perubahan budaya memerlukan suatu perubahan dalam manajemen dan kepemimpinan lembaga.
1. Up Side down Organization (Pola Hubungan Ke Atas, Samping –Bawah)
Konsep ini memberikan implikasi yang sangat besar bagi organisasi dan hubungan didalamnya. Focus budaya organisasi ini tidak mempengaruhi struktur kewenangan di sekolah dan juga tidak mengurangi esensi kepemimpinan manajer senior.
2. Menjaga Kedekatan Hubungan dengan Pelanggan
TQM sangat memerlukan strategi untuk mencapai apa yang dibutuhkan oleh organisasi. Pendidikan menghadapi suatu pertimbangan dalam hubunganya dengan pelanggan eksternal. Karena, pelanggan pendidikan memainkan peran penting dalam kualitas sesuai dengan pemahamanya.
Kolega-kolega yang ada dalam organisasi juga disebut pelanggan. Cara yang terbaik untuk mengembangkan pelanggan adalah dengan menolong secara individual guna mengidenfikasikan orang yang harus diberi pelayanan.
3. Pemasaran Internal
Pemasaran internal adalah penting untuk mengkomunikasikan berbagai informasi pada staf, guna menyakinkan mengenai kejadian yang sedang terjadi di oeganisasi, sehinga staf memiliki kesempatan untuk memberikan ide umpan balik.
4. Profesionalisme Dan Focus Pelanggan
Terdapat demensi tambahan dari pekerja professional dalam bidang pendidikan, yang secara tradisonal memandang dirinya sebagai “penjaga” kualitas dan standar TQM menekan kan bahwa anggapan “raja” pada pelanggan dapat menyebabkan timbulnya beberapa konplik dengan konsep professional yang tradisional.
5. Kualitas Belajar
Pendidikan adalah mencakup yang belajar. Jika TQM ingin direlevansiakn dengan pendidikan, maka perlu untuk menentukan arah kualitas dari pengalaman belajar. Peseta didik adalah pelanggan utama.
6. Hambatan pada Saat Mensosialisakan TQM
TQM memerlukan kerja keras, disamping memang diperlukan waktu untuk mengembangakan suatu budaya kualitas. Senior menager juga harus menaruh kepercayaan pada stafnya. Manager harus dapat memberikan kesempatan pada stafnya untuk dapat mengambil keputusan secara bijaksana.
Model- Model Kualitas
1. Filosofi Kualitas dari Deming
Deming mengkonsentrsikan pada masalah kesalahan atau kegagalan manajemen untuk dijadikan dasar perancanaan dimasa yanga akan datangserta untuk meramalkan masalah yang mungin timbul sebelum terjadi. Deming percaya bahwa pendekatan berdasarkan pemikiran jangka pendek akan mengakibatkan pemborosan dan meningkatkan biaya yang berakibat pula meningkatkan harga belim konsumen.
Deming mengemukakan 14 point sebagai campuran dari filosofi kualitas baru dan menjadi daya tarik bagi manajemen untuk merubah gaya pendekatan mereka. 14 point tersebut yaitu:
a. Menciptakan konsistensi
b. Adopsi filosofi baru
c. Menghentikan ketergantungan atas adanya inspeksi digantikan dengan upaya pencapain kualitas
d. Hentikan anggapan bahwa pebghargaan dalam bisnis adalh terletak pada harga
e. Peningkatan system produksi dan layanan
f. Pelatihan dalam kerja
g. Kepemimpinan lembaga
h. Hilangkan rasa takut
i. Hilangakan penghalang atar departemen
j. Kurangi selogan
k. Kurangi standar kerja yang menentukan kuota berdasarkan jumlah
l. Hilangkan penghambat
m. Lembagakan suatu program pendidikan
n. Setiap orang dalam perusahaan bekerjasama dalam mendukung proses stranformasi.
2. Kegagalan kualitas
Penyebab umum adalah adanya kegagalan sistem, yaitu yang berkaitan dengan proses internal organisasi. Dengan kata lain disebabkan oleh sumber-sumber pendidikan itu sediri,termasuk desain kurikulum, gedung sekolah yang kurang terwat, lingkungan kerja yang buruk, setem dan prosudur yang tidak sesuai, penjadwalan tidak memadai, kuranganya sumber-sumber yang penting dan pengembangamn staf yang tidak memadai.
Selain penyebab umum, kualitas juga disebabkan oleh kegagalan khusus yaitu berupa peraturan yang tidak ditaati, staf yang tidak memiliki keterampilan, kurangnya pengetahuan dan keterampialn dari staf tertentu, kurangnya motifasi, kegagalan komunukasi, atau masalah dengan peralatan khusus.
3. Peranan manajer dalam mengatasi masalah
Sering dikemukakan dalam literatur TQM bahwa keberhasilan peningkatan kualitas memerlukan komitmen dari pihak manajemen. Komitmen tersebut bukan sekedar memberikan dukungan atas usaha yang dilakukan, tetapi juga komitmen atas tanggung jawab untuk mencari solusi masalah yang dihadapi.
4. Proyek Manajemen dari Joseph Jusan
Joseph juran termasuk salah satu pelopor repolusi kualitas di Jepang. Ide-ide penting dari Juran adalah bahwa produk atau jasa harus dapat menemukan spesifikasi mungkin belum dapat memenuhi apa yang diinginkan pelanggan.
Juran percaya bahwa kebanyakan masalah kualitas dapat diatasi dengan kembali pada keputusan manajemen. Menurut Juran 85% dari masalah kualitas dalam organisasi merupakan akikbat buruknya desain proses. Dalam mempertimbangakan peranan kepemimpinan dalam kualitas Juran mengajukan peraturan 85 /15.
5. Strategi Manajemen Kualitas
Untuk membantu manajer dalam perencanaan kualitas Juran telah mengembangkan suatu pendekatan yang disebut Strategi Quality Management (SQM). SQM merupakan tiga bagian proses berdasarkan perbedaan tingkatan staf yaitu antara senior manager, manager madya, dan kekuatan kerja.
Philip Crosby mengemukakan du aide kualitas yang sangat menarik dan sangat berpengaruh, yaitu: Pertama, kualitas adalah gratis, maksudnya adalah pemborosan dan ketidak efesienan pada kebnyakan system dapat dihemat dan dibayar oleh program peningkatan kualitas kedua, danyakan bahwa kesalahan, kegagalan, pemborosan dan seluruh hal yang tibdak mencerminkan kualitas dapat dihapus seluruhnya jika lembga memiliki keinginan.
Crosby memprogramkan dalam peningkatan kualitas terdiri dari 14 langkah, yaitu:
1. Managemen Comitment
2. Quality Improment team
3. Quality Measurement (pengukuran Kualitas)
4. Cost of Quality
5. Quality awareness
6. Carrcteve action
7. Zero defects Planning
8. Supervisor Traunnig
9. Zero defect Day
10. Goal Setting
11. Error Cause Removal
12. Recongnition (pengakuan)
13. Quality Councils (dewan kualitas)
14. Do it over Again (kerjakan secara terus menerus)
BS5750 dan ISO9000
1. Pentingnya Pendidikan Mempertimbangkan BS5750
BS5750 dan ISO9000 merupakan alat. pemasaran yang potensial dan berpengaruh, khususnya bagi organisasi yang dapat mencantumkan logo registrasi tersebut pada produknva sebagai simbol kualitas produk. Ini juga dapat menempatkan lembaga pendidikan (FE dan HE) dalam posisi monopoli jika BS5750/IS09000 diberikan oleh Trainning and Enterprise Council atau Scotish Lokal Enterprise Company setempat bagi suatu kontrak peladhan. BS5750 identik dengan Standar Eropa EN29000, standar kualitas internasional setara dengan standar kualitas Amerika Serikat Q90. Hal ini dapat disejajarkan dengan suatu hubungan internasional atau perjanjian (kontrak) secara internasional.
BS5750 pertama kali. dipublikasikan tahun 1979 dalam suatu. nama Quality System. Aslinya ada dalam Kementrian Pertahanan (Departemen Pertahanan) dan sistem NATO, yang disebut dengan AQAP (Allied Quality Assurance Procedures). BS5750 terdiri dari empat bagian. Pertama, dapat diaplikasikan pada organisasi yang pendesain, mengembangkan produk atau proses sebagai bagian penting organisasi bisnis. Kedua, diterapkan pada mayoritas organisasi dan oleh BSI dapat diterapkan pada kebanyakan lembaga pendidikan. Ketiga, adalah bagi organisasi yang terlibat dalam produksi dalam pengujian dan pemeriksaan produk. Keempat, merupakan bagian yang menjadi pedoman bagi ketiga bagian lain.
BS5750/IS09000 merupakan hal baru dalam bidang pendidikan. BSI membimbing proses penerapan standar tersebut dalam bidang pendidikan dan hanya mengadakan Trainning pada.tahun 1992. ISO belum memiliki aturan untuk pendidikan dan pelatihan, walaupun dalam prosesnya juga mengembangkan aspek tersebut. Karena bahasa asal yang dipakai dalam standar tersebut diterapkan dalam bidang industri dan belum dikenal di kalangan orang pendidikan. Untuk itu perlu dipertimbangkan translansinya kedalam konteks pendidikan.
2. Hubungan Antara BS5750/IS09000 dan TQM
Hubungan antara TQM dan BS5750/IS09000 merupakan topik yang diperdebatkan. TQM tidak mengusahakan tarif solusi. Setiap lembaga pendidikan memiliki budaya yang unik, budaya khusus tersebut membutuhkan pernyataan dimana TQM dan BS5750/IS09000 dapat melaksanakan bersama dan dinilai saling melengkapi. Terdapat sejumlah kemungkinan untuk melihat hubungan antara TQM dan BS5750/IS09000. Dalam TQM Peter Hinley dan Edwars Sallis menidentifikasikan empat model dari hubungan antara TQM dan BS5750/IS09000 yaitu:
1. BS5750/IS09000 dapat menjadi langkah awal bagi pelaksanaan Total Quality.
2. Posisi BS5750/IS09000 merupakan jantung TQM, sehingga standar ini menjadi fondasi bagi peningkatan selanjutnya,
3. BS5750/IS09000 memiliki peranan yang kecil dalam TQM pada skala besar. Dalam model ini kualitas ditunjukkan oleh partisipasi aktif dalam usaha kerja dalam suatu tim peningkatan dan bukan sekedar diatas kertas.
4. Model Keempat ini memandang dengan cara yang berbeda terutama dalam meninjau hubungan antara BS5750/IS09000 dan standar kualitas eksternal. Menurut model ini BS5750/IS09000 dianggap tidak relevan, karena dipandang sebagai birokrasi pendidikan.
Tanda Kualitas
Tanda kualitas dan standar kualitas dapat berperan dalam TQM. Kedua standar dapat memberikan pesan penting kepada para pelanggan.
1. BS7850 Pedoman bagi Total Quality Management
BS7850 bukan standar, dan tidak memiliki sebuah system penilaian pihak ketiga. BS7850 tidak dirancang untuk menjadi pemberi petunjuk dan penentu. Ia merupakan pedoman pendekatan dan metodelogi yang dilakukan sebuah organisasi untuk mengadopsi TQM.
BS7850 memiliki dua bagian, bagian pertama memberikan petunjuk tentang pernyataan misi, komitmen manajemen, kepuasan pelanggan, kerugian-kerugian kualitas, partisipasi keseluruhan, menciptakan struktur organisasi yang sesuai, pengukuran performa, pelatihan,dan alat serta teknik. Bagian kedua, menjelaskan tema bagian pertama dan memberikan metodologi dan pengukuran kualitas secara mendetail.
2. Investasi pada Personal
Investor in People (IIP) pertama disebarluaskan pada bulan Oktober 1991. IIP memberikan metodologi untuk pengembangan staf yang dapat membantu pencapaian tujuan organisasi. Elemen-elemen penting yang dipuaskan bagi suatu organisasi agar menjadi IIP adalah:
a. Komitmen umum dari atasan untuk mengembangkan seluruh staf untuk mencapai tujuan organisasi.
b. Rencana tertulis dari lembaga yang mengidentifikasikan tujuan organisasi dan targetnya.
c. Pengkajian ulang secara teratur terhadap pelatihan dan pengembangan staf secara keseluruhan.
d. Lakukan latihan dan pengembangan individual melalui karirnya.
e. Evaluasi investasi dalam pelatihan dan pengembangan serta suatu evaluasi dari efektivitas proses pengembangan staf.
3. The deming Prize
Deming prize merupakan penghargaan pribadi di jepang atas kualitas yang berhasil di capai. Aspek-aspek yang dinilai dalam deming prize meliputi: kebijakan perusahaan dan tujuan perusahaan, struktur organisasi, termasuk kerjasama antar divisi dan penggunaan Quality Circles, pendidikan Subcontractor, pendidikan dalam proses pengawasan statistic, penggunaan informasi statistik, analisis statistic, analisis statistic dan hasilnya, standarisasi, pengawasan system, prosedur keselamatan, pengukuran dan inspeksi, pengaruh peningkatan kualitas, dan rencana perusahaan di masa depan.
4. The Malcolm Balridge Award
Malcolm Balridge Award ini merupakan kompetisi tahunan. Adapun kriterianya meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. The driver (Kepemimpinan)
b. The System
c. Pengukuran
d. Tujuan
5. The European Quality Award
Tujuan European Quality Award ini adalah untuk memperkaya pengembangan Total Quality. Kriteria yang ditetapkannya adalah sebagai beriktu:
a. Kepuasan pelanggan
b. Kepausan pegawai
c. Performa bisnis
d. Pengaruh organisasi di masyarakat
6. The Citizen’s Charter
Program ini didesain untuk meningkatkan pelayanan umum dan memberikan kepada orang-orang pilihan yang lebih banyak. Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam standar penghargaan ini adalah:
a. Publikasi standar pelayanan dan performa berdasarkan ketetapan standar tersebut.
b. Konsultan pelanggan.
c. Informasi yang jelas tentang jasa yang diberikan.
d. Pelayanan bagi pelanggan dengan sopan dan efisien.
e. Prosedur penyampaian keluhan.
f. Validasi yang independen tentang performa dan komitmen terhadap nilai uang.
7. Pemilihan Standar Kualitas Eksternal
Yang penting dalam pemilihan standar kualitas eksternal adalah bahwa kompetesi Deming Prize, Malcolm Balridge Award, dan European Quality Award lebih dapat diaplikasikan dalam TQm daripada BS550/ISO9000, dan lebih umum diaplikasikan daripada investor in people. Kompetesi ini dan BS5750 dapat sangat berguna dalam criteria internal Audit TQM. Di masa datang banyak lemabaga pendidikan akan mempertimbangkan secara serius untuk menggunakan konsep-konsep tersebut.
Pertimbangan Organisasional
1. Daur Hidup Organisasi
TQM dengan kekuatannya merupakan strategi perencaan jangka panjang dan melibatkan seluruh staf dalam peningkatan yang berkelanjutan, memberikan alat untuk menghadapi tantangan bagi setiap tahap. Setiap tahap dalm daur hidup organisasi memiliki tantangannya sendiri. Pada setiap tahap tersebut suatu lembaga harus berubah, baradaptasi dan berkembang.
Tahap-tahap dalam daur organisasi yaitu:
a. Kelahiran dan formasi organisasi.
b. Pertumbuhan dan pengembangan
c. Kematangan /pembaharuan
2. Organisasi Tradisional dan Organisasi TQM
Organisasi tradisional akan mengalami kesulitan dalam menghadapi tekanan perubahan yang semakin meningkat. Organisasi ini terdapat hambatan departemental, kurangnya misi, hierarki yang begitu banyak hambatan, dan kepercayaan yang berlebihan pada prosedur yang kaku. Organisasi TQM memiliki pandangan yang berbeda, kualitas diintegrasikan pada struktur dan menyadari bahwa kualitas melibatkan setiap orang di seluruh tingkatan dan organisasi berpotensi untuk memberikan kontribusi.
Jika suatu sekolah beraspirasi untuk menjadi lembaga yang memiliki Total Quality, maka sekolah harus bersikap inovatif dan harus berada di depan untuk menebarkan visi yang diterapkan dalam misinya.
Bab VIII: Kepemimpinan Pendidikan Dalam Kualitas
Kepemimpian adalah hal yang esensi dalam TQM. Pemimpin harus memiliki visi dan dapat mentedemahkannya ke dalarn kebijakan dan tujuan khusus dengan jelas.
Dalam kualitas pendidikan menurut Peter dan Austin memerlukan seorang pemimpin. Pemimpin pendidikan membutuhkan kualifikasi berikut:
1. Visi dan simbol.
2. Management by Walking About merupakan hal yang diperlukan oleh gaya kepemimpinan untuk setiap lembaga.
3. For The Kids dalam pendidikan konsep tersebut identik dengan ”dekat dengan pelanggan".
4. Otonomi, percobaan, dan dukungan pada kegagalan.
5. Menciptakan perasaan kekeluargaan.
6. Rasa kesatuan, irama, keinginan, intensitas dan antusias.
Tanpa kepemimpinan pada setiap tingkatan lembaga, maka proses peningkatan tidak dapat dilakukan secara terus menerus. .Komitmen pada kualitas merupakan peran utarna dari pemimpin pendidikan. Adanya kegagalan pada proses penerapan TQM utarnanya disebabkan oleh kurangnya komitmen dari pemimpin.
Secara khusus, manajer yang berada dalam organisasi yang tidak menerapkan TQM memerlukan 30% dari waktunya untuk mengantisipasi kegagalan system, keluhan-keluhan dan perjuangan keras. Dengan adanya TQM, para manajer dapat lebih menghemat waktu sehingga memiliki banyak waktu untuk memimpin, canakan, mengembangkan ide-ide barn dan bekerja lebih dekat pelanggan.
Spanbauer menggambarkan rencana kepemimpinan untuk menciptakan suatu lingkungan pendidikan yang baru. Secara khusus ia memfokuskan pada kepemimpinan untuk pemberian wewenang. Kesimpulan yang diajukannya adalah sebagai berikut:
1. Melibatkan guru dan seluruh staf dalam aktivitas pemecahan masalah, dengan menggunakan metode ilmiah dan prinsip statistik kualitas serta proses pengawasan.
2. Mintalah guru untuk mengemukakan bagaimana pola berpikir tentang hal dan bagaimana proyek dapat diatasi
3. Sebarluaskan informasi manajemen seluas mungkin untuk menyebarkan komitmen.
4. Mintalah staf untuk menentukan sistem dan prosedur mana yang, bersifat preventif dalam kaitannya dengan pemberian kualitas pada para pelanggan.
5. Memahami bahwa keinginan untuk meningkatkan kemampuan guru tidak sesuai jika pendekatan manajemennya dari atas ke bawah.
6. Perbaharui pertumbuhan profesional dengan meningkatkan tanggung jawab sebagai suatu bentuk pengawasan untuk pengembangan profesional langsung pada guru selaku pekerja teknis.
7. Mengembangkan kemampuan dalam resolusi konflik, problem solving, dan negosiasi.
8. Berikan pertolongan tanpa menimbulkan rasa rendah diri.
9. Berikan pendidikan dalam konsep kualitas dan subyek dalam bentuk tim, proses manajemen, layanan pada pelanggan, komunikasi, dan kepemimpinan.
10. Berikan model dengan menunjukkan kepribadian yang diharapkan.
11. Pelajari lebih banyak dengan berperan sebagai pelayan bukan bos.
12. Berikan otonomi dan beri kepercayaan untuk menerima resiko atas pekerjaan yang dilakukan.
13. Gunakan tindakan yang seimbang untuk meyakinkan kualitas yang diberikan pada pelanggan eksternal (siswa, orang tua, dan pembayar pajak), sementara itu beri perhatian pada kebutuhan internal.
Tim Kerja Kualitas
1. Tim merupakan pondasi dalam kualitas
Untuk menciptakan TQM yang efektif, maka konsep budaya tim kerja harus diperluas dan dipenetrasikan pada seluruh organisasi dan digunakan secara luas, termasuk untuk pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Kekuatan yang dibutuhkan untuk peningkatan kualiatas adalah datang dari orang-orang yang bekerja secara harmonis. Konsep inovatif Strategic Quality Management dari Miller, Dower dan Innish, menyatakan bahwa adanya tim merupakan pondasi bagi peningkatan kualitas secara lebih jauh dalam pendidikan. Tim dalam pendidikan yang penting misalnya Course Team (Tim Mata Pelajaran, misalnya: KKG-kelompok Kerja Guru). Tim ini dipandang memiliki fungsi penting seperti:
1. Meningkatkan tanggung jawab atas kualitas pengajaran.
2. Meningkatkan tanggung jawab atas penggunaan waktu guru, penggunaan waktu staf dan material yang digunakan.
3. Berfungsi sebagai sarana untuk monitoring, evaluasi, dan penignkatan kualitas.
4. Bertindak sebagai penyampai informasi, pada manajemen.
2. Tahap Formasi tim
Tim memerlukan waktu untuk tumbuh dan menjadi matang. B. W. Tuckman bahwa terdapat empat tahap dalam perkembangan suatu tim, yaitu:
1. Forming
Pada tahap ini belum menjadi tim. Dalam tahap ini terjadi upaya pengumpulan individu yang berbeda optimisme, idealisme, kebanggaan dan antisipasi terhadap rasa ingin tahu.
2. Storming
Pada tahap ini anggota mulai menyadari akan skala tugas mereka, sehingga dapat menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Sisi positif dari tahap ini adalah terjadinya upaya saling memahami pribadi satu sama lain.
3. Norming
Pada tahap ini suatu tim memutuskan dan mengembangkan metode kerjanya. Tim menetapkan aturan atau norma-norma yang dianutnya serta memilih peran apa yang harus dijalankan oleh anggota.
4. Performing
Pada tahap ini dapat menunjukkan jati dirinya melalui tugas yang dikerjanya, sehingga pada tahp ini pula anggota tim dapat mulai memecahkan masalah dan melakukan upaya peningkatan proses.
3. Quality Circles (Gugus Kualitas)
Kualitas bersinonim dengan Quality Circles (Gugus Kualitas). Kauro Ishikawa, seorang penulis terkemuka di jepang memandang bahwa Quality Circles adalah dasar dari proses peningkatan kualitas.
Tujuan dari Quality Circles (Gugus Kualitas) adalah:
a. Menyumbang pada peningkatan dan pengembangan perusahaan.
b. Menghormati hak kemanusiaan dan membangun suasana kerja yang bahagia dan cerah.
c. Melatih kapabilitas manusia secara utuh, dan bahkan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan.
Alat Dan Teknik Untuk Peningkatan Kualitas
Alat dan Teknik kualitas adalah alat untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Alat-alat dan teknik yang dapat digunakan untuk peningkatan kualitas adalah sebagai berikut:
1. Brainstorming (Sumbang Saran)
Brainstorming adalah alat TQM yang ideal, karena dengan cara ini memungkinkan pengembangan kreativitas tim dan memberikan kesempatan pada mereka untuk menyampaikan ide dan isu secara cepat.
2. Diagram Tulang Ikan dari Ishikawa
Diagram ini menggambarkan beberapa penyebab yang mempengaruhi proses. Proses ini digambarkan dengan memilih dan menghubungkan penyebab dengan akibat yang ditimbulkannya.
3. Force Field Analysis
Force Field Analysis adalah suatu alat yang berguna untuk mempelajari suatu situasi yang memerlukan perubahan.
4. Proses Charting
Teknik ini dapat digunakan untuk meyakinkan bahwa organisasi mengetahui siapa sebenarnya pelanggannya dan dapat mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan untuk melayani para pelanggan tersebut.
5. Flowchart
Flowchart merupakan alat penting jika suatu masalah merupakan pendekatan secara sistematik, atau jika aktivitas memerlukan penjelasan melalui bagan.
6. Analisis Pareto
Diagram Pareto merupakan bentuk sederhana dari Bar Chart yang berbentuk vertical yang dapat membantu memecahkan masalah kualitas.
7. Benchmarking
Bencmarking merupakan alat untuk merupakan suatu keuntungan kompetitif, yaitu tentang penemuan siapa yang terbaik dan mencari yang lebih baik.
8. Career Path Mapping (Pengambaran Jalan Karir)
Penggambaran karir peserta didik melalui organisasi merupakan alat sederhana untuk mengidentifikasi kejadian penting atau hambatan yang potensial dalam merintis karirnya.
Perencanaan Strategis Untuk Kualitas
Kualitas tidak terjadi begitu saja, tetapi harus direncanakan. Kualitas memerlukan pendekatan secara sistematik dengan menggunakan proses perencanaan yang strategis. Tanpa arahan jangka panjang yang jelas, organisasi tidak dapat merencanakan peningkatan kualitas. Rangkaian proses perencanaan strategis yang bisa diadopsi oleh institusi pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Visi
Pernyataan visi (pandangan) mengkomunikasikan pokok-pokok tujuan organisasi dan untuk apa organisasi tersebut berdiri.
2. Misi
Pernyataan visi sangat berkaitan dengan visi, dan merupakan arahan bagi masa kini dan masa yang akan dating. Pernyataan misi memperjelas perbedaan antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya.
3. Nilai-nilai
Nilai-nilai organisasi merupakan prinsip operasional dan arahan untuk mencapai visi dan misi organisasi. Nilai-nilai tersebut mengekspresikan kepercayaan atau keyakinan dan aspirasi lembaga.
4. Cita-cita
Visi, misi dan nilai-nilai perlu diterjemahkan dalam cita-cita yang dapat dicapai. Yang penting disini adalah bahwa cita-cita mengekspresikan tujuan dan sasaran.
5. Riset Pasar
Riset Pasar dapat digunakan untuk menentukan isu yang muncul dari kalangan pelanggan. Dari riset ini diperoleh data tentang image organisasi dimana organisasi memiliki pelanggan atau kelompok pelanggan potensial yang bervariasi.
6. Analisis Swot
Analisis swot menjadi alat yang biasa digunakan dalam perencanaan strategis di bidang pendidikan, tetapi di nilai paling potensial dan efektif adalah untuk menempatkan potensi organisasi.
7. Rencana Bisnis dan Operasi
Rencana bisnis dan operasi adalah rencana detail jangka pendek, biasanya satu tahun, untuk mencapai aspek-aspek tertentu dari strategi institusional jangka panjang.
8. Kebijakan kualitas dan Rencana kualitas
Kebijakan kualitas merupakan pernyataan komitmen organisasi. Tahap selanjutnya adalah mengembangkan rencana mutu/kualitas. Rencana kualitas harus memiliki tujuan dan sasaran yang jelas yang terkait dengan kualitas.
9. Biaya dan keuntungan
Pembiayaan kualitas adalah tentang pengukuran keuntungan dari peningkatan kualitas. Tujuannya adalah untuk mengurangi hal-hal yang tidak mengarah pada kualitas.
10. Monitoring dan Evaluasi
Proses evaluasi harus difokuskan pada pelanggan dan memperluas dua isu. Pertama, tingkat pemenuhan kebutuhan individual oleh lembaga (baik internal maupun eksternal), kedua, sejauh mana pencapaian misi dan cita-cita .
11. Momen Kebenaran (Moment of Trueth)
Critical Succes Factors (CSFs) kadang disebut Moment of Truth. Hal ini merupakan indicator dari apa yang harus di capai jika lembaga ingin memuaskan pelanggannya dan CSPs ini juga merupakan pernyataan misi organisasi.
12. Rencana Strategis
Rencana Strategis (Strategic Plan), kadang disebut sebagai rencana kerjasama atau rencana pengembangan lembaga. Tujuannya adalah untuk memberikan pedoman dan arahan kepada lembaga.
Sumber:
Sallis, Edward. (1993) Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Limited.
KONSEP STRATEGI
Apa Itu Strategi?
Menurut KBBI, strategi adalah ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang maupun damai. Secara eksplisit, strategi adalah rencana tindakan yang menjabarkan alokasi sumber daya dan aktivitas lain untuk menanggapi lingkungan dan membantu organisasi mencapai sasarannya. Intinya strategi adalah pilihan untuk melakukan aktivitas yang berbeda atau untuk melaksanakan aktivitas dengan cara berbeda dari pesaingnya.
Apakah Manajemen Strategi?
Manajemen strategi (strategic management) adalah seperangkat keputusan dan tindakan yang digunakan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan strategi-strategi yang berdaya saing tinggi dan sesuai bagi perusahaan dan lingkungannya untuk mencapai sasaran organisasi.
Beberapa pertanyaan yang sering diajukan para manajer seperti:
1. Perubahan dan tren apa yang terjadi pada lingkungan yang kompetitif?
2. Siapakah konsumen kita?
3. Produk atau pelayanan apa yang seharusnya kita tawarkan?
4. Bagaimana kita dapat menawarkan produk dan pelayanan seefisien mungkin?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas dapat membantu manajer membuat pilihan mengenai bagaimana memposisikan organisasi yang penuh dengan perusahaan pesaing.
Tujuan Manajemen Strategi
a. Melaksanakan dan mengevaluasi strategi yang dipilih secara efektif dan efisien.
b. Mengevaluasi kinerja, meninjau dan mengkaji ulang situasi serta melakukan berbagai penyesuaian dan koreksi jika terdapat penyimpangan di dalam pelaksanaan strategi.
c. Senantiasa memperbarui strategi yang dirumuskan agar sesuai dengan perkembangan lingkungan eksternal.
d. Senantiasa meninjau kembali kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bisnis yang ada.
e. Senantiasa melakukan inovasi atas produk agar selalu sesuai dengan selera konsumen.
Manfaat Manajemen Strategi
a. Aktivitas formulasi strategi akan mempertinggi kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi perusahaan.
b. Proses manajemen strategi akan memberikan hasil keputusan terbaik dikarenakan interaksi kelompok mengumpulkan berbagai strategi yang lebih besar
c. Keterlibatan karyawan di dalam formulasi strategi akan dapat memperbaiki pengertian mereka atas penghargaan produktivitas di dalam setiap perencanaan strategi dan dengan demikian dapat mempertinggi motivasi kerja mereka.
d. Penerapan manajemen strategi membuat manajemen perusahaan menjadi lebih peka terhadap ancaman yang datang dari luar perusahaan.
e. Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang menggunakan konsep manajemen strategi akan lebih profitable (menguntungkan) dan lebih berhasil daripada yang tidak menerapkannya.
Strategi Besar (Grand Strategy) Adalah rencana umum berupa tindakan-tindakan besar yang digunakan perusahaan untuk meraih sasaran jangka panjang. Strategi besar dibedakan dalam 3 kategori:
1. Pertumbuhan (Growth), dapat dilakukan secara internal meliputi pengembangan dari produk baru atau produk lama yang mengalami perubahan dan secara eksternal dengan memperoleh tambahan divisi bisnis atau diversifikasi yang artinya mengakuisisi bisnis yang terkait dengan lini produk saat itu.
2. Stabilitas (Stability) atau Strategi Diam, artinya adalah bahwa organisasi ingin tetap berada pada ukurannya yang sama atau tumbuh perlahan dengan cara-cara yang masih dapat dikendalikan.
3. Pemangkasan (Retrenchment), berarti organisasi terpaksa melalui periode terjadinya penurunan dengan penyusutan unit bisnis yang ada saat ini atau menjual atau melikuidasi keseluruhan unit bisnis.
Proses Manajemen Strategi
a. Menetapkan arah dan misi organisasi. Setiap organisasi pasti mempunyai visi,misi dan tujuan. Visi,misi dan tujuan ini akan menentukan arah yang akan dituju oleh organisasi. Tanpa adanya visi,misi, dan tujuan maka kinerja organisasi akan berjalan acak dan kurang jelas serta mudah berubah dan diombang-ambingkan oleh situasi eksternal. Perubahan yang tidak mempunyai visi, misi dan tujuan seringkali bertindak spontantitas dan kurang sistematis seperti yang dilakukan oleh pedagang kecil hanya untuk memperoleh sesuap nasi. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi bagi suatu organisasi bisnis (perusahaan) apalagi jika perusahaan tersebut boleh dikatakan skala menengah dan atas.
b. Memahami lingkungan internal dan eksternal. Tujuan analisis lingkungan adalah untuk dapat mengerti dan memahami lingkungan oraganisasi sehingga manajemen akan dapat melakukan reaksi secara tepat terhadap setiap perubahan, selain itu agar manajemen mempunyai kemampuan merespon berbagai isu kritis mengenai lingkungan yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap perusahaan.
Lingkungan terdiri dari lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Lingkungan eksternal berada di luar perusahaan sedangkan lingkungan internal berada di dalam perusahaan. Lingkungan eksternal: Memiliki dua variabel yakni peluang (opportunity) dan acaman (threats) Terdiri dari dua bagian yaitu lingkungan tugas dan lingkungan umum. Lingkungan internal: Memiliki dua variabel yakni kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Mencakup semua unsur bisnis yang ada di dalam perusahaan seperti struktur organisasi perusahaan, budaya perusahaan dan sumber daya.
c. Memformulasikan strategi. Formulasi strategi melibatkan penetapan serangkaian tindakan yang tepat guna mencapai tujuan perusahaan. Formulasi strategi ini meliputi pengembangan misi bisnis, analisa SWOT: mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal serta mengukur dan menetapkan kelemahan dan kekuatan internal dan menetapkan tujuan jangka panjang. Analisa SWOT merupakan singkatan dari strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (peluang) dan threats (ancaman). Pendekatan ini mencoba menyeimbangkan kekutaan dan kelemahan internal organisasi dengan peluang dan ancaman lingkungan eksternal organisasi. Kekuatan (strength) adalah suatu kondisi di mana perusahaan mampu melakukan semua tugasnya secara sangat baik (diatas rata-rata industri). Kelemahan (weakness) adalah kondisi di mana perusahaan kurang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik di karenakan sarana dan prasarananya kurang mencukupi. Peluang (opportunity) adalah suatu potensi bisnis menguntungkan yang dapat diraih oleh perusahaan yang masih belum di kuasai oleh pihak pesaing dan masih belum tersentuh oleh pihak manapun. Ancaman (threats) adalah suatu keadaan di mana perusahaan mengalami kesulitan yang disebabkan oleh kinerja pihak pesaing, yang jika dibiarkan maka perusahaan akan mengalami kesulitan dikemudiaan hari.
d. Mengimplementasikan strategi. Didalam implementasi strategi, perusahaan diharapkan menetapkan atau merumuskan tujuan perusahaan tahunan (annual objective of the business), memikirkan dan merumuskan kebijakan, memotivasi karyawan serta mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang telah di formulasikan dapat dilaksanakan. Mengimplementasikan berarti menggerakan para karyawan dan manajer untuk menempatkan strategi yang telah formulasikan menjadi tindakan nyata. Implementasi strategi memerlukan kinerja dan disiplin yang tinggi tetapi juga diimbangi dengan imbalan yang memadai. Tantangan implementasi adalah menstimulir para manajer dan karyawan melalui organisasi agar mau bekerja dengan penuh kebanggaan dan antusias ke arah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
e. Mengevaluasi dan mengawasi strategi. Evaluasi dan pengawasan strategi merupakan tahap terakhir di dalam proses strategi. Pada dasarnya evaluasi strategi mencakup 3 hal, yaitu:
i. Mereview faktor internal dan eksternal yang menjadi dasar bagi strategi yang sedang berlangsung,
ii. Mengukur kinerja yang telah dilakukan, dan
iii. Mengambil berbagai tindakan perbaikan. Evaluasi strategi sangat diperlukan sebab keberhasilan perusahaan dewasa ini tidak menjadi jaminan keberhasilan perusahaan di masa yang akan datang.
Strategi Korporasi (Corporate Strategy)
Strategi korporasi dirumuskan oleh manajemen puncak dan dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan organisasi. Memformulasikan strategi korporasi di dalam perusahaan besar akan sangat sulit sekali sebab banyak sekali strategi tingkat bisnis yang sangat berbeda dan memerlukan koordinasi guna mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan. Demikian model strategi yang dipakai adalah portofolio bisnis, sbb:
1. Strategi Portofolio Strategi portofolio adalah tipe strategi tingkat perusahaan yang berhubungan dengan bauran antara unit-unit bisnis (UBS=SBU) dan lini-lini produk yang sesuai satu sama lain dalam cara-cara yang masuk akal sehingga memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. UBS (Unit Bisnis Strategi) merupakan suatu divisi organisasi yang memiliki misi bisnis, lini produk, pesaing dan pasar berbeda terhadap UBS lain dalam organisasi yang sama.
2. Matriks BCG. Matriks BCG (Boston Consulting Group) mengorganisir bisnis-bisnis dalam dua dimensi yaitu pertumbuhan bisnis dan pangsa pasar (market share).
3. Tingkat pertumbuhan bisnis (Business Growth Rate)
Berkaitan dengan seberapa cepat industri mengalami peningkatan. Pangsa pasar (market share) mendefinisikan apakah sebuah unit bisnis memiliki pangsa yang lebih kecil atau lebih besar dibandingkan dengan pesaingnya.
Sumber:
Elu, Wilfridus B. Manajemen Strategis Berbasis Kompetensi. Jakarta: STIE PERBANAS
P, Dewi Tri T, dkk. 2009. Analisis Kasus McDonald’s. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
http://en.wikipedia.org
http://id.wikipedia.org
Fokus masalah penelitian ini adalah: Bagaimanakah pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melalui manajemen stratejik untuk menyiapkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui profil manajemen SMK, perumusan manajemen stratejik, dan implementasi manajemen stratejik dalam pemberdayaan SMK. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus, subjek penelitian adalah: seluruh situasi, kondisi, dan lingkungan SMK, kepala sekolah, anggota internal sekolah, dan stakeholders Sekolah Menengah Kejuruan. Landasan teori untuk menganalisis temuan penelitian ini adalah manajemen stratejik. Teori ini didasarkan asumsi bahwa manajemen stratejik memiliki dasar yang kuat dalam memberdayakan seluruh sumber daya manusia sehingga stakeholders dapat berpartisipasi aktif untuk melakukan kerjasama, untuk memberikan penguatan kepada seluruh personil organisasi agar dapat melakukan tugas sesuai dengan tuntutan kinerja tugas masing-masing. Temuan penelitian menunjukkan: Pertama, profil ketiga SMK memiliki standar yang baku sebagai organisasi sekolah kejuruan, ketiga SMK dapat melaksanakan tugas pokoknya sesuai dengan standar baku yang telah ditetapkan sesuai dengan kinerja sekolah kejuruan, hal ini dapat dilihat dari penataan struktur organisasi, kurikulum dan program, serta pemanfaatan sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun fasilitasnya. Dari ketiga SMK tersebut, SMK Negeri 3 memiliki keunggulan dilihat dari struktur organisasi maupun programnya, SMK Negeri 3 memiliki struktur organisasi yang lebih rinci dan program yang optimal jika dibandingkan dengan SMK Negeri 1 dan 2. Kedua, ketiga SMK mengawali perumusan manajemen stratejik dengan menetapkan visi, misi, tujuan, sasaran, sehingga memudahkan mereka mengarahkan pencapaian tujuan organisasi sekolah kejuruan. Strategi dalam penetapan berbagai kebijakan dilakukan melalui musyawarah, namun dalam hal-hal tertentu kebijakan diambil oleh pimpinan sekolah. Ketiga, implementasi manajemen stratejik yang dilakukan ketiga SMK adalah dengan memberdayakan seluruh anggota internal dan eksternal sekolah secara proporsional. Dilihat dari implementasi manajemen stratejik, SMK Negeri 3 lebih mengoptimalkan peran-peran personil sekolah dalam melaksanakan programprogramnya. Sedangkan SMK Negeri 1 dan 2 masih perlu mengoptimalkan peran stakeholders secara aktif agar memudahkan mereka melaksanakan program yang telah ditetapkan dalam upaya menjawab tuntutan pasar kerja. Temuan di atas menggambarkan bahwa manajemen stratejik yang diterapkan Sekolah Menengah Kejuruan di Banda Aceh dapat memberdayakan personil dan lingkungan internal dan eksternal. Oleh karena itu, penelitian ini menawarkan model konseptual manajemen stratejik penyelenggaraan SMK, dengan merekomendasikan: (1) Perlunya pemberdayaan anggota internal sekolah melalui mekanisme kerja yang rinci dan proporsional dalam mengoptimalkan programprogram SMK; (2) Perlunya kepala sekolah menciptakan partisipasi aktif anggota internal dan eksternal sekolah melalui suatu mekanisme pengendalian yang efektif, (3) Melakukan sosialisasi konsep dasar manajemen stratejik dilingkungan internal dan eksternal sekolah, agar tujuan sekolah dan kebutuhan pelanggan terpenuhi secara simultan, (4) Perlunya pengembangan program dan kurikulum SMK yang dapat menjawab kebutuhan pasar kerja.
Sumber:
Murniati, A.R, Pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan Melalui Manajemen Stratejik (Studi tentang penyelenggaraan SMK Negeri untuk menyiapkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam)
Strategi berasal dari bahasa Yunani stratogos yang artinya ilmu para jenderal untuk memenangkan suatu pertempuran dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (Sihombing,2000). Pengertian atau defenisi Manajemen strategi dalam khasanah literatur ilmu manajemen memiliki cakupan yang luas, dan tidak ada suatu pengertian yang dianggap baku. Itulah sebabnya defenisi manajemen strategi berkembang luas tergantung pemahaman ataupun penafsiran seseorang. Meskipun demikian dari berbagai pengertian atau defenisi yang diberikan oleh para pakar manajemen dapat ditemukan suatu kesamaan pola pikir, bahwa manajemen strategi merupakan ilmu yang menggabungkan fungsi-fungsi manajemen dalam rangka pembuatan keputusan-keputusan organisasi secara strategis, guna mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Dari berbagai pengertian atau defenisi yang ada dapat disimpulkan bahwa manajemen strategi adalah suatu seni dan ilmu dari suatu pembuatan (formulating), penerapan (implementing) dan evaluasi (evaluating) keputusan-keputusan strategis antar fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan masa datang (Dwiningsih,2001)
Konsep Manajemen Strategi
Richard Vancil (dari Harvard University) merumuskan konsep strategi sebagai berikut : ”Strategi sebuah organisasi atau sub unit sebuah organisasi lebih besar, yaitu sebuah konseptualisasi yang dinyatakan atau diimplikasi oleh pemimpin oragnisasi yang brsangkutan, berupa :
a. Sasaran-sasaran jangka panjang atau tujuan-tujuan organisasi tersebut.
b. Kendala-kendala luas dan kebijakan-kebijakan yang atau ditetapkan sendiri oleh sang pemimpin, atau yang diterimanya dari pihak atasannya, yang membatasi skope aktivitas-aktivitas organisasi yang bersangkutan dan
c. kelompok-kelompok rencana dan tujuan-tujuan jangka pendek yang telah diterapkan dengan ekspektasi akan diberikannya sumbangsih mereka dalam hal mencapai sasaran-sasaran organisasi tersebut.
Tujuan suatu strategi adalah untuk mempertahankan atau mencapai suatu posisi keunggulan dibandingkan dengan pihak pesaing. Organisasi tersebut masih harus meraih keunggulan apabila ia dapat memanfaatkan peluang-peluang di dalam lingkungan,yang memungkinkan menarik keuntungan-keuntungan dari bidang-bidang kekuatannya.
Proses Manajemen Strategi
Strategic management atau manajemen strategi adalah suatu proses kombinasi tiga kegiatan yang saling terkait yaitu analisis, perumusan dan pelaksanaan strategi. Dengan demikian ada tiga komponen yang harus diperhatikan dalam menentukan strategi yaitu analisis, perumusan, dan pelaksanaan, yang dapat berlaku untuk organisasi baik perusahaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial maupun lembaga pendidikan.
Rangkaian proses penyusunan manajemen strategi dapat dilihat pada beberapa Manajemen Operasidel yang dikembangkan para ahli. Salah satu Manajemen Operasidel yang sering dianjurkan adalah Manajemen Operasidel dengan rangkaian sebagai berikut, analisis lingkungan internal, eksternal, penyusunan berbagai strategi, pemilihan strategi, implementasi strategi dan analisis strategi (Gregory Dess-Lex Miller, 1993).
Manajemen Operasidel tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini:
Analisis• Lingkungan, adalah proses awal dalam manajemen strategi yang bertujuan yntuk memantau lingkungan perusahaan. Lingkungan perusahaan disini mencakup semua faktor baik yang berada di dalam maupun di luar perusahaan dapat mempengaruhi pencapaian tujuan yang diinginkan. Hasil dari analisis lingkungan ini setidaknya akan memberikan gambaran tentang keadaan perusahaan yang biasanya digunakan dengan meManajemen Operasitret SWOT (strength, weakness, oppurtinities and threatmen) yang dimilikinya.
Menentukan dan menerapkan arah organisasi,setelah• melakukan analisis lingkungan eksternal dan internal diharapkan kita sudah dapat memiliki gambaran mengenai posisi perusahaan dalam persaingan. Dimana kita harus pasti mendefinisikan SWOT. Formulasi• strategi, fokus utama formulasi strategi adalah bagaimana menyesuaikan diri agar dapat lebih baik dan lebih cepat bereaksi dibanding pesaing dalam persaingan yang ada. Implementasi strategi, masalah implementasi ini cukup rumit, oleh karena itu agar penerapan strategi organisasi dapat berhasil dengan baik, manajer harus memiliki gagasan yang jelas tentang isu-isu yang berkembang dan bagaimana cara mengatasinya. Dalam tahapan ini, masalah struktur organisasi, budaya perusahaan dan pola kepemimpinan harus dibahas secara lebih mendalam.
Pengendalian• Strategi,merupakan suatu jenis khusus dari pengendalian organisasi yang berfokus pada pemantauan dan pengimplementasikan proses manajemen strategi.
Persaingan dalam Dunia Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, persaingan adalah hal yang wajar. Munculnya persaingan itu adalah untuk mendapatkan objek pendidikan (siswa/ mahasiswa) sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, bisanya hanya pimpinan institusi pendidikan bermental gigih dan kuatlah yang mampu menghadapi kerasnya persaingan ataupun krisis yang terjadi didalam perjalanan sekolah atau universitas.
Persaingan dalam memperebutkan objek pendidikan, sangat erat kaitannya dengan kecekatan seorang yang terjun dalam bidang pendidikan mengenali selera pasar serta pemilihan pasar usaha yang tepat. Agar objek pendidikan loyal, maka harus mempunyai strategi guna mempertahankan mereka agar tidak lari ke pesaing-pesaing lain. menurut Purnomo dan Zulkieflimansyah (1999) hal-hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi hal tersebut adalah :
1. Analisis kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh para pesaing, anda bisa belajar dari kehebatan atau kelebihan yang mereka miliki.
2. Analisis juga kelemahan-kelemahan yang ada pada usaha mereka. Hal ini berguna bagi anada untuk memanfaatkan kelenahan pesaing sebagai peluang baru yang dapat anda tawarkan kepada pelanggan atau konsumen anda.
Manajemen Strategi dan Manajemen Operasi dalam bidang pendidikan
Dari dimensi strategi yang sudah dibahas diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam mengembangkan strategi yang mampu menjawab tujuan suatu organisasi, setiap strategi perlu memahami dan menguasai seluk beluk program yang sedang dilaksanakan atau dikembangkan. Aspek internal, mulai dari konsep , tenaga pendukung, sarana yang dimiliki, biaya yang tersedia, struktur organisasi yang akan melaksanakan strategi, hasil yang telah rtegi;dicapai dan hambatan-hambatan yang dilami dengan strategi lama. Aspek eksternal seperti dustrkungan masyarakat, perkembangan lingkungan, dan perubahan yang disebabkan faktor keamanan, politik, hukum lain-lain dan lain-lain.informasi tentang kedua aspek ini sangat diperlukan. Kesalahan menggunakan informasi ini akan berakibat tidak baik terhadap hasil yang akan dicapai nantinya (Sihombing,2000)
Pisau analisis yang biasa digunakan untuk mendiagnosis suatu kegiatan yang akan dikembangkan kemudian diwujudkan menjadi strategi yang diperlukan agar tujuan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan, digunakan pisau SWOT. Dalam menentukan strategi pendidikan, tidak salah kalau kita juga memperhatikan strategi- strategi pemasaran di lingkungan dunia bisnis yang terus di bayangi dan di intai oleh situasi persaingan karena untuk menunjukkkan jati dirinya. Pendidikan Luar Sekolah (PLS) juga harus siap bersaing dengan strategi yang di gunakan jalur pendidikan lain.
Dalam menentukan strategi pada umumnya di lakukan dengan :
1. Mengenali posisi persaingan, hal ini berarti bahwa dalam mengembangkan strategi pendidikan luar sekolah diberbagai tingkatan perlu di cermati berbagai situasi yang mungkin akan menjadi benturan dalam gerakan pendidikan luar sekolah. Antara lain : a.) Situasi pendidikan yang menggambarkan jumlah dan jenis pendidikan yang ada,jumlah siswa dan angka putus sekolah; b.) Situasi ketenagakerjaan dalam arti jumlah pengangguran,jumlah yang tidak melanjutkan dan tidak bekerja,kemampuan lulusan sekolah untuk merebut pasar kerja; c.) Situasi masyarakat dalam arti minat pada pendidikan kejuruan dan kebutuhan belajar. Dengan mengetahui peta-peta tersebut,pendidikan luar sekolah dapat mempertimbangkan bagian mana yang tidakdi miliki persaingan yang dapat di rebut untuk di kembangkan.
2. Menetapkan tujuan bisnis, Dari fakta-fakta yang di miliki diatas, lembaga pendidikan sebelum memulai suatu program, dapat mengembangkan tujuan tang ingin dicapai apabila melaksanakan kegiatan,karena lembaga pendidikan sudah mengetahui data-data,lembaga pendidikan yang sudah ada mengetahui posisinya sekarang dan kemana harus bergerak. Misalnya; pendidikan luar sekolah ingin agar warga belajar setelah selesai satu program langsung bisa bekerja maka tujuannya adalah seluruh warga belajar memilki keterampilan yang sesuai dengan lingkungannya. Untuk itu lembaga pendidikan luar sekolah tersebut harus tahu dimana posisinya di mata masyarakat, baru mengadakan penyesuaian dengan strategi yang tepat.
3. Merumuskan strategi yang diperlukuan untuk mencapai posisi baru. Hal ini harus dilakukan dengan menggunakan dan menjawab kecenderungan-kecenderungan dorongan eksternal, seperti kompetisi perubahan kebutuhan dan teknologi serta mengembangkan komponen sumber daya. Ada beberapa tingkatan manajemen strategi yang perlu mendapat perhatian di lingkungan pendidikan. Pertama strategi pendidikan tingkat desa, dimana program dilaksanakan. Disini diperlukan strategi untuk menentukan kebutuhan belajar, menentukan tempat dan waktu belajar,merekrut sumber belajar, menggali sumber dana, pemasaran hasil belajar. Kedua, strategi tingkat kabupaten, disini diperlukan strategi yang merupakan kiat. Di sini diperlukan cara yang tepat untuk membina, meManajemen Operasitivasi para petugas lapangan tingkat kecamatan. Ketiga, strategi tingkat propinsi yang menggambarkan operassional program. Disini diperlukan cara yang tepat untuk merencanakan pencapaian target program, pembinaan dan penilaian realitas program untuk wilayah satu propinsi. Keempat, strategi tingkat pusat yang merupakan kebijakan. Disini diperlukan pengembangan sumber daya manusia, perencanaan penganggaran, penilaian dan pengembangan program. Untuk mengembangkan strategi ini, harus menggunakan metode yang sama yaitu mempelajari kekuatan dan kelemahan, peluang dan tantangan yang ada dalam mengoperasionalisasikan kebijakan yang datang dari hirarki yang lebih tinggi. Kembangkan dulu berbagai strategi baru pilih dan putuskan mana yang paling sesuai.
Berbagai strategi yang mungkin digunakan antara lain:
1. Konsentrasi pelaksanaan program belajar. Hal ini berarti menghindari pemerataan dan penjatahan yang membuat program tidak berhasil dan berdaya guna, pemerataan cenderung asal ada.
2. Mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk mewujudkan pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat. Memanfaatkan sarana-sarana yang ada di masyarakat yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Memberikan pengertian kepada masyarakat, sehingga mereka menjadikan pendidikan merupakan suatu kebutuhan.
3. Membuat peta situasi dimana program akan dilakukan, hal seperti ini dapat dilakukan dengan analisis lingkungan. Apa potensi yang belum disentuh dan mungkin untuk dimanfaatkan.
4. Mendorong tumbuhnya lembaga belajar atau organisasi kemasyarakatan yamg bergerak pada jalur pendidikan, dan mendorong mereka menjadi pengelola pusat kegiatan belajar masyarakat tersebut, dengan harapan lembaga ini lebih cepat tumbuh di masyarakat dan menyerap aspirasi yang tumbuh di masyarakat tersebut.
5. Melatih pengelola pusat kegiatan belajar masyarakat, keberhasilan pendidikan masyarakat akan banyak ditentukan oleh kemampuan mengelola program yang dilaksanakan oleh masyarakat. Karena itu perlu dilengkapi dengan seperangkat pengetahuan operasonal, sebagaimana layaknya tentara yang akan bertempur dan menginginkan kemenangan mereka perlu dilengkapi dengan peralatan militer yang memadai.
6. Membentuk jaringan informasi dan pemasaran, hal ini erat kaitannya dengan penyalur hasil-hasil dari program belajar di masyarakat.
Proses manajemen strategi yang diungkapkan dalam makalah ini secara teoritis bukanlah hal yang mudah, akan tetapi dalam hal praktiknya (operasinya) melaksanakan proses yang sederhana ini merupakan pekerjaan yang sangat berat. Untuk mencapai suatu tujuan tentunya harus dibangun strategi yang matang, sehingga dalam operasi dilapangan akan lebih terkoordinasi dengan strategi yang sudah dibangun sebelumnya. Oleh sebab itu banyak pakar manajemen yang mengatakan bahwa manajemen strategi dan manajemen operasi adalah dua hal yang harus berhubungan jika ingin mencapai suatu tujuan, dengan kata lain manajemen strategi yang kurang baik tentukan akan menimbulkan dampak bagi operasi (pelaksanaan) suatu tujuan dimasa depan, dan sebaliknya.
Manajemen strategi dalam dunia pendidikan bisa kita ibaratkan sebagai sebuah upaya membangun input untuk menghasilkan output, input dalam dunia pendidikan adalah berupa tenaga pengajar/ dosen yang berkualitas, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, administrasi yang baik, sedangkan outputnya adalah berupa lulusan suatu instansi pendidikan yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk mencapai output ini, dibutuhkan suatu proses, dalam tulisan ini kita sebutkan sebagai proses manajemen operasi. Pembangunan dunia pendidikan saat ini membutuhkan manajer strategi dan operasi yang mampu mengidentifikasi apa yang harus dilakukan sekarang untuk meraih masa depan yang diharapkan, untuk itu manajer strategi dan operasi tersebut harus mengetahui kekuatan, kelemahan, ancaman dan tantangan yang ada saat ini, dan masa depan.
Sumber:
http://subliyanto.blogspot.com/2010/07/manajemen-strategi-pendidikan.html
Mendesain Sistem Kualitas Dalam Pendidikan
Untuk mendesain sistem kualitas dalam pendidikan, perlu melibatkan sejumlah langkah-langkah penting berikut: 1) mengetahui apa yang kamu akan kerjakan, 2) mempertanyakan prosedur dan metode yang kamu gunakan, 3) mendokumentasi apa yang kamu maksudkan, 4) memberikan bukti bahwa kamu menyelesaikan apa yang kamu telah lakukan (Edwars, 1993:22).
Sementara itu, sistem jaminan kualitas pendidikan harus berisi elemen-elemen berikut (David, 2000:23):
1. Pengembangan institusi atau rencana strategis
Ini memberikan visi jangka panjang dari institusi dan memberi konteks dimana program dapat dilaksanakan. Ini mendefinisikan pasar dan budaya yang diharapkan. Ini adalah penting untuk mengembangakn pelayanan yang berkualitas karena hanya perencanaan yang dapat memberikan perspektif jangka panjang sehingga penting di dalam pemberian layanan kualitas secara terpadu.
2. Kebijakan kualitas
Ini mempersiapkan standard untuk program-program utama dan bisa berisi statemen dari penamaan pembelajar. Kebijakan ini adalah statemen umum dari komitmen insitusi kepada kustomernya, baik internal maupun eksternal.
3. Tanggungjawab manajemen
Ini menyusun peran dari lembaga yang memerintah, dan tim manajemen senior dan tanggung jawabnya. Ini mendefinisikan dimana anggota dari tim senior memikul jabatan kualitas.
4. Pengorganisasian kualitas
Garis besar ini meliputi tanggung jawab dari kelompok pengarah kualitas, representasi dan pertanggung jawaabannya. Badan ini diperlukan untuk mengarahkan permulaan kualitas, mengatur transformasi budaya, mendukung inisiatif di dalam departemen dan untuk memonitor perkembangan inisiatif.
5. Pemasaran dan publisitas
Sebuah institusi harus memberikan potensi yang dimiliki kustomer dengan informasi tentang apakah itu memajukan program-program belajar. Informasi ini perlu untuk menjadi terdokumentasikan secara jelas dan pasti. Cara pemasaran bisa menggunakan leaflet, brosur, dan sebagainya, harus jelas dan akurat dan diperbaharui secara reguler.
6. Penyelidikan dan pendaftaran
Ini adalaha tahap kunci di dalam karir banyak pembelajar. Advis yang benar pada tahap ini adalah vital, sebagai tahap selamat datang dan memberi kepercayaan pada pelamar. Prosedur masuk organisasi harus diatur secara baik. Sistem yang perlu terdokumentasikan, antara lain: inisial pelamar, wawancara dan seleksi, petunjuk, akreditasi belajar sebelumnya yanglayak, dan hasil dari rencana tindakan individual.
7. Wisuda/pelantikan
Program wisuda/pelantikan murid yang baik dan terstruktur dengan maksud komunikasi yang jelas adalah penting untuk memperkenalkan pembelajar pada institusi, yang meliputi etos, gaya dan metode belajarnya
8. Pelahiran kurikulum
Ini adalah tingkatan dimana sistem adalah vital. Metode belajar perlu diatur sedemikian rupa sehingga dan diikuti untuk setip aspek program. Jenis informasi yangperlu menjadi bagian dari ini, antaralain: silabus, kepatuhan, skema kerja, pencatatan kerja, pencatatan penilaian, rencana tindakan, dan pencatatan prestasi. Pencatatan kesalahan dan kinerja rata-rata berikutnya dan tindakan yang benar harus didokumentasikan.
9. Bimbingan dan konseling
Ini dapat mengambil bentuk aspek yang integra dari kurikulum atau layanan tambahan. Apa saja layanan perlu dikomunikasikan. Ini bisa menjadi petuntuk tentang kakrir atau pendidikan yang lebih tinggi, atau transfer insitusi lain atau program studi lain.
10. Manajemen pembelajaran
Proses aktual dari kurikulum dan manajemen program perlu dispesifikasi, termasuk ranacangan untuk teamwork. Aturan di dalam tim, tanggung jawab dan tingkat otoritasnya juga dapat jabarkan. Laporan dari penguji eksternal, moderator dan pemverivikasi akan memberikan bukti-bukti penting, dimana terdapat kualitas manajemen belajar.
11. Desain kurikulum
Termasuk dokumentasi maksud dan tujuan setiap program, dan spesifikasi program. Spesifikasi program dapat mengambil bentuk silabus atau dokumen kurikulum yang valid. Apa yang perlu di dalamnya, dimana yang relevan, adalah keterangan yang diperlukan dari program dan sunber-sumber dapat diberikan.
12. Staffing, training dan pengembangan
Staf dari banyak lembaga perlu dipandang berkompeten untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sistem kualitas akan perlu secara detail proses seleksi dan rekruitmen, induksi dan syarat-syarat dimana kompetensi dan motivasi dinilai dan kebijakan untuk pengembangan karir. Pengembangan staf memerlukan perencanaan institusi dan proses analisis dan sistem monitoring dan evaluasi efektivitas program training dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
13. Kesempatan yang seimbang
Institusi akan memerlukan kebijakan kesempatan seimbang dan metode serta prosedur untuk mencapai tujuan yang ada termasuk kebijakan. Kebijakan kesempatan yang ada perlu penerapan secara seimbang untuk staf dan murid.
14. Monitoring dan evaluasi
Putaran umpan balik adalah vital untuk penilaian dan penegasan kualitas. Sistemn kualitas perlu dokumen mekanisme evaluasi bahwa institusi memiliki tempat untuk memonitor prestasi individual dan kesuksesan program-programnya. Partisipasi pembelajar di dalam penilaian perkembangan dan pengalamannya dari program adalah elemen penting di dalam evaluasi. Metode yang dipakai harus termasuk pencatatan prestasi, review pertemuan, kuesioner dan audit internal. Apasaja metode yangdipakai harus cocok dengan proses.
15. Perancangan administrasi
Insitusi memerlukan dokumen prosedur administrative termasuk pendaftaran, rekaman pembelajar, jadwal, kesehatan dan prosedur keselamatan, masuk ujian dan hasilnya, dan sistem keuangan. Proses dokumentasi adalah penting, walaupun ini perlu untuk menspesifikasi dikumen-dokumen pokok dan statusnya agar dapat menjaga perkembangan birokrasi.
16. Review organisasi
Institusi harus memiliki alat-alat evaluasi kinerja secara total. Ini bisa ditangani oleh penilai eksternal. Tetapi, institusi juga bisa menentukan untuk menangani audit organisiasi. Staf dapat menlai area lain daripada diri mereka sendiri. Orang luar dapat dilibatkan dalam audit. Sistem review pembanding dapat membangun kepercayaan diri dan trust, dan dapat sebagai pengembangan staf yang signifikan. Mekanisme perlu dikembangkan untuk mendapatkan hasil auditing kembali ke dalam proses perencanaan strategis.
Sumber:
Sallis, Edward, Total Quality Management in Education, (London: Kogan Page Limited, 1993)
Goetsch, David L dan Stanley B. Davis, Quality management: Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Service, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 2000)
Konsepsi Keputusan Stratejik
Konsep keputusan stratejik merupakan derivasi dari konsepsi manajemen stratejik. Dalam bidang ekonomi khususnya di lingkungan bisnis yang mengembangkan manajemen secara teoritis dan praktis, manajemen stratejik telah cukup lama dikenal dan dikembangkan. Berbeda dengan di lingkungan organisasi non profit, khususnya bidang pendidikan, kehadiran manajemen stratejik pada dasarnya merupakan suatu paradigma baru. Sebagai paradigma baru, jika diimplementasikan pada lingkungan organisasi pendidikan, tidak mungkin dilakukan sebagai kegiatan pengambilalihan seluruh kegiatannya sebagaimana dilaksanakan di lingkungan organisasi profit (bisnis), karena kedua organisasi tersebut satu dengan yang lain berbeda dalam banyak aspek, terutama dari segi filsafat yang mendasarinya dan tujuan yang hendak dicapai.
Manajemen strategik adalah perencanaan berskala besar (disebut Perencanaan Strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut VISI), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut MISI), dalam usaha menghasilkan sesuatu (Perencanaan Operasional) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategik) dan berbagai sasaran (Tujuan Operasional) organisasi.” Pengertian yang cukup luas ini menunjukkan bahwa Manajemen Strategik merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak ke arah yang sama pula. Komponen pertama adalah Perencanaan Strategik dengan unsur- unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan Strategik organisasi. Sedang komponen kedua adalah Perencanaan Operasional dengan unsur- unsurnya adalah Sasaran atau Tujuan Operasional, Pelaksanaan Fungsi- fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan situasional, jaringan kerja Internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik.
Beberapa karakteristik dari manajemen stratejik adalah sebagai berikut :
a. Manajemen Strategik diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategik (RENSTRA) yang dijabarkan menjadi Perencanaan Operasional (RENOP), yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk Program-program kerja.
b. Rencana Strategik berorientasi pada jangkauan masa depan ( 25-30 tahun). Sedang Rencana Operasionalnya ditetapkan untuk setiap tahun atau setiap lima tahun.
c. VISI, MISI, pemilihan strategik yang menghasilkan Strategi Utama (Induk) dan Tujuan Strategik Organisasi untuk jangka panjang, merupakan acuan dalam merumuskan RENSTRA, namun dalam teknik penempatannya sebagai keputusan Manajemen Puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat di dalamnya.
d. RENSTRA dijabarkan menjadi RENOP yang antara lain berisi program program operasional.
e. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak (Pimpinan) karena sifatnya sangat mendasar dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi.
f. Pengimplementasian Strategi dalam program program untuk mencapai sasarannya masing masing dilakukan melalui fungsi fungsi manajemen yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.
Berdasarkan karakteristik dan komponen Manajemen Strategik sebagai sistem, terlihat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat intensitas dan formalitas pengimplementasiannya di lingkungan organisasi non profit (pendidikan). Beberapa faktor tersebut antara lain adalah ukuran besarnya organisasi, gaya manajemen dari pimpinan, kompleksitas lingkungan ideologi, sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya termasuk kependudukan, peraturan pemerintah dsb. sebagai tantangan eksternal. Tingkat intensitas dan formalitas itu dipengaruhi juga oleh tantangan internal, antara lain berupa kemampuan menterjemahkan strategi menjadi proses atau rangkaian kegiatan pelaksanaan pekerjaan sebagai pelayanan umum yang efektif, efisien dan berkualitas (dalam bidang pendidikan misalnya menetapkan model/sistem instruksional, sumber – sumber belajar, media pembelajaran, dan lain-lain).
Berdasarkan pengertian dan karakteristiknya manajemen stratejik, maka keputusan stratejik memiliki beberapa dimensi atau bersifat multidimensional. Dimensi-dimensi dimaksud adalah:
a. Dimensi Waktu dan Orientasi Masa Depan
Manajemen Strategik dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi suatu organisasi berpandangan jauh ke masa depan, dan berperilaku proaktif dan antisipatif terhadap kondisi masa depan yang diprediksi akan dihadapi. Antisipasi masa depan tersebut dirumuskan dan ditetapkan sebagai Visi organisasi yang akan diwujudkan 25 – 30 tahun lebih di masa depan. Menurut Nawawi (2005 : 155), Visi dapat diartikan sebagai “kondisi ideal yang ingin dicapai dalam eksistensi organisasi di masa depan”. Sehubungan dengan itu Lonnie Helgerson yang dikutip oleh J. Salusu (dalam Nawawi, 2005) mengatakan bahwa : “Visi adalah gambaran kondisi masa depan dari suatu organisasi yang belum tampak sekarang tetapi merupakan konsepsi yang dapat dibaca oleh setiaporang (anggota organisasi). Visi memiliki kekuatan yang mampu mengundang, memanggil, dan menyerukan pada setiap orang untuk memasuki masa depan. Visi organisasi harus dirumuskan oleh manajemen puncak organisasi”.
Masih menurut J. Salusu yang mengutip pendapat Naisibit : “Visi merupakan gambaran yang jelas tentang apa yang akan dicapai berikut rincian dan instruksi setiap langkah untuk mencapai tujuan. Suatu visi dikatakan efektif jika sangat diperlukan dan memberikan kepuasan, menghargai masa lalu sebagai pengantar massa depan”. Masih dalam Hadari Nawawi, menurut Kotler yang juga dikutip oleh J. Salusu dikatakan bahwa : “Visi adalah pernyataan tentang tujuan organisasi yang diekspresikan dalam produk dan pelayanan yang ditawarkan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi, kelompok masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang diperoleh, serta aspirasi dan cita – cita masa depan. Sehingga secara sederhana Visi organisasi dapat diartikan sebagai sudut pandang ke masa depan dalam mewujudkan tujuan strategic organisasi, yang berpengaruh langsung pada misinya sekarang dan di masa depan.
Sehubungan dengan itu Misi organisasi pada dasarnya berarti keseluruhan tugas pokok yang dijabarkan dari tujuan strategik untuk mewujudkan visi organisasi.
b. Dimensi Internal dan Eksternal
Dimensi Internal adalah kondisi organisasi non profit (pendidikan) pada saat sekarang, berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang harus diketahui secara tepat. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan EVALUASI DIRI antara lain dengan menggunakan Analisis Kuantitatif dengan menggunakan perhitungan perhitungan statistik, menggunakan data kuantitatif yang tersedia di dalam Sistem Informasi Manajemen (SIM). Namun kerap kali data kuantitatif tidak memadai, karena lemahnya SIM dalam mencatat, mencari, melakukan penelitian dan mengembangkan data pada masa lalu. Oleh karena itu Evaluasi Diri tidak boleh tergantung sepenuhnya pada data kuantitatif, karena dapat juga dilakukan dengan Analisis Kualitatif dengan menggunakan berbagai informasi kualitatif atau sebagian data kuantitatif dan sebagian lagi data kualitatif.
Untuk Analisis Kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan Analisis SWOT. Dimensi lingkungan eksternal pada dasarnya merupakan analisis terhadap lingkungan sekitar organisasi (sekolah), yang terdiri dari Lingkungan Operasional, Lingkungan Nasional dan Lingkungan Global, yang mencakup berbagai aspek atau kondisi, antara lain kondisi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, adat istiadat, agama, dll. Pengimplementasian Manajemen Strategik perlu mengidentifikasi dan mendayagunakan kelebihan atau kekuatan dan mengatasi hambatan atau kelemahan organisasi.
c. Dimensi Pendayagunaan Sumber Sumber.
Manajemen strategik sebagai kegiatan manajemen tidak dapat melepaskan diri dari kemampuan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki, agar secara terintegrasi terimplementasikan dalam fungsi – fungsi manajemen ke arah tercapainya sasaran yang telah ditetapkan di dalam setiap RENOP, dalam rangka mencapai Tujuan Strategik melalui pelaksanaan Misi untuk mewujudkan Visi Organisasi (sekolah). Sumber daya yang ada terdiri dari Sumber Daya Material khususnya berupa sara dan prasarana, Sumber Daya finansial dalam bentuk alokasi dana untuk setiap program, Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Teknologi dan Sumber Daya Informasi. Semua sumberdaya ini dikategorikan dalam sumber daya internal, yang dalam rangka evaluasi diri (Analisis Internal) harus diketahui dengan tepat kondisinya.
d. Dimensi Keikutsertaan Manajemen Puncak (Pimpinan)
Manajemen strategik yang dimulai dengan menyusun Rencana Strategik merupakan pengendalian masa depan organisasi, agar eksistensi sesuai dengan visinya dapat diwujudkan. Rencana Strategik harus mampu mengakomodasi seluruh aspek kehidupan organisasi yang berpengaruh pada eksistensinya di masa depan merupakan wewenang dan tanggung jawab manajemen puncak. Rencana Strategik sebagai keputusan utama yang prinsipil, tidak saja ditetapkan dengan mengikutsertakan, tetapi harus dilakukan secara proaktif oleh manajemen puncak, karena seluruh kegiatan untuk merealisasikannya merupakan tanggung jawabnya.
e. Dimensi Multi Bidang
Manajemen Strategik sebagai Sistem, pengimplementasiannya harus didasari dengan menempatkan organisasi sebagai suatu sistem. Dengan demikian berarti sebuah organisasi akan dapat menyusun RENSTRA dan RENOP jika tidak memiliki keterikatan atau ketergantungan sebagai bawahan pada organisasi lain sebagai atasan. Dalam kondisi sebagai bawahan (sekolah merupakan bawahan Dinas Pendidikan) berarti tidak memiliki kewenangan penuh dalam memilih dan menetapkan visi, misi, tujuan dan strategi. Sekolah hanya berperan sebagai penyusun RENOP dan program tahunan.
Dari uraian tersebut jelas bahwa RENSTRA dan RENOP bersifat multi dimensi, terutama jika perumusan RENSTRA hanya dilakukan pada banyak organisasi non profit termasuk pendidikan yang tertinggi. Dengan dimensi yang banyak tersebut, maka mudah terjadi tidak seluruh dimensi dapat diakomodasi.
Melalui pengambilan keputusan stratejik, maka implementasi keputusan dapat dievaluasi dengan menggunakan tolok ukur sebagai berikut :
1) Profitabilitas
Keunggulan ini menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan diselenggarakan secara efektif dan efisien, dengan penggunaan anggaran yang hemat dan tepat, sehingga diperoleh profit berupa tidak terjadi pemborosan.
2) Produktivitas Tinggi
Keunggulan ini menunjukkan bahwa jumlah pekerjaan (kuantitatif) yang dapat diselesaikan cenderung meningkat. Kekeliruan atau kesalahan dalam bekerja semakin berkurang dan kualitas hasilnya semakin tinggi, serta yang terpenting proses dan hasil memberikan pelayanan umum (siswa dan masyarakat) mampu memuaskan mereka.
3) Posisi Kompetitif
Keunggulan ini terlihat pada eksistensi sekolah yang diterima, dihargai dan dibutuhkan masyarakat. Sifat kompetitif ini terletak pada produknya (misal : kualitas lulusan) yang memuaskan masyarakat yang dilayani.
4) Keunggulan Teknologi
Semua tugas pokok berlangsung dengan lancar dalam arti pelayanan umum dilaksanakan secara cepat, tepat waktu, sesuai kualitas berdasarkan tingkat keunikan dan kompleksitas tugas yang harus diselesaikan dengan tingkat rendah, karena mampu mengadaptasi perkembangan dan kemajuan teknologi.
5) Keunggulan SDM
Di lingkungan organisasi pendidikan dikembangkan budaya organisasi yang menempatkan manusia sebagai faktor sentral, atau sumberdaya penentu keberhasilan organisasi. Oleh karena itu SDM yang dimiliki terus dikembangkan dan ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan sikapnya terhadap pekerjaannya sebagai pemberi pelayanan kepada siswa. Bersamaan dengan itu dikembangkan pula kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi oleh sekolah pada masa sekarang dan untuk mengantisipasi masalah – masalah yang timbul sebagai pengaruh globalisasi di masa yang akan datang.
6) Iklim Kerja
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa hubungan kerja formal dan informal dikembangkan sebagai budaya organisasi berdasarkan nilai – nilai kemanusiaan. Di dalam budaya organisasi pendidikan, setiap SDM sebagai individu dan anggota organisasi terwujud hubungan formal dan hubungan informal antar personil yang harmonis sesuai dengan posisi, wewenang dan tanggung jawab masing – masing di dalam dan di luar jam kerja.
7) Etika dan Tanggung Jawab Sosial
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa dalam bekerja terlaksana dan dikembangkan etika dan tanggung jawab sosial yang tinggi, dengan selalu mendahulukan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan/atau organisasi.
Tantangan Global; Merubah Ancaman Menjadi Peluang dalam Kontek Kepemimpinan
Globalisasi merambat pasti dalam beragam aspek kehidupan manusia. Dunia pendidikan pun tak luput dari dampaknya. Bidang ini sudah pasti harus melihat kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat dan tuntutan di masyarakat pun kian meningkat. Sebagai institusi pembelajaran, dunia pendidikan dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia yang handal serta mampu menjawab berbagai tantangan baru di masyarakat dan peradaban manusia.
Dewasa ini kita dihadapkan pada situasi di mana berbagai peristiwa di dunia yang biasanya mempengaruhi orang-orang secara perlahan, sekarang menimpa kita hampir secara serta merta dan sangat kuat. Sistem ekonomi global dewasa ini telah membuat sekitar satu milyar dari 5,8 milyar penduduk dunia terintegrasi melalui produk dan pasar. Kapasitas atau kompetensi mengantisipasi perubahan tersebutl kini menjadi faktor pembeda antara kepemimpinan dengan manajemen. Organisasi agar berhasil harus mampu dan mau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan strategiknya (internal maupun eksternal).
Dengan memperhatikan perbedaan fundamental antara kepemimpinan dan manajemen terdahulu dapat diidentifikasi asas-asas kepemimpinan yang perlu kita acu dalam pengembangan kepemimpinan. Apabila manajemen berkaitan dengan penanggulangan kompleksitas usaha organisasi, dan kepemimpinan berkaitan dengan penanggulangan perubahan, maka terlihat suatu sebab mengapa kepemimpinan menjadi begitu penting pada akhir-akhir ini. Karena perkembangan semakin kompetitif dan mudah terombang-ambingnya berbagai organisasi oleh arus perubahan. Pada masa stabil/mapan seperti pertengahan Abad 20 dan sebelumnya, dengan adanya administrasi serta manajemen yang baik setiap organisasi bisa bertahan hidup. Namun pada masa yang intensitas dan frekuensi perubahan yang sangat tinggi seperti pada Abad 21 ini di samping manajemen yang baik juga diperlukan kapasitas dan kualifikasi kepemimpinan yang handal.
Abad 21 ditandai globalisasi, kehidupan manusia telah mengalami perubahan-perubahan fundamental yang berbeda dengan tata kehidupan dalam abad sebelumnya. Perubahan-perubahan besar dan mendasar tersebut menuntut penanganan yang berbeda dengan sebelumnya. Peter Senge (1994) menyatakan bahwa ke depan keadaan berubah dan berkembang dari detail complexity menjadi dynamic complexity. Interpolasi perkembangan sebagai dasar perkiraan masa depan, menjadi sulit bahkan sering salah, bukan saja karena parameter perubahan menjadi sangat banyak, tetapi juga karena sensitivitas perubahan yang laian dalam lingkup yang luas, dan masing-masing perubahan menjadi sulit diperkirakan. Abad ke-21 juga abad yang menuntut dalam segala usaha dan hasil kerja manusia termasuk di bidang kepemimpinan. Drucker bahkan menyatakan, tantangan manajemen pada Abad ke-21 adalah berkaitan dengan “knowledge worker“, yang memerlukan paradigma manajemen baru, strategi baru, pemimpin perubahan, tantangan informasi, produktivitas pegawai berbasis pengetahuan, dan kemampuan mengelola diri sendiri (Drucker, 1999).
Gelombang globalisasi itu sendiri selain menghadapkan tantangan juga peluang. Dengan kata lain, globalisasi memiliki dampak-dampak positif dan negatif. Salah satu dampak globalisasi dapat berupa bentuk-bentuk proteksionisme baru. Meskipun batas-batas negara, perdagangan bebas pada tahun 2003 ini mulai diberlakukan, namun demikian bentuk-bentuk proteksionisme yang tidak kelihatan akan muncul. Oleh sebab itu, yang dituntut di dalam masyarakat Abad 21 ialah kepemimpinan yang unggul atau “super”. Ulrich (1998) dalam kaitan ini menawarkan empat agenda utama pengembangan kepemimpinan pada abad ke-21 agar tetap menjadi “champion”, adalah: (1) menjadi rekan yang stratejik, (2) menjadi seorang pakar, (3) menjadi seorang pekerja ulung, dan (4) menjadi seorang “agent of change”. Sebab, menurut Ulrich, masyarakat pada Abad 21 adalah suatu masyarakat mega-kompetisi. Pada Abad 21, tidak ada tempat tanpa kompetisi. Kompetisi telah dan akan merupakan prinsip hidup yang baru, karena dunia terbuka dan bersaing untuk melaksanakan sesuatu yang lebih baik. Disisi lain, masyarakat kompetitif dapat melahirkan manusia-manusia yang frustasi apabila tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat kompetitif dengan demikian, menuntut perubahan dan pengembangan secara terus menerus.
Adapun dampak negatif globalisasi atau lebih tegas lagi merupakan ancaman antara lain ancaman terhadap budaya bangsa; lunturnya identitas bangsa; lunturnya batas-batas negara bangsa; dan ancaman-ancaman organisasional lainnya. Kesemuanya, apabila tidak segera dilakukan perbaikannya bukan tidak mungkin akan mengancam kelangsungan hidup suatu negara. Bahkan lebih dari itu, kesatuan dan persatuan suatu bangsa dan negara dapat terkoyak dan terpecah belah. Dengan kata lain, bahwa dampak globalisasi akan menjadi ancaman yang makin besar dan serius, lebih-lebih apabila organisasi tidak memiliki kepemimpinan yang kuat.
Gambaran di atas menunjukan bahwa, pada Abad 21 diperlukan paradigma baru di bidang kepemimpinan, manajemen, dan pembangunan dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan baru. Penyusunan paradigma baru menuntut proses terobosan pemikiran (break through thinking process), apalagi jika yang kita inginkan adalah output yang berupa manusia, barang, dan jasa yang berdaya saing. Dalam kaitan hal tersebut, berikut akan disajikan tentang pokok-pokok pemikiran “Kepemimpina dalam Abad 21”, dengan tetap memperhatikan berbagai perkembangan paradigma kepemimpinan sebelumnya yang dipandang valid dalam menghadapi pokok permasalahan dan tantangan abad ini.
Menurut Chowdury (2000) manajemen pada Abad 21 akan tergantung pada 3 faktor yang menopangnya, yakni kepemimpinan, proses, dan organisasi. Asset yang paling berharga bagi pemimpin Abad 21 adalah kemampuan untuk membangun impian seperti dilakukan para entrepreneurs. Faktor pertama, Pemimpin Abad 21 adalah pemimpin yang memiliki kompetensi berupa kemampuan mengembangkan peoplistic communication, emotion and belief, multi skill, dan juga memiliki next mentality. Pemimpin yang berhasil dalam mengejar dan mengerjakan impian-impiannya menggunakan komunikasi, dan memberikan inspirasi kepada setiap orang dalam organisasi untuk juga meyakini impiannya. Sebab itu, kompetensi sang pemimpin ditandai dengan sikap peoplistic bukan individualistic. Diingatkan oleh Chowdury bahwa “You can have the best communication system, but if you areindividualistic as a leader the organization suffers”. Seorang komunikator yang peopulistik mengembangkan iklim yang bersahabat di mana setiap orang dapat berkomunikasi secara cepat. Dalam organisasi yang besar komunikasi dapat mengalami kegagalan karena jenjang birokrasi dan orang hanya menerima sekitar 10% dari informasi yang dibutuhkannya. “The 21st century leader will be a firm believe in such peoplistic communication, which is fast and all envolving”. Kompetensi lain menurut Chowdury adalah sentuhan emosional (emotion) dan kepercayaan (belief). Emosi dalam pengertian “You should touch the heart, touch the mind, touch the emotion”. Komitment emosional sangat berharga bagi manajemen. Untuk mendapatkan komitmen terhadap suatu strategi baru, dapat ditempu dengan melibatkan orang-orang dalam penyusunan startegi tersebut, dan dengan mengurangi jangka waktu antara konsptualisasi strategi dan pelaksanaannya. Sedangkan mengenai believe, dikemukakan bahwa “That should be the 21st century leader’s watchword”; dan ada perbedaan mendasar antara memenrima (accepting) dan mempercayai (believing). Bertalian denga kompetensi multi skill, Chowdury memandang bahwa “twenty first century leaders will become more multi-skilled than their 20th century predecessors”…”One of the important characteristics of multi-skill leader is the abality to encourage diversity”. Sebab, tantangan organisasional sesungguhnya pada Abad 21 bukanlah jarak geograpikal, melainkan diversitas kultural. Mengenai next mentality, yang dipandang sebagai kunci keberhasilan oragnisasi Abad 21, meliputi hard working, never satisfied, idea-centric, curious, dan persistent.
Faktor kedua, Proses Abad 21 fokus pada kegiatan inti (core pactices), meliputi 4 area kritis berupa grass root education, fire prevention, direct interaction, dan effecrive globalization. Grass root education dimaksudkan pendidikan dan pelatihan yang melibatkan seluruh staff tanpa diskriminasi, dari pimpinan sampai staff biasa. Fire prevention dimaksudkan sebagau wawasan dan upaya untuk meningkatkan durasi kemanfaatan teknologi dalam produksi dan distribusi produk-produk tertentu. Direct interaction, organisasi Abad 21 menekankan lebih pada entusisme pelanggan di samping kepuasannya; “Customer enthusiasism means excitement and loyalty on the part of customer, fuelled by the service and producta available to them exceeding their expectations”. Effecrive globalization; gloablisasi selalu mengandung resiko yang berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Permasalahannya adalah berapa cepat respons dalam menghadapi perubahan dramatik yang terjadi. Dalam hubungan itu, Chowdury berpandangan bahwa manajemen harus : study local culture, local market, and local competition; prepare a busisness model that effectively seves the market needs; select the right strategic local partner or group with thw bwst local market knowledge; encourage employees by maintaining local values; introduce new and innovative product, with local flavour.
Faktor ketiga, Organisasi Abd 21 yang komit terhadap kualitas sumber daya manusia. “The driving force of behind a 21 st century organization will be it people…People manage people, inside and outside an oraganization. Effective management of people is a challlenge managers will increasingly face in the 21 st century”.
Berbagai kompetensi kepemimpinan yang telah dikemukakan terdahulu, seperti yang dikemukanan Spencer dan Kazanas, Warren Bennis, Kanter akan tetap diperlukan bagi kepemimpinan dan pemimpin Abad 21. Dalam rangka pengembangan pemikiran tersebut ada baiknya apabila kita eksplorasi dan simak kembali berbagai pandangan mengenai kepemimpinan dan pemimpin yang dikemukakan beberapa ahli. Cooper dan Sawaf (1997: p. 15), mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang pimpinan dalam merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Bethel, mengemukakan bahwa, kepemimpinan merupakan pola keterampilan, bakat, dan gagasan yang selalu berkembang, bertumbuh, dan berubah. White Hodgson, dan Crainer (1997:129-163), berpendapat kepemimpinan masa depan adalah pemimpin yang terus belajar, memaksimalkan energi dan menguasai perasaan yang terdalam, kesederhanaan, dan multifokus. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa kualitas menjadi penting dan kuantitas tidak lagi menjadi keunggulan bersaing. Mencari pengetahuan dan menggali ilmu harus terus dilakukan bagi pemimpin masa depan, hal ini sangat penting sebab ilmu pengetahuan merupakan energi vital bagi setiazp organisasi. Sejalan dengan pendapat ini, Kotter (1998), mengemukakan bahwa kemampuan seseorang pemimpin masa depan meliputi kemampuan intelektual dan interpersonal untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
Ronald Heifetz dan Laurie (1998) berpendapat, kepemimpinan masa depan adalah seorang pemimpin yang adaptif terhadap tantangan, peraturan yang menekan, memperhatikan pemeliharaan disiplin, memberikan kembali kepada para karyawan, dan menjaga kepemimpinannya. Ditambahkan, kepemimpinan harus selalu menyiapkan berbagai bentuk solusi dalam pemecahan masalah tantangan masa depan. Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap perubahan, ditekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia. Untuk itu, perlu dikembangkan peraturan-peraturan baru, hubungan dan kerjasama yan baru, nilai-nilai baru, perilaku baru, dan pendekatan yang baru terhadap pekerjaan. Abad 21 juga mengisyaratkan diperlukannya global leadership dan mind set tertentu. Seiring dengan dinamika perkembangan global, berkembang pula pemikiran dan pandangan mengenai kepemimpinan global (global leadership), yang akan banyak menghadapi tantangan dan memerlukan berbagai persyaratan untuk suksesnya., seperti dalam membangun visi bersama dalam konteks lintas budaya dalam kemajemukan hidup dan kehidupan bangsa-bangsa dalam rangka merubah ancaman global menjadi peluang yang sangat berarti.
Sumber:
Cise, Jerrold G. Van. “regulation – by Business or Government” Harvard Business Review, 1996.
David, Fred R. Concepts of Strategic Management. New York. Macmillan Publishing Company.,1991
Drucker, Peter F . Managing for the Future. New York : Truman Talley Books.,1992.
Drost, J.I.G.M.S.J. Sekolah Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius, 2001/
Hou, Wee chow, dkk. Sun Tzu, War and Management : Addison Wesley Publishing Co.Singapore,1992.
Hunger, J. David dan Wheelen, Thomas L. . Strategic Management London Addison Wesley Publishing Co, 1993..
Philips Jusario Vermonte. Transnasional Organized Crime : Isu dan Permasalah-an. Analisis CSIS Review, 2002.
Ali Moertopo . Strategi Pembangunan Nasional : CSIS ,Jakarta,1981.
LAN, Perencanaan Strategik Instansi Pemerintah, Jakarta LAN dan BPKP,2000.
Silberman, M. Active Learning : 101 Strategi to Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon, 1996.
Sondang PS. Management Strategik, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
Suwarsono M. Management Strategik Konsep dan Kasus, Yogyakarta 1998.
Definisi, Unsur, Prinsip, Manfaat Program Total Quality Management (TQM)
Definisi TQM
Mendefinisikan mutu / kualitas memerlukan pandangan yang komprehensif. Ada beberapa elemen bahwa sesuatu dikatakan berkualitas, yakni;
1) Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
2) Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan
3) Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (apa yang dianggap berkualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada saat yang lain).
4) Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.(Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, 2003:3-4)
Mutu terpadu atau disebut juga Total Quality Management (TQM) dapat didefinisikan dari tiga kata yang dimilikinya yaitu: Total (keseluruhan), Quality (kualitas, derajat/tingkat keunggulan barang atau jasa), Management (tindakan, seni, cara menghendel, pengendalian, pengarahan). Dari ketiga kata yang dimilikinya, definisi TQM adalah: “sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dengan kegiatan yang diupayakan benar sekali (right first time), melalui perbaikan berkesinambungan (continous improvement) dan memotivasi karyawan “(Kid Sadgrove, 1995) Dalam (Yamit, 2001:181)
a) Seperti halnya kualitas, Total Quality Management dapat diartikan sebagai berikut;
Perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan (Ishikawa, 1993, p.135).
b) Sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi (Santosa, 1992, p.33).
c) Suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya. (Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, 2003:4)
Pengertian lain dikemukakan oleh Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U. mengatakan bahwa Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya.
Unsur-unsur utama TQM
a) Fokus pada pelanggan.
b) Obsesi terhadap kualitas.
c) Pendekatan ilmiah.
d) Komitmen jangka panjang.
e) Kerja sama tim.
f) Perbaikan sistem secara berkesinambungan
g) Pendidikan dan pelatihan.
h) Kebebasan yang terkendali
i) Kesatuan tujuan.
j) Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan. (Nasution, 2005:22)
Prinsip-prinsip TQM
Ada beberapa tokoh yang mengemukakan prinsip-prinsip TQM. Salah satunya adalah Bill Crash, 1995, mengatakan bahwa program TQM harus mempunyai empat prinsip bila ingin sukses dalam penerapannya. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a) Program TQM harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi pada kualitas dalam semua kegiatannya sepanjang program, termasuk dalam setiap proses dan produk.
b) Program TQM harus mempunyai sifat kemanusiaan yang kuat dalam memberlakukan karyawan, mengikutsertakannya, dan memberinya inspirasi.
c) Progran TQM harus didasarkan pada pendekatan desentralisasi yang memberikan wewenang disemua tingkat, terutama di garis depan, sehingga antusiasme keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan.
d) Program TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijaksanaan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah organisasi.
Lebih lanjut (Bill, 1996) menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar 5 pilar sistem yaitu; Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan, dan Komitmen.
Lima Pilar TQM :
1) Produk
2) Proses
3) Organisasi
4) Pemimpin
5) Komitmen
Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi. Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua yang lain. Setiap pilar tergantung pada keempat pilar yang lain, dan kalau salah satu lemah dengan sendirinya yang lain juga lemah. (Bambang, 1996:7)
Pendapat lain dikemukakan oleh Hensler dan Brunnell (dalam Scheuing dan Christopher, 1993: 165-166) yang dikutip oleh Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U. dalam bukkunya yang berjudul Manjemen Mutu Terpadu, mengatakan bahwa TQM merupakan suatu konsep yang berupaya, melaksanakan sistem manajemen kualitas kelas dunia. Untuk itu, diperlukan perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai suatu organisasi. ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu :
1) Kepuasan pelanggan.
2) Respek terhadap setiap orang.
3) Manajemen berdasarkan fakta.
4) Perbaikan berkesinambungan. (Nasution, 2005:30)
Manfaat Program TQM
TQM sangat bermanfaat baik bagi pelanggan, institusi, maupun bagi staf organisasi.
Manfaat TQM bagi pelanggan adalah:
1) Sedikit atau bahkan tidak memiliki masalah dengan produk atau pelayanan.
2) Kepedulian terhadap pelanggan lebih baik atau pelanggan lebih diperhatikan.
3) Kepuasan pelanggan terjamin.
Manfaat TQM bagi institusi adalah:
a. Terdapat perubahan kualitas produk dan pelayanan
b. Staf lebih termotivasi
c. Produktifitas meningkat
d. Biaya turun
e. Produk cacat berkurang
f. Permasalahan dapat diselesaikan dengan cepat.
Manfaat TQM bagi staf Organisasi adalah:
a. Pemberdayaan
b. Lebih terlatih dan berkemampuan
c. Lebih dihargai dan diakui
Manfaat dari implementasi TQM yang mungkin dapat dirasakan oleh institusi di masa yang akan datang adalah:
a. Membuat institusi sebagai pemimpin (leader) dan bukan hanya sekedar pengikut (follower)
b. Membantu terciptanya tim work
c. Membuat institusi lebih sensitif terhadap kebutuhan pelanggan
d. Membuat institusi siap dan lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan
e. Hubungan antara staf departemen yang berbeda lebih mudah
Persyaratan Implementasi TQM
Agar implementasi program TQM berjalan sesuai dengan yang diharapkan diperlukan persyaratan sebagai berikut:
a. Komitmen yang tinggi (dukungan penuh) dari menejemen puncak.
b. Mengalokasikan waktu secara penuh untuk program TQM
c. Menyiapkan dana dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
d. Memilih koordinator (fasilitator) program TQM
e. Melakukan banchmarking pada perusahaan lain yang menerapkan TQM
f. Merumuskan nilai (value), visi (vision) dan misi (mission)
g. Mempersiapkan mental untuk menghadapi berbagai bentuk hambatan
h. Merencanakan mutasi program TQM.(Bambang, 1996:186)
TQM dalam Pendidikan
Manajemen Mutu Terpadu yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM) atau disebut pula Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait. M. Jusuf Hanafiah, dkk (1994:4) mendefinisikan Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan yang sistematis, praktis, dan strategis dalam menyelenggarakan suatu organisasi, yang mengutamakan kepentingan pelanggan. pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu. Sedang yang dimaksud dengan Pengeloaan Mutu Total (PMT) Pendidikan tinggi (bisa pula sekolah) adalah cara mengelola lembaga pendidikan berdasarkan filosofi bahwa meningkatkan mutu harus diadakan dan dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu berkesinambungan sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan baik masa kini maupun yang akan datang.
Dalam MMT sekolah dipahami sebagai Unit Layanan Jasa, yakni pelayanan pembelajaran. Sebagai unit layanan jasa, maka yang dilayani sekolah (pelanggan sekolah) adalah: 1) Pelanggan internal : guru, pustakawan, laboran, teknisi dan tenaga administrasi, 2) Pelanggan eksternal terdiri atas : pelanggan primer (siswa), pelanggan sekunder (orang tua, pemerintah dan masyarakat), pelanggan tertier (pemakai/penerima lulusan baik diperguruan tinggi maupun dunia usaha).(Yunus:2008)
Karakteristik Sekolah Bermutu Terpadu[10]
Arcaro, Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu; prinsip-prinsip perumusan dan tata langkah penerapan, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 36.
Dimensi Kualitas Pelayanan pada Jasa Pendidikan
Kualitas jasa pendidikan dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi pelanggan atas pelayanan yang diperoleh atau diterima secara nyata oleh mereka dengan pelayanan yang sesungguhnya diharapkan. Jika kenyataan lebih dari yang diharrpkan, pelayanan dapat dikatakan bermutu. Sebaliknya jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan tidak bermutu Namun apabila kenyataan sama dengan harapan, maka kualitas pelayanan disebut memuaskan. Dengan demikian, kualitas pelayanan dapat didefinisikan seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan atas layanan yang diterima mereka, dimensi jasa pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Bukti Fisik (tangible) Bukti fisik berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang tercantum dalam pasal Pasal 42 bab VII Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan yang berisi sebagai berikut :(1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2)Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 42)
b. Keandalan (reliability) Yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera atau cepat, akurat, dan memuaskan
c. Daya Tanggap (responsiveness) Yaitu kemauan/kesediaan para staff untuk membantu para peserta didik dan memberikan pelayanan cepat tanggap.
d. Jaminan (assurance) Yaitu mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap peserta didik, serta memiliki sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya dan keragu-raguan. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, yang berisi: (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 28)
e. Empati (empathy) Yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi dengan baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan peserta didiknya.
Pendekatan Total Quality Service (TQS)
Total quality service atau layanan mutu terpadu adalah suatu keadaan ketika sebuah lembaga pendidikan memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan bermutu kepada para pelanggan maupun pemilik lembaga pendidikan (pemerintah atau yayasan) san pegawainya. TQS ini memiliki 5 elemen yang saling terkait satu sama lain, yaitu :
a. Riset Pasar dan Pelanggan (market and customer research) Riset pasar adalah kegiatan penelitian terhadap struktur dan dinamika pasar tempat lembaga pendidikan berada yang meliputi identifikasi segmen pasar, analisis demografis, dan analisis kekuatan yang ada di dalam pasar itu sendiri.
b. Perumusan Strategi (strategy formulation) Suatu proses perancangan strategi untuk mempertahankan pelanggan yang ada dan meraih pelanggan baru.
c. Pendidikan, Pelatihan, dan Komunikasi (education, traning and communication)
Pendidikan dan pelatihan sangat penting dalam pengembangan dan peningkatan mutu layanan (pengetahuan dan kemampuan) sumber daya manusia agar mereka mampu memberikan layanan yang bermutu kepada para pelanggannya. Adapun komunikasi berperan dalam mendistribusikan informasi kepada setiap individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan.
d. Penyempurnaan Proses (process improvement) Penyempurnaan proses merupakan berbagai usaha di setiap hierarki manajemen pendidikan untuk secara berkesinambungan menyempurnakan proses pemberi layanan dan secara aktif memberikan cara baru dalam memperbaiki layanan.
e. Penilaian, Pengukuran, dan Umpan balik (assessment, measurement, and feedback) Penilaian, pengukuran, dan umpan balik berperan dalam menginformasikan kepada penyaji jasa pendidikan seberapa jauh mereka mampu memenuhi keinginan dan harapan pelanggannya. Hasil penilaian kinerja dan umpan balik dapat dijadikan dasar untuk memberikan balas jasa kepada merka, serta memberikan isyarat kepada lembaga pendidikan tentang apa yang masih harus diperbaiki, kapan diperbaiki, dan bagaimana cara memperbaikinya.
Sumber: Karl Albrecht & Ron Zemke (1990)
Total Quality Service (TQS)
Perbaikan yang berkesenimbangunan berkaitan dengan komitmen (continuous quality improvement atau CQI) dan proses (continuous process improvement). Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan pernyatann dedikasi pada misi dan visi bersama, serta pemberdayaan semua partisipan untuk secara inkremental mewujudkan visi tersebut (Lewis dan Simth, 1994). Perbaikan yang berkesinambungan tergantung kepada dua unsur. Pertama, mempelajari proses, alat, dan ketrampilan yang tepat. Kedua, menerapkan ketrampilan baru pada small achieveable projects. Upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan dalam lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan sistem terbuka atas fungsi inti lembaga pendidikan, student learning. Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menjamin kualitas lembaga pendidikan, yaitu (1) Pendekatan akreditas, (2) Pendekatan outcome assessment, dan (3) Pendekatan sistem terbuka (Lewish & Smith, 1994) dalam Rochaety: 2006, 118-120)
Penyempurnaan kualitas berkesinambungan dalam lembaga pendidikan
a. Perbaikan berkelanjutan merupakan hal penting untuk setiap organisasi mutu.
b. Perbaikan tersebut hanya dapat dicapai bila setiap orang disekolah atau wilayah bekerja bersama-sama dan: Menerapkan roda mutu pada setiap aspek kerja
c. Memahami manfaat jangka panjang pendekatan biaya mutu
d. Mendorong semua perbaikan baik besar maupun kecil
e. Mefokuskan pada upaya pencegahan dan bukab penyelesaian masalah (Jerome, 2007:204)
Sumber
Arcaro, Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu; prinsip-prinsip perumusan dan tata langkah penerapan, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Bambang H. Hadi Wiardjo dan Sulistijarningsih Wibisono, Memasuki Pasar Internasional Dengan ISO 9000, Sistem Manajemen Mutu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996)
Depdiknas, Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005)
Dr. Umedi, M.Ed., Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), (Jakarta: Pusat Kajian Mutu Pendidikan, 2004)
Drs. Zulian Yamit, Msi, Manajemen Kualitas Produk Dan Jasa, (Yogyakarta: CV Adipura, 2001)
Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003)
Nasution, M, Nur, Manajemen Mutu Terpadu, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)
Rochaety, Eti, dkk, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Arah Kebijakan Pengembangan Sekolah 2008-2025 Masalah yang Perlu Dibenahi
Persamaan
Fakta menunjukkan bahwa keinginan dan harapan dalam penyelenggaraan pendidikan SBI di daerah sangat tinggi, namun masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Permasalahan mendasar yang perlu dibenahi dapat dinyatakan bahwa manajemen SBI merupakan sasaran yang sangat besar dan multi stratum. Peserta didik dalam program SBI merentang mulai penduduk usia dini hingga usia remaja. Dengan kata lain, garapan pendidikan pada SBI melebihi garapan pendidikan sekolah dengan latar belakang dan segmen peserta didik yang beragam. Problema-problema pokok dalam aspek manajerial ketiga jenis lembaga pendidikan tersebut berkaitan dengan:
Pertama, belum adanya spesifikasi dan standarisasi tentang peserta didik, kurikulum, ketenagaan (kepala sekolah, guru, pustakawan, laboran, tata usaha sekolah, dan tenaga kependidikan lainnya), media dan sumber belajar, pembiayaan, dan model-model proses pembelajaran, serta komite sekolah atau tata hubungan dengan masyarakat;
Kedua, perencanaan pendidikan masih bersifat terpusat dan belum komprehensif. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya kapasitas pemahaman, apresiasi dan keterampilan dari aparat pemerintah dan masyarakat tentang karakteristik kelembagaan pendidikan SBI. Sehingga menyebabkan pula kurangnya partisipasi masyarakat dan stakeholders pendidikan dalam sistem penganggaran dan pembinaannya;
Ketiga, walaupun pemerintah daerah telah memberikan keleluasaan penuh dalam manajemen pendidikan SBI kepada setiap satuan pendidikan, namun belum disertai dengan perangkat sistem dan aturan pelaksanaan yang memadai. Sehingga otoritas dan kewenangan dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pembiayaan, pembinaan dan pengawasan serta evaluasi program pendidikan masih dianggap tumpang tindih, baik secara horizontal maupun vertikal.
Di samping ketiga problema dalam manajemen pendidikan SBI, perlu pula diperhatikan tiga kondisi sosial yang sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan SBI di daerah, antara lain:
Kondisi umum kehidupan masyarakat di daerah dari sisi kesehatan dan perekonomian masih memprihatinkan. Persoalan gizi buruk, AKI (angka kematian ibu) dan AKB (angka kematian bayi), penyakit lama yang menghinggapi masyarakat, daya beli disadari atau tidak sangat berpengaruh terhadap akses kepada pendidikan SBI. Kedua, diakui atau tidak bahwa dalam melaksanakan pembangunan pendidikan SBI di kabupaten masih ditemukan fakta yang saling bertentangan antara dimensi konsumtif dengan dimensi investatif. Dimensi konsumtif berkaitan dengan kepentingan pemerataan dan keadilan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tentang pendidikan yang populis, sedangkan dimensi investatif berkenaan dengan kebutuhan untuk menciptakan kemampuan menghasilkan daya saing SDM di masa depan. Pilihan terhadap kedua tujuan tersebut pada kenyataannya harus melalui pertimbangan-pertimbangan politis dan ekonomis. Pertimbangan politis didasarkan kepada tujuan masyarakat secara menyeluruh, dan pertimbangan ekonomis didasarkan pada kemampuan fiskal otoritas penentu anggaran pembangunan daerah. Investasi dalam bidang pendidikan secara dini memang akan menjamin terwujudnya pemenuhan hak asasi manusia, meningkatnya kualitas SDM, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terwujudnya masyarakat sejahtera, mempunyai kemampuan mengelola teknologi, mempunyai keunggulan kompetitif yang tinggi, dan menjamin kelangsungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apabila setiap pemerintah daerah betul-betul ingin mengelola model sistem pendidikan SBI dengan sebaik-baiknya, maka status atau fungsi pengelola pendidikan SBI pada setiap jenjang pendidikan memerlukan perangkat hukum dan perundang-undangan yang dapat memberikan keleluasaan untuk merubah pola pikir, apresiasi, dan kebiasaan dalam mengelola pendidikan yang inovatif dan lebih akuntabel. Sehingga, mengelola sistem pendidikan SBI berada dalam satuan sistem tata kelola. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pada era baru ke depan, model SBI perlu terus dibina dan dikembangkan agar memiliki peran yang lebih menonjol dalam mengembangkan kualitas SDM di setiap daerah. Untuk itu model SBI perlu ditata dan dikembangkan sehingga menjadi komponen yang integral, saling membangun dan saling melengkapi dengan komponen pendidikan persekolahan lainnya.
Tujuan dan Sasaran Pengembangan
Dalam aspek pemerataan, tujuan dan sasaran pengembangan SBI harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan daya tampung pada setiap jenjang pendidikan SBI, dengan memberikan kesempatan kepada semua penduduk usia sekolah untuk memperoleh pendidikan pada SBI dengan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang pluralistik yang disertai dengan tanggungjawab dalam memberikan konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat. Tujuan ini akan berlanjut sampai kepada upaya dalam meningkatkan angka melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dengan disertai bekal kemampuan yang lebih memadai dan berbagai kemudahan baik bagi peserta didik, masyarakat dan sekolah. Dalam aspek peningkatan mutu, relevansi dan dayasaing, harus dimulai dari upaya dalam meningkatkan mutu muatan kurikulum yang diarahkan pada: (1) Regulasi tuntutan perubahan yang dinamis dan akseleratif, sehingga memberikan makna yang berarti bagi bekal kehidupan peserta didik di masa depan, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai religius, bekal kecakapan hidup (life skills), tata pergaulan, budi-pekerti, seni budaya lokal, kesehatan dan lingkungan hidup, serta aspek-aspek pembentuk karakter kehidupan berbangsa dan bernegara; (2) Menghilangkan kesenjangan tingkat pendidikan dan kesempatan berkiprah dalam memperoleh layanan pendidikan antara laki-laki dengan perempuan; (3) Meningkatkan daya nalar, apresiasi dan kemampuan belajar peserta didik pada setiap jenjang pendidikan terhadap setiap mengikuti tuntutan kurikulum pendidikan; (4) Meningkatkan fungsi dan peran pelayanan perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, dan sarana berlatih lainnya sebagai media/sumber belajar dan pembelajaran peserta didik; (5) Meningkatkan jumlah dan mutu buku paket, buku perpustakaan, peralatan laboratorium, alat peraga edukatif (indoor maupun outdoor), serta sarana dan prasarana belajar lainnya baik bagi peserta didik maupun bagi guru yang sesuai tuntutan kurikulum; (6) Meningkatkan status hukum kepemilikan tanah, bangunan gedung dan sarana/prasarana serta aset-aset sekolah atas nama negara yang dilimpahkan wewenang pengelolaannya kepada lembaga pengelola setiap satuan pendidikan; (7) Meningkatkan mutu pemeliharaan gedung, perabot, sarana dan prasarana sekolah yang didukung oleh mekanisme sistem pemeliharaan yang berkelanjutan dan pembiayaan yang seimbang; (8) Meningkatkan jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya sesuai dengan tuntutan kurikulum; (9) Meningkatkan wawasan pengetahuan, apresiasi, dan kemampuan teknis manajerial para kepala satuan pendidikan, pengurus komite/dewan sekolah, tata usaha, serta pengawas sekolah, baik yang menyangkut bidang garapan sekolah, maupun proses manajemen yang sesuai dengan karakteristik kelembagaan sekolah; dan (10) Meningkatkan pelayanan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya pada setiap jenjang pendidikan dengan memberi imbalan yang layak dan berkeadilan dalam memikul tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik setiap sekolah. Sedangkan pada aspek peningkatan mutu tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik harus diarahkan pada: (1) Upaya dalam meningkatkan kinerja kelembagaan yang mengangkut sistem perencanaan, pembiayaan, penyelenggaraan, pengawasan dan supervisi, evaluasi (evaluasi hasil belajar maupun evaluasi program) dan sistem pelaporan terhadap satuan program penyelenggaraan pendidikan, sehingga tercipta profesionalitas, transparansi, akuntabilitas dan pencitraan publik yang wajar tanpa syarat; (2) Mengembangkan inovasi-inovasi pembelajaran yang lebih bersifat antisipatif ke arah peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan; (3) Meningkatkan kualitas data dan informasi pendidikan yang cepat, akurat dan dapat dipercaya dalam upaya mendukung sistem pembuatan kebijakan dan keputusan yang menyangkut manajemen pembangunan pendidikan di daerah; dan (4) Meningkatkan peranserta masyarakat, dunia perusahaan, dan stakeholders pendidikan lainnya yang diarahkan pada kebersamaan memikul tanggungjawab antara pemerintah, masyarakat dan peserta didik sebagai bagian dari subjek pembelajaran, yang dinamis, adaptif, dan penuh inisiatif.
Pendekatan Program
Pelibatan sekolah pada suatu program pembaharuan pendidikan, didasarkan pada dua alasan: Pertama, upaya menempatkan sekolah sebagai pelaku utama yang peka dan aktif pada seluruh kegiatan yang terkait dengan substansi program berdasarkan: kondisi, sumber daya yang dimiliki dan potensi sumber daya yang dapat dikuasainya. Kedua, upaya memposisikan peran lembaga sekolah sebagai fasilitator agar peran pelaku utama yang peka dan aktif tersebut dapat terwujud. Kedua alasan tersebut beranjak dari pandangan bahwa suatu program intervensi yang benar-benar melibatkan sekolah akan mengarahkan kepada keberhasilan program itu sendiri dan sekaligus membangun kekuatan kelembagaan kelompok sasarannya. Sekolah sebagai pelaku utama dalam pembangunan mengandung pengertian bahwa seluruh aspek manajemen program tersebut pada dasarnya dilakukan oleh sekolah. Sehingga dengan demikian konteks pelibatan sekolah dalam program tersebut bukan sekedar untuk mengarahkan sekolah sebagai pelaksana tetapi memberikan kondisi agar sekolah dapat melakukan pengembangan aspek program yang dibutuhkannya dan sekaligus memberikan perspektif terhadap kepentingan pembangunan yang lebih luas. Fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dalam kerangka penguatan kemampuan dan potensi masyarakat (pembelajaran dan pemberdayaan serta pembaharuan masyarakat). Artinya, para pengelola sekolah diharapkan pada suatu proses yang terbuka bagi pemikiran dan ketrampilan baru. Sehingga pelibatan sekolah akan merupakan media untuk terjadi proses penerimaan dan pengalihan kemampuan masyarakat dalam mengelola aspek program yang dibutuhkannya.
Pemberdayaan sekolah dilihat sebagai upaya fasilitasi dari unsur di luar masyarakat akan terkait dengan aspek perilaku (psiko-sosial), budaya dan politik, dan mata pencaharian masyarakat. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi sehingga baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama akan berpengaruh terhadap tingkat kesiapan sekolah untuk melibatkan diri atau dilibatkan dalam suatu program. Merujuk pada makna dasar dan dimensi yang terkandung di dalamnya maka hasil akhir dari proses pelibatan sekolah dalam kerangka pembangunan yang berperspektif Pemberdayaan Sekolah Mandiri adalah tumbuhnya: (1) rasa memiliki dari para pengelola sekolah termasuk kelembagaannya terhadap program intervensi yang dirancang; (2) kemandirian atau keswadayaan sekolah baik sebagai penggagas, pelaksana maupun pemanfaat pembangunan, dan (3) kepercayaan diri yang mapan terhadap potensi, sumber daya dan kemampuan yang dimiliki untuk membangun kelembagaan. Apabila kebijakan pembangunan masyarakat lebih menekankan kepada terwujudnya peranserta masyarakat dan pemberdayaan masyarakat menjadi satu-satunya pilihan, maka persoalan sangat mendasar yang perlu diantisipasi dalam pemberdayaan sekolah adalah perbedaan persepsi antara para disainer program dengan keinginan, kebutuhan dan harapan masyarakat itu sendiri. Apa yang dianggap pemerintah diperlukan oleh sekolah dan kemudian dirumuskan ke dalam serangkaian program pembangunan belum tentu betul-betul dibutuhkan oleh golongan masyarakat. Dengan demikian, program Pemberdayaan Sekolah yang berbasis kemasyarakatan harus bercirikan: (1) ada kebijakan yang menjamin hak dan kewajiban sekolah dalam menggali, merumuskan kebutuhan dan melaksanakan aktivitas dalam memenuhi kebutuhannya; (2) ada sistem informasi yang melembaga dalam masyarakat dalam bentuk youth coalitions atau semacamnya; (3) ada upaya penguatan kapasitas atau kemampuan pengelola dan guru dalam pelaksanaan program; (4) ada transparansi keterpaduan visi dan misi program; (5) ada akuntabilitas program, dan (6) ada lembaga yang menjadi mitra kerja pelaksanaan program. Keenam ciri tersebut akan muncul apabila: (1) Sekolah mengetahui akan kebutuhan, keinginan dan harapannya; (2) Sekolah mempunyai kesempatan dan keleluasaan untuk memutuskan keinginan, kebutuhan dan harapannya; (3) Sekolah memahami visi, misi, prinsip, dan tujuan program; (4) Sekolah mengetahui tugas dan perannya; (5) Sekolah mempunyai penggerak baik bersifat individual maupun kelembagaan;
Strategi Manajemen
SBI dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan prakarsa sekolah (demand driven dan bottom up) yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan lokal, nasional, dan internasional. Hal ini harus dituangkan ke dalam Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) yang disusun secara partisipatif oleh pihak sekolah dan komite sekolah, serta pemangku kepentingan pendidikan. Secara umum pengembangan SBI berprinsip pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) plus. Hal ini berarti bahwa pengembangan SBI harus dapat memenuhi SNP, yakni Standar Nasional Pendidikan dan “plus” dalam arti penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, pengadopsian, dan pengadaptasian semua komponen dan kemampuan sekolah dengan berorientasi pada sekolah yang secara internasional telah mendapat pengakuan baik sekolah yang ada didalam negeri maupun di luar negeri. Pengembangan strategi manajemen SBI dilakukan melalui berbagai strategi yang menyangkut bidang kelembagaan, sumber daya manusia, kurikulum dan bahan ajar, sarana dan prasarana, proses belajar mengajar, lingkungan hidup dan budaya sekolah, kelembagaan komite sekolah, publikasi dan hubungan kemitraan dengan masyarakat.
Kelembagaan
Untuk mengembangkan kelembagaan SBI dari fase rintisan sampai fase mandiri ditempuh berbagai strategi sebagai berikut:
a. Melakukan studi banding ke beberapa sekolah bertaraf internasional baik di dalam maupun di luar negeri untuk memperoleh gambaran tentang bagaimana penyelenggaraan kelembagaan sekolah bertaraf internasional
b. Menjalin kemitraan melalui program sister school atau sekolah koalisi dengan sekolah bertaraf internasional baik di dalam maupun di luar negeri. Melalui strategi ini sekolah yang menjadi sister school atau koalisi tersebut secara intensif dan dalam jangka waktu lama dapat membagi pengetahuan dan pengalamannya kepada SBI tentang bagaimana menyelenggarakan sekolah sekolah yang bertaraf internasional.
c. Pendampingan oleh konsultan yang secara intensif mendampingi pengelola SBI Sukabumi dalam merencanakan dan mengimplementasikan program dan kegiatan sekolah.
d. Konsultasi secara berkala dengan pengembang sekolah bertaraf internasional di Dinas Pendidikan Kabupaten dan Direktorat Pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional.
Sumber Daya Manusia
Pengembangan sumber daya manusia meliputi pengembangan manajer, kepala sekolah, guru, staf administrasi, tenaga perpustakaan, pengelola unit fasilitas penunjang (tenaga lab bahasa, lab IPA dan matematika, lab komputer, pengelola GOR dan stadion, kantin sekolah, kolam renang), cleaning service, dan satpam. Pengembangan sumber daya manusia ini dapat ditempuh melalui beberapa strategi berikut:
a. Pendidikan lanjutan, yakni memberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
b. Pendidikan dan pelatihan, fasilitasi dan pendampingan yang dilaksanakan di tingkat gugus, kabupaten, provinsi, nasional, maupun internasional.
c. In house training, yakni melakukan pelatihan di sekolah sendiri dengan menggunakan nara sumber dari dalam sekolah sendiri maupun mendatangkan dari luar.
d. Studi banding, yakni dengan melakukan kunjungan ke sekolah bertaraf internasional baik di dalam maupun di luar negeri untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman langsung.
e. Magang, yakni dengan belajar secara langsung untuk waktu yang cukup lama, misalnya sebagai guru, di sekolah bertaraf internasional baik di dalam maupun di luar negeri.
f. Pendampingan oleh konsultan secara langsung baik dalam perencanaan maupun dalam implementasi program dan kegiatan di sekolah.
g. Pembinaan secara berkala oleh Dinas Penddikan Kabupaten Sukabumi.
Kurikulum dan Bahan Ajar
Pengembangan kurikulum dan bahan ajar bertaraf internasional dilakukan dengan pendampingan dari konsultan dan berkoordinasi dengan Sister School dalam dan luar negeri.
Pemanfaatan Sarana dan Prasarana
a. Sarana dan prasarana SBI secara bertahap telah dibangun dan dikembangkan dengan bantuan dana dari pemerintah pusat dan dana pendamping dari pemerintah daerah. Secara bertahap bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan dikurangi pada fase kemandirian.
b. Partisipasi masyarakat, melalui wadah komite sekolah, perlu diberdayakan untuk mendukung pengelolaan sekolah secara mandiri.
c. Sarana dan prasarana SBI yang sangat lengkap perlu dimanfaatkan secara optimal oleh pihak sekolah.
d. Agar sarana dan prasarana memiliki umur keterpakaian dan kemanfaatan yang panjang maka perlu dilakukan pemeliharaan secara baik.
e. Pemeliharaan sarana dan parasarana pada tahap awal dilakukan oleh Dinas Pendidikan, namun pada tahap selanjutnya menjadi tanggung jawab sekolah dan komite sekolah.
f. Untuk memperoleh pendapatan (income generating) bagi sekolah maka sarana dan prasarana sekolah seperti stadion, gelanggang olah raga, kolam renang, ruang pertemuan, laboratorium, dan sarana lainnya dapat disewakan kepada pihak luar. Pendapatan sekolah ini setidaknya dapat digunakan untuk biaya perawatan sarana dan prasarana.
Proses Belajar Mengajar
Pengembangan proses belajar mengajar diarahkan pada pengembangan PBM yang berbasis ICT dan penerapan active learning. Stategi pengembangan yang dapat ditempuh antara lain:
a. Pendampingan atau fasilitasi dari konsultan dan/atau tenaga pengajar dari Sister School terhadap kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya.
b. Program magang dan/atau pertukaran tenaga pengajar dengan sister school.
Lingkungan Hidup dan Budaya Sekolah
a. Sekolah bekerja sama dengan Sister School dan didampingi konsultan mengembangkan budaya sekolah yang memiliki karakteristik kedisiplinan dan komitmen tinggi semua warga sekolah, full-accessibility dalam proses pelayanan siswa, pengamalan ajaran Islam dalam setiap perilaku sehari-hari, penegakan tata-tertib sekolah secara musyawarah mufakat.
b. Lingkungan sekolah dikembangkan dengan nuansa K-7; kebersihan, ketertiban, kekeserasian, keindahan, keamanan, kedamaian, dan kerindangan.
Pengembangan Komite Sekolah
a. Pendirian komite sekolah harus memperhatikan keterwakilan (representasi) dari berbagai unsur masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh agama, pengusaha, pihak sekolah, dsb). Kepengurusan komite sekolah juga perlu memperhatikan keterwakilan gender.
b. Komite Sekolah harus memiliki program tahunan yang jelas dan melakukan pertemuan secara reguler, sekurang-kurangnya setiap tiga bulan sekali.
c. Komite sekolah sebagai mitra sekolah perlu menciptakan hubungan yang harmonis dengan pihak sekolah, dengan tidak terlalu mendominasi sekolah atau terlalu jauh mengintervensi sekolah.
Komite Sekolah juga harus transparan dalam mengelola keuangan dan bantuan lainnya yang berasal dari masyarakat dan harus dapat mempertanggung jawabkan pelaksanaan program dan penggunaan dana kepada masyarakat.
Pengembangan Publikasi
Pengembangan publikasi dimaksudkan agar di dalam maupun di luar SBI memperoleh informasi yang benar dan aktual tentang kegiatan yang dilakukan oleh sekolah ini. Publikasi juga dimaksudkan agar SBI lebih dikenal oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal, nasional, dan bahkan internasional. Strategi pengembangan publikasi antara lain dapat dilakukan melalui:
a. Pembuatan spanduk/leaflet/pamflet yang berisi berbagai informasi tentang SBI.
b. Penerbitan buletin atau majalah.
c. Publikasi lewat media masa cetak dan elektronik.
d. Pembuatan website.
e. Pameran dan openhouse.
f. Penyelenggaraan kejuaraan olah raga dan seni.
Tahapan Pengembangan Manajemen
Dengan merujuk pada buku panduan system penyelenggaraan SBI dari Depdiknas, serta mempertimbangkan kondisi nyata saat ini; maka rencana pengembangan SBI dirancang melalui 3 tahapan/fase yaitu fase rintisan, fase konsolidasi, dan fase kemandirian.
Fase Rintisan
Pada fase rintisan strategi pengembangan diarahkan pada pengembangan SDM (guru, kepala sekolah, tenaga administrasi dan tenaga pendukung lainnya termasuk komite sekolah). Selain dari pengembangan SDM difokuskan pula pengembangan sarana prasarana sekolah yang memenuhi kriteria SNP termasuk pengembangan program pembelajaran berbasis ICT. Fase rintisan diupayakan berlangsung selama 2 tahun. Mempertimbangkan kondisi saat ini maka selama 2 tahun tahap rintisan SBI masih perlu ditopang dari aspek pembinaan dan dana baik dari pemerintah pusat, propinsi, maupun daerah. Fase rintisan diharapkan rampung selama dua tahun pelajaran.
Fase Konsolidasi
Pada fase ini sarana dan prasarana SBI sudah tuntas dan siap untuk mengantarkan proses pembelajaran. Fase konsolidasi ini merupakan fase pengembangan yang memerlukan waktu maksimal 2 tahun. Pengembangan dimaksudkan untuk memantapkan semua aspek meliputi: (a) pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), (b) pengembangan kurikulum dan bahan ajar, (c) pengembangan proses belajar mengajar, (4) pengembangan lingkungan dan budaya sekolah, dan (5) penguatan peran masyarakat.
Fase konsolidasi memerlukan waktu minimal 2 tahun dan masih perlu didampingi oleh konsultan maupun tim pengembang kabupaten dan Sister School. Dalam menempuh implementasi pengembangan 5 aspek sebagaimana disebutkan di atas peran dukungan secara dominan Pemerintah daerah dalam hal penyediaan dana masih sangat dibutuhkan.
Fase Mandiri
Pada fase mandiri SBI telah memasuki tahun ke-5, maka diharapkan penataan sarana prasarana dan pengembangan SDM telah selesai. Pada fase ini sekolah telah mencapai kemandirian yang kuat dalam semua aspek, sehingga mampu bersaing dalam kualitas dengan sekolah bertarap internasional lainnya.
Kegiatan pembinaan pada fase ini diarahkan pada penguatan dengan menempuh pengawasan melekat serta monitoring dan evaluasi secara rutin dan terjadwal sehingga pelaksanaan program sekolah terpantau secara langsung. Dari hasil waskat maupun monev dijadikan bahan pembinaan dan reinforcement rutin kepada semua warga sekolah. Pada fase ini pula diharapkan segi pendanaan program sekolah telah dapat dilakukan sharing antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah daerah; dan tidak menggantungkan secara penuh pada subsidi pemerintah daerah. Program dan kegiatan pengembangan yang terinci pada setiap fase akan dikembangkan tersendiri pada Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS).
Perbedaan
Dalam membentuk sekolah yang unggul, diperlukan manajemen strategik yang unggul pula. Manajemen strategik adalah suatu cara untuk mengendalikan organisasi, dalam hal ini sekolah secara efektif dan efesien, sampai kepada implikasi garis terdepan, sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai. Sasaran manajemen strategik adalah meningkatkan: (1) Kualitas sekolah; (2) Efisiensi penganggaran; (3) Penggunaan sumberdaya; (4) Kualitas evaluasi program dan pementauan kinerja; serta (5) Kualitas pelaporan. Menurut David dalam Akdon ( 2007 : 79 ), aspek penting dalam manajemen strategik adalah perumusan strategi (Strategy Formulation), implementasi strategi (Strategy Implementation), dan evaluasi strategi (Strategy Evaluation).
Prinsip dalam manajemen strategik adalah adanya perumusan strategi yang mencerminkan keinginan dan tujuan sekolah yang sesungguhnya, adanya implikasi strategi yang menggambarkan cara mencapai tujuan (secara teknis strategi implementasi mencerminkan kemampuan sekolah dan alokasinya termasuk dalam hal ini adalah alokasi keuangan), serta strategi evaluasi yang mampu mengukur, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik kinerja sekolah.
Perumusan strategi sangat penting untuk dilaksanakan karena adanya keterbatasan yang dihadapi oleh suatu sekolah, misalnya keterbatasan dana dan kemampuan jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan yang diinginkan sehingga perlu disusun strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan sekolah sesuai dengan kemampuan sekolah. Kegiatan utama dalam perumusan strategi adalah pembuatan tujuan yang rasional. Rasionalitas ini dalam perkembangannya semakin komplek karena pesatnya perkembangan lingkungan dimana sekolah itu berada. Perkembangan lingkungan ini menuntut organisasi untuk selalu melakukan perubahan kearah perbaikan untuk mempertahankan eksistensinya. Kemampuan internal sekolah dan tuntutan perubahan eksternal merupakan dua komponen utama yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan strategik. Perumusan strategis yang realitas dan up-to-date adalah dua tuntutan yang harus dijawab dalam pembuatannya.
Realitas dalam arti bahwa perencanaan tersebut menunjukkan dengan jelas kemampuan dan tujuan yang akan dicapai dan bagaimana sekolah ingin mencapai tujuan tersebut. Up-to-date dalam arti meskipun strategi ini dibuat dalam jangka waktu tertentu (panjang, menengah, dan pendek), namun selalu efektif dan tepat dengan perkembangan lingkungan (antisipasi terhadap perubahan lingkungan) sehingga mampu memaksimalkan keunggulan kompetetif dan meminimalkan keterbatasan. Dan salah satu cara untuk mewujudkan keberhasilan tersebut adalah dengan adanya penguatan visi, misi, dan tujuan dalam manajemen sekolah tersebut.
Visi
Langkah awal dalam perumusan strategi adalah penetapan visi. Visi merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu . Visi harus dapat memberi kepekaan yang kuat tentang area fokus bisnis. Hal ini lebih lanjut diungkapkan oleh Hax dan Majluf dalam Akdon (2007 : 95), bahwa visi adalah pernyataan yang merupakan sarana untuk:
a. Mengkomunikasikan alasan keberadaan organisasi dalam arti tujuan dan tugas pokok.
b. Memperlihatkan framework hubungan antara organisasi dengan stakeholders (sumber daya manusia organisasi, konsumen/citizen, pihak lain yang terkait).
c. Menyatakan sasaran utama kinerja organisasi dalam arti pertumbuhan dan perkembangan.
Pernyataan visi perlu diekspresikan dengan baik agar mampu menjadi tema yang mempersatukan semua unit dalam sekolah, menjadi media komunikasi dan motivasi semua pihak, serta sebagai sumber kreativitas dan inovasi sekolah.
Kriteria-kriteria pembuatan visi meliputi:
a. Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang ingin diwujudkan.
b. Visi dapat memberikan arahan mendorong anggota organisasi untuk menunjukkan kinerja yang baik.
c. Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan.
d. Gambaran yang realistik dan kredibel dengan masa depan yang menarik.
e. Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya.
Suatu visi akan menjadi realistik, dapat dipercaya, menyakinkan, serta mengandung daya tarik, maka dalam proses pembuatannya perlu melibatkan semua stakeholders. Selain keterlibatan semua pihak, visi perlu secara intensif dikomunikasikan kesemua anggota sekolah sehingga mereka merasa sebagai pemilik visi tersebut. Selain itu visi dibuat dalam kalimat yang singkat agar mudah diingat dan dijadikan komitmen.
Contoh Visi:
MENJADIKAN SMA SEBAGAI SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN TAHUN 2011
Indikator:
a. Unggul dalam disiplin
b. Unggul dalam keagamaan/berakhlak mulia
c. Unggul dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)
d. Unggul dalam perolehan Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah (US) (output)
e. Unggul dalam memenangkan persaingan UMPT (Outcome)
f. Unggul dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja
g. Unggul dalam lomba Olimpiade Sain
h. Unggul dalam Lomba Kreatifitas Siswa
i. Unggul dalam Penguasaan Bahasa Inggris
j. Unggul dalam Penguasaan Teknologi Informasi
Misi
Visi yang telah kita peroleh harus kita terjemahkan kedalam guidelines yang lebih pragmatis dan kongkrit yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan strategi dan aktivitas dalam sekolah. Untuk hal itu dibutuhkan misi. Pernyataan dalam misi lebih tajam dan lebih detail jika dibandingkan dengan visi. Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai oleh organisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa yang akan datang. Pernyataan misi mencerminkan tentang segala sesuatu penjelasan yang akan ditawarkan yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk pencapaian misi.
Pernyataan misi memperlihatkan tugas utama yang harus dilakukan sekolah dalam mencapai tujuan sekolah. Dalam pernyataan misi terkandung definisi yang jelas tentang pekerjaan atau tugas pokok yang diemban suatu sekolah dan yang diinginkan dalam kurun waktu tertentu. Pernyataan misi menunjukkan dengan jelas arti penting eksistensi sekolah, karena misi mewakili alasan dasar untuk berdirinya sekolah. Banyak sekolah gagal karena pernyataan misi yang dirumuskan hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat pelanggan maupun stakeholder. Oleh karena itu, misi harus jelas menyatakan kepedulian organisasi terhadap kepentingan pelanggan.
Pernyataan misi harus:
a. Menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh organisasi dan bidang kegiatan utama dari organisasi yang bersangkutan.
b. Secara eksplisit mengandung apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.
c. Mengandung partisipasi masyarakat luas terhadap perkembangan bidang utama yang digeluti organisasi tersebut.
Pernyataan misi yang jelas akan memberi arahan jangka panjang sehingga memberikan stabilitas manajemen sekolah. Misi berubah apabila kehendak sekolah berubah atau karena adanya validasi langkah/komponen manajemen strategik yang lain. Pernyataan misi mencerminkan tentang segala sesuatu untuk mencapai visi.
Kriteria pembuatan misi meliputi:
a. Penjelasan tentang layanan yang ditawarkan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
b. Harus jelas memiliki sasaran publik yang akan dilayani.
c. Kualitas pelayanan yang ditawarkan memiliki daya saing yang meyakinkan masyarakat.
d. Penjelasan aspirasi layanan yang diinginkan pada masa datang juga manfaat dan keuntungan bagi masyarakat dengan pelayanan yang tersedia.
Contoh Misi:
a. Menerapkan disiplin tinggi dalam segala kegiatan
b. Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan budaya bangsa
c. Menerapkan pelaksanaan evaluasi atau penilaian hasil belajar secara konsisten dan berkesinambungan
d. Mengoptimalkan pembinaan dalam pembuatan karya tulis ilmiah
e. Mengoptimalkan pembinaan secara insentif guna menghadapi persaingan dalam era globalisasi
f. Menerapkan penggunaan bahasa Inggris dalam komunikasi antar warga sekolah
g. Mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi
h. Memanfaatkan lingkungan hidup sebagai media pembelajaran
Tujuan
Dalam kerangka pikir manajemen strategik, tujuan harus merupakan target-target yang bersifat kuantitatif dari suatu sekolah. Pencapaian tujuan merupakan ukuran dari keberhasilan kinerja faktor-faktor kunci keberhasilan suatu sekolah. Oleh karena itu tujuan merupakan bagian integral dalam sistem strategi managemen yang didalamnya mengandung usaha untuk melaksanakan suatu tindakan. Untuk itu tujuan harus menegaskan tentang apa (what) yang secara khusus harus dicapai dan kapan (when). Pencapain tujuan dapat menjadi tolak ukur untuk menilai kinerja sekolah. Tujuan organisasi (sekolah) pada dasarnya untuk jangka panjang yang harus diselesaikan selama waktu itu dan akan mengarahkan kinerja harian sekolah.
Kriteria Tujuan:
a. Tujuan harus serasi dan mengklarifikasikan visi dan misi.
b. Pencapaian tujuan akan dapat memenuhi atau berkontribusi memenuhi misi, program dan sub program sekolah.
c. Tujuan akan menjangkau hasil-hasil penilaian lingkungan internal/eksternal dan yang diprioritaskan serta mungkin dikembangkan dalam merespon isu-isu strategik.
d. Tujuan cenderung tidak berubah kecuali terjadi penggeseran lingkungan atau dalam hal isu strategik hasil yang diinginkan telah tercapai.
e. Tujuan biasanya secara relatif berjangka panjang, yaitu sekurang-kurangnya tiga tahun atau lebih.
f. Tujuan harus mengatasi kesenjangan antara tingkat pelayanan saat ini dengan yang diinginkan.
g. Tujuan mengambarkan hasil program.
h. Tujuan menggambarkan arah yang jelas dari organisasi, program dan sub program, tetapi belum menetapkan ukuran-ukuran spesifik atau strategi.
i. Tujuan harus menantang.
Penguatan Visi, Misi, dan Tujuan dalam Manajemen Sekolah yang Unggul
Sekolah unggul yaitu sekolah yang didasarkan atas keyakinan bahwa
siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu
belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum. Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Jadi dengan kata lain sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu ditunjukkan prestasinya tersebut. Sekolah yang unggul memiliki sejumlah korelat atau ciri sebagai berikut.
Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum
mampu dan memang tidak diberdayakan untuk mampu mengartikulasikan visi
dan misinya. Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang harus ditempuh, yaitu: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang kita hargai, (4) perbanyak unsur yang kita hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.
Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala
sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai
sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai
materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk
berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk
mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah “pemimpin dari pemimpin” bukan “pemimpin dari pengikut.” Artinya selain kepala sekolah adalah pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.
Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.
Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan.
Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.
Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah. Dan juga dengan adanya penguatan visi, misi, dan tujuan dalam manajemen sekolah tersebut agar terwujud sekolah yang unggul.
Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi dalam Strategi Manajemen Pendidikan
Model Pembelajaran Berbasis e-learning dalam Pendidikan
Dunia pendidikan terimbas pula oleh pesatnya perkembangan jagat maya. Sekolah lewat internet menjadi sesuatu hal yang memungkinkan. e-learning, sebuah alternatif media pendidikan yang tidak mengenal ruang dan waktu. Model sekolah lewat internet seharusnya ideal buat negeri kita. Pemanfaatan e-learning tidak terlepas dari jasa internet. Karena teknik pembelajaran yang tersedia di internet begitu lengkap, maka hal ini akan berpengaruhi terhadap tugas guru dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar mengajar didominasi oleh peran guru disebut “the era of teacher”, sementara siswa hanya mendengar penjelasan guru. Kemudian, proses belajar dan mengajar didominasi oleh peran guru dan buku (the era of teacher and book) dan pada saat ini proses belajar dan mengajar didominasi oleh peran guru, buku dan teknologi (the era of teacher, book and technology).
Teknologi internet pada hakekatnya merupakan perkembangan dari teknologi komunikasi generasi sebelumnya. Media seperti radio, televisi, video, multi media, dan media lainnya telah digunakan dan dapat membantu meningkatkan mutu pendidikan. Apalagi media internet yang memiliki sifat interaktif, bisa sebagai media massa dan interpersonal, dan sumber informasi dari berbagai penjuru dunia, sangat dimungkinkan menjadi media pendidikan lebih unggul dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu Khoe Yao Tung (2000) mengatakan bahwa setelah kehadiran guru dalam arti sebenarnya, internet akan menjadi suplemen dan komplemen dalam menjadikan wakil guru yang mewakili sumber belajar yang penting di dunia. Dengan fasilitas yang dimilikinya, internet menurut Onno W. Purbo (1998) paling tidak, ada tiga hal dampak positif penggunaan internet dalam pendidikan yaitu:
a. Peserta didik dapat dengan mudah mengambil mata kuliah dimanapun di seluruh dunia tanpa batas institusi atau batas negara.
b. Peserta didik dapat dengan mudah berguru pada para ahli di bidang yang diminatinya.
c. Kuliah/belajar dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa bergantung pada universitas/sekolah tempat si mahasiswa belajar. Di samping itu saat ini hadir pula perpustakan internet yang lebih dinamis dan bisa digunakan di seluruh jagat raya.
Pendapat ini hampir senada dengan Budi Rahardjo (2002). Menurutnya, manfaat internet bagi pendidikan adalah dapat menjadi akses kepada sumber informasi, akses kepada nara sumber, dan sebagai media kerjasama. Akses kepada sumber informasi yaitu sebagai perpustakaan on-line, sumber literatur, akses hasil-hasil penelitian, dan akses kepada materi kuliah. Akses kepada nara sumber bisa dilakukan komunikasi tanpa harus bertemu secara fisik. Sedangkan sebagai media kerjasama internet bisa menjadi media untuk melakukan penelitian bersama atau membuat semacam makalah bersama. Penelitian di Amerika Serikat tentang pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk keperluan pendidikan diketahui memberikan dampak positif (Pavlik, 1963). Studi lainya dilakukan oleh Center for Applied Special Technology (CAST), “bahwa pemanfaatan internet sebagai media pendidikan menunjukan positif terhadap hasil belajar peserta didik)”.
Walaupun masih banyak kendalanya, terlebih di Indonesia, kesenjangan mutu pendidikan antar-daerah seperti itu setidaknya bisa dijembatani dengan model sekolah lewat internet, e-learning. Syaratnya, mengubah paradigma teaching menjadi learning. Pembelajaran (learning) berbeda dengan pengajaran (teaching). Banyak definisi, redefinisi, atau kutipan mengenai learning. Intinya, belajar itu menyangkut perubahan terhadap diri-sendiri, mengubah perilaku, melakukan discovery (menguak apa yang semula tertutup). Pendeknya, belajar mengubah seseorang menjadi cerdas, bukan sekadar pintar. “Pintar” dan “cerdas” berbeda yang digambarkan dengan: “Smart people know from repetition of others. Intelligent people can figure it out by themselves”.
Profil peserta e-Learning adalah seseorang yang (1) mempunyai motivasi belajar mandiri yang tinggi dan memiliki komitmen untuk belajar secara sungguh-sungguh karena tanggung jawab belajar sepenuhnya berada pada diri peserta belajar itu sendiri (Loftus, 2001), (2) senang belajar dan melakukan kajian-kajian, gemar membaca demi pengembangan diri secara terus-menerus, dan yang menyenangi kebebasan, (3) mengalami kegagalan dalam mata pelajaran tertentu di sekolah konvensional dan membutuhkan penggantinya, atau yang membutuhkan materi pelajaran tertentu yang tidak disajikan oleh sekolah konvensional setempat maupun yang ingin mempercepat kelulusannya sehingga mengambil beberapa mata pelajaran lainnya melalui e-Learning, serta yang terpaksa tidak dapat meninggalkan rumah karena berbagai pertimbangan (Tucker, 2000).
Sedangkan dalam pengajaran guru atau instruktur memberikan waktu, energi, dan usaha untuk menyiapkan murid atau anak didik sesuai dengan tujuan instruksional. Guru memberi, murid menerima. Namun, orang yang diajar oleh guru atau melalui komputer belum tentu belajar, karena hasil belajar mensyaratkan adanya perubahan terhadap diri-sendiri.
Pengembangan pembelajaran berbasis e-learning perlu dirancang secara cermat sesuai tujuan yang diinginkan. Jika kita setuju bahwa e-learning di dalamnya juga termasuk pembelajaran berbasis internet, maka pendapat Haughey (1998) perlu dipertimbangkan dalam pengembangan e-learning. Menurutnya ada tiga kemungkinan dalam pengembangan sistem pembelajaran berbasis internet, yaitu “web course, web centric course, dan web enhanced course”.
“Web course” adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, yang mana peserta didik dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka. Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan, ujian, dan kegiatan pembelajaran lainnya sepenuhnya disampaikan melalui internet. Dengan kata lain model ini menggunakan sistem jarak jauh
“Web centric course” adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar tanpa tatap muka (jarak jauh) dan tatap muka (konvensional). Sebagian materi disampaikan melalui internet, dan sebagian lagi melalui tatap muka. Fungsinya saling melengkapi. Dalam model ini pengajar bisa memberikan petunjuk pada siswa untuk mempelajari materi pelajaran melalui web yang telah dibuatnya. Siswa juga diberikan arahan untuk mencari sumber lain dari situs-situs yang relevan. Dalam tatap muka, peserta didik dan pengajar lebih banyak diskusi tentang temuan materi yang telah dipelajari melalui internet tersebut.
Hasil penelitian yang menguji penggunaan teknologi pembelajaran bagi siswa (dengan mengakses website yang merujuk pada tampilan powerpoint untuk catatan dan persiapan ujian) dan metode belajar yang relatif lebih tradisional (membaca buku teks dan mencatat di kelas dari buku), serta pengaruh strategi belajar terhadap nilai ujian mereka dan kehadiran di kelas, menunjukkan siswa yang digolongkan tinggi pada penggunaan teknologi dan metode belajar tradisional menunjukkan prestasi dan kehadiran yang lebih tinggi daripada siswa yang digolongkan rendah dalam penggunaan kedua metode belajar yang menggunakan teknologi dan metode belajar tradisional. (Kathleen Debevec, 2006).
Model “web enhanced course” adalah pemanfaatan internet untuk menunjang peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk memberikan pengayaan dan komunikasi antara peserta didik dengan pengajar, sesama peserta didik, anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu peran pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet, membimbing mahasiswa mencari dan menemukan situs-situs yang relevan dengan bahan pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati, melayani bimbingan dan komunikasi melalui internet, dan kecakapan lain yang diperlukan.
Pengembangan e-learning tidak semata-mata hanya menyajikan materi pelajaran secara on-line saja, namun harus komunikatif dan menarik. Materi pelajaran didesain seolah peserta didik belajar dihadapan pengajar melalui layar komputer yang dihubungkan melalui jaringan internet. Untuk dapat menghasilkan e-learning yang menarik dan diminati, Onno W. Purbo (2002) mensyaratkan tiga hal yang wajib dipenuhi dalam merancang e-learning, yaitu “sederhana, personal, dan cepat”. Sistem yang sederhana akan memudahkan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi dan menu yang ada , dengan kemudahan pada panel yang disediakan, akan mengurangi pengenalan sistem e-learning itu sendiri, sehingga waktu belajar peserta dapat diefisienkan untuk proses belajar itu sendiri dan bukan pada belajar menggunakan sistem e-learning-nya.
Syarat personal berarti pengajar dapat berinteraksi dengan baik seperti layaknya seorang guru yang berkomunikasi dengan murid di depan kelas. Dengan pendekatan dan interaksi yang lebih personal, peserta didik diperhatikan kemajuannya, serta dibantu segala persoalan yang dihadapinya. Hal ini akan membuat peserta didik betah berlama-lama di depan layar komputernya. Kemudian layanan ini ditunjang dengan kecepatan, respon yang cepat terhadap keluhan dan kebutuhan peserta didik lainnya. Dengan demikian perbaikan pembelajaran dapat dilakukan secepat mungkin oleh pengajar atau pengelola.
Secara ringkas, e-learning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam sistem digital melalui internet. Oleh karena itu e-learning perlu mengadaptasi unsur-unsur yang biasa dilakukan dalam sistem pembelajaran konvensional. Misalnya dimulai dari perumusan tujuan yang operasional dan dapat diukur, ada persepsi atau pre test, membangkitkan motivasi, menggunakan bahasa yang komunikatif, uraian materi yang jelas, contoh-contoh kongkrit, problem solving, tanya jawab, diskusi, post test, sampai penugasan dan kegiatan tindak lanjutnya. Oleh karena itu merancang e-learning perlu melibatkan pihak terkait, antara lain: pengajar, ahli materi, ahli komunikasi, programmer, seniman, dan sebagainya.
Peranan E-Learning Pada Strategi Manajemen Pendidikan
Observasi para ahli sebagaimana telah dikemukakan di atas mengisyaratkan bahwa pendidikan di masa depan cenderung menjadi multidisipliner, jaringan yang terpadu, terkait pada produktivitas tepat waktu, pluralistik, lebih dialogis/sinkronis,lebih terbuka dan mudah diakses serta lebih bersaing secara alami. Pada tahun 1989, Bishop G. telah meramalkan bahwa pendidikan di masa depan cenderung menjadi luwes, terbuka, beraneka ragam, terjangkau oleh siapapun yang ingin belajar tanpa mengenal usia, jenis kelamin, pengalaman belajar sebelumnya, dan sebagainya.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi yang baru, model penyampaian melalui banyak jalur berbasis multimedia terus berkembang sebagai suatu alat yang sangat handal. Kemampuan untuk menggabungkan teks, diagram, dan gambar dengan video dan suara sangat menunjang kemampuan mentransmisikan informasi yang bermakna dan pembangunan teknologi yang bersifat maya (virtual), dapat meningkatkan efektivitas pendekatan tersebut, bahkan lebih dari itu. Banyak siswa, bahkan sekalipun mereka belum mengerti betul komputer berharap memperoleh kemudahan dengan materi tersebut.
Internet memiliki potensi luar biasa sepanjang infrastruktur sistem telepon yang ada dapat diandalkan disertai peralatan yang telah tersedia, yang telah mendorong orang untuk menyadarinya dan telah dilatih untuk penggunaannya. Bila hal ini dilihat sebagai suatu jawaban yang menyeluruh terhadap masalah-masalah pendidikan massa, maka kenyataan yang ada seperti ini sering diabaikan. Namun akan menjadi sangat bermakna jika dipandang sebagai sistem yang diterpkan secara bertahap dan kumulatif, di mana infrastruktur yang telah tersedia digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang jelas dan khusus.
Rosenberg (2001) menekankan bahwa e-learning merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Bahkan Onno W. Purbo (2002) menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet.
Secara lebih rinci Rosenberg (2001) mengkategorikan tiga kriteria dasar yang ada dalam e-learning, yaitu:
a. E-learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi. Persyaratan ini sangatlah penting dalam e-learning, sehingga Rosenberg menyebutnya sebagai persyaratan absolut.
b. E-learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan standar teknologi internet. CD ROM, Web TV, Web Cell Phones, pagers, dan alat bantu digital personal lainnya walaupun bisa menyiapkan pesan pembelajaran tetapi tidak bisa digolongkan sebagai e-learning.
c. E-learning terfokus pada pandangan pembelajaran yang paling luas, solusi pembelajaran yang menggungguli paradigma tradisional dalam pelatihan.
Uraian di atas menunjukan bahwa sebagai dasar dari e-learning adalah pemanfaatan teknologi internet. e-learning merupakan bentuk pembelajaran konvensional yang dituangkan dalam format digital melalui teknologi internet. Oleh karena itu e-learning dapat digunakan dalam sistem pendidikan jarak jauh dan juga sistem pendidikan konvensional. Dalam pendidikan konvensional fungsi e-learning bukan untuk mengganti, melainkan memperkuat model pembelajaran konvensional. Dalam hal ini Cisco (2001) menjelaskan filosofis e-learning sebagai berikut:
a. E-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line.
b. E-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi.
c. E-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan.
Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar conten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.
Guru atau instruktur dapat menugaskan peserta didik untuk bekerja dalam beberapa kelompok untuk mengembangkan dan mempresentasikan tugas yang diberikan. Peserta didik yang menggarap tugas kelompok ini dapat bekerjasama melalui fasilitas homepage atau web. Selain itu, peserta didik sendiri dapat saling berkontribusi secara individual atau melalui diskusi kelompok dengan menggunakan e-mail (Website kudos, 2002).
Concord Consortium (2002) (http://www.govhs.org/) mengemukakan bahwa pengalaman belajar melalui media elektronik semakin diperkaya ketika peserta didik dapat merasakan bahwa mereka masing-masing adalah bagian dari suatu masyarakat peserta didik, yang berada dalam suatu lingkungan bersama. Dengan mengembangkan suatu komunitas dan hidup di dalamnya, peserta didik menjadi tidak lagi merasakan terisolasi di dalam media elektronik. Bahkan, mereka bekerja saling bahu-membahu untuk mendukung satu sama lain demi keberhasilan kelompok.
Lebih jauh dikemukakan bahwa di dalam kegiatan e-Learning, para guru dan peserta belajar mengungkapkan bahwa mereka justru lebih banyak mengenal satu sama lainnya. Para peserta belajar sendiri mengakui bahwa mereka lebih mengenal para gurunya yang membina mereka belajar melalui kegiatan e-Learning. Di samping itu, para guru e-Learning ini juga aktif melakukan pembicaraan (komunikasi) dengan orangtua peserta didik melalui telepon dan email karena para orangtua ini merupakan mitra kerja dalam kegiatan e-Learning. Demikian juga halnya dengan komunikasi antara sesama para peserta e-Learning.
Pada dasarnya cara penyampaian atau cara pemberian (delivery system) dari e-learning, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. One way communication (komunikasi satu arah); dan
b. Two way communication (komunikasi dua arah).
Komunikasi atau interaksi antara guru dan murid memang sebaiknya melalui sistem dua arah. Dalam e-learning, sistem dua arah ini juga bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Dilaksanakan melalui cara langsung (synchronous). Artinya pada saat instruktur memberikan pelajaran, murid dapat langsung mendengarkan; dan
b. Dilaksanakan melalaui cara tidak langsung (a-synchronous). Misalnya pesan dari instruktur direkam dahulu sebelum digunakan.
Paradigma masa depan di dalam kecenderungan yang menyeluruh (Roll, R. 1997) adalah sebuah dorongan pasar multimedia. Dampak kuat dari lahirnya globalisasi akan menghasilkan perubahan dalam Strategi Manajemen pendidikan dan pelatihan. Untuk itulah diperlukan ilmu pendidikan dan metode-metode pembelajaran yang baru. Struktur ketrampilan kejuruan dan pengetahuan mengalami perubahan guna mendukung kegiatan belajar seumur hidup dan belajar berkelanjutan yang berfungsi untuk mempersiapkan para pekerja memenuhi tuntutan atau kepentingan industri. Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan Roll adalah “Teknologi tinggi hendaknya untuk menjangkau yang tidak terjangkau, dan ketepatan teknologi tinggi adalah apabila infrastrukturnya digunakan secara bijak. Dengan keadaan yang demikianlah, belajar jarak jauh dan pendidikan terbuka/jarak jauh akan menjadi pelopor memasuki dekade baru”.
Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi dalam Strategi Manajemen Pendidikan
Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Menurut Hoogerwerf (1988, 66) pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. James E. Anderson (1978, 33), memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who, where, dan how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut; isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan. Disamping kesimpulan tentang pengertian kebijakan dimaksud, pada dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan pemerintah serta perilaku negara pada umumnya (Charles O. Jones, 1991:166)
Dari definisi ini, maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu kebijakan publik adalah juga kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah (James E. Anderson, 1979:3). Implikasi pengertian dari pandangan ini adalah bahwa kebijakan publik :
a. Lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang kebetulan;
b. Pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling terkait;
c. Bersangkutan dengan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dalam bidang tertentu atau bahkan merupakan apa yang pemerintah maksud atau melakukan sesuatu atau menyatakan melakukan sesuatu;
d. Bisa bersifat positif yang berarti merupakan beberapa bentuk tindakan (langkah) pemerintah mengenai masalah tertentu, dan bersifat negatip yang berarti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;
e. Kebijakan publik setidak-tidaknya dalam arti positip didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan/undang-undang yang bersifat memaksa (otoratif).
Dalam studi kebijakan publik, perlu dilakukan implementasi kebijakan yang bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan.
Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi kebijakan adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Charles O. Jones (1991), dimana implementasi diartikan sebagai “getting the job done” dan “doing it”. Tetapi di balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun pelaksanaannya, menurut Jones, menuntut adanya syarat yang antara lain: adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources, Lebih lanjut Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan.
Hal ini dikemukakan berdasarkan pada kenyataan bahwa proses implementasi ini akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu. Dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan, relatif tinggi. Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa keberhasilan impelementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh bernagai variabel atau faktor yang pada gilrannya akan mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri.
Untuk itulah dibutuhkan Analisis Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi sehingga perlu dilakukan suatu kajian untuk mereview terhadap kebijakan tersebut. Mengetahui seberapa baik kebijakan yang dipilih dapat membantu tercapainya tujuan dan untuk mengetahui apakah terdapat dampak-dampak lainnya yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Dan juga untuk mengetahui masalah apa yang ingin diselesaikan oleh pemerintah, seberapa jauh tingkat keberhasilan kebijakan tersebut dalam memecahkan masalah (mencapai sasaran), serta apakah kebijakan tersebut mengakibatkan dampak lain yang tidak diinginkan, tidak diperhitungkan sebelumnya, atau yang merupakan ancaman risiko bagi pemerintah
William N. Dunn (2008) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): “The product of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy decision”. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan
Setelah masalah kebijakan diformulasikan, maka kini saatnya masalah tersebut dicarikan solusi berupa kebijakan publik apa yang akan diambil. Dalam proses desain kebijakan tersebut terdapat tujuh tahap sebagai berikut:
a. Tahap pengkajian persoalan. Tahap ini bertujuan untuk menemukan dan memahami hakikat permasalahan yang berhasil diidentifikasi yang dihadapi oleh organisasi; merumuskan masalah yang dihadapi organisasi serta menunjukkan hubungan kausal dari permasalahan yang berhasil diidentifikasi.
b. Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan. Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan diperlukan sebagai dasar pijakan dalam merumuskan alternatif intervensi yang diperlukan serta menjadi pijakan standar penilaian apakah langkah intervensi tersebut bisa disebut “gagal” atau “berhasil”.
c. Penyusunan model. Beberapa alternatif kebijakan intervensi dituangkan dalam bentuk hubungan kausalitas antar masalah yang dihadapi organisasi dan dirumuskan secara sederhana. Hubungan kausalitas ini disebut sebagai model. Model tersebut bisa berupa diagram alur (flow chart) maupun diagram panah (arrow chart). Tujuan penyusunan model tersebut dimaksudkan untuk memudahkan analisis sekaligus memilih alternatif kebijakan intervensi mana yang harus dipilih.
d. Perumusan alternatif kebijakan. Alternatif kebijakan merupakan sejumlah alat dan cara yang dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan baik secara langsung atau tidak. Rumusan alternatif tersebut diawali dengan penjelasan kerangka logika yang terkait dengan berbagai kemungkinan yang muncul dalam kerangka intervensi masalah. Kemungkinan tersebut berdampak baik positif maupun negatif. Setelah alternatif diidentifikasi, maka tiba saatnya untuk memilih alternatif yang paling berpeluang untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan sebelumnya.
e. Penentuan kriteria pemilihan alternatif kebijakan. Kriteria dan parameter yang bisa dimanfaatkan untuk memilih alternatif kebijakan antara lain adalah a) technical feasibility, yang menekankan pada aspek efektifitas langkah intervensi dalam mencapai tujuan dan sasaran; b) economic and financial feasibility, yang menekankan aspek efisiensi yakni biaya dan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan teknik cost and benefit analysis; c) political viability, yang melihat dampak politik yang ditimbulkan berupa tingkat aksebilitas (acceptability), kecocokan dengan nilai masyarakat (appropriateness), responsifitas (responsiveness), kesesuaian dengan perundangan (legal suitability), serta pemerataan (equity); d) administrative operability yang melihat dari dimensi otoritas instansi pelaksana, komitmen kelembagaan, kapabilitas staf dan dana serta dukungan organisasi.
f. Penilaian alternatif kebijakan. Melalui penilaian ini akan ditemukan alternatif intervensi yang paling efektif, efisien, dan visibel dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu alternatif intervensi yang dipilih paling tidak harus yang efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran, yang paling efisien dalam sisi biaya dan keuntungan, yang paling bisa diterima oleh stakeholder, dan secara kelembagaan dapat dilaksanakan serta memenuhi syarat administratif. Selain itu perlu dipertimbangkan aspek etika dan filsafat sehingga alternatif tersebut tidak melanggar nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
g. Perumusan rekomendasi kebijakan. Rekomendasi kebijakan dibuat berdasar perolehan skor beberapa alternatif intervensi, dimana alternatif ini dinilai visibel untuk mencapai tujuan dan sasaran, memakan biaya yang optimal dengan keuntungan maksimal, diterima oleh seluruh pemangku kepentingan serta sesuai dengan etika dan nilai yang berlaku dalam masyarakat dan peraturan perundangan, dan secara kelembagaan bisa dilaksanakan. Selian itu, alternatif intervensi tersebut juga dipertimbangkan secara lebih komprehensif, holistik, integratif serta prospektif sebelum dipilih. Setelah itu, alternatif intervensi yang direkomendasikan ditetapkan dan disahkan sehingga memiliki kekuatan hukum.
Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi Saat Ini
Kebijakan perihal e-learning pada Rencana Strategis Pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014 sebagai bagian Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing disebutkan sebagai berikut: “Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan ICT dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan ICT untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan pembelajaran secara elektronik (e-learning). Hingga tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah (a) merancang sistem jaringan yang mencakup jaringan internet, yang menghubungkan sekolah-sekolah dengan pusat data dan aplikasi, serta jaringan intranet sebagai sarana dan media komunikasi, dan informasi intern sekolah; (b) merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan, manajemen persekolahan, konten-konten pembelajaran; (c) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web, multimedia interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool; (d) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan; dan (e) mengimplementasikan pemanfaatan TIK secara bertahap untuk memudahkan manajemen pendidikan pada SMP dan sekaligus untuk mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia”. Pada bagian lain disebutkan pula usaha-usaha yang yang telah dilakukan sebagai berikut: “Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan TIK dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan TIK untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan e-Learning. Hingga tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah (a) merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan, manajemen persekolahan, muatan (content) pembelajaran; (b) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web, multimedia interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool; (c) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan; dan (d) mengimplementasikan pemanfaatan TIK secara bertahap untuk memudahkan manajemen pendidikan pada SMA dan SMK dan sekaligus untuk mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia.”
Khusus untuk perguruan tinggi, kebijakan e-learning sesuai Rencana Strategis Pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014 adalah: “Pengembangan pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, dengan proyek percontohan pada beberapa perguruan tinggi dan pusat pelatihan hingga tahun 2009, yaitu ITB, ITS, UGM, IPB, UI, UNRI, UNDANA, UNHAS, PENS, dan POLMAL. Diseminasi proyek ini akan dikembangkan pada UNLAM, UM, UNY, UNP, UNHALU, UNCEN dan PT-PT lainnya.” Sedangkan target yang ditetapkan adalah: “ICT literacy (kemampuan akses, memanfaatkan dan menggunakan radio, televisi, komputer dan internet) 80% untuk kalangan mahasiswa dan dosen” dengan Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik di bidang: “Peningkatan kapasitas satuan perguruan tinggi dilakukan melalui berbagai program hibah kompetisi yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti program hibah kompetisi, program kemitraan, hibah penelitian, pusat pengembangan pendidikan dan aktivitas instruksional (P3AI). Peningkatan kapasitas pengelolaan juga akan ditunjang dengan penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), seperti pengembangan sistem informasi pendidikan tinggi”.
Adapun secara operasional kebijakan e-learning dituangkan pada dokumen akreditasi (BUKU IIIB) point 6.4.1 (Sistem Informasi) sebagai berikut: “Jelaskan sistem informasi manajemen dan fasilitas ICT (Information and Communication Technology) yang digunakan Fakultas/Sekolah Tinggi untuk proses penyelenggaraan akademik dan administrasi (misalkan SIAKAD, SIMKEU, SIMAWA, SIMFA, SIMPEG dan sejenisnya), termasuk distance/e-learning. Jelaskan pemanfaatannya dalam proses pengambilan keputusan dalam pengembangan institusi.” Pada BUKU VI-MATRIKS PENILAIAN INSTRUMEN AKREDITASI PROGRAM STUDI SARJANA juga secara mendetail dijelaskan kebijakan “Akses dan pendayagunaan sistem informasi dalam pengelolaan data dan informasi tentang penyelenggaraan program akademik di program studi”, termasuk juga e-learning, yang bisa dilihat pada tabel berikut ini:
Proposal Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi Masa Datang
Pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Berbagai kritik (Bullen, 2001, Beam, 1997), antara lain dapat disebutkan sbb:
a. Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar;
b. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial;
c. Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan;
d. Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT
e. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal;
f. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer);
g. Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki ketrampilan soal-soal internet; dan
h. Kurangnya penguasaan bahasa komputer.
Dari hal di atas penyusun menyarankan Proposal Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi Masa Datang memakai kerangka kerja (framework) dari Gellman-Danley and Fetzner (1998) sebagai beikut:
Policy Area Key Issues
Academic Calendar, Course integrity, Transferability, Transcripts, Student/Course evaluation, Admission standards, Curriculum/Course approval, Accreditation, Class cancellations , Course/Program/Degree availability, Recruiting/Marketing
Governance/Administration/
Fiscal Tuition rate, Technology fee, FTE’s, Administration cost, State fiscal regulations, Tuition disbursement, Space, Single versus multiple board oversight, Staffing
Faculty Compensation and workload, Development incentives, Faculty training, Congruence with existing union contracts, Class monitoring, Faculty support, Faculty evaluation
Legal Intellectual property, Faculty, Student and institutional liability
Student Support Services Advisement, Counseling, Library access, Materials delivery, Student training, Test proctoring, Videotaping, Computer accounts, Registration, Financial aid, Labs
Technical Systems reliability, Connectivity/access, Hardware/software, Setup concerns, Infrastructure, Technical support (staffing), Scheduling, Costs
Cultural Adoption of innovations, Acceptance of on-line/distance teaching, Understanding of distance education (what works at a distance), Organizational values
Sedangkan “Policy Analysis Framework” untuk hirarki kebijakannya dapat menggunakan model sebagai berikut:
Policy Area Description
Faculty (including Continuing Education and Cooperative Extension) Rewards (e.g., stipends, promotion and tenure, merit increases, etc.); Support (e.g., student help, technical assistance, training, etc.); Opportunities to learn about technology and new applications (e.g., release time, training, etc.); Intellectual property (e.g. ownership of materials, copyright, etc.)
Students/Participants Support (e.g., access to technology, library resources, registration, advising, financial aid, etc.); Requirements and records (e.g., residency requirements, acceptance of courses from other places, transfer of credit, continuing education, etc.)
Management and Organization Tuition and fee structure; Funding formula; Collaboration (e.g., with other Departments, units, institutions, consortia, intra-and inter-institutional, service areas, etc.); Resources (e.g., financial resources to support distance education, equipment, new technologies, etc.); Curricula/individual courses (e.g., delivery modes, course/program selection, plans to develop, individual sequences, course development, entire program delivery, interactivity requirements, test requirements, contact hour definitions, etc.)
Sumber:
Cisco, (2001). e-Learning: Combines Communication, Education, Information, and Training. http://ww.cisco.com/warp/public/10/wwtraining/elearning.
Cuban, L. (1996). Techno-reformers and classroom teachers, Educational Week on the Web. http://www.edweek.org/ew/vol-16/o6cuban (Nopember 2000).
Hartanto, A.A. dan Purbo, O.W. (2002), Teknologi e-Learning Berbasis PHP dan MySQL, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Jatmiko, R. (1997), Enhancing Learning Experiences through the Use of Internet. Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20 November 1997.
Koran, Jaya Kumar C. (2002), Aplikasi E-Learning dalam Pengajaran dan pembelajaran di Sekolah Malasyia. (8 November 2002).
www.moe.edu.my/smartshool/neweb/Seminar/kkerja8.htm.
Lawanto, Oemardi. (2000). Pembelajaran Berbasis Web sebagai Metoda Komplemen Kegiatan pendidikan dan Pelatihan. Makalah Video Conference; Bandung-Suarabaya: Depdiknas.
Mason Robin. 1994 Using Communications Media in Open and Fleksible Learning. London: Kogan PageLtd.
Mukhopadhyay, M. (1995) “Shifting Paradigms in Open ang distance Education (Paper Presented before the IDLN Fisrt International Symposium in Yogyakarta). Jakarta IDLN-Pustekkom.
Purbo, Onno W. dan Antonius AH. (2002). Teknologi e-Learning Berbasis PHP dan MySQL: Merencanakan dan Mengimplementasikan Sistem e-Learning. Jakarta: Gramedia.
Purbo, Onno W. (2001) Masyarakat Pengguna Internet di Indonesia. Available, http://www.geocities.com/inrecent/project.html. (4 November 2002).
Pavlik, John V. (1996). New Media Technology. Cultur and Commercial Perspectives. Singapore: Allyn and Bacon.
Rahardjo, Budi. (2001). Pergolakan Informasi di Indonesia akan Sia-sia?. Artikel Majalah Tempo. Jakarta: November 2001.
Romiszowski, Alexander J. and Robin Mason. (1996) Computer Mediated Communication in Handbook of Research for Educational Communications Technology. New York: AECT, Macmillan Library Reference USA.
Roll Reider (1997) SEAMOLEC_IDLN Regional Symposium on Future Vision: Distance Education and Open Learnin. Bali Pustekkom.
Robinson, ET. (2001). Knowlarge as Commodity: How do e-commerce a e-learning Relate. Available, http://www.elearningmag.co
Rosenberg, Marc J. (2001), e-Learning; Strategies for Delivering Knowledge in the Digital. New York: McGraw Hill.
Tung, Khoe Yao. (2000). Pendidikan dan Riset di Internet. Jakarta: Dinastindo.
Soekartawi (2002b), e-Learning: Konsep dan Aplikasinya. Bahan-Ceramah/Makalah disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Soekartawi (2002c), The Role of Regional Organization for Mass Education. Invited paper presented at the International Conference on Lifelong Learning organized by Asian European Institute, Kuala Lumpur, 13-15 May 2002.
Soekartawi (2003). Prinsip Dasar e-Learning: Teori dan Aplikasinya di Indosnesia. Jurnal Teknodik Edisi 12.
Beam, P. (1997), Breaking the Sprinter’s Wrist: Achieving Cost-Effectiveness in Online Learning. Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning, organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO Tuban, Bali, Indonesia.
Bullen, M. (2001), e-learning and the Internationalization Education, Malaysian Journal of Educational Technology 1(1), 37-46.
Elangovan, T. (1997), Internet Based On-line Teaching Application with Learning Space. Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20 November 1997.
Hartanto, A.A. dan Purbo, O.W. (2002), Teknologi e-learning Berbasis PHP dan MySQL, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Hashim, Y. and Razmah. Bt. Man (2001), An Overview of Instructional Design and Development Models for Electronic Instruction and Learning, Malaysian Journal of Educational Technology 1(1), 1-7.
Ishaq, A. (2001), On the Global Digital Divide, Finance and Development, September 2001, 44-7.
Mulvihill, R.P. (1997), Technology Application to Distance Education. Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20 November 1997.
Munaf, D.R. (2001), Cultural Threats on Development of ICT as a Tool for Open and Distance Learning. Speech delivered at the 7th International Symposium on Distance Education and Open Learning at Yogyakarta, November 2001.
Soekartawi (1995), Monitoring dan Evaluasi Proyek Pendidikan, PT Rajawali Press, Jakarta.
Soekartawi (2002a). Prospek Pembelajaran Melalui Internet. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ‘Teknologi Kependidikan’ yang diselenggarakan oleh UT-Pustekkom dan IPTPI, Jakarta, 18-19 Juli 2002.
Soekartawi (2002b), e-learning: Konsep dan Aplikasinya. Bahan-Ceramah/Makalah disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Soekartawi (2002c), The Role of Regional Organization for Mass Education. Invited paper presented at the International Conference on Lifelong Learning organized by Asian European Institute, Kuala Lumpur, 13-15 May 2002.
Soekartawi (2003). Prospects and Challenges e-learning: A Review. Makalah disampaikan di seminar internasional di UPSI, Tanjong Malim, 24-25 September 2003.
Soekartawi, A. Haryono dan F. Librero (2002), Greater Learning Opportunities Through Distance Education: Experiences in Indonesia and the Philippines. Southeast Journal of Education (December 2002)
Soekartawi, Suhardjono, T. Hartono dan A. Ansjarullah (1999), Rancangan Instruksional, PT Rajawali Press, Jakarta.
Soekartawi (2003). E-learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Makalah disampaikan di seminar nasional di Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari 2003.
Williams, B. (1999). The Internet for Teachers. IDG Books Worldwide.Inc., New York.
Departemen Pendidikan Nasional (2008). Rencana Strategis Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014
Badan akreditasi nasional perguruan tinggi, (2008). Buku borang institusi yang diisi oleh fakultas/sekolah tinggi.
Badan akreditasi nasional perguruan tinggi, (2008). Buku vi-matriks penilaian instrumen akreditasi program studi sarjana.
Bates, A.W. 2000. Managing Technological Change. San Francisco: Jossey-Bass.
Berge, Z.L. 1998. Barriers to Online Teaching in Post-Secondary Institutions: Can Policy Changes Fix It? Online Journal of Distance Learning Administration. 1(2).(2/24/99)
Davenport, T.H. 1997. Information Ecology. New York: Oxford.
Epper, R.M. 1999. Excerpts from State Policies for Distance Education; A Survey of the States. State Higher Education Executive Officers (SHEEO). (http://www.sheeo.org/sheeo/pubs-excerpts-from-technology-survey.html). (3/31/99)
Frantz. G. and King, J.W. 2000. The Distance Education Learning systems Model (DEL). Educational Technology. 40(3): 33-40.
Freeman, R. 1997. Managing Open Systems. London: Kogan.
Gellman-Danley, B. and Fetzner, M.J. 1998. Asking the Really Tough Questions: Policy Issues for Distance Learning. Online Journal of Distance Learning Administration. 1(1). ( (2/24/99)
Gustafson, K.L. and Branch, R. M. 1997. Survey of Instructional Development Models. Syracuse Univ., Syracuse, NY: Clearinghouse on Information and Technology.
Iansiti, M. and MacCormack, A. 1997 (Sept.-Oct.). Developing Products on Internet Time. Harvard Business Review.108-117.
King, J.W., Lacy,D., McMillian, J., Bartels, K. and Freddolino, M. 1998. The Policy Perspective in Distance Education: A Futures Landscape/Panorama. Invited paper presented at the 1998 Nebraska Distance Education Conference. Lincoln, NE (September 28-29, 1998) ( (2/24/99)
King, J.W., Nugent, G.C., Russell, E. B., and Lacy, D. 1999. Distance Education Policy in Post-Secondary Education: Nebraska as a Case Study. In Proceedings: 15th Annual Conference on Distance Teaching and Learning. University of Wisconsin, Madision. 275-281.
McLendon, E. and Cronk, P. 1999. Rethinking Academic Management Practices: A case of meeting new challenges in online delivery. Online Journal of Distance Learning Administration. 2(1).http:www.westga.edu/distance/mclendon21.html) (5/25/99)
Nardi, B.A. and O’Day, V.L. 1999. Information Ecologies. Cambridge, MA: MIT.
Rocheleau, B. 1996 (Fall). Structures, Plans, and Policies: Do they make a difference? An initial assessment. CAUSE/EFFECT. 35-39.
Strauss, R. 1997. Managing Multimedia Projects. Boston: Focal.
Model-Model Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan
Dalam dunia bisnis, pendidikan termasuk dalam suatu organisasi atau perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Bisnis jasa sangat kompleks, karena banyak elemen yang mempengaruhinya, seperti system internal organisasi, lingkungan fisik, kontak personal, iklan, tagihan dan pembayaran, komentar dari mulut ke mulut dan sebagainya. Oleh karena itu Gronroos menegaskan bahwa pemasaran jasa tidak hanya membutuhkan pemasaran eksternal, tetapi juga pemasaran internal dan pemasaran interaktif. Dan begitu dalam strategi pemasaran pendidikan haruslan menerapkan tiga model pemasaran jasa yang diungkapkan oleh Gronroos (Alam, 1995:34) tersebut dengan tujuan agar terjadi keserasian dan bisa mencegah terjadinya kesalah pahaman antar komponen fungsi menajemen dalam pendidikan tersebut. Model-model tersebut yaitu:
Pemasaran Eksternal
Pemasaran eksternal menggambarkan aktivitas normal yang dilakukan oleh organisasi pendidikan dalam mempersiapkan produk, menetapkan harga, melakukan distribusi informasi dan mempromosikan produk jasa yang bernilai superior kepada para pelanggan dalah hal ini wali murid. Bila ini bisa dilakukan dengan baik, maka para wali murid sebagai pelanggan akan terikat dengan organisasi, sehingga keuntungan jangka panjang bisa terjamin.
Pemasaran Internal
Pemasaran internal menggambarkan tugas yang diemban organisasi dalam rangka melatih dan memotivasi para guru, karyawan dan para murid sebagai asset utama organisasi agar dapat melayani para pelanggan dengan baik. Yang tak kalah pentingnya adalah pemberian penghargaan atau reward dan pengakuan yang sepadan dan manusiawi. Aspek ini membangkitkan motivasi, moral kerja, rasa bangga, loyalitas, dan rasa memiliki setiap orang dalam organisasi, yang pada gilirannya dapat memerikan kontribusi besar bagi organisasi dan bagi pelanggan yang dilayani.
Pemasaran Interaktif
Pemasaran interaktif menggambarkan interaksi antara pelanggan dalam hal ini para wali murid dengan para karyawan (guru dan staff) dan juga dengan pemimpin organisasi (kepala sekolah). Diharapkan stiap sumber daya manusiawi organisasi yang loyal, bermotivasi tinggi, dan diberdayakan (empowered) dapat memberikan Total Quality Service kepada setiap pelanggan dan calon pelanggan. Bila ini terealisasi, maka pelanggan yang puas akan menjalin hubungan berkesinambungan dengan personil dan organisasi yang bersangkutan, dan bahkan bisa menjadi sarana dan media pemasaran organisasi. (Akdon, 2006:89)
Macam-macam Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan
Produk
Produk merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar bersangkutan. Produk yang ditawarkan tersebut meliputi barang fisik, jasa, organisasi, dan ide. Jadi, produk bisa berupa manfaat tangible maupun manfaat intangible yang dapat memuaskan pelanggan. Seperti dalam gambar di bawah ini:
Pemenuhan Kebutuhan
Proses Pertukaran
(David, 1982:145)
Harga (Biaya Pendidikan)
Agar dapat sukses dalam memasarkan suatu produk, organisasi pendidikan harus menetapkan harga/biaya pendidikan secara tepat. Harga merupakan satu-satunya unsur pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi institusi pendidikan, sedangkan ketiga unsur lainnya (produk, distribusi informasi, dan promosi) menyebabkan timbulnya biaya (pengeluaran). Disamping itu merupakan unsur pemasaran yang bersifat fleksibel, artinya dapat diubah dengan cepat. Berbeda halnya dengan karakteristik produk atau komitmen terhadap system distribusi informasi. Harga dalam dunia pendidikan bisa diungkapkan dengan berbagai istilah. Misalnya iuran SPP, komisi, gaji, honorarium dan sebagainya. dalam pandangan konsumen, harga seringkali digunakan sebagai indicator nilai bilamana harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu produk.
Strategi Distribusi Informasi
Strategi distribusi informasi berkenaan dengan penentuan dan manajemen saluran distribusi dipergunakan oleh organisasi atau produsen untuk memasarkan produk-produknya sehingga produk-produk tersebut dapat sampai ditangan konsumen yang menjadi sasaran dalam jumlah dan jenis yang dibutuhkan pada waktu yang diperulukan, dan tempat yang tepat. Berikut beberapa strategi distribusi yang bisa digunakan antara lain:
Strategi Saluran Distribusi Berganda
Saluran distribusi yang berbeda mungkin dibutuhkan untuk mencapai segemen-segmen pelanggan yang berbeda dalam pasar yang luas. Oleh karena itu beberapa perusahaan menerapkan strategi saluran distribusi berganda (multiple channel strategy) yaitu penggunaan lebih dari satu saluran yang berbeda untuk melayani beberapa segemen pelanggan. Tujuannya dalah untuk memperoleh akses yang optimal pada setiap segemen pelanggan. Dengan menerapkan strategi ini institusi pendidikan dapat meningkatkan cakupan pasar, menurukan biaya saluran dan lebih menyeragamkan penjualan.
Strategi Modifikasi Saluran Distribusi
Strategi modifikasi saluran distribusi (channel modification strategy) adalah strategi mengubah susunan saluran distribusi yang ada berdasarkan evaluasi dan peninjauan ulang. System distribusi memang perlu secara terus-menerus ditinjau dan diatur kembali untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan di pasar.
Strategi Pengendalian Saluran Distribusi
Yang dimaksud dengan strategi pengendalian saluran distribusi (channel control strategy) adalah menguasai semua anggota dalam saluran distribusi agar dapat mengendalikan kegiatan mereka secara terpusat kearah pencapaian tujuan bersama. Adapun tujuan dari strategi pengendalian saluran distribusi adalah:
a. Untuk meningkatkan pengendalian
b. Memperbaiki ketidak efisienan
c. Mengetahui efektivitas biaya melalui kurva pengalaman
d. Mencapai skala ekonomis.
Strategi Manajemen Konflik Dalam Saluran Distribusi
Konsep system pada distribusi mensyaratkan adanya kerjasama antar saluran meskipun demikian di dalam saluran selalu timbul struktur kekuatan sehingga diantara anggota saluran sering terjadi gontok-gontokan. Konflik tersebut dapat bersifat horizontal dan vertikal. Konflik juga dapat timbul antara saluran yang satu dengan saluran yang lain (dalam kasus organisasi menggunakan lebih dari satu saluran distribusi) yang menjual produk yang sama atau yang membawa informasi yang sama ke pasar sasaran yang sama.(Akdon, 2006:77)
Sumber:
Akdon, Dr. Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan. Alfabeta, Bandung, 2006.
Alam, Buchari, H, Prof. DR., Pemasaran Strategik Jasa Pendidikan CV. Alfabeta, Bandung.1995
David W. Cravens, Strategic Marketing, 1982, Richard D. Irvin,Inc.
Sagala, H. Syaiful. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Alfabeta, Bandung, 2007.
Kebijakan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa itu diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemen sekolah. Pendidikan diselenggarakan dengan mengingkari kebhinekaan dan mengurangi toleransi serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak lagi diarahkan pada peningkatan kualitas, melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun telah diterapkan prinsip ‘link and match” karena manajemen hanya dilakukan oleh sekelompok orang.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa pada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.
Kebijakan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di beberapa negara maju menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat karakteristik positif dalam menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan atau pemerataan.
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zeland, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok). Di Amerika Serikat, desentralisasi pendidikan mengharuskan pendapatan pajak di negara bagian (pendapatan asli daerah) sebesar 60%-nya digunakan untuk pendidikan, sedangkan 40%-nya digunakan kegiatan lainnya.
Penerapan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai. Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin dan kurang potensi SDM-nya. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang. Kebijakan desentralisasi bidang pendidikan dalam melaksanakan Otonomi Daerah berkonsekuensi pada perlunya kebijakan strategis bidang pendidikan, yaitu: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Based Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat, pakar, dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha. Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality assurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan. Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat mewadahi kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidiknya masih kurang atau menganggap Komite Sekolah seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Dengan demikian, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, Bos, funding father yaitu pemerintah.
Manajemen Strategik
Sebagaimana diungkapkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan (sekolah/ madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat) berbasis pada potensi stakeholder di sekitar sekolah. Pengelolaan ini sejalan dengan prinsip Badan Hukum Pendidikan yang akan diterapkan untuk setiap satuan pendidikan. Pengelolaan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu dilakukan seperti halnya pengelolaan pesantren, diserahkan kepada pemangku kepentingan. Pemerintah tidak ikut campur lagi mengurusi hal teknis, sehingga kebijakan pemerintah dalam peningkatan mutu hanya difasilitasi dengan kebijakan otonomisasi, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Dalam menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah harus menetapkan mutu sebagai tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian mutu tersebut menjadi benchmarking bagi sekolah dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karena itu, sejak uji coba pelaksanaan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) pada 1000 SLTP/SLTA dilakukan pemerintah maka ditetapkan program Manajemen Peningatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Dalam program MPMBS, pemerintah tidak lagi ikut mengatur masalah kurikulum, karena kurikulum harus dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang disusun oleh lembaga independen yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pemerintah dan pemerintah daerah tidak ikut melakukan pengujian atau mengevaluasi hasil pendidikan (ulangan umum), karena kewenangan tersebut berada pada guru, kecuali nilai prasyarat untuk penentuan kelulusan pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Ujian Nasional yang soal dan pelaksanaannya dilakukan oleh BSNP. Pemerintah tidak ikut mengatur penggunaan buku teks pelajaran, kecuali menyediakan Buku Sumber Elektronik (BSE) yang kualitasnya telah dinilai oleh BSNP dan dana untuk pembelian buku tersebut. Pemerintah atau pemerintah daerah tidak lagi harus menyediakan buku laporan pendidikan (raport), karena hal tersebut merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah.
Otonomi yang demikian besar diberikan kepada sekolah ini seharusnya menjadi dasar untuk melakukan manajemen strategik. Kepala Sekolah sebagai leader memiliki kewenangan manajerial untuk memimpin warga sekolah untuk bersama-sama merancang manajemen strategik.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awalnya manajemen strategik digunakan dalam manajemen bisnis, yaitu usaha manajerial untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang merupakan pengembangan dari visi dan misi yang telah ditentukan”. Peluang bisnis dalam bidang pendidikan adalah “layanan jasa pendidikan”, sehingga yang menjadi pelanggan pun adalah peserta didik sebagai pelanggan internal dan orangtua siswa sebagai pelanggan eksternal. Manajemen strategik dalam dunia pendidikan merupakan suatu pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan pendekatan terhadap analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan untuk merancang aktivitas dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah yang telah ditentukan.
a. Upaya Peningkatan Mutu sebagai Dasar Manajemen Strategik. Program peningkatan mutu pendidikan yang dicanangkan pemerintah sebagai salah satu rencana strategik harus ditindaklanjuti di tingkat satuan pendidikan. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing dimaksudkan untuk perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa. Mutu pendidikan juga dilihat dari peningkatan atas penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan taqwa serta berakhlak mulia, beretika, berwawasan kebangsaan, berkepribadian tangguh, dan berekspresi estetis, serta sehat jasmani dan rohani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Berdasarkan kesadaran ini maka orientasi mutu pendidikan sebagai benchmaking menjadi sasaran manajemen strategik di satuan pendidikan. Dalam menerapkan manajemen strategik, Kepala sekolah memimpin satuan pendidikan untuk melakukan analisis terhadap potensi diri dan lingkungan. Analisis ini merupakan dasar untuk melaksanakan manajemen mutu yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar ini meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kepala Sekolah menetapkan pencapaian terhadap standar-standar tersebut sebagai dasar untuk mengukur kinerja satuan pendidikan yang dipimpinnya pada standarisasi pendidikan.
b. Menerapkan Manajemen Strategik Kontemporer. Dalam melaksanakan manajemen strategik, saat ini telah berkembang dari suatu manajemen strategik yang tradisional ke arah suatu sistem manajemen bersifat kontemporer. Sistem manajemen strategik kontemporer memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem manajemen tradisional. Sistem manajemen tradisional hanya berfokus pada sasaran-sasaran yang bersifat efisiensi keuangan, sedangkan sistem manajemen kontemporer mencakup 4 (empat) perspektif yaitu mencakup perspektif efisiensi keuangan, proses layanan internal, kepuasan pelanggan, dan pertumbuhan layanan jasa. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan manajemen strategik adalah menggunakan empat komponen manajemen strategik, yaitu: Analisis potensi dan profil satuan pendidikan (sekolah/madrasah) untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan; Analisis lingkungan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melaksanakan layanan jasa pendidikan; Menetapkan visi dan misi berdasarkan analisis potensi dan lingkungan sebagai acuan dalam pengelolaan satuan pendidikan; Menetapkan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dalam mencapai visi dan misi sekolah; Berdasarkan pandangan manajemen strategik kontemporer diperlukan keseimbangan antara efisiensi keuangan dengan proses layanan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi dengan peningkatan proses layanan, misalnya dengan menggunakan sarana teknologi atau media lain yang menjadikan proses layanan lebih simpel, cepat, dan akurat. Peningkatan pembiayaan harus sejalan dengan kepuasan pelanggan (custommer satisfaction), semakin besar biaya yang dikeluarkan maka semakin meningkat pula jumlah pelanggan karena mereka merasa puas dengan layanan yang diberikan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi pula dengan penambahan atau pertumbuhan layanan jasa. Peningkatan pembiayaan yang dapat meningkatkan proses layanan dan kepuasan pelanggan seharusnya menumbuhkan jenis layanan jasa lainnya (difersifikasi) layanan jasa pendukung pendidikan. Manajemen strategik kontemporer di atas dapat diterapkan pada satuan pendidikan (sekolah/madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat). Penerapan manajemen strategik ini dapat mendorong satuan pendidikan dalam menjalankan program peningkatan mutu pendidikan.
Sumber:
(Makalah ini disajikan dalam Seminar Nasional Manajemen Strategik Pendidikan yang diselenggarakan di Cilacap Jawa Tengah pada tanggal 14 Juni 2009)
Sebagian besar organisasi hanya mengandalkan manajemen puncak untuk menyusun perencanaan strategik, sementara manajemen menengah sampai karyawan hanya melakukan implementasi rencana jangka panjang dan pendek. Sistem ini hanya pas untuk lingkungan yang stabil yang di dalamnya prediksi masih dapat diandalkan untuk memperkirakan masa depan organisasi. Dalam pengembangan aktivitas, perguruan tinggi harus melibatkan seluruh unit kerja dan personel didalamnya dalam perencanaan strategiknya untuk mengubah mode operasi organisasi dari plan and control menjadi sense and respond. Dengan mekanisme baru ini, diharapkan akan dapat terlihat dan terukur seluruh kinerja organisasi dalam berbagai level. Sistem manajemen strategik terdiri atas dua tahap utama yaitu: tahap perencanaan dan tahap pengimplementasian rencana. Tahap perencanaan terdiri atas empat tahap, yaitu:
1. perumusan strategi (strategy formulation)
2. perencanaan strategik (strategic planning)
3. penyusunan program (programming)
4. penyusunan anggaran (budgeting)
Tahap pengimplementasian rencana terdiri atas dua tahap yaitu:
1. pengimplementasian (implementation)
2. pemantauan (monitoring)
Perencanaan strategis disadari sebagai proses kreatif, selain proses perencanaan praktis untuk perubahan komunitas. Dengan adanya rencana startegis akan diperoleh blueprint untuk perubahan yang menjadi dasar menentukan perubahan seperti apa yang akan dilakukan sampai beberapa tahun ke depan, dan juga bagaimana dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan tersebut. Memang tidak ada rumus praktis untuk membuat rencana strategis, setiap institusi tentu memiliki kekhasan yang merupakan hasil dari proses panjang pembentukan budaya organisasi.
Perencanaan Strategik penting dilakukan/ disusun untuk memberi arah dan bimbingan para pengelola perguruan tinggi dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Penyusunan rencana strategis ini dilakukan untuk dapat membuat kejelasan dalam pencapaian tujuan organisasi yang terartikulasikan dalam visi dan misi.
Perencanaan Strategik perguruan tinggi adalah proses penyusunan gambaran kegiatan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan yang telah ditetapkan. Pengertian ini menunjukkan bahwa perencanaan startegik merupakan proses mengidentifikasi, mengumpulkan dan menganalisis data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh infornasi terkini dan yang berrnanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan organisasi.
Perencanaan strategik perguruan tinggi menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: memperbaiki hasil pendidikan, membawa perubahan yang lebih baik (peningkatan/ pengembangan), demand driven (prioritas kebutuhan), partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, holistic/tersistem, transparans, dan keterkaitan serta kesepadanan secara vertikal dan horisontal dengan rencana-rencana lain.
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan rencana strategis dapat menggunakan pendekatan Balance Scorecard meski dengan modifikasi pada kriteria yang dipilih oleh organisasi. BSC (Balanced Scorecard) berkembang dari hanya kerangka berfikir tentang pengukuran kinerja pada awalnya menjadi sebuah sistem perencanaan dan manajemen strategis. Dengan konsep BSC baru ini maka akan mampu mengubah perencanaan organisasi yang menarik namun berupa dokumen yang pasif, menjadi sebuah orkestra organisasi yang dinamis dan penuh energi. BSC tidak hanya menyediakan kerangka kerja untuk penguruan kinerja, namun juga membantu perencana mengidentifikasi apa yang harus dilakukan dan diukur. Dengan demikian, pimpinan satuan pendidikan dapat dengan pasti menjalankan strategi mereka. BSC dalam tulisan ini nantinya akan dimodifikasi untuk komponen tiap kriteria berdasarkan pada kriteria RAISE sebagai bidang prestasi kunci perguruan tinggi.
Sumber:
(http://blog.uad.ac.id/sulisworo/2009/04/14/balance-scorecard-dan-perencanaan-strategi/)
Subtansi Manajemen Stratejik
Salah satu upaya pimpinan yang harus dilakukan dalam mewujudkan berbagai kegiatan organisasi yang mampu memenuhi kebutuhan masa depan adalah melalui kegiatan manejemen stratejik yang mampu menampilkan suatu keputusan yang dapat direalisasikan oleh seluruh personel, sehingga tercipta suatu interaksi yang efektif yang mampu melahirkan keputusan bersama dalam melakukan tugas yang mampu memenuhi kebutuhan berbagai pihak tersebut, diperlukan adanya suatu kegiatan manajemen puncak dalam melakukan manajemen stratejik.
Menurut Hunger dan Wheelen (2001:4), manejemen stratejik adalah serangkaian keputusan dan tindakan manejerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Manejemen stratejik meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang), implementasi strategis dan evaluasi serta pengendalian. Manejemen startejik menekankan pada pengamatan serta pengendalian.
Menurut (Jauch dan Glueck, 1988:6). Manejemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai objektifnya” (David, 2002:5).
Perumusan strategik
Perumusan strategi adalah pengembanagan rencana jangka panjang untuk manajemen efektif dari kesempatan dan ancaman lingkungan, dilihat dari kekuatan dan kelemahan perusahaan, didasarkan oleh data dan informasi kuantitatif dan kualitatif yang akurat dari dalam dan luar organisasi. “melalui perumusan perncanaan strategik perlu dilakukan analisis mengenai tantangan internal dan eksdternal secara cermat”(Nawawi, 2000:153)
Dari hasil perumusan stratejik akan diperoleh berbagai program kegiatan yang akan dilaksankan dalam suatu organisasi. Menurut Nawawi (2000:166) Analis internal dan eksternal dalam realisasi manejemen stratejik melalui penyusunan perencanaan, khususnya di lingkungan organisasi non-profit bidang pendidikan adalah : Analis internal dan eksternal (lokal, nasional,dan global) digunakan sebagai masukan dalam merumuskan Rencana Strategik (RENSTRA) dan Rencana Operasional (RENOP) pada departemen.
Oleh karena itu perumusan Stratejik hendaknya menggambarkan visi,misi,tujuan dan langkah-langkah yang dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh personal organisasi dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Menurut Hunger da Wheelen (2001:12), perumusan strategi meliputi menentukan misi perusahaan, menentukan tujuan-tujuan yang dapat dicapai, pengembangan strategi, dan penetapan pedoman kebijakan.
Misi Organisasi adalah tujuan atau alasan mengapa organisasi hidup. Pernyataan misi yang disusun dengan baik mendefinisikan tujuan mendasar dan unik yang membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lain, dan mengidentifikasi jangkauan operasi perusahaan dalam produk yang ditawarkan dan pasar yang dilayani.
Tujuan adalah hasil akhir aktivitas perencanaan. Tujuan merumuskan apa yang akan diselesaikan dan kapan akan diselesaikan, Sasaran adalah pernyataan terbuka yang berisi suatu harapan yang akan diselesaikan tanpa perhitungan apa yang akan dicapai dan tidak ada penyelesaian waktu penyelesaian.
Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuannya. Strategi akan memaksimalkan keunggulan kompeteti dan meminimalkan keterbatasan bersaing.
Kebijakan menyediakan pedoman luas untuk pengambilan keputusan organisasi secara keseluruhan.
Implementasi Strategi
Implementasi merupakan perwujudan dari program-program yang telah ditetapkan dalam perumusan strategi. Menurut Hungerda Wheelen (2001:17-18) mengemukakan bahwa “Implementasi strategi adalah proses dimana manajemen mewujudkan strategi dan kebijakannya dalam tindakan melalui pengembanagan program, anggaran, dan prosedur.
Program adalah pernyataan aktivitas-aktivitas atau langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan perencanaan sekali pakai
Anggaran adala program yang dinyatakan dalam bentuk satuan uang, setiap program akan dinyatakan secara rinci dalam biaya, yang dapat digunakan oleh manajemen untuk merencanakandan mengendalikan.
Prosedur kadang-kadang disebut standar operating procedures (SOP). Prosedur adalah sistem langkah-langkah atau teknik-teknik yang berurutan yang menggambarkan secara rinci bagaimana suatu tugas atau pekerjaan diselesaikan.
Evaluasi dan Pengendalian
Evaluasi merupakan penilaian terhadap perbandingan hasil proses kegiatan yang telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dilakukan. Menurut Hunger dan Wheelen (2001:19), Evaluasi dan pengendalian adalah proses yang melaluinya aktivitas-aktivitas perusahaaan dan hasil kinerja dimonitor melakukan tindakan perbaikan dan memecahkan masalah.
Agar evaluasi dan pengendalian efektif, manajer harus mendapatkan umpan balik yang jelas, tepat, dan tidak bias dari orang-orang bawahannya yang ada dalam hirarki perusahaan. Dengan mengunakan umpan balik tersebut, manajer membandingkan apa yang sesungguhnya direncanakan dalam tingkat perumusan.
Dalam mewujudkan elemen-elemen dasar dari proses manajemen srtatejik yang dikemukakan diatas maka seoarang manajer harus mampu memahami visi, misi dari suatu organisasi.
Implementasi Manajemen Strategik
Implementasi manajemen stratejik bagaimanapun akan meningkatkan kinerja organisasi, sebab manajemen stratejik berupaya melakukan peng¬amatan terhadap tedadinya perubahan lingkungan. Ketiga SMK Negeri yang ada di Banda Aceh setiap saat melakukan pengamatan terhadap perubahan lingkungan.'Perubahan lingkungan yang dimaksud disini adalah kesiapan ketiga SMK dalam mengantisipasi apa yang dibutuhkan SMK dan bagaimana menyerap berbagai kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa ketiga SMK tersebut. Secara bersama-sama ketiga SMK melakukan perubahan, walaupun perubahan yang mereka lakukan tidaklah sama karaktemya. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan corak dan program studi ketiga SMK.
Implementasi manajemen stratejik dapat dilaksanakan berdasarkan perencanaan stratejik, perencanaan itu didasarkan atas dua dasar, menurut Saladin (2003:24) dua. dasar perencanaan stratejik itu adalah: (1) Perencanaan intuitif antisipatif: adalah suatu perencanaan yang didasarkan pads pengalaman-pengalaman, naluri, pertimbangan dan reflektif seorang manajer, dengan perkataan lain perencanaan strategi intuitif antisipatif adalah perencanaan berdasarkan pengalaman mass lalu, pertimbangan dan cara berpikir reflektif, (2) Perencanaan Jangka Panjang Formal: adalah perencanaan berdasarkan prosedur, penelitian, melibatkan banyak orang dan menghasilkan seperangkat rencana tertulis. secara visual, menurut Saladin (2003:25).
Pemberdayaan
Pemberdayaan yang dilakukan dengan menggunakan manajemen stratejik memudahkan organisasi seperti SMK yang ada di Banda Aceh mencapai tujuan-tujuannya melalui berbagai pengendalian dan dapat memecahkan masalah secara tepat dan mengenali masalah secara akurat. Pemecahan masalah akan memudahkan dalam melakukan pemberdayaan jika prinsip prinsip manajemen stratejik diterapkan. Pemecahan masalah yang dilakukan tidak lagi menganut prinsip-prinsip tradisional atau konvensional tetapi harus mengacu kepada pola pemberdayaan.
Manajemen stratejik yang diterapkan di lingkungan SMK Banda Aceh adalah untuk memberdayakan seluruh sumber daya yang ada. Pemberdayaan yang dilakukan secara terencana, diharapkan dapat meningkatkan proses pengendalian sumber daya yang ada baik sumber days internal dan eksternal, maupun sumber daya manusia dan fasilitasnya. Untuk melaksanakan pemberdayaan itu, pengendalian menjadi isu sentral agar seluruh rencana pemberdayaan dapat dilaksanakan dengan cara yang tepat. Karena itu, proses pemberdayaan yang dilakukan dengan menggunakan manajemen stratejik dilakukan secara bertahap. Tahapan itu diawali oleh strategi implementasi, pengorgani¬sasian, penggerakan dan kepen-drapinan Berta pengendalian.
Seluruh SMK yang ada di Banda aceh secara sadar atau tidak, telah merencanakan prinsip-prinsip manajemen stratejik yang cenderung mencapai suatu perubahan manajemen dengan menggunakan tahapan tahapan. Tahapan-tahapan ini pads dasarnya dilakukan sebagai cara untuk meruntut apa yang harus dilakukan sehingga runtutan itu menjamin terciptanya kesinambungan program yang akan dilaksanakan.
Organisasi Berbasis Masyarakat
Organisasi berbasis masyarakat seperti SMK yang ada di Banda Aceh, menjadikan stakeholdersnya sebagai dasar dalam memberdayakan perangkat yang ada. Pemberdayaan itu dilakukan dengan pengendalian yang ketat sehingga proses pemberdayaan tetap mengacu kepada tahapan-tahapan sebagai penjamin terciptanya proses pemberdayaan sebagaimana yang direncanakan. Bagaimana pemberdayaan SMK di Banda Aceh dilakukan dengan mengacu kepada manajemen stratejik. Strategi implementasi akan menentukan keunggulan manajemen SMK yang menggunakan manajemen stratejik sebagai instrumen pemberdayaannya Pemberdayaan organisasi yang dilakukan setiap SMK di Banda Aceh dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen stratejik, yang meliputi penguatan struktur organisasi, menerapkan kurikulum yang sesuai kebutuhan, dan pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya fasilitas, telah melahirkan keunggulan dalam mengendalikan organsiasi SMK sesuai dengan tujuannya.
Mengacu keberbagai implementasi manajemen stratejik yang diseleng¬garakan SMK Banda Aceh, maka dapat dikatakan bahwa konsep manajemen stratejik untuk memberdayakan SMK memiliki kontribusi terhadap kinerja setiap SMK tersebut. Pemberdayaan bagi SMK memang bukanlah merupakan tujuan yang bersifat sesaat atau tentatif, pemberdayaan dilakukan sebagai upaya SMK agar dapat menyesuaikan dri dengan perkembangan yang tedadi, terutama perkembangan yang datangnya dari lingklungan eksternal SMK. Implementasi manajemen stratejik yang diterapkan SMK tidak hanya satu aspek saja, tetapi terdiri dari berbagai aspek sehingga memungkinkan SMK dapat bergerak secara dinamis. Perbedaan penerapan antara manajemen stratejik dengan manajemen biasa di SMK Negeri Banda Aceh, sangat signifikan terhadap pemberdayaan setiap SMK untuk melaksanakan seluruh program masing-masing. Manajemen stratejik yang diterapkan memberikan kesempatan yang lugs bagi setiap SMK untuk dapat merealisir visi, mini dan tujuannya sehingga memungkinkan bagi setiap SMK melaksanakan pendidikan dan pelatihan.
Sumber:
Usman, Nasir. dan AR, Murniati. (2009). Implementasi Manajemen Stratejik Dalam Pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan. Bandung. Citapustaka Media Perintis.
Konsep Manajemen Strategik Sebagai Paradigma Baru di Lingkungan Organisasi Pendidikan
Dalam bidang ekonomi khususnya di lingkungan bisnis yang mengembangkan manajemen secara teoritis dan praktis, Manajemen Strategik telah cukup lama dikenal dan dikembangkan. Berbeda dengan di lingkungan organisasi non profit, khususnya bidang pendidikan, kehadiran Manajemen Strategik pada dasarnya merupakan suatu paradigma baru.
Sebagai paradigma baru, jika diimplementasikan pada lingkungan organisasi pendidikan, tidak mungkin dilakukan sebagai kegiatan pengambilalihan seluruh kegiatannya sebagaimana dilaksanakan di lingkungan organisasi profit (bisnis), karena kedua organisasi tersebut satu dengan yang lain berbeda dalam banyak aspek, terutama dari segi filsafat yang mendasarinya dan tujuan yang hendak dicapai.
Pengimplementasian Manajemen Strategik di lingkungan organisasi bidang bisnis didasari oleh falsafah yang berisi nilai-nilai persaingan bebas antar organisasi bisnis sejenis, melalui pendayagunaan semua sumber yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang bersifat strategik. Tujuan tersebut adalah mempertahankan dan mengembangkan eksistensi masing-masing untuk jangka waktu panjang, melalui kemampuan meraih laba kompetitif secara berkelanjutan. Sedang organisasi pendidikan didasari oleh filsafat yang berisi nilai-nilai pengabdian dan kemanusiaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perbedaan lain terletak pada pengorganisasian masing-masing. Setiap organisasi profit memiliki otonomi dalam menjalankan manajemennya, berupa kebebasan mewujudkan pengembangan organisasinya antara lain dengan memilih pengimplementasian Manejemen Strategik atau manajemen lainnya yang dinilai terbaik. Di organisasi non profit khususnya bidang pendidikan, organisasi ini diatur dengan manajemen umum oleh pemerintah Pusat ataupunn daerah, yang secara berencana dan sistematis telah menetapkan berbagai pengaturan yang mengikat dalam memilih dan mengimplementasikan manajemennya.
Pengertian Manajemen Strategi
Manajemen Strategi merupakan rangkaian dua perkataan terdiri dari kata“Manajemen” dan “Strategi” yang masing-masing memiliki pengertian tersendiri, yang setelah dirangkaikan menjadi satu terminologi berubah dengan memiliki pengertian tersendiri pula. Pengertian manajemen strategi ada 4 (empat). Pengertian pertama Manajemen Strategi adalah “proses atau rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara pelaksanaannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan dimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organiasasi, untuk mencapai tujuannya”. Dari pengertian tersebut terdapat beberapa aspek yang penting, antara lain:
a. Manajemen Strategi merupakan proses pengambilan keputusan.
b. Keputusan yang ditetapkan bersifat mendasar dan menyeluruh yang berarti berkenaan dengan aspek-aspek yang penting dalam kehidupan sebuah organisasi, terutama tujuannya dan cara melaksanakan atau cara mencapainya.
c. Pembuatan keputusan tersebut harus dilakukan atau sekurang-kurangnya melibatkan pimpinan puncak (kepala sekolah), sebagai penanggung jawab utama pada keberhasilan atau kegagalan organisasinya.
d. Pengimplementasian keputusan tersebut sebagai strategi organisasi untuk mencapai tujuan strateginya dilakukan oleh seluruh jajaran organisasi (warga sekolah), seluruhnya harus mengetahui dan menjalankan peranan sesuai wewenang dan tanggung jawab masing masing.
e. Keputusan yang ditetapkan manajemen puncak (kepala sekolah) harus diimplementasikan oleh seluruh warga sekolah dalam bentuk kegiatan/pelaksanaan pekerjaan yang terarah pada tujuan strategi organisasi.
Pengertian manajemen strategi yang kedua adalah “usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang muncul guna mencapai tujuannya yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan”. Dari pengertian tersebut terdapat konsep yang secara relatif luas dari pengertian pertama yang menekankan bahwa “manajemen strategi merupakan usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi”, yang mengharuskan kepala sekolah dengan atau tanpa bantuan manajer bawahannya (Wakasek, Pembina Osis, Kepala Tata Usaha), untuk mengenali aspek-aspek kekuatan organisasi yang sesuai dengan misinya yang harus ditumbuhkembangkan guna mencapai tujuan strategi yang telah ditetapkan. Untuk setiap peluang atau kesempatan yang terbuka harus dimanfaatkan secara optimal.
Pengertian yang ketiga, Manajemen Strategi adalah “arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada pengembangan strategi yang efektif untuk membantu mencapai tujuan organisasi”. Pengertian ini menekankan bahwa arus keputusan dari para pimpinan organisasi (Ka Dinas, Kepala Sekolah) dan tindakan berupa pelaksanaan keputusan, harus menghasilkan satu atau lebih strategis, sehingga dapat memilih yang paling efektif atau yang paling handal dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Pengertian yang keempat, “manajemen strategi adalah perencanaan berskala besar (disebut Perencanaan Strategi) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut VISI), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut MISI), dalam usaha menghasilkan sesuatu (Perencanaan Operasional) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategi) dan berbagai sasaran (Tujuan Operasional) organisasi.” Pengertian yang cukup luas ini menunjukkan bahwa Manajemen Strategi merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak ke arah yang sama pula.
Komponen pertama adalah Perencanaan Strategi dengan unsur unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan Strategi organisasi. Sedang komponen kedua adalah Perencanaan Operasional dengan unsur unsurnya adalah Sasaran atau Tujuan Operasional, Pelaksanaan Fungsi fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan situasional, jaringan kerja Internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik. Diagram manajemen strategi sebagai suatu sistem dapat dilihat pada halaman berikut.
Diagram 1. Manajemen Strategi Sebagai Sistem
Di samping itu dari pengertian Manajemen Strategi yang terakhir, dapat disimpulkan beberapa karakteristiknya sebagai berikut:
a. Manajemen Strategi diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategi (RENSTRA) yang dijabarkan menjadi Perencanaan Operasional (RENOP), yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk Program program kerja.
b. Rencana Strategi berorientasi pada jangkauan masa depan (25-30 tahun). Sedang Rencana Operasionalnya ditetapkan untuk setiap tahun atau setiap lima tahun.
c. VISI, MISI, pemilihan strategi yang menghasilkan Strategi Utama (Induk) dan Tujuan Strategi Organisasi untuk jangka panjang, merupakan acuan dalam merumuskan RENSTRA, namun dalam teknik penempatannya sebagai keputusan Manajemen Puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat di dalamnya.
d. RENSTRA dijabarkan menjadi RENOP yang antara lain berisi program program operasional.
e. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak (Pimpinan) karena sifatnya sangat mendasar dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi.
f. Pengimplementasian Strategi dalam program program untuk mencapai sasarannya masing masing dilakukan melalui fungsi fungsi manajemen yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.
Berdasarkan karakteristik dan komponen Manajemen Strategi sebagai sistem, terlihat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat intensitas dan formalitas pengimplementasiannya di lingkungan organisasi non profit (pendidikan). Beberapa faktor tersebut antara lain adalah ukuran besarnya organisasi, gaya manajemen dari pimpinan, kompleksitas lingkungan ideologi, sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya termasuk kependudukan, peraturan pemerintah dsb. sebagai tantangan eksternal. Tingkat intensitas dan formalitas itu dipengaruhi juga oleh tantangan internal, antara lain berupa kemampuan menterjemahkan strategi menjadi proses atau rangkaian kegiatan pelaksanaan pekerjaan sebagai pelayanan umum yang efektif, efisien dan berkualitas (dalam bidang pendidikan misalnya menetapkan model/sistem instruksional, sumber sumber belajar, media pembelajaran dll).
Dimensi- Dimensi Manajemen Strategi
Berdasarkan pengertian dan karakteristiknya dapat disimpulkan bahwa Manajemen Strategi memiliki beberapa dimensi atau bersifat multidimensional. Dimensi dimensi dimaksud adalah :
a. Dimensi Waktu dan Orientasi Masa Depan
Manajemen Strategi dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi suatu organisasi berpandangan jauh ke masa depan, dan berperilaku proaktif dan antisipatif terhadap kondisi masa depan yang diprediksi akan dihadapi. Antisipasi masa depan tersebut dirumuskan dan ditetapkan sebagai Visi organisasi yang akan diwujudkan 25-30 tahun lebih di masa depan. Visi dapat diartikan sebagai “kondisi ideal yang ingin dicapai dalam eksistensi organisasi di masa depan”. Sehubungan dengan itu, visi adalah gambaran kondisi masa depan dari suatu organisasi yang belum tampak sekarang tetapi merupakan konsepsi yang dapat dibaca oleh setiaporang (anggota organisasi). Visi memiliki kekuatan yang mampu mengundang, memanggil, dan menyerukan pada setiap orang untuk memasuki masa depan. Visi organisasi harus dirumuskan oleh manajemen puncak organisasi”.
Visi merupakan gambaran yang jelas tentang apa yang akan dicapai berikut rincian dan instruksi setiap langkah untuk mencapai tujuan. Suatu visi dikatakan efektif jika sangat diperlukan dan memberikan kepuasan, menghargai masa lalu sebagai pengantar masa depan. Visi adalah pernyataan tentang tujuan organisasi yang diekspresikan dalam produk dan pelayanan yang ditawarkan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi, kelompok masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang diperoleh, serta aspirasi dan cita-cita masa depan. Sehingga secara sederhana Visi organisasi dapat diartikan sebagai sudut pandang ke masa depan dalam mewujudkan tujuan strategi organisasi, yang berpengaruh langsung pada misinya sekarang dan di masa depan. Sehubungan dengan itu Misi organisasi pada dasarnya berarti keseluruhan tugas pokok yang dijabarkan dari tujuan strategi untuk mewujudkan visi organisasi.
b. Dimensi Internal dan Eksternal
Dimensi Internal adalah kondisi organisasi non profit (pendidikan) pada saat sekarang, berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang harus diketahui secara tepat. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan Evaluasi Diri antara lain dengan menggunakan Analisis Kuantitatif dengan menggunakan perhitungan-perhitungan statistik, menggunakan data kuantitatif yang tersedia di dalam Sistem Informasi Manajemen (SIM). Namun kerap kali data kuantitatif tidak memadai, karena lemahnya SIM dalam mencatat, mencari, melakukan penelitian dan mengembangkan data pada masa lalu. Oleh karena itu Evaluasi Diri tidak boleh tergantung sepenuhnya pada data kuantitatif, karena dapat juga dilakukan dengan Analisis Kualitatif dengan menggunakan berbagai informasi kualitatif atau sebagian data kuantitatif dan sebagian lagi data kualitatif.
Untuk Analisis Kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan Analisis SWOT. Dimensi lingkungan eksternal pada dasarnya merupakan analisis terhadap lingkungan sekitar organisasi (sekolah), yang terdiri dari Lingkungan Operasional, Lingkungan Nasional dan Lingkungan Global, yang mencakup berbagai aspek atau kondisi, antara lain kondisi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, adat istiadat, agama, dll. Pengimplementasian Manajemen Strategi perlu mengidentifikasi dan mendayagunakan kelebihan atau kekuatan dan mengatasi hambatan atau kelemahan organisasi.
c. Dimensi Pendayagunaan Sumber-Sumber.
Manajemen strategi sebagai kegiatan manajemen tidak dapat melepaskan diri dari kemampuan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki, agar secara terintegrasi terimplementasikan dalam fungsi-fungsi manajemen ke arah tercapainya sasaran yang telah ditetapkan di dalam setiap RENOP, dalam rangka mencapai Tujuan Strategi melalui pelaksanaan Misi untuk mewujudkan Visi Organisasi (sekolah).
Sumber daya yang ada terdiri dari Sumber Daya Material khususnya berupa sarana dan prasarana, Sumber Daya finansial dalam bentuk alokasi dana untuk setiap program, Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Teknologi dan Sumber Daya Informasi. Semua sumberdaya ini dikategorikan dalam sumber daya internal, yang dalam rangka evaluasi diri (Analisis Internal) harus diketahui dengan tepat kondisinya.
d. Dimensi Keikutsertaan Manajemen Puncak (Pimpinan)
Manajemen strategi yang dimulai dengan menyusun Rencana Strategi merupakan pengendalian masa depan organisasi, agar eksistensi sesuai dengan visinya dapat diwujudkan. Rencana Strategi harus mampu mengakomodasi seluruh aspek kehidupan organisasi yang berpengaruh pada eksistensinya di masa depan merupakan wewenag dan tanggung jawab manajemen puncak. Rencana Strategi sebagai keputusan utama yang prinsipil, tidak saja ditetapkan dengan mengikutsertakan, tetapi harus dilakukan secara proaktif oleh manajemen puncak, karena seluruh kegiatan untuk merealisasikannya merupakan tanggung jawabnya.
e. Dimensi Multi Bidang
Manajemen Strategi sebagai Sistem, pengimplementasiannya harus didasari dengan menempatkan organisasi sebagai suatu sistem. Dengan demikian berarti sebuah organisasi akan dapat menyusun RENSTRA dan RENOP jika tidak memiliki keterikatan atau ketergantungan sebagai bawahan pada organisasi lain sebagai atasan.
Dalam kondisi sebagai bawahan (sekolah merupakan bawahan Dinas P & K) berarti tidak memiliki kewenangan penuh dalam memilih dan menetapkan visi, misi, tujuan dan strategi. Sekolah hanya berperan sebagai penyusun RENOP dan program tahunan. Dari uraian tersebut jelas bahwa RENSTRA dan RENOP bersifat multi dimensi, terutama jika perumusan RENSTRA hanya dilakukan pada banyak organisasi non profit termasuk pendidikan yang tertinggi. Dengan dimensi yang banyak tersebut, maka mudah terjadi tidak seluruh dimensi dapat diakomodasi.
Keunggulan dan Manfaat Manajemen Strategi Bagi Organisasi Pendidikan
Pengimplementasian Manajemen Strategi melalui perumusan RENSTRA dan RENOP dengan menggunakan strategi tertentu dalam melaksanakan fungsi- fungsi manajemen, dan mewujudkan tugas pokok dilingkungan organisasi pendidikan harus diukur dan dinilai keunggulannya. Dari pengukuran tersebut dan seluruh proses pengimplementasiannya, maka diketahui manfaat Manajemen Strategi bagi organisasi.
Keunggulan dan Manfaat Manajemen Strategi dalam organasasi pendidikan antara lain :
a. Keunggulan Implementasi Manajemen Strategi
Keunggulan implementasi manajemen strategi dapat dievaluasi dengan menggunakan tolok ukur sebagai berikut :
1) Profitabilitas
Keunggulan ini menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan diselenggarakan secara efektif dan efisien, dengan penggunaan anggaran yang hemat dan tepat, sehingga diperoleh profit berupa tidak terjadi pemborosan.
2) Produktivitas Tinggi
Keunggulan ini menunjukkan bahwa jumlah pekerjaan (kuantitatif) yang dapat diselesaikan cenderung meningkat. Kekeliruan atau kesalahan dalam bekerja semakin berkurang dan kualitas hasilnya semakin tinggi, serta yang terpenting proses dan hasil memberikan pelayanan umum (siswa dan masyarakat) mampu memuaskan mereka.
3) Posisi Kompetitif
Keunggulan ini terlihat pada eksistensi sekolah yang diterima, dihargai dan dibutuhkan masyarakat. Sifat kompetitif ini terletak pada produknya (misalnya: kualitas lulusan) yang memuaskan masyarakat yang dilayani.
4) Keunggulan Teknologi
Semua tugas pokok berlangsung dengan lancar dalam arti pelayanan umum dilaksanakan secara cepat, tepat waktu, sesuai kualitas berdasarkan tingkat keunikan dan kompleksitas tugas yang harus diselesaikan dengan tingkat rendah, karena mampu mengadaptasi perkembangan dan kemajuan teknologi.
5) Keunggulan SDM
Di lingkungan organisasi pendidikan dikembangkan budaya organisasi yang menempatkan manusia sebagai faktor sentral, atau sumberdaya penentu keberhasilan organisasi. Oleh karena itu SDM yang dimiliki terus dikembangkan dan ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan sikapnya terhadap pekerjaannya sebagai pemberi pelayanan kepada siswa. Bersamaan dengan itu dikembangkan pula kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi oleh sekolah pada masa sekarang dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang timbul sebagai pengaruh globalisasi di masa yang akan datang.
6) Iklim Kerja
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa hubungan kerja formal dan informal dikembangkan sebagai budaya organisasi berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam budaya organisasi pendidikan, setiap SDM sebagai individu dan anggota organisasi terwujud hubungan formal dan hubungan informal antar personil yang harmonis sesuai dengan posisi, wewenang dan tanggung jawab masing – masing di dalam dan di luar jam kerja.
7) Etika dan Tanggung Jawab Sosial
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa dalam bekerja terlaksana dan dikembangkan etika dan tanggung jawab sosial yang tinggi, dengan selalu mendahulukan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan/atau organisasi. Tolok ukur keunggulan tersebut di atas sangat penting artinya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sekarang dan di masa mendatang. Untuk itu diperlukan kerjasama dan dukungan masyarakat dalam menumbuhkembangkan organisasi dalam mengimplementasikan Manajemen Strategi secara optimal, agar keunggulan keunggulan di atas dapat diwujudkan yang hasilnya akan menguntungkan masyarakat pula. Dalam kenyataan yang pada masa sekarang, bagi organisasi pendidikan (sekolah) kondisi untuk mewujudkan keunggulan tersebut masih menghadapi berbagai dilema. Organisasi pendidikan yang ada pada saat ini secara relatif bersifat konsumtif, sedang untuk melaksakan Manajemen Strategi secara relatif diperlukan dana/anggaran yang tidak sedikit. Dalam kondisi seperti ini sangat diperlukan kemampuan mewujudkan keseimbangan antara kesediaan pemerintah dalam menyediakan dana/anggaran yang memadai, dan dalam menggali serta mengatur pendayagunaan sumber-sumber daya lain, seperti orang tua, masyarakat, pinjaman/bantuan.
Manfaat Manajemen Strategi
Berdasarkan keunggulan yang dapat diwujudkan seperti telah diuraikan di atas, berarti dalam pengimplemantasian Manajemen Strategi di lingkungan organisasi pendidikan terdapat beberapa manfaat yang dapat memperkuat usaha mewujudkannya secara efektif dan efisien. Manfaat yang dapat dipetik adalah : “manajemen strategi dapat mengurangi ketidakpastian dan kekomplekan dalam menyusun perencanaan sebagai fungsi manajemen, dan dalam proses pelaksanaan pekerjaan dengan menggunakan semua sumber daya yang secara nyata dimiliki melalui proses yang terintegrasi dengan fungsi manajemen yang lainnya dan dapat dinilai hasilnya berdasarkan tujuan organisasi.” Secara terinci manfaat manajemen strategi bagi organisasi non profit (pendidikan) adalah :
1) Organisasi pendidikan (sekolah) sebagai organisasi kerja menjadi dinamis, karena RENSTRA dan RENOP harus terus menerus disesuaikan dengan kondisi realistik organisasi (analisis internal) dan kondisi lingkungan (analisis eksternal) yang selalu berubah terutama karena pengaruh globalisasi. Dengan kata lain Manajemen Strategi sebagai pengelolaan dan pengendalian yang bekerja secara realistik dalam dinamikanya, akan selalu terarah pada Tujuan Strategi dan Misi yang realistik pula.
2) Implementasi Manajemen strategi melalui realiasi RENSTRA dan RENOP berfungsi sebagai pengendali dalam mempergunakan semua sumber daya yang dimiliki secara terintegrasi dalam pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen, agar berlangsung sebagai proses yang efektif dan efisien. Dengan demikian berarti Manajemen Strategi mampu menunjang fungsi kontrol, sehingga seluruh proses pencapaian Tujuan Strategi dan perwujudan Visi berlangsung secara terkendali.
3) Manajemen Strategi diimplementasikan dengan memilih dan menetapkan strategi sebagai pendekatan yang logis, rasional dan sistematik, yang menjadi acuan untuk mempermudah perumusan dan pelaksanaan program kerja. Strategi yang dipilihdan disepakati dapat memperkecil dan bahkan meniadakan perbedaan dan pertentangan pendapat dalam mewujudkan keunggulan yang terarah pada pencapaian tujuan strategi.
4) Manajemen Strategi dapat berfungsi sebagai sarana dalam mengkomunikasikan gagasan, kreativitas, prakarsa, inovasi dan informasi baru serta cara merespon perubahan dan perkembangan lingkungan operasional, nasional dan global, pada semua pihak sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Dengan demikian akan memudahkan dalam menyepakati perubahan atau pengembangan strategi yang akan dilaksanakan, sesuai dengan atau tanpa merubah keunggulan yang akan diwujudkan oleh organisasi.
5) Manajemen Strategi sebagai paradigma baru di lingkungan organisasi pendidikan, dapat mendorong perilaku proaktif semua pihak untuk ikut serta sesuai posisi, wewenang dan tanggungjawab masing – masing. Dengan demikian setiap unit dan atau satuan kerja akan berusaha mewujudkan keunggulan di bidangnya untuk memperkuat keunggulan organisasi.
6) Manajemen Strategi di dalam organisasi pendidikan menuntut semua yang terkait untuk ikut berpartisipasi, yang berdampak pada meningkatnya perasaan ikut memiliki (sense of belonging), perasaan ikut bertanggungjawab (sense of responsibility), dan perasaan ikut berpartisipasi (sense of participation). Dengan kata lain manajemen strategi berfungsi pula menyatukan sikap bahwa keberhasilan bukan sekedar untuk menajemen puncak, tetapi merupakan keberhasilan bersama atau untuk keseluruhan organisasi dan bahkan untuk masyarakat yang dilayani.
Berdasarkan uraian tentang keunggulan dan manfaat manajemen strategi di atas perlu dipahami bahwa pengimplementasiannya di lingkungan organisasi pendidikan bukanlah jaminan kesuksesan. Keberhasilan tergantung pada SDM atau pelaksananya bukan pada Manajemen Strategi sebagai sarana. SDM sebagai pelaksana harus terdiri dari personil yang profesional, memiliki wawasan yang luas dan yang terpenting adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap moral dan/atau etika untuk tidak menggunakan manajemen strategi demi kepentingan diri sendiri atau kelompok.
Manajemen Pengendalian Mutu Terpadu (Total Quality Management) di Lingkungan Organisasi Non Profit
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah pada sistem manajemen yang disebut TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini adalah pengawasan menyeluruh dari seluruh anggota organisasi (warga sekolah) terhadap kegiatan sekolah. Penerapan TQM berarti semua warga sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan.
Sebelum hal itu tercapai, maka semua pihak yang terlibat dalam proses akademis, mulai dari komite sekolah, kepala sekolah, kepala tata usaha, guru, siswa sampai dengan karyawan harus benar – benar mengerti hakekat dan tujuan pendidikan ini. Dengan kata lain, setiap individu yang terlibat harus memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh dari individu yang terlibat, tidak mungkin akan diterapkan TQM.
Dalam ajaran TQM, lembaga pendidikan (sekolah) harus menempatkan siswa sebagai “klien” atau dalam istilah perusahaan sebagai “ stakeholders” yang terbesar, maka suara siswa harus disertakan dalam setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yang demokratis manajemen tidak mampu menerapkan TQM, yang terjadi adalah kualitas pendidikan didominasi oleh pihak – pihak tertentu yang seringkali memiliki kepentingan yang bersimpangan dengan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),
Penerapan TQM berarti pula adanya kebebasan untuk berpendapat. Kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim yang dialogis antara siswa dengan guru, antara siswa dengan kepala sekolah, antara guru dan kepala sekolah, singkatnya adalah kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh warga sekolah. Pentransferan ilmu tidak lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan dengan budaya akademis.
Selain kebebasan berpendapat juga harus ada kebebasan informasi. Harus ada informasi yang jelas mengenai arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi maupun secara nasional. Secara internal, manajemen harus menyediakan informasi seluas- luasnya bagi warga sekolah. Termasuk dalam hal arah organisasi adalah program program, serta kondisi finansial. Singkatnya, TQM adalah sistem menajemen yang menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan menghambat potensi perkembangan sekolah itu sendiri.
Dalam era kemandirian sekolah dan era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas dan tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah adalah menciptakan sekolah yang mereka pimpin menjadi semakin efektif, dalam arti menjadi semakin bermanfaat bagi sekolah itu sendiri dan bagi masyarakat luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas dan tanggung jawab para pemimpin sekolah tersebut menjadi nyata, kiranya kepala sekolah perlu memahami, mendalami dan menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yang dewasa ini telah dikembang-mekarkan oleh pemikir – pemikir dalam dunia bisnis. Salah satu ilmu manajemen yang dewasa ini banyak diadopsi adalah TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.
Manajemen Mutu Terpadu (TQM)
Manajemen Mutu Terpadu sangat populer di lingkungan organisasi profit, khususnya di lingkungan berbagi badan usaha/perusahaan dan industri, yang telah terbukti keberhasilannya dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya masing – masing dalam kondisi bisnis yang kompetitif. Kondisi seperti ini telah mendorong berbagai pihak untuk mempraktekannya di lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan lembaga pendidikan.
Manajemen Mutu Terpadu adalah manejemen fungsional dengan pendekatan yang secara terus menerus difokuskan pada peningkatan kualitas, agar produknya sesuai dengan standar kualitas dari masyarakat yang dilayani dalam pelaksanaan tugas pelayanan umum (public service) dan pembangunan masyarakat (community development). Konsepnya bertolak dari manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki, yang harus diintegrasi pula dengan pentahapan pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen, agar terwujud kerja sebagai kegiatan memproduksi sesuai yang berkualitas. Setiap pekerjaan dalam manajemen mutu terpadu harus dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan dan alat), pelaksanaan teknis dengan metode kerja/cara kerja yang efektif dan efisien, untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut Cassio seperti yang dikutip oleh Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.g. statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and training at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.
Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998:45) yang mengatakan bahwa “TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorentasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998:48) menyatakan pula bahwa “Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, karakteristik TQM sebagai berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal
2. Memiliki opsesi yang tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yang terkendali
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.
Pengertian Kualitas di Lingkungan Organisasi Non Profit
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses untuk mewujudkannya, merupakan bagian yang tidak mudah dalam pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini disebabkan oleh karena ukuran produktivitasnya tidak sekedar bersifat kuantitatif, misalnya hanya dari jumlah lokal dan gedung sekolah atau laboratorium yang berhasil dibangun, tetapi juga berkenaan dengan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkannya.
Demikian juga jumlah lulusan yang dapat diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit untuk ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan dengan itu di lingkungan organisasi bidang pendidikan yang bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005: 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa hasil yang dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung dan lokal yang dibangun sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa hasil yang tidak dapat diukur secara kuantitatif, karena bersifat kualitatif yang hanya dapat diketahui setelah melewati tenggang waktu tertentu yang cukup lama.
Masih menurut Hadari Nawawi (2005:47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu dapat dikatakan sukses, jika menunjukkan gejala – gejala sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk dalam memberikan pelayanan umum dan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan peningkatan kualitas SDM terus meningkat.
2. Kekeliruan dalam bekerja yang berdampak menimbulkan ketidakpuasan dan komplain masyarakat yang dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin waktu dan disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin sempurna, terkendali dan tidak berkurang/hilang tanpa diketahui sebab – sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung melalui pengawasan melekat, sehingga mampu menghemat pembiayaan, mencegah penyimpangan dalam pemberian pelayanan umum dan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
6. Pemborosan dana dan waktu dalam bekerja dapat dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan dan keahlian bekerja terus dilaksanakan sehingga metode atau cara bekerja selalu mampu mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai cara bekerja yang paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus meningkat.
Berkenaan dengan kualitas dalam pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio dalam bukunya Hadari Nawawi mengatakan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio juga mengutip pengertian kualitas dari The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada dengan itu dikatakan bahwa : “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Dilihat dari pengertian kualitas yang terakhir seperti tersebut di atas, berarti kualitas di lingkungan organisasi profit ditentukan oleh pihak luar di luar organisasi yang disebut konsumen, yang selain berbeda beda, juga selalu berubah dan berkembang secara dinamis.
Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan tidak mungkin diwujudkan jika tidak didukung dengan tersedianya sumber – sumber untuk mewujudkan kualitas proses dan hasil yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat, terdapat berbagai sumber kualitas yang dapat mendukung pengimplementasian TQM secara maksimal. Beberapa di antara sumber – sumber kualitas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting karena berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan dan kebijakan, pemilihan dan pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini tidak mungkin diciptakan dan dikembangkan pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen yang berorentasi pada kualitas produk dan pelayanan umum.
2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat penting karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang berkualitas, sangat tergantung pada ketersediaan informasi dan data yang akurat, cukup/lengkap dan terjamin kekiniannya sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas pokok organiasi.
3. Sumberdaya manusia yang potensial
SDM di lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif dalam arti dapat dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM juga merupakan potensi yang berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) untuk mewujudkan eksistensinya. Kualitas pelaksanaan tugas pokok sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh SDM, baik yang telah diwujudkan dalam prestasi kerja maupun yang masih bersifat potensial dan dapat dikembangkan.
4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi dalam organisasi sebagai sumber kualitas, sama pentingnya satu dengan yang lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi harus dilibatkan secara maksimal, sehingga saling menunjang satu dengan yang lainnya.
5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber – sumber kualitas yang ada bersifat sangat mendasar, karena tergantung pada kondisi pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau dapat memohon untuk dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM tidak boleh digantungkan pada individu kepala sekolah sebagai sumber kualitas, karena sikap dan perilaku individu terhadap kualitas dapat berbeda. Dengan kata lain sumber kualitas ini harus ditransformasikan pada filsafat kualitas yang berkesinambungan dalam merealisasikan TQM.
Semua sumber kualitas di lingkungan organisasi pendidikan dapat dilihat manifestasinya melalui dimensi dimensi kualitas yang harus direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama dengan warga sekolah yang ada dalam lingkungan tersebut. Dimensi kualitas yang dimaksud adalah :
a. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja dalam arti unjuk perilaku dalam bekerja yang positif, merupakan gambaran konkrit dari kemampuan mendayagunakan sumber – sumber kualitas, yang berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi organisasi (sekolah).
b. Iklim Kerja
Penggunaan sumber sumber kualitas secara intensif akan menghasilkan iklim kerja yang kondusif di lingkungan organisasi. Di dalam iklim kerja yang diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yang efektif melalui kerja di dalam tim kerja, yang saling menghargai dan menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif dan inovasi untuk selalu meningkatkan kualitas.
c. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber sumber kualitas secara efektif dan efisien akan memberikan nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap dalam melaksanakan tugas pokok dan hasil yang dicapai oleh organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat pada rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yang dilayani (siswa).
d. Kesesuaian dengan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber – sumber kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi pada kemampuan personil untuk menyesuaikan proses pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya dengan karakteristik operasional dan standar hasilnya berdasarkan ukuran kualitas yang disepakati.
e. Kualitas Pelayanan dan Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yang dapat diamati dari pendayagunaan sumber – sumber kualitas yang efektif dan efisien terlihat pada peningkatan kualitas dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada siswa.
f. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan sumber sumber kualitas yang sukses di lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui dari persepsi masyarakat (brand image) dalam bentuk citra dan reputasi yang positip mengenai kualitas lulusan baik yang terserap oleh lembaga pendidikan yang lebih tinggi ataupun oleh dunia kerja.
Sumber:
Nawawi. Hadari. (2003); Manajemen Strategik, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Memahami Konsep Kualitas
1. Konsep Kualitas
Westely dan Mintzberg membuat suatu pertanyaan yang penting bagi beberapa konsep, yaitu: Suatu proses yang asing tampaknya terpikir sebagai konsep seperti juga halnya budaya dan karisme, yang bergerak dari praktek menjadi suatu riset akademik. Hilangnya penggunaannya tersebut dalam prektek, seiring dengan prosesnya menjadi subjek akademik serta upaya untuk meletakkan dasar serta menjadi siuatu kepemilikan, untuk menyumbangkan pada dunia ilmiah. Dalam prosesnya mengeksperisikan kenyatan yang bahwa para praktisi yang ada mulanya mencoba untuk menggungkap maknanya (Westely dan Mintzberg). Kualitas adalah sutu ide yang dinamis dan agar perbedaan mengenai pengertian kualitas tersebut tidak mengakibatkan timbulnya kebinggungan, maka diperlukan diskusi mengenai hal tersebut.
Kualitas dalam percakapan sehari-hari utamanya digunakan sebagi suatu konsep yang absolut. Kualitas dapat juga dikaji sebagai konsep yang relatif, kualitas bukan sebagai atribut suatu produk atau pelayanan, tetapi sebagi sesuatu yang hakiki. Defenisi relatif kualitas ini memiliki dua aspek. Pertama, adalah pengukuran pada spesifikasinya. Kedua, memenuhi keperluan pelanggan.
Peters berargumentasi bahwa kualitas yang dirasakan oleh produk bisnis atau pelayanan adalah yang paling penting (faktor terpenting) yang mempengaruhi perfoma pruduk tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa kulitas yang didefenisikan oleh pelanggan lebih penting daripada harga, terutama dalam memnentukan permintaan terbesar akan barang dan jasa.
2. Quality Control, Quality Assurance, dan Total quality
Quality control adalah konsep kualitas tertua. Konsep ini melibatkan deteksi dan elimininasi komponen atau produk akir yang tidak memenuhi standar. Total Quality Managemen mengabungkan Quality assurance, untuk kemudian diperluas dan dikembangkan.
3. Produk dalam konteks pendidikan
Jika produk merupakan subjek, jaminan kualitas adalah prosesnya, maka diperlukan pemahaman spesifikasi dan pengawasan sumber supply dan raw material (bahan masukan mentah) yang ahrus memenuhi standar proses, seta autput yang harus didefenisikan spesifikasinya. Dalam pendidikan modelnya tidak semudah itu karena diperlukan seleksi awal. Peserta didik yang telah “dipoduksi” tidak mungkin untuk memberikan jaminan dengan jaminan standar tertentu.
4. Pendidikan dan Pelanggannya
Dalam hal ini pendidikan dapat didefinisankan sebagai penyedia jasa. Jasa yang diberikan termasuk biaya pendidikan, penilaian, dan bimbingan bagi peserta didik, orang tua peserta didik dan pendudukung lainya.
Dalam konsep TQM anggota staf adalah disebut sebagai pelanggan internal. Salah satu tujuan TQM adalah untuk merubah hubungan internal menjadi lebih operasional tampa adanya konplik intrernal dan persaingan.
5. Menserasikan Perbedaan Kebutuhan Pelanggan
Suatu metode yang dapat memutuskan perbedaan minat adalah dengan menyadari ekstensinya dalam organisasi tersebut serta merta pemecahan inti isu yang dapat mempersatukanya.
Total Quality Management (TQM) Dalam Konteks Pendidikan
TQM adalah suatu filosofi suatu peningkatan yang berkelanjutan, yang dapat dijadikan alat peraktis oleh lembaga pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, serta harapan pelanggan sekarang dan di masa depan.
TQM bukan merupakan inspeksi, tetapi TQM adalah sebuah upaya untuk mengerjakan segala sesuatu benar sejak dari sejak awal proses setiap waktu terjadi.
Sebagai suatu pendekatan, TQM mencari suatu bentuk permanen dalam lembaga, sehingga fokusnya bukan di arahkan pada kebijakan jangka pendek melainkan diarahkan pada peningkatan kualitas jangka panjang.
TQM juga merupakan sebuah Kaizen, yaitu pendekatan yang mengarah pada peningkatan secara berkelanjutan (tahap demi tahap).
TQM merupakan perubahan budaya. TQM memerlukan sutu sikap perubahan dan metode kerja. Perubahan bukan hanya tentang merubah perilaku staf, karena perubahan budaya memerlukan suatu perubahan dalam manajemen dan kepemimpinan lembaga.
1. Up Side down Organization (Pola Hubungan Ke Atas, Samping –Bawah)
Konsep ini memberikan implikasi yang sangat besar bagi organisasi dan hubungan didalamnya. Focus budaya organisasi ini tidak mempengaruhi struktur kewenangan di sekolah dan juga tidak mengurangi esensi kepemimpinan manajer senior.
2. Menjaga Kedekatan Hubungan dengan Pelanggan
TQM sangat memerlukan strategi untuk mencapai apa yang dibutuhkan oleh organisasi. Pendidikan menghadapi suatu pertimbangan dalam hubunganya dengan pelanggan eksternal. Karena, pelanggan pendidikan memainkan peran penting dalam kualitas sesuai dengan pemahamanya.
Kolega-kolega yang ada dalam organisasi juga disebut pelanggan. Cara yang terbaik untuk mengembangkan pelanggan adalah dengan menolong secara individual guna mengidenfikasikan orang yang harus diberi pelayanan.
3. Pemasaran Internal
Pemasaran internal adalah penting untuk mengkomunikasikan berbagai informasi pada staf, guna menyakinkan mengenai kejadian yang sedang terjadi di oeganisasi, sehinga staf memiliki kesempatan untuk memberikan ide umpan balik.
4. Profesionalisme Dan Focus Pelanggan
Terdapat demensi tambahan dari pekerja professional dalam bidang pendidikan, yang secara tradisonal memandang dirinya sebagai “penjaga” kualitas dan standar TQM menekan kan bahwa anggapan “raja” pada pelanggan dapat menyebabkan timbulnya beberapa konplik dengan konsep professional yang tradisional.
5. Kualitas Belajar
Pendidikan adalah mencakup yang belajar. Jika TQM ingin direlevansiakn dengan pendidikan, maka perlu untuk menentukan arah kualitas dari pengalaman belajar. Peseta didik adalah pelanggan utama.
6. Hambatan pada Saat Mensosialisakan TQM
TQM memerlukan kerja keras, disamping memang diperlukan waktu untuk mengembangakan suatu budaya kualitas. Senior menager juga harus menaruh kepercayaan pada stafnya. Manager harus dapat memberikan kesempatan pada stafnya untuk dapat mengambil keputusan secara bijaksana.
Model- Model Kualitas
1. Filosofi Kualitas dari Deming
Deming mengkonsentrsikan pada masalah kesalahan atau kegagalan manajemen untuk dijadikan dasar perancanaan dimasa yanga akan datangserta untuk meramalkan masalah yang mungin timbul sebelum terjadi. Deming percaya bahwa pendekatan berdasarkan pemikiran jangka pendek akan mengakibatkan pemborosan dan meningkatkan biaya yang berakibat pula meningkatkan harga belim konsumen.
Deming mengemukakan 14 point sebagai campuran dari filosofi kualitas baru dan menjadi daya tarik bagi manajemen untuk merubah gaya pendekatan mereka. 14 point tersebut yaitu:
a. Menciptakan konsistensi
b. Adopsi filosofi baru
c. Menghentikan ketergantungan atas adanya inspeksi digantikan dengan upaya pencapain kualitas
d. Hentikan anggapan bahwa pebghargaan dalam bisnis adalh terletak pada harga
e. Peningkatan system produksi dan layanan
f. Pelatihan dalam kerja
g. Kepemimpinan lembaga
h. Hilangkan rasa takut
i. Hilangakan penghalang atar departemen
j. Kurangi selogan
k. Kurangi standar kerja yang menentukan kuota berdasarkan jumlah
l. Hilangkan penghambat
m. Lembagakan suatu program pendidikan
n. Setiap orang dalam perusahaan bekerjasama dalam mendukung proses stranformasi.
2. Kegagalan kualitas
Penyebab umum adalah adanya kegagalan sistem, yaitu yang berkaitan dengan proses internal organisasi. Dengan kata lain disebabkan oleh sumber-sumber pendidikan itu sediri,termasuk desain kurikulum, gedung sekolah yang kurang terwat, lingkungan kerja yang buruk, setem dan prosudur yang tidak sesuai, penjadwalan tidak memadai, kuranganya sumber-sumber yang penting dan pengembangamn staf yang tidak memadai.
Selain penyebab umum, kualitas juga disebabkan oleh kegagalan khusus yaitu berupa peraturan yang tidak ditaati, staf yang tidak memiliki keterampilan, kurangnya pengetahuan dan keterampialn dari staf tertentu, kurangnya motifasi, kegagalan komunukasi, atau masalah dengan peralatan khusus.
3. Peranan manajer dalam mengatasi masalah
Sering dikemukakan dalam literatur TQM bahwa keberhasilan peningkatan kualitas memerlukan komitmen dari pihak manajemen. Komitmen tersebut bukan sekedar memberikan dukungan atas usaha yang dilakukan, tetapi juga komitmen atas tanggung jawab untuk mencari solusi masalah yang dihadapi.
4. Proyek Manajemen dari Joseph Jusan
Joseph juran termasuk salah satu pelopor repolusi kualitas di Jepang. Ide-ide penting dari Juran adalah bahwa produk atau jasa harus dapat menemukan spesifikasi mungkin belum dapat memenuhi apa yang diinginkan pelanggan.
Juran percaya bahwa kebanyakan masalah kualitas dapat diatasi dengan kembali pada keputusan manajemen. Menurut Juran 85% dari masalah kualitas dalam organisasi merupakan akikbat buruknya desain proses. Dalam mempertimbangakan peranan kepemimpinan dalam kualitas Juran mengajukan peraturan 85 /15.
5. Strategi Manajemen Kualitas
Untuk membantu manajer dalam perencanaan kualitas Juran telah mengembangkan suatu pendekatan yang disebut Strategi Quality Management (SQM). SQM merupakan tiga bagian proses berdasarkan perbedaan tingkatan staf yaitu antara senior manager, manager madya, dan kekuatan kerja.
Philip Crosby mengemukakan du aide kualitas yang sangat menarik dan sangat berpengaruh, yaitu: Pertama, kualitas adalah gratis, maksudnya adalah pemborosan dan ketidak efesienan pada kebnyakan system dapat dihemat dan dibayar oleh program peningkatan kualitas kedua, danyakan bahwa kesalahan, kegagalan, pemborosan dan seluruh hal yang tibdak mencerminkan kualitas dapat dihapus seluruhnya jika lembga memiliki keinginan.
Crosby memprogramkan dalam peningkatan kualitas terdiri dari 14 langkah, yaitu:
1. Managemen Comitment
2. Quality Improment team
3. Quality Measurement (pengukuran Kualitas)
4. Cost of Quality
5. Quality awareness
6. Carrcteve action
7. Zero defects Planning
8. Supervisor Traunnig
9. Zero defect Day
10. Goal Setting
11. Error Cause Removal
12. Recongnition (pengakuan)
13. Quality Councils (dewan kualitas)
14. Do it over Again (kerjakan secara terus menerus)
BS5750 dan ISO9000
1. Pentingnya Pendidikan Mempertimbangkan BS5750
BS5750 dan ISO9000 merupakan alat. pemasaran yang potensial dan berpengaruh, khususnya bagi organisasi yang dapat mencantumkan logo registrasi tersebut pada produknva sebagai simbol kualitas produk. Ini juga dapat menempatkan lembaga pendidikan (FE dan HE) dalam posisi monopoli jika BS5750/IS09000 diberikan oleh Trainning and Enterprise Council atau Scotish Lokal Enterprise Company setempat bagi suatu kontrak peladhan. BS5750 identik dengan Standar Eropa EN29000, standar kualitas internasional setara dengan standar kualitas Amerika Serikat Q90. Hal ini dapat disejajarkan dengan suatu hubungan internasional atau perjanjian (kontrak) secara internasional.
BS5750 pertama kali. dipublikasikan tahun 1979 dalam suatu. nama Quality System. Aslinya ada dalam Kementrian Pertahanan (Departemen Pertahanan) dan sistem NATO, yang disebut dengan AQAP (Allied Quality Assurance Procedures). BS5750 terdiri dari empat bagian. Pertama, dapat diaplikasikan pada organisasi yang pendesain, mengembangkan produk atau proses sebagai bagian penting organisasi bisnis. Kedua, diterapkan pada mayoritas organisasi dan oleh BSI dapat diterapkan pada kebanyakan lembaga pendidikan. Ketiga, adalah bagi organisasi yang terlibat dalam produksi dalam pengujian dan pemeriksaan produk. Keempat, merupakan bagian yang menjadi pedoman bagi ketiga bagian lain.
BS5750/IS09000 merupakan hal baru dalam bidang pendidikan. BSI membimbing proses penerapan standar tersebut dalam bidang pendidikan dan hanya mengadakan Trainning pada.tahun 1992. ISO belum memiliki aturan untuk pendidikan dan pelatihan, walaupun dalam prosesnya juga mengembangkan aspek tersebut. Karena bahasa asal yang dipakai dalam standar tersebut diterapkan dalam bidang industri dan belum dikenal di kalangan orang pendidikan. Untuk itu perlu dipertimbangkan translansinya kedalam konteks pendidikan.
2. Hubungan Antara BS5750/IS09000 dan TQM
Hubungan antara TQM dan BS5750/IS09000 merupakan topik yang diperdebatkan. TQM tidak mengusahakan tarif solusi. Setiap lembaga pendidikan memiliki budaya yang unik, budaya khusus tersebut membutuhkan pernyataan dimana TQM dan BS5750/IS09000 dapat melaksanakan bersama dan dinilai saling melengkapi. Terdapat sejumlah kemungkinan untuk melihat hubungan antara TQM dan BS5750/IS09000. Dalam TQM Peter Hinley dan Edwars Sallis menidentifikasikan empat model dari hubungan antara TQM dan BS5750/IS09000 yaitu:
1. BS5750/IS09000 dapat menjadi langkah awal bagi pelaksanaan Total Quality.
2. Posisi BS5750/IS09000 merupakan jantung TQM, sehingga standar ini menjadi fondasi bagi peningkatan selanjutnya,
3. BS5750/IS09000 memiliki peranan yang kecil dalam TQM pada skala besar. Dalam model ini kualitas ditunjukkan oleh partisipasi aktif dalam usaha kerja dalam suatu tim peningkatan dan bukan sekedar diatas kertas.
4. Model Keempat ini memandang dengan cara yang berbeda terutama dalam meninjau hubungan antara BS5750/IS09000 dan standar kualitas eksternal. Menurut model ini BS5750/IS09000 dianggap tidak relevan, karena dipandang sebagai birokrasi pendidikan.
Tanda Kualitas
Tanda kualitas dan standar kualitas dapat berperan dalam TQM. Kedua standar dapat memberikan pesan penting kepada para pelanggan.
1. BS7850 Pedoman bagi Total Quality Management
BS7850 bukan standar, dan tidak memiliki sebuah system penilaian pihak ketiga. BS7850 tidak dirancang untuk menjadi pemberi petunjuk dan penentu. Ia merupakan pedoman pendekatan dan metodelogi yang dilakukan sebuah organisasi untuk mengadopsi TQM.
BS7850 memiliki dua bagian, bagian pertama memberikan petunjuk tentang pernyataan misi, komitmen manajemen, kepuasan pelanggan, kerugian-kerugian kualitas, partisipasi keseluruhan, menciptakan struktur organisasi yang sesuai, pengukuran performa, pelatihan,dan alat serta teknik. Bagian kedua, menjelaskan tema bagian pertama dan memberikan metodologi dan pengukuran kualitas secara mendetail.
2. Investasi pada Personal
Investor in People (IIP) pertama disebarluaskan pada bulan Oktober 1991. IIP memberikan metodologi untuk pengembangan staf yang dapat membantu pencapaian tujuan organisasi. Elemen-elemen penting yang dipuaskan bagi suatu organisasi agar menjadi IIP adalah:
a. Komitmen umum dari atasan untuk mengembangkan seluruh staf untuk mencapai tujuan organisasi.
b. Rencana tertulis dari lembaga yang mengidentifikasikan tujuan organisasi dan targetnya.
c. Pengkajian ulang secara teratur terhadap pelatihan dan pengembangan staf secara keseluruhan.
d. Lakukan latihan dan pengembangan individual melalui karirnya.
e. Evaluasi investasi dalam pelatihan dan pengembangan serta suatu evaluasi dari efektivitas proses pengembangan staf.
3. The deming Prize
Deming prize merupakan penghargaan pribadi di jepang atas kualitas yang berhasil di capai. Aspek-aspek yang dinilai dalam deming prize meliputi: kebijakan perusahaan dan tujuan perusahaan, struktur organisasi, termasuk kerjasama antar divisi dan penggunaan Quality Circles, pendidikan Subcontractor, pendidikan dalam proses pengawasan statistic, penggunaan informasi statistik, analisis statistic, analisis statistic dan hasilnya, standarisasi, pengawasan system, prosedur keselamatan, pengukuran dan inspeksi, pengaruh peningkatan kualitas, dan rencana perusahaan di masa depan.
4. The Malcolm Balridge Award
Malcolm Balridge Award ini merupakan kompetisi tahunan. Adapun kriterianya meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. The driver (Kepemimpinan)
b. The System
c. Pengukuran
d. Tujuan
5. The European Quality Award
Tujuan European Quality Award ini adalah untuk memperkaya pengembangan Total Quality. Kriteria yang ditetapkannya adalah sebagai beriktu:
a. Kepuasan pelanggan
b. Kepausan pegawai
c. Performa bisnis
d. Pengaruh organisasi di masyarakat
6. The Citizen’s Charter
Program ini didesain untuk meningkatkan pelayanan umum dan memberikan kepada orang-orang pilihan yang lebih banyak. Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam standar penghargaan ini adalah:
a. Publikasi standar pelayanan dan performa berdasarkan ketetapan standar tersebut.
b. Konsultan pelanggan.
c. Informasi yang jelas tentang jasa yang diberikan.
d. Pelayanan bagi pelanggan dengan sopan dan efisien.
e. Prosedur penyampaian keluhan.
f. Validasi yang independen tentang performa dan komitmen terhadap nilai uang.
7. Pemilihan Standar Kualitas Eksternal
Yang penting dalam pemilihan standar kualitas eksternal adalah bahwa kompetesi Deming Prize, Malcolm Balridge Award, dan European Quality Award lebih dapat diaplikasikan dalam TQm daripada BS550/ISO9000, dan lebih umum diaplikasikan daripada investor in people. Kompetesi ini dan BS5750 dapat sangat berguna dalam criteria internal Audit TQM. Di masa datang banyak lemabaga pendidikan akan mempertimbangkan secara serius untuk menggunakan konsep-konsep tersebut.
Pertimbangan Organisasional
1. Daur Hidup Organisasi
TQM dengan kekuatannya merupakan strategi perencaan jangka panjang dan melibatkan seluruh staf dalam peningkatan yang berkelanjutan, memberikan alat untuk menghadapi tantangan bagi setiap tahap. Setiap tahap dalm daur hidup organisasi memiliki tantangannya sendiri. Pada setiap tahap tersebut suatu lembaga harus berubah, baradaptasi dan berkembang.
Tahap-tahap dalam daur organisasi yaitu:
a. Kelahiran dan formasi organisasi.
b. Pertumbuhan dan pengembangan
c. Kematangan /pembaharuan
2. Organisasi Tradisional dan Organisasi TQM
Organisasi tradisional akan mengalami kesulitan dalam menghadapi tekanan perubahan yang semakin meningkat. Organisasi ini terdapat hambatan departemental, kurangnya misi, hierarki yang begitu banyak hambatan, dan kepercayaan yang berlebihan pada prosedur yang kaku. Organisasi TQM memiliki pandangan yang berbeda, kualitas diintegrasikan pada struktur dan menyadari bahwa kualitas melibatkan setiap orang di seluruh tingkatan dan organisasi berpotensi untuk memberikan kontribusi.
Jika suatu sekolah beraspirasi untuk menjadi lembaga yang memiliki Total Quality, maka sekolah harus bersikap inovatif dan harus berada di depan untuk menebarkan visi yang diterapkan dalam misinya.
Bab VIII: Kepemimpinan Pendidikan Dalam Kualitas
Kepemimpian adalah hal yang esensi dalam TQM. Pemimpin harus memiliki visi dan dapat mentedemahkannya ke dalarn kebijakan dan tujuan khusus dengan jelas.
Dalam kualitas pendidikan menurut Peter dan Austin memerlukan seorang pemimpin. Pemimpin pendidikan membutuhkan kualifikasi berikut:
1. Visi dan simbol.
2. Management by Walking About merupakan hal yang diperlukan oleh gaya kepemimpinan untuk setiap lembaga.
3. For The Kids dalam pendidikan konsep tersebut identik dengan ”dekat dengan pelanggan".
4. Otonomi, percobaan, dan dukungan pada kegagalan.
5. Menciptakan perasaan kekeluargaan.
6. Rasa kesatuan, irama, keinginan, intensitas dan antusias.
Tanpa kepemimpinan pada setiap tingkatan lembaga, maka proses peningkatan tidak dapat dilakukan secara terus menerus. .Komitmen pada kualitas merupakan peran utarna dari pemimpin pendidikan. Adanya kegagalan pada proses penerapan TQM utarnanya disebabkan oleh kurangnya komitmen dari pemimpin.
Secara khusus, manajer yang berada dalam organisasi yang tidak menerapkan TQM memerlukan 30% dari waktunya untuk mengantisipasi kegagalan system, keluhan-keluhan dan perjuangan keras. Dengan adanya TQM, para manajer dapat lebih menghemat waktu sehingga memiliki banyak waktu untuk memimpin, canakan, mengembangkan ide-ide barn dan bekerja lebih dekat pelanggan.
Spanbauer menggambarkan rencana kepemimpinan untuk menciptakan suatu lingkungan pendidikan yang baru. Secara khusus ia memfokuskan pada kepemimpinan untuk pemberian wewenang. Kesimpulan yang diajukannya adalah sebagai berikut:
1. Melibatkan guru dan seluruh staf dalam aktivitas pemecahan masalah, dengan menggunakan metode ilmiah dan prinsip statistik kualitas serta proses pengawasan.
2. Mintalah guru untuk mengemukakan bagaimana pola berpikir tentang hal dan bagaimana proyek dapat diatasi
3. Sebarluaskan informasi manajemen seluas mungkin untuk menyebarkan komitmen.
4. Mintalah staf untuk menentukan sistem dan prosedur mana yang, bersifat preventif dalam kaitannya dengan pemberian kualitas pada para pelanggan.
5. Memahami bahwa keinginan untuk meningkatkan kemampuan guru tidak sesuai jika pendekatan manajemennya dari atas ke bawah.
6. Perbaharui pertumbuhan profesional dengan meningkatkan tanggung jawab sebagai suatu bentuk pengawasan untuk pengembangan profesional langsung pada guru selaku pekerja teknis.
7. Mengembangkan kemampuan dalam resolusi konflik, problem solving, dan negosiasi.
8. Berikan pertolongan tanpa menimbulkan rasa rendah diri.
9. Berikan pendidikan dalam konsep kualitas dan subyek dalam bentuk tim, proses manajemen, layanan pada pelanggan, komunikasi, dan kepemimpinan.
10. Berikan model dengan menunjukkan kepribadian yang diharapkan.
11. Pelajari lebih banyak dengan berperan sebagai pelayan bukan bos.
12. Berikan otonomi dan beri kepercayaan untuk menerima resiko atas pekerjaan yang dilakukan.
13. Gunakan tindakan yang seimbang untuk meyakinkan kualitas yang diberikan pada pelanggan eksternal (siswa, orang tua, dan pembayar pajak), sementara itu beri perhatian pada kebutuhan internal.
Tim Kerja Kualitas
1. Tim merupakan pondasi dalam kualitas
Untuk menciptakan TQM yang efektif, maka konsep budaya tim kerja harus diperluas dan dipenetrasikan pada seluruh organisasi dan digunakan secara luas, termasuk untuk pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Kekuatan yang dibutuhkan untuk peningkatan kualiatas adalah datang dari orang-orang yang bekerja secara harmonis. Konsep inovatif Strategic Quality Management dari Miller, Dower dan Innish, menyatakan bahwa adanya tim merupakan pondasi bagi peningkatan kualitas secara lebih jauh dalam pendidikan. Tim dalam pendidikan yang penting misalnya Course Team (Tim Mata Pelajaran, misalnya: KKG-kelompok Kerja Guru). Tim ini dipandang memiliki fungsi penting seperti:
1. Meningkatkan tanggung jawab atas kualitas pengajaran.
2. Meningkatkan tanggung jawab atas penggunaan waktu guru, penggunaan waktu staf dan material yang digunakan.
3. Berfungsi sebagai sarana untuk monitoring, evaluasi, dan penignkatan kualitas.
4. Bertindak sebagai penyampai informasi, pada manajemen.
2. Tahap Formasi tim
Tim memerlukan waktu untuk tumbuh dan menjadi matang. B. W. Tuckman bahwa terdapat empat tahap dalam perkembangan suatu tim, yaitu:
1. Forming
Pada tahap ini belum menjadi tim. Dalam tahap ini terjadi upaya pengumpulan individu yang berbeda optimisme, idealisme, kebanggaan dan antisipasi terhadap rasa ingin tahu.
2. Storming
Pada tahap ini anggota mulai menyadari akan skala tugas mereka, sehingga dapat menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Sisi positif dari tahap ini adalah terjadinya upaya saling memahami pribadi satu sama lain.
3. Norming
Pada tahap ini suatu tim memutuskan dan mengembangkan metode kerjanya. Tim menetapkan aturan atau norma-norma yang dianutnya serta memilih peran apa yang harus dijalankan oleh anggota.
4. Performing
Pada tahap ini dapat menunjukkan jati dirinya melalui tugas yang dikerjanya, sehingga pada tahp ini pula anggota tim dapat mulai memecahkan masalah dan melakukan upaya peningkatan proses.
3. Quality Circles (Gugus Kualitas)
Kualitas bersinonim dengan Quality Circles (Gugus Kualitas). Kauro Ishikawa, seorang penulis terkemuka di jepang memandang bahwa Quality Circles adalah dasar dari proses peningkatan kualitas.
Tujuan dari Quality Circles (Gugus Kualitas) adalah:
a. Menyumbang pada peningkatan dan pengembangan perusahaan.
b. Menghormati hak kemanusiaan dan membangun suasana kerja yang bahagia dan cerah.
c. Melatih kapabilitas manusia secara utuh, dan bahkan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan.
Alat Dan Teknik Untuk Peningkatan Kualitas
Alat dan Teknik kualitas adalah alat untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Alat-alat dan teknik yang dapat digunakan untuk peningkatan kualitas adalah sebagai berikut:
1. Brainstorming (Sumbang Saran)
Brainstorming adalah alat TQM yang ideal, karena dengan cara ini memungkinkan pengembangan kreativitas tim dan memberikan kesempatan pada mereka untuk menyampaikan ide dan isu secara cepat.
2. Diagram Tulang Ikan dari Ishikawa
Diagram ini menggambarkan beberapa penyebab yang mempengaruhi proses. Proses ini digambarkan dengan memilih dan menghubungkan penyebab dengan akibat yang ditimbulkannya.
3. Force Field Analysis
Force Field Analysis adalah suatu alat yang berguna untuk mempelajari suatu situasi yang memerlukan perubahan.
4. Proses Charting
Teknik ini dapat digunakan untuk meyakinkan bahwa organisasi mengetahui siapa sebenarnya pelanggannya dan dapat mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan untuk melayani para pelanggan tersebut.
5. Flowchart
Flowchart merupakan alat penting jika suatu masalah merupakan pendekatan secara sistematik, atau jika aktivitas memerlukan penjelasan melalui bagan.
6. Analisis Pareto
Diagram Pareto merupakan bentuk sederhana dari Bar Chart yang berbentuk vertical yang dapat membantu memecahkan masalah kualitas.
7. Benchmarking
Bencmarking merupakan alat untuk merupakan suatu keuntungan kompetitif, yaitu tentang penemuan siapa yang terbaik dan mencari yang lebih baik.
8. Career Path Mapping (Pengambaran Jalan Karir)
Penggambaran karir peserta didik melalui organisasi merupakan alat sederhana untuk mengidentifikasi kejadian penting atau hambatan yang potensial dalam merintis karirnya.
Perencanaan Strategis Untuk Kualitas
Kualitas tidak terjadi begitu saja, tetapi harus direncanakan. Kualitas memerlukan pendekatan secara sistematik dengan menggunakan proses perencanaan yang strategis. Tanpa arahan jangka panjang yang jelas, organisasi tidak dapat merencanakan peningkatan kualitas. Rangkaian proses perencanaan strategis yang bisa diadopsi oleh institusi pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Visi
Pernyataan visi (pandangan) mengkomunikasikan pokok-pokok tujuan organisasi dan untuk apa organisasi tersebut berdiri.
2. Misi
Pernyataan visi sangat berkaitan dengan visi, dan merupakan arahan bagi masa kini dan masa yang akan dating. Pernyataan misi memperjelas perbedaan antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya.
3. Nilai-nilai
Nilai-nilai organisasi merupakan prinsip operasional dan arahan untuk mencapai visi dan misi organisasi. Nilai-nilai tersebut mengekspresikan kepercayaan atau keyakinan dan aspirasi lembaga.
4. Cita-cita
Visi, misi dan nilai-nilai perlu diterjemahkan dalam cita-cita yang dapat dicapai. Yang penting disini adalah bahwa cita-cita mengekspresikan tujuan dan sasaran.
5. Riset Pasar
Riset Pasar dapat digunakan untuk menentukan isu yang muncul dari kalangan pelanggan. Dari riset ini diperoleh data tentang image organisasi dimana organisasi memiliki pelanggan atau kelompok pelanggan potensial yang bervariasi.
6. Analisis Swot
Analisis swot menjadi alat yang biasa digunakan dalam perencanaan strategis di bidang pendidikan, tetapi di nilai paling potensial dan efektif adalah untuk menempatkan potensi organisasi.
7. Rencana Bisnis dan Operasi
Rencana bisnis dan operasi adalah rencana detail jangka pendek, biasanya satu tahun, untuk mencapai aspek-aspek tertentu dari strategi institusional jangka panjang.
8. Kebijakan kualitas dan Rencana kualitas
Kebijakan kualitas merupakan pernyataan komitmen organisasi. Tahap selanjutnya adalah mengembangkan rencana mutu/kualitas. Rencana kualitas harus memiliki tujuan dan sasaran yang jelas yang terkait dengan kualitas.
9. Biaya dan keuntungan
Pembiayaan kualitas adalah tentang pengukuran keuntungan dari peningkatan kualitas. Tujuannya adalah untuk mengurangi hal-hal yang tidak mengarah pada kualitas.
10. Monitoring dan Evaluasi
Proses evaluasi harus difokuskan pada pelanggan dan memperluas dua isu. Pertama, tingkat pemenuhan kebutuhan individual oleh lembaga (baik internal maupun eksternal), kedua, sejauh mana pencapaian misi dan cita-cita .
11. Momen Kebenaran (Moment of Trueth)
Critical Succes Factors (CSFs) kadang disebut Moment of Truth. Hal ini merupakan indicator dari apa yang harus di capai jika lembaga ingin memuaskan pelanggannya dan CSPs ini juga merupakan pernyataan misi organisasi.
12. Rencana Strategis
Rencana Strategis (Strategic Plan), kadang disebut sebagai rencana kerjasama atau rencana pengembangan lembaga. Tujuannya adalah untuk memberikan pedoman dan arahan kepada lembaga.
Sumber:
Sallis, Edward. (1993) Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Limited.
KONSEP STRATEGI
Apa Itu Strategi?
Menurut KBBI, strategi adalah ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang maupun damai. Secara eksplisit, strategi adalah rencana tindakan yang menjabarkan alokasi sumber daya dan aktivitas lain untuk menanggapi lingkungan dan membantu organisasi mencapai sasarannya. Intinya strategi adalah pilihan untuk melakukan aktivitas yang berbeda atau untuk melaksanakan aktivitas dengan cara berbeda dari pesaingnya.
Apakah Manajemen Strategi?
Manajemen strategi (strategic management) adalah seperangkat keputusan dan tindakan yang digunakan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan strategi-strategi yang berdaya saing tinggi dan sesuai bagi perusahaan dan lingkungannya untuk mencapai sasaran organisasi.
Beberapa pertanyaan yang sering diajukan para manajer seperti:
1. Perubahan dan tren apa yang terjadi pada lingkungan yang kompetitif?
2. Siapakah konsumen kita?
3. Produk atau pelayanan apa yang seharusnya kita tawarkan?
4. Bagaimana kita dapat menawarkan produk dan pelayanan seefisien mungkin?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas dapat membantu manajer membuat pilihan mengenai bagaimana memposisikan organisasi yang penuh dengan perusahaan pesaing.
Tujuan Manajemen Strategi
a. Melaksanakan dan mengevaluasi strategi yang dipilih secara efektif dan efisien.
b. Mengevaluasi kinerja, meninjau dan mengkaji ulang situasi serta melakukan berbagai penyesuaian dan koreksi jika terdapat penyimpangan di dalam pelaksanaan strategi.
c. Senantiasa memperbarui strategi yang dirumuskan agar sesuai dengan perkembangan lingkungan eksternal.
d. Senantiasa meninjau kembali kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bisnis yang ada.
e. Senantiasa melakukan inovasi atas produk agar selalu sesuai dengan selera konsumen.
Manfaat Manajemen Strategi
a. Aktivitas formulasi strategi akan mempertinggi kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi perusahaan.
b. Proses manajemen strategi akan memberikan hasil keputusan terbaik dikarenakan interaksi kelompok mengumpulkan berbagai strategi yang lebih besar
c. Keterlibatan karyawan di dalam formulasi strategi akan dapat memperbaiki pengertian mereka atas penghargaan produktivitas di dalam setiap perencanaan strategi dan dengan demikian dapat mempertinggi motivasi kerja mereka.
d. Penerapan manajemen strategi membuat manajemen perusahaan menjadi lebih peka terhadap ancaman yang datang dari luar perusahaan.
e. Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang menggunakan konsep manajemen strategi akan lebih profitable (menguntungkan) dan lebih berhasil daripada yang tidak menerapkannya.
Strategi Besar (Grand Strategy) Adalah rencana umum berupa tindakan-tindakan besar yang digunakan perusahaan untuk meraih sasaran jangka panjang. Strategi besar dibedakan dalam 3 kategori:
1. Pertumbuhan (Growth), dapat dilakukan secara internal meliputi pengembangan dari produk baru atau produk lama yang mengalami perubahan dan secara eksternal dengan memperoleh tambahan divisi bisnis atau diversifikasi yang artinya mengakuisisi bisnis yang terkait dengan lini produk saat itu.
2. Stabilitas (Stability) atau Strategi Diam, artinya adalah bahwa organisasi ingin tetap berada pada ukurannya yang sama atau tumbuh perlahan dengan cara-cara yang masih dapat dikendalikan.
3. Pemangkasan (Retrenchment), berarti organisasi terpaksa melalui periode terjadinya penurunan dengan penyusutan unit bisnis yang ada saat ini atau menjual atau melikuidasi keseluruhan unit bisnis.
Proses Manajemen Strategi
a. Menetapkan arah dan misi organisasi. Setiap organisasi pasti mempunyai visi,misi dan tujuan. Visi,misi dan tujuan ini akan menentukan arah yang akan dituju oleh organisasi. Tanpa adanya visi,misi, dan tujuan maka kinerja organisasi akan berjalan acak dan kurang jelas serta mudah berubah dan diombang-ambingkan oleh situasi eksternal. Perubahan yang tidak mempunyai visi, misi dan tujuan seringkali bertindak spontantitas dan kurang sistematis seperti yang dilakukan oleh pedagang kecil hanya untuk memperoleh sesuap nasi. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi bagi suatu organisasi bisnis (perusahaan) apalagi jika perusahaan tersebut boleh dikatakan skala menengah dan atas.
b. Memahami lingkungan internal dan eksternal. Tujuan analisis lingkungan adalah untuk dapat mengerti dan memahami lingkungan oraganisasi sehingga manajemen akan dapat melakukan reaksi secara tepat terhadap setiap perubahan, selain itu agar manajemen mempunyai kemampuan merespon berbagai isu kritis mengenai lingkungan yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap perusahaan.
Lingkungan terdiri dari lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Lingkungan eksternal berada di luar perusahaan sedangkan lingkungan internal berada di dalam perusahaan. Lingkungan eksternal: Memiliki dua variabel yakni peluang (opportunity) dan acaman (threats) Terdiri dari dua bagian yaitu lingkungan tugas dan lingkungan umum. Lingkungan internal: Memiliki dua variabel yakni kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Mencakup semua unsur bisnis yang ada di dalam perusahaan seperti struktur organisasi perusahaan, budaya perusahaan dan sumber daya.
c. Memformulasikan strategi. Formulasi strategi melibatkan penetapan serangkaian tindakan yang tepat guna mencapai tujuan perusahaan. Formulasi strategi ini meliputi pengembangan misi bisnis, analisa SWOT: mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal serta mengukur dan menetapkan kelemahan dan kekuatan internal dan menetapkan tujuan jangka panjang. Analisa SWOT merupakan singkatan dari strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (peluang) dan threats (ancaman). Pendekatan ini mencoba menyeimbangkan kekutaan dan kelemahan internal organisasi dengan peluang dan ancaman lingkungan eksternal organisasi. Kekuatan (strength) adalah suatu kondisi di mana perusahaan mampu melakukan semua tugasnya secara sangat baik (diatas rata-rata industri). Kelemahan (weakness) adalah kondisi di mana perusahaan kurang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik di karenakan sarana dan prasarananya kurang mencukupi. Peluang (opportunity) adalah suatu potensi bisnis menguntungkan yang dapat diraih oleh perusahaan yang masih belum di kuasai oleh pihak pesaing dan masih belum tersentuh oleh pihak manapun. Ancaman (threats) adalah suatu keadaan di mana perusahaan mengalami kesulitan yang disebabkan oleh kinerja pihak pesaing, yang jika dibiarkan maka perusahaan akan mengalami kesulitan dikemudiaan hari.
d. Mengimplementasikan strategi. Didalam implementasi strategi, perusahaan diharapkan menetapkan atau merumuskan tujuan perusahaan tahunan (annual objective of the business), memikirkan dan merumuskan kebijakan, memotivasi karyawan serta mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang telah di formulasikan dapat dilaksanakan. Mengimplementasikan berarti menggerakan para karyawan dan manajer untuk menempatkan strategi yang telah formulasikan menjadi tindakan nyata. Implementasi strategi memerlukan kinerja dan disiplin yang tinggi tetapi juga diimbangi dengan imbalan yang memadai. Tantangan implementasi adalah menstimulir para manajer dan karyawan melalui organisasi agar mau bekerja dengan penuh kebanggaan dan antusias ke arah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
e. Mengevaluasi dan mengawasi strategi. Evaluasi dan pengawasan strategi merupakan tahap terakhir di dalam proses strategi. Pada dasarnya evaluasi strategi mencakup 3 hal, yaitu:
i. Mereview faktor internal dan eksternal yang menjadi dasar bagi strategi yang sedang berlangsung,
ii. Mengukur kinerja yang telah dilakukan, dan
iii. Mengambil berbagai tindakan perbaikan. Evaluasi strategi sangat diperlukan sebab keberhasilan perusahaan dewasa ini tidak menjadi jaminan keberhasilan perusahaan di masa yang akan datang.
Strategi Korporasi (Corporate Strategy)
Strategi korporasi dirumuskan oleh manajemen puncak dan dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan organisasi. Memformulasikan strategi korporasi di dalam perusahaan besar akan sangat sulit sekali sebab banyak sekali strategi tingkat bisnis yang sangat berbeda dan memerlukan koordinasi guna mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan. Demikian model strategi yang dipakai adalah portofolio bisnis, sbb:
1. Strategi Portofolio Strategi portofolio adalah tipe strategi tingkat perusahaan yang berhubungan dengan bauran antara unit-unit bisnis (UBS=SBU) dan lini-lini produk yang sesuai satu sama lain dalam cara-cara yang masuk akal sehingga memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. UBS (Unit Bisnis Strategi) merupakan suatu divisi organisasi yang memiliki misi bisnis, lini produk, pesaing dan pasar berbeda terhadap UBS lain dalam organisasi yang sama.
2. Matriks BCG. Matriks BCG (Boston Consulting Group) mengorganisir bisnis-bisnis dalam dua dimensi yaitu pertumbuhan bisnis dan pangsa pasar (market share).
3. Tingkat pertumbuhan bisnis (Business Growth Rate)
Berkaitan dengan seberapa cepat industri mengalami peningkatan. Pangsa pasar (market share) mendefinisikan apakah sebuah unit bisnis memiliki pangsa yang lebih kecil atau lebih besar dibandingkan dengan pesaingnya.
Sumber:
Elu, Wilfridus B. Manajemen Strategis Berbasis Kompetensi. Jakarta: STIE PERBANAS
P, Dewi Tri T, dkk. 2009. Analisis Kasus McDonald’s. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
http://en.wikipedia.org
http://id.wikipedia.org
Fokus masalah penelitian ini adalah: Bagaimanakah pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melalui manajemen stratejik untuk menyiapkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui profil manajemen SMK, perumusan manajemen stratejik, dan implementasi manajemen stratejik dalam pemberdayaan SMK. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus, subjek penelitian adalah: seluruh situasi, kondisi, dan lingkungan SMK, kepala sekolah, anggota internal sekolah, dan stakeholders Sekolah Menengah Kejuruan. Landasan teori untuk menganalisis temuan penelitian ini adalah manajemen stratejik. Teori ini didasarkan asumsi bahwa manajemen stratejik memiliki dasar yang kuat dalam memberdayakan seluruh sumber daya manusia sehingga stakeholders dapat berpartisipasi aktif untuk melakukan kerjasama, untuk memberikan penguatan kepada seluruh personil organisasi agar dapat melakukan tugas sesuai dengan tuntutan kinerja tugas masing-masing. Temuan penelitian menunjukkan: Pertama, profil ketiga SMK memiliki standar yang baku sebagai organisasi sekolah kejuruan, ketiga SMK dapat melaksanakan tugas pokoknya sesuai dengan standar baku yang telah ditetapkan sesuai dengan kinerja sekolah kejuruan, hal ini dapat dilihat dari penataan struktur organisasi, kurikulum dan program, serta pemanfaatan sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun fasilitasnya. Dari ketiga SMK tersebut, SMK Negeri 3 memiliki keunggulan dilihat dari struktur organisasi maupun programnya, SMK Negeri 3 memiliki struktur organisasi yang lebih rinci dan program yang optimal jika dibandingkan dengan SMK Negeri 1 dan 2. Kedua, ketiga SMK mengawali perumusan manajemen stratejik dengan menetapkan visi, misi, tujuan, sasaran, sehingga memudahkan mereka mengarahkan pencapaian tujuan organisasi sekolah kejuruan. Strategi dalam penetapan berbagai kebijakan dilakukan melalui musyawarah, namun dalam hal-hal tertentu kebijakan diambil oleh pimpinan sekolah. Ketiga, implementasi manajemen stratejik yang dilakukan ketiga SMK adalah dengan memberdayakan seluruh anggota internal dan eksternal sekolah secara proporsional. Dilihat dari implementasi manajemen stratejik, SMK Negeri 3 lebih mengoptimalkan peran-peran personil sekolah dalam melaksanakan programprogramnya. Sedangkan SMK Negeri 1 dan 2 masih perlu mengoptimalkan peran stakeholders secara aktif agar memudahkan mereka melaksanakan program yang telah ditetapkan dalam upaya menjawab tuntutan pasar kerja. Temuan di atas menggambarkan bahwa manajemen stratejik yang diterapkan Sekolah Menengah Kejuruan di Banda Aceh dapat memberdayakan personil dan lingkungan internal dan eksternal. Oleh karena itu, penelitian ini menawarkan model konseptual manajemen stratejik penyelenggaraan SMK, dengan merekomendasikan: (1) Perlunya pemberdayaan anggota internal sekolah melalui mekanisme kerja yang rinci dan proporsional dalam mengoptimalkan programprogram SMK; (2) Perlunya kepala sekolah menciptakan partisipasi aktif anggota internal dan eksternal sekolah melalui suatu mekanisme pengendalian yang efektif, (3) Melakukan sosialisasi konsep dasar manajemen stratejik dilingkungan internal dan eksternal sekolah, agar tujuan sekolah dan kebutuhan pelanggan terpenuhi secara simultan, (4) Perlunya pengembangan program dan kurikulum SMK yang dapat menjawab kebutuhan pasar kerja.
Sumber:
Murniati, A.R, Pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan Melalui Manajemen Stratejik (Studi tentang penyelenggaraan SMK Negeri untuk menyiapkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam)
Strategi berasal dari bahasa Yunani stratogos yang artinya ilmu para jenderal untuk memenangkan suatu pertempuran dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (Sihombing,2000). Pengertian atau defenisi Manajemen strategi dalam khasanah literatur ilmu manajemen memiliki cakupan yang luas, dan tidak ada suatu pengertian yang dianggap baku. Itulah sebabnya defenisi manajemen strategi berkembang luas tergantung pemahaman ataupun penafsiran seseorang. Meskipun demikian dari berbagai pengertian atau defenisi yang diberikan oleh para pakar manajemen dapat ditemukan suatu kesamaan pola pikir, bahwa manajemen strategi merupakan ilmu yang menggabungkan fungsi-fungsi manajemen dalam rangka pembuatan keputusan-keputusan organisasi secara strategis, guna mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Dari berbagai pengertian atau defenisi yang ada dapat disimpulkan bahwa manajemen strategi adalah suatu seni dan ilmu dari suatu pembuatan (formulating), penerapan (implementing) dan evaluasi (evaluating) keputusan-keputusan strategis antar fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan masa datang (Dwiningsih,2001)
Konsep Manajemen Strategi
Richard Vancil (dari Harvard University) merumuskan konsep strategi sebagai berikut : ”Strategi sebuah organisasi atau sub unit sebuah organisasi lebih besar, yaitu sebuah konseptualisasi yang dinyatakan atau diimplikasi oleh pemimpin oragnisasi yang brsangkutan, berupa :
a. Sasaran-sasaran jangka panjang atau tujuan-tujuan organisasi tersebut.
b. Kendala-kendala luas dan kebijakan-kebijakan yang atau ditetapkan sendiri oleh sang pemimpin, atau yang diterimanya dari pihak atasannya, yang membatasi skope aktivitas-aktivitas organisasi yang bersangkutan dan
c. kelompok-kelompok rencana dan tujuan-tujuan jangka pendek yang telah diterapkan dengan ekspektasi akan diberikannya sumbangsih mereka dalam hal mencapai sasaran-sasaran organisasi tersebut.
Tujuan suatu strategi adalah untuk mempertahankan atau mencapai suatu posisi keunggulan dibandingkan dengan pihak pesaing. Organisasi tersebut masih harus meraih keunggulan apabila ia dapat memanfaatkan peluang-peluang di dalam lingkungan,yang memungkinkan menarik keuntungan-keuntungan dari bidang-bidang kekuatannya.
Proses Manajemen Strategi
Strategic management atau manajemen strategi adalah suatu proses kombinasi tiga kegiatan yang saling terkait yaitu analisis, perumusan dan pelaksanaan strategi. Dengan demikian ada tiga komponen yang harus diperhatikan dalam menentukan strategi yaitu analisis, perumusan, dan pelaksanaan, yang dapat berlaku untuk organisasi baik perusahaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial maupun lembaga pendidikan.
Rangkaian proses penyusunan manajemen strategi dapat dilihat pada beberapa Manajemen Operasidel yang dikembangkan para ahli. Salah satu Manajemen Operasidel yang sering dianjurkan adalah Manajemen Operasidel dengan rangkaian sebagai berikut, analisis lingkungan internal, eksternal, penyusunan berbagai strategi, pemilihan strategi, implementasi strategi dan analisis strategi (Gregory Dess-Lex Miller, 1993).
Manajemen Operasidel tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini:
Analisis• Lingkungan, adalah proses awal dalam manajemen strategi yang bertujuan yntuk memantau lingkungan perusahaan. Lingkungan perusahaan disini mencakup semua faktor baik yang berada di dalam maupun di luar perusahaan dapat mempengaruhi pencapaian tujuan yang diinginkan. Hasil dari analisis lingkungan ini setidaknya akan memberikan gambaran tentang keadaan perusahaan yang biasanya digunakan dengan meManajemen Operasitret SWOT (strength, weakness, oppurtinities and threatmen) yang dimilikinya.
Menentukan dan menerapkan arah organisasi,setelah• melakukan analisis lingkungan eksternal dan internal diharapkan kita sudah dapat memiliki gambaran mengenai posisi perusahaan dalam persaingan. Dimana kita harus pasti mendefinisikan SWOT. Formulasi• strategi, fokus utama formulasi strategi adalah bagaimana menyesuaikan diri agar dapat lebih baik dan lebih cepat bereaksi dibanding pesaing dalam persaingan yang ada. Implementasi strategi, masalah implementasi ini cukup rumit, oleh karena itu agar penerapan strategi organisasi dapat berhasil dengan baik, manajer harus memiliki gagasan yang jelas tentang isu-isu yang berkembang dan bagaimana cara mengatasinya. Dalam tahapan ini, masalah struktur organisasi, budaya perusahaan dan pola kepemimpinan harus dibahas secara lebih mendalam.
Pengendalian• Strategi,merupakan suatu jenis khusus dari pengendalian organisasi yang berfokus pada pemantauan dan pengimplementasikan proses manajemen strategi.
Persaingan dalam Dunia Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, persaingan adalah hal yang wajar. Munculnya persaingan itu adalah untuk mendapatkan objek pendidikan (siswa/ mahasiswa) sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, bisanya hanya pimpinan institusi pendidikan bermental gigih dan kuatlah yang mampu menghadapi kerasnya persaingan ataupun krisis yang terjadi didalam perjalanan sekolah atau universitas.
Persaingan dalam memperebutkan objek pendidikan, sangat erat kaitannya dengan kecekatan seorang yang terjun dalam bidang pendidikan mengenali selera pasar serta pemilihan pasar usaha yang tepat. Agar objek pendidikan loyal, maka harus mempunyai strategi guna mempertahankan mereka agar tidak lari ke pesaing-pesaing lain. menurut Purnomo dan Zulkieflimansyah (1999) hal-hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi hal tersebut adalah :
1. Analisis kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh para pesaing, anda bisa belajar dari kehebatan atau kelebihan yang mereka miliki.
2. Analisis juga kelemahan-kelemahan yang ada pada usaha mereka. Hal ini berguna bagi anada untuk memanfaatkan kelenahan pesaing sebagai peluang baru yang dapat anda tawarkan kepada pelanggan atau konsumen anda.
Manajemen Strategi dan Manajemen Operasi dalam bidang pendidikan
Dari dimensi strategi yang sudah dibahas diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam mengembangkan strategi yang mampu menjawab tujuan suatu organisasi, setiap strategi perlu memahami dan menguasai seluk beluk program yang sedang dilaksanakan atau dikembangkan. Aspek internal, mulai dari konsep , tenaga pendukung, sarana yang dimiliki, biaya yang tersedia, struktur organisasi yang akan melaksanakan strategi, hasil yang telah rtegi;dicapai dan hambatan-hambatan yang dilami dengan strategi lama. Aspek eksternal seperti dustrkungan masyarakat, perkembangan lingkungan, dan perubahan yang disebabkan faktor keamanan, politik, hukum lain-lain dan lain-lain.informasi tentang kedua aspek ini sangat diperlukan. Kesalahan menggunakan informasi ini akan berakibat tidak baik terhadap hasil yang akan dicapai nantinya (Sihombing,2000)
Pisau analisis yang biasa digunakan untuk mendiagnosis suatu kegiatan yang akan dikembangkan kemudian diwujudkan menjadi strategi yang diperlukan agar tujuan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan, digunakan pisau SWOT. Dalam menentukan strategi pendidikan, tidak salah kalau kita juga memperhatikan strategi- strategi pemasaran di lingkungan dunia bisnis yang terus di bayangi dan di intai oleh situasi persaingan karena untuk menunjukkkan jati dirinya. Pendidikan Luar Sekolah (PLS) juga harus siap bersaing dengan strategi yang di gunakan jalur pendidikan lain.
Dalam menentukan strategi pada umumnya di lakukan dengan :
1. Mengenali posisi persaingan, hal ini berarti bahwa dalam mengembangkan strategi pendidikan luar sekolah diberbagai tingkatan perlu di cermati berbagai situasi yang mungkin akan menjadi benturan dalam gerakan pendidikan luar sekolah. Antara lain : a.) Situasi pendidikan yang menggambarkan jumlah dan jenis pendidikan yang ada,jumlah siswa dan angka putus sekolah; b.) Situasi ketenagakerjaan dalam arti jumlah pengangguran,jumlah yang tidak melanjutkan dan tidak bekerja,kemampuan lulusan sekolah untuk merebut pasar kerja; c.) Situasi masyarakat dalam arti minat pada pendidikan kejuruan dan kebutuhan belajar. Dengan mengetahui peta-peta tersebut,pendidikan luar sekolah dapat mempertimbangkan bagian mana yang tidakdi miliki persaingan yang dapat di rebut untuk di kembangkan.
2. Menetapkan tujuan bisnis, Dari fakta-fakta yang di miliki diatas, lembaga pendidikan sebelum memulai suatu program, dapat mengembangkan tujuan tang ingin dicapai apabila melaksanakan kegiatan,karena lembaga pendidikan sudah mengetahui data-data,lembaga pendidikan yang sudah ada mengetahui posisinya sekarang dan kemana harus bergerak. Misalnya; pendidikan luar sekolah ingin agar warga belajar setelah selesai satu program langsung bisa bekerja maka tujuannya adalah seluruh warga belajar memilki keterampilan yang sesuai dengan lingkungannya. Untuk itu lembaga pendidikan luar sekolah tersebut harus tahu dimana posisinya di mata masyarakat, baru mengadakan penyesuaian dengan strategi yang tepat.
3. Merumuskan strategi yang diperlukuan untuk mencapai posisi baru. Hal ini harus dilakukan dengan menggunakan dan menjawab kecenderungan-kecenderungan dorongan eksternal, seperti kompetisi perubahan kebutuhan dan teknologi serta mengembangkan komponen sumber daya. Ada beberapa tingkatan manajemen strategi yang perlu mendapat perhatian di lingkungan pendidikan. Pertama strategi pendidikan tingkat desa, dimana program dilaksanakan. Disini diperlukan strategi untuk menentukan kebutuhan belajar, menentukan tempat dan waktu belajar,merekrut sumber belajar, menggali sumber dana, pemasaran hasil belajar. Kedua, strategi tingkat kabupaten, disini diperlukan strategi yang merupakan kiat. Di sini diperlukan cara yang tepat untuk membina, meManajemen Operasitivasi para petugas lapangan tingkat kecamatan. Ketiga, strategi tingkat propinsi yang menggambarkan operassional program. Disini diperlukan cara yang tepat untuk merencanakan pencapaian target program, pembinaan dan penilaian realitas program untuk wilayah satu propinsi. Keempat, strategi tingkat pusat yang merupakan kebijakan. Disini diperlukan pengembangan sumber daya manusia, perencanaan penganggaran, penilaian dan pengembangan program. Untuk mengembangkan strategi ini, harus menggunakan metode yang sama yaitu mempelajari kekuatan dan kelemahan, peluang dan tantangan yang ada dalam mengoperasionalisasikan kebijakan yang datang dari hirarki yang lebih tinggi. Kembangkan dulu berbagai strategi baru pilih dan putuskan mana yang paling sesuai.
Berbagai strategi yang mungkin digunakan antara lain:
1. Konsentrasi pelaksanaan program belajar. Hal ini berarti menghindari pemerataan dan penjatahan yang membuat program tidak berhasil dan berdaya guna, pemerataan cenderung asal ada.
2. Mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk mewujudkan pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat. Memanfaatkan sarana-sarana yang ada di masyarakat yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Memberikan pengertian kepada masyarakat, sehingga mereka menjadikan pendidikan merupakan suatu kebutuhan.
3. Membuat peta situasi dimana program akan dilakukan, hal seperti ini dapat dilakukan dengan analisis lingkungan. Apa potensi yang belum disentuh dan mungkin untuk dimanfaatkan.
4. Mendorong tumbuhnya lembaga belajar atau organisasi kemasyarakatan yamg bergerak pada jalur pendidikan, dan mendorong mereka menjadi pengelola pusat kegiatan belajar masyarakat tersebut, dengan harapan lembaga ini lebih cepat tumbuh di masyarakat dan menyerap aspirasi yang tumbuh di masyarakat tersebut.
5. Melatih pengelola pusat kegiatan belajar masyarakat, keberhasilan pendidikan masyarakat akan banyak ditentukan oleh kemampuan mengelola program yang dilaksanakan oleh masyarakat. Karena itu perlu dilengkapi dengan seperangkat pengetahuan operasonal, sebagaimana layaknya tentara yang akan bertempur dan menginginkan kemenangan mereka perlu dilengkapi dengan peralatan militer yang memadai.
6. Membentuk jaringan informasi dan pemasaran, hal ini erat kaitannya dengan penyalur hasil-hasil dari program belajar di masyarakat.
Proses manajemen strategi yang diungkapkan dalam makalah ini secara teoritis bukanlah hal yang mudah, akan tetapi dalam hal praktiknya (operasinya) melaksanakan proses yang sederhana ini merupakan pekerjaan yang sangat berat. Untuk mencapai suatu tujuan tentunya harus dibangun strategi yang matang, sehingga dalam operasi dilapangan akan lebih terkoordinasi dengan strategi yang sudah dibangun sebelumnya. Oleh sebab itu banyak pakar manajemen yang mengatakan bahwa manajemen strategi dan manajemen operasi adalah dua hal yang harus berhubungan jika ingin mencapai suatu tujuan, dengan kata lain manajemen strategi yang kurang baik tentukan akan menimbulkan dampak bagi operasi (pelaksanaan) suatu tujuan dimasa depan, dan sebaliknya.
Manajemen strategi dalam dunia pendidikan bisa kita ibaratkan sebagai sebuah upaya membangun input untuk menghasilkan output, input dalam dunia pendidikan adalah berupa tenaga pengajar/ dosen yang berkualitas, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, administrasi yang baik, sedangkan outputnya adalah berupa lulusan suatu instansi pendidikan yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk mencapai output ini, dibutuhkan suatu proses, dalam tulisan ini kita sebutkan sebagai proses manajemen operasi. Pembangunan dunia pendidikan saat ini membutuhkan manajer strategi dan operasi yang mampu mengidentifikasi apa yang harus dilakukan sekarang untuk meraih masa depan yang diharapkan, untuk itu manajer strategi dan operasi tersebut harus mengetahui kekuatan, kelemahan, ancaman dan tantangan yang ada saat ini, dan masa depan.
Sumber:
http://subliyanto.blogspot.com/2010/07/manajemen-strategi-pendidikan.html
Mendesain Sistem Kualitas Dalam Pendidikan
Untuk mendesain sistem kualitas dalam pendidikan, perlu melibatkan sejumlah langkah-langkah penting berikut: 1) mengetahui apa yang kamu akan kerjakan, 2) mempertanyakan prosedur dan metode yang kamu gunakan, 3) mendokumentasi apa yang kamu maksudkan, 4) memberikan bukti bahwa kamu menyelesaikan apa yang kamu telah lakukan (Edwars, 1993:22).
Sementara itu, sistem jaminan kualitas pendidikan harus berisi elemen-elemen berikut (David, 2000:23):
1. Pengembangan institusi atau rencana strategis
Ini memberikan visi jangka panjang dari institusi dan memberi konteks dimana program dapat dilaksanakan. Ini mendefinisikan pasar dan budaya yang diharapkan. Ini adalah penting untuk mengembangakn pelayanan yang berkualitas karena hanya perencanaan yang dapat memberikan perspektif jangka panjang sehingga penting di dalam pemberian layanan kualitas secara terpadu.
2. Kebijakan kualitas
Ini mempersiapkan standard untuk program-program utama dan bisa berisi statemen dari penamaan pembelajar. Kebijakan ini adalah statemen umum dari komitmen insitusi kepada kustomernya, baik internal maupun eksternal.
3. Tanggungjawab manajemen
Ini menyusun peran dari lembaga yang memerintah, dan tim manajemen senior dan tanggung jawabnya. Ini mendefinisikan dimana anggota dari tim senior memikul jabatan kualitas.
4. Pengorganisasian kualitas
Garis besar ini meliputi tanggung jawab dari kelompok pengarah kualitas, representasi dan pertanggung jawaabannya. Badan ini diperlukan untuk mengarahkan permulaan kualitas, mengatur transformasi budaya, mendukung inisiatif di dalam departemen dan untuk memonitor perkembangan inisiatif.
5. Pemasaran dan publisitas
Sebuah institusi harus memberikan potensi yang dimiliki kustomer dengan informasi tentang apakah itu memajukan program-program belajar. Informasi ini perlu untuk menjadi terdokumentasikan secara jelas dan pasti. Cara pemasaran bisa menggunakan leaflet, brosur, dan sebagainya, harus jelas dan akurat dan diperbaharui secara reguler.
6. Penyelidikan dan pendaftaran
Ini adalaha tahap kunci di dalam karir banyak pembelajar. Advis yang benar pada tahap ini adalah vital, sebagai tahap selamat datang dan memberi kepercayaan pada pelamar. Prosedur masuk organisasi harus diatur secara baik. Sistem yang perlu terdokumentasikan, antara lain: inisial pelamar, wawancara dan seleksi, petunjuk, akreditasi belajar sebelumnya yanglayak, dan hasil dari rencana tindakan individual.
7. Wisuda/pelantikan
Program wisuda/pelantikan murid yang baik dan terstruktur dengan maksud komunikasi yang jelas adalah penting untuk memperkenalkan pembelajar pada institusi, yang meliputi etos, gaya dan metode belajarnya
8. Pelahiran kurikulum
Ini adalah tingkatan dimana sistem adalah vital. Metode belajar perlu diatur sedemikian rupa sehingga dan diikuti untuk setip aspek program. Jenis informasi yangperlu menjadi bagian dari ini, antaralain: silabus, kepatuhan, skema kerja, pencatatan kerja, pencatatan penilaian, rencana tindakan, dan pencatatan prestasi. Pencatatan kesalahan dan kinerja rata-rata berikutnya dan tindakan yang benar harus didokumentasikan.
9. Bimbingan dan konseling
Ini dapat mengambil bentuk aspek yang integra dari kurikulum atau layanan tambahan. Apa saja layanan perlu dikomunikasikan. Ini bisa menjadi petuntuk tentang kakrir atau pendidikan yang lebih tinggi, atau transfer insitusi lain atau program studi lain.
10. Manajemen pembelajaran
Proses aktual dari kurikulum dan manajemen program perlu dispesifikasi, termasuk ranacangan untuk teamwork. Aturan di dalam tim, tanggung jawab dan tingkat otoritasnya juga dapat jabarkan. Laporan dari penguji eksternal, moderator dan pemverivikasi akan memberikan bukti-bukti penting, dimana terdapat kualitas manajemen belajar.
11. Desain kurikulum
Termasuk dokumentasi maksud dan tujuan setiap program, dan spesifikasi program. Spesifikasi program dapat mengambil bentuk silabus atau dokumen kurikulum yang valid. Apa yang perlu di dalamnya, dimana yang relevan, adalah keterangan yang diperlukan dari program dan sunber-sumber dapat diberikan.
12. Staffing, training dan pengembangan
Staf dari banyak lembaga perlu dipandang berkompeten untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sistem kualitas akan perlu secara detail proses seleksi dan rekruitmen, induksi dan syarat-syarat dimana kompetensi dan motivasi dinilai dan kebijakan untuk pengembangan karir. Pengembangan staf memerlukan perencanaan institusi dan proses analisis dan sistem monitoring dan evaluasi efektivitas program training dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
13. Kesempatan yang seimbang
Institusi akan memerlukan kebijakan kesempatan seimbang dan metode serta prosedur untuk mencapai tujuan yang ada termasuk kebijakan. Kebijakan kesempatan yang ada perlu penerapan secara seimbang untuk staf dan murid.
14. Monitoring dan evaluasi
Putaran umpan balik adalah vital untuk penilaian dan penegasan kualitas. Sistemn kualitas perlu dokumen mekanisme evaluasi bahwa institusi memiliki tempat untuk memonitor prestasi individual dan kesuksesan program-programnya. Partisipasi pembelajar di dalam penilaian perkembangan dan pengalamannya dari program adalah elemen penting di dalam evaluasi. Metode yang dipakai harus termasuk pencatatan prestasi, review pertemuan, kuesioner dan audit internal. Apasaja metode yangdipakai harus cocok dengan proses.
15. Perancangan administrasi
Insitusi memerlukan dokumen prosedur administrative termasuk pendaftaran, rekaman pembelajar, jadwal, kesehatan dan prosedur keselamatan, masuk ujian dan hasilnya, dan sistem keuangan. Proses dokumentasi adalah penting, walaupun ini perlu untuk menspesifikasi dikumen-dokumen pokok dan statusnya agar dapat menjaga perkembangan birokrasi.
16. Review organisasi
Institusi harus memiliki alat-alat evaluasi kinerja secara total. Ini bisa ditangani oleh penilai eksternal. Tetapi, institusi juga bisa menentukan untuk menangani audit organisiasi. Staf dapat menlai area lain daripada diri mereka sendiri. Orang luar dapat dilibatkan dalam audit. Sistem review pembanding dapat membangun kepercayaan diri dan trust, dan dapat sebagai pengembangan staf yang signifikan. Mekanisme perlu dikembangkan untuk mendapatkan hasil auditing kembali ke dalam proses perencanaan strategis.
Sumber:
Sallis, Edward, Total Quality Management in Education, (London: Kogan Page Limited, 1993)
Goetsch, David L dan Stanley B. Davis, Quality management: Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Service, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 2000)
Konsepsi Keputusan Stratejik
Konsep keputusan stratejik merupakan derivasi dari konsepsi manajemen stratejik. Dalam bidang ekonomi khususnya di lingkungan bisnis yang mengembangkan manajemen secara teoritis dan praktis, manajemen stratejik telah cukup lama dikenal dan dikembangkan. Berbeda dengan di lingkungan organisasi non profit, khususnya bidang pendidikan, kehadiran manajemen stratejik pada dasarnya merupakan suatu paradigma baru. Sebagai paradigma baru, jika diimplementasikan pada lingkungan organisasi pendidikan, tidak mungkin dilakukan sebagai kegiatan pengambilalihan seluruh kegiatannya sebagaimana dilaksanakan di lingkungan organisasi profit (bisnis), karena kedua organisasi tersebut satu dengan yang lain berbeda dalam banyak aspek, terutama dari segi filsafat yang mendasarinya dan tujuan yang hendak dicapai.
Manajemen strategik adalah perencanaan berskala besar (disebut Perencanaan Strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut VISI), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut MISI), dalam usaha menghasilkan sesuatu (Perencanaan Operasional) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategik) dan berbagai sasaran (Tujuan Operasional) organisasi.” Pengertian yang cukup luas ini menunjukkan bahwa Manajemen Strategik merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak ke arah yang sama pula. Komponen pertama adalah Perencanaan Strategik dengan unsur- unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan Strategik organisasi. Sedang komponen kedua adalah Perencanaan Operasional dengan unsur- unsurnya adalah Sasaran atau Tujuan Operasional, Pelaksanaan Fungsi- fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan situasional, jaringan kerja Internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik.
Beberapa karakteristik dari manajemen stratejik adalah sebagai berikut :
a. Manajemen Strategik diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategik (RENSTRA) yang dijabarkan menjadi Perencanaan Operasional (RENOP), yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk Program-program kerja.
b. Rencana Strategik berorientasi pada jangkauan masa depan ( 25-30 tahun). Sedang Rencana Operasionalnya ditetapkan untuk setiap tahun atau setiap lima tahun.
c. VISI, MISI, pemilihan strategik yang menghasilkan Strategi Utama (Induk) dan Tujuan Strategik Organisasi untuk jangka panjang, merupakan acuan dalam merumuskan RENSTRA, namun dalam teknik penempatannya sebagai keputusan Manajemen Puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat di dalamnya.
d. RENSTRA dijabarkan menjadi RENOP yang antara lain berisi program program operasional.
e. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak (Pimpinan) karena sifatnya sangat mendasar dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi.
f. Pengimplementasian Strategi dalam program program untuk mencapai sasarannya masing masing dilakukan melalui fungsi fungsi manajemen yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.
Berdasarkan karakteristik dan komponen Manajemen Strategik sebagai sistem, terlihat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat intensitas dan formalitas pengimplementasiannya di lingkungan organisasi non profit (pendidikan). Beberapa faktor tersebut antara lain adalah ukuran besarnya organisasi, gaya manajemen dari pimpinan, kompleksitas lingkungan ideologi, sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya termasuk kependudukan, peraturan pemerintah dsb. sebagai tantangan eksternal. Tingkat intensitas dan formalitas itu dipengaruhi juga oleh tantangan internal, antara lain berupa kemampuan menterjemahkan strategi menjadi proses atau rangkaian kegiatan pelaksanaan pekerjaan sebagai pelayanan umum yang efektif, efisien dan berkualitas (dalam bidang pendidikan misalnya menetapkan model/sistem instruksional, sumber – sumber belajar, media pembelajaran, dan lain-lain).
Berdasarkan pengertian dan karakteristiknya manajemen stratejik, maka keputusan stratejik memiliki beberapa dimensi atau bersifat multidimensional. Dimensi-dimensi dimaksud adalah:
a. Dimensi Waktu dan Orientasi Masa Depan
Manajemen Strategik dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi suatu organisasi berpandangan jauh ke masa depan, dan berperilaku proaktif dan antisipatif terhadap kondisi masa depan yang diprediksi akan dihadapi. Antisipasi masa depan tersebut dirumuskan dan ditetapkan sebagai Visi organisasi yang akan diwujudkan 25 – 30 tahun lebih di masa depan. Menurut Nawawi (2005 : 155), Visi dapat diartikan sebagai “kondisi ideal yang ingin dicapai dalam eksistensi organisasi di masa depan”. Sehubungan dengan itu Lonnie Helgerson yang dikutip oleh J. Salusu (dalam Nawawi, 2005) mengatakan bahwa : “Visi adalah gambaran kondisi masa depan dari suatu organisasi yang belum tampak sekarang tetapi merupakan konsepsi yang dapat dibaca oleh setiaporang (anggota organisasi). Visi memiliki kekuatan yang mampu mengundang, memanggil, dan menyerukan pada setiap orang untuk memasuki masa depan. Visi organisasi harus dirumuskan oleh manajemen puncak organisasi”.
Masih menurut J. Salusu yang mengutip pendapat Naisibit : “Visi merupakan gambaran yang jelas tentang apa yang akan dicapai berikut rincian dan instruksi setiap langkah untuk mencapai tujuan. Suatu visi dikatakan efektif jika sangat diperlukan dan memberikan kepuasan, menghargai masa lalu sebagai pengantar massa depan”. Masih dalam Hadari Nawawi, menurut Kotler yang juga dikutip oleh J. Salusu dikatakan bahwa : “Visi adalah pernyataan tentang tujuan organisasi yang diekspresikan dalam produk dan pelayanan yang ditawarkan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi, kelompok masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang diperoleh, serta aspirasi dan cita – cita masa depan. Sehingga secara sederhana Visi organisasi dapat diartikan sebagai sudut pandang ke masa depan dalam mewujudkan tujuan strategic organisasi, yang berpengaruh langsung pada misinya sekarang dan di masa depan.
Sehubungan dengan itu Misi organisasi pada dasarnya berarti keseluruhan tugas pokok yang dijabarkan dari tujuan strategik untuk mewujudkan visi organisasi.
b. Dimensi Internal dan Eksternal
Dimensi Internal adalah kondisi organisasi non profit (pendidikan) pada saat sekarang, berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang harus diketahui secara tepat. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan EVALUASI DIRI antara lain dengan menggunakan Analisis Kuantitatif dengan menggunakan perhitungan perhitungan statistik, menggunakan data kuantitatif yang tersedia di dalam Sistem Informasi Manajemen (SIM). Namun kerap kali data kuantitatif tidak memadai, karena lemahnya SIM dalam mencatat, mencari, melakukan penelitian dan mengembangkan data pada masa lalu. Oleh karena itu Evaluasi Diri tidak boleh tergantung sepenuhnya pada data kuantitatif, karena dapat juga dilakukan dengan Analisis Kualitatif dengan menggunakan berbagai informasi kualitatif atau sebagian data kuantitatif dan sebagian lagi data kualitatif.
Untuk Analisis Kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan Analisis SWOT. Dimensi lingkungan eksternal pada dasarnya merupakan analisis terhadap lingkungan sekitar organisasi (sekolah), yang terdiri dari Lingkungan Operasional, Lingkungan Nasional dan Lingkungan Global, yang mencakup berbagai aspek atau kondisi, antara lain kondisi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, adat istiadat, agama, dll. Pengimplementasian Manajemen Strategik perlu mengidentifikasi dan mendayagunakan kelebihan atau kekuatan dan mengatasi hambatan atau kelemahan organisasi.
c. Dimensi Pendayagunaan Sumber Sumber.
Manajemen strategik sebagai kegiatan manajemen tidak dapat melepaskan diri dari kemampuan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki, agar secara terintegrasi terimplementasikan dalam fungsi – fungsi manajemen ke arah tercapainya sasaran yang telah ditetapkan di dalam setiap RENOP, dalam rangka mencapai Tujuan Strategik melalui pelaksanaan Misi untuk mewujudkan Visi Organisasi (sekolah). Sumber daya yang ada terdiri dari Sumber Daya Material khususnya berupa sara dan prasarana, Sumber Daya finansial dalam bentuk alokasi dana untuk setiap program, Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Teknologi dan Sumber Daya Informasi. Semua sumberdaya ini dikategorikan dalam sumber daya internal, yang dalam rangka evaluasi diri (Analisis Internal) harus diketahui dengan tepat kondisinya.
d. Dimensi Keikutsertaan Manajemen Puncak (Pimpinan)
Manajemen strategik yang dimulai dengan menyusun Rencana Strategik merupakan pengendalian masa depan organisasi, agar eksistensi sesuai dengan visinya dapat diwujudkan. Rencana Strategik harus mampu mengakomodasi seluruh aspek kehidupan organisasi yang berpengaruh pada eksistensinya di masa depan merupakan wewenang dan tanggung jawab manajemen puncak. Rencana Strategik sebagai keputusan utama yang prinsipil, tidak saja ditetapkan dengan mengikutsertakan, tetapi harus dilakukan secara proaktif oleh manajemen puncak, karena seluruh kegiatan untuk merealisasikannya merupakan tanggung jawabnya.
e. Dimensi Multi Bidang
Manajemen Strategik sebagai Sistem, pengimplementasiannya harus didasari dengan menempatkan organisasi sebagai suatu sistem. Dengan demikian berarti sebuah organisasi akan dapat menyusun RENSTRA dan RENOP jika tidak memiliki keterikatan atau ketergantungan sebagai bawahan pada organisasi lain sebagai atasan. Dalam kondisi sebagai bawahan (sekolah merupakan bawahan Dinas Pendidikan) berarti tidak memiliki kewenangan penuh dalam memilih dan menetapkan visi, misi, tujuan dan strategi. Sekolah hanya berperan sebagai penyusun RENOP dan program tahunan.
Dari uraian tersebut jelas bahwa RENSTRA dan RENOP bersifat multi dimensi, terutama jika perumusan RENSTRA hanya dilakukan pada banyak organisasi non profit termasuk pendidikan yang tertinggi. Dengan dimensi yang banyak tersebut, maka mudah terjadi tidak seluruh dimensi dapat diakomodasi.
Melalui pengambilan keputusan stratejik, maka implementasi keputusan dapat dievaluasi dengan menggunakan tolok ukur sebagai berikut :
1) Profitabilitas
Keunggulan ini menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan diselenggarakan secara efektif dan efisien, dengan penggunaan anggaran yang hemat dan tepat, sehingga diperoleh profit berupa tidak terjadi pemborosan.
2) Produktivitas Tinggi
Keunggulan ini menunjukkan bahwa jumlah pekerjaan (kuantitatif) yang dapat diselesaikan cenderung meningkat. Kekeliruan atau kesalahan dalam bekerja semakin berkurang dan kualitas hasilnya semakin tinggi, serta yang terpenting proses dan hasil memberikan pelayanan umum (siswa dan masyarakat) mampu memuaskan mereka.
3) Posisi Kompetitif
Keunggulan ini terlihat pada eksistensi sekolah yang diterima, dihargai dan dibutuhkan masyarakat. Sifat kompetitif ini terletak pada produknya (misal : kualitas lulusan) yang memuaskan masyarakat yang dilayani.
4) Keunggulan Teknologi
Semua tugas pokok berlangsung dengan lancar dalam arti pelayanan umum dilaksanakan secara cepat, tepat waktu, sesuai kualitas berdasarkan tingkat keunikan dan kompleksitas tugas yang harus diselesaikan dengan tingkat rendah, karena mampu mengadaptasi perkembangan dan kemajuan teknologi.
5) Keunggulan SDM
Di lingkungan organisasi pendidikan dikembangkan budaya organisasi yang menempatkan manusia sebagai faktor sentral, atau sumberdaya penentu keberhasilan organisasi. Oleh karena itu SDM yang dimiliki terus dikembangkan dan ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan sikapnya terhadap pekerjaannya sebagai pemberi pelayanan kepada siswa. Bersamaan dengan itu dikembangkan pula kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi oleh sekolah pada masa sekarang dan untuk mengantisipasi masalah – masalah yang timbul sebagai pengaruh globalisasi di masa yang akan datang.
6) Iklim Kerja
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa hubungan kerja formal dan informal dikembangkan sebagai budaya organisasi berdasarkan nilai – nilai kemanusiaan. Di dalam budaya organisasi pendidikan, setiap SDM sebagai individu dan anggota organisasi terwujud hubungan formal dan hubungan informal antar personil yang harmonis sesuai dengan posisi, wewenang dan tanggung jawab masing – masing di dalam dan di luar jam kerja.
7) Etika dan Tanggung Jawab Sosial
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa dalam bekerja terlaksana dan dikembangkan etika dan tanggung jawab sosial yang tinggi, dengan selalu mendahulukan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan/atau organisasi.
Tantangan Global; Merubah Ancaman Menjadi Peluang dalam Kontek Kepemimpinan
Globalisasi merambat pasti dalam beragam aspek kehidupan manusia. Dunia pendidikan pun tak luput dari dampaknya. Bidang ini sudah pasti harus melihat kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat dan tuntutan di masyarakat pun kian meningkat. Sebagai institusi pembelajaran, dunia pendidikan dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia yang handal serta mampu menjawab berbagai tantangan baru di masyarakat dan peradaban manusia.
Dewasa ini kita dihadapkan pada situasi di mana berbagai peristiwa di dunia yang biasanya mempengaruhi orang-orang secara perlahan, sekarang menimpa kita hampir secara serta merta dan sangat kuat. Sistem ekonomi global dewasa ini telah membuat sekitar satu milyar dari 5,8 milyar penduduk dunia terintegrasi melalui produk dan pasar. Kapasitas atau kompetensi mengantisipasi perubahan tersebutl kini menjadi faktor pembeda antara kepemimpinan dengan manajemen. Organisasi agar berhasil harus mampu dan mau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan strategiknya (internal maupun eksternal).
Dengan memperhatikan perbedaan fundamental antara kepemimpinan dan manajemen terdahulu dapat diidentifikasi asas-asas kepemimpinan yang perlu kita acu dalam pengembangan kepemimpinan. Apabila manajemen berkaitan dengan penanggulangan kompleksitas usaha organisasi, dan kepemimpinan berkaitan dengan penanggulangan perubahan, maka terlihat suatu sebab mengapa kepemimpinan menjadi begitu penting pada akhir-akhir ini. Karena perkembangan semakin kompetitif dan mudah terombang-ambingnya berbagai organisasi oleh arus perubahan. Pada masa stabil/mapan seperti pertengahan Abad 20 dan sebelumnya, dengan adanya administrasi serta manajemen yang baik setiap organisasi bisa bertahan hidup. Namun pada masa yang intensitas dan frekuensi perubahan yang sangat tinggi seperti pada Abad 21 ini di samping manajemen yang baik juga diperlukan kapasitas dan kualifikasi kepemimpinan yang handal.
Abad 21 ditandai globalisasi, kehidupan manusia telah mengalami perubahan-perubahan fundamental yang berbeda dengan tata kehidupan dalam abad sebelumnya. Perubahan-perubahan besar dan mendasar tersebut menuntut penanganan yang berbeda dengan sebelumnya. Peter Senge (1994) menyatakan bahwa ke depan keadaan berubah dan berkembang dari detail complexity menjadi dynamic complexity. Interpolasi perkembangan sebagai dasar perkiraan masa depan, menjadi sulit bahkan sering salah, bukan saja karena parameter perubahan menjadi sangat banyak, tetapi juga karena sensitivitas perubahan yang laian dalam lingkup yang luas, dan masing-masing perubahan menjadi sulit diperkirakan. Abad ke-21 juga abad yang menuntut dalam segala usaha dan hasil kerja manusia termasuk di bidang kepemimpinan. Drucker bahkan menyatakan, tantangan manajemen pada Abad ke-21 adalah berkaitan dengan “knowledge worker“, yang memerlukan paradigma manajemen baru, strategi baru, pemimpin perubahan, tantangan informasi, produktivitas pegawai berbasis pengetahuan, dan kemampuan mengelola diri sendiri (Drucker, 1999).
Gelombang globalisasi itu sendiri selain menghadapkan tantangan juga peluang. Dengan kata lain, globalisasi memiliki dampak-dampak positif dan negatif. Salah satu dampak globalisasi dapat berupa bentuk-bentuk proteksionisme baru. Meskipun batas-batas negara, perdagangan bebas pada tahun 2003 ini mulai diberlakukan, namun demikian bentuk-bentuk proteksionisme yang tidak kelihatan akan muncul. Oleh sebab itu, yang dituntut di dalam masyarakat Abad 21 ialah kepemimpinan yang unggul atau “super”. Ulrich (1998) dalam kaitan ini menawarkan empat agenda utama pengembangan kepemimpinan pada abad ke-21 agar tetap menjadi “champion”, adalah: (1) menjadi rekan yang stratejik, (2) menjadi seorang pakar, (3) menjadi seorang pekerja ulung, dan (4) menjadi seorang “agent of change”. Sebab, menurut Ulrich, masyarakat pada Abad 21 adalah suatu masyarakat mega-kompetisi. Pada Abad 21, tidak ada tempat tanpa kompetisi. Kompetisi telah dan akan merupakan prinsip hidup yang baru, karena dunia terbuka dan bersaing untuk melaksanakan sesuatu yang lebih baik. Disisi lain, masyarakat kompetitif dapat melahirkan manusia-manusia yang frustasi apabila tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat kompetitif dengan demikian, menuntut perubahan dan pengembangan secara terus menerus.
Adapun dampak negatif globalisasi atau lebih tegas lagi merupakan ancaman antara lain ancaman terhadap budaya bangsa; lunturnya identitas bangsa; lunturnya batas-batas negara bangsa; dan ancaman-ancaman organisasional lainnya. Kesemuanya, apabila tidak segera dilakukan perbaikannya bukan tidak mungkin akan mengancam kelangsungan hidup suatu negara. Bahkan lebih dari itu, kesatuan dan persatuan suatu bangsa dan negara dapat terkoyak dan terpecah belah. Dengan kata lain, bahwa dampak globalisasi akan menjadi ancaman yang makin besar dan serius, lebih-lebih apabila organisasi tidak memiliki kepemimpinan yang kuat.
Gambaran di atas menunjukan bahwa, pada Abad 21 diperlukan paradigma baru di bidang kepemimpinan, manajemen, dan pembangunan dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan baru. Penyusunan paradigma baru menuntut proses terobosan pemikiran (break through thinking process), apalagi jika yang kita inginkan adalah output yang berupa manusia, barang, dan jasa yang berdaya saing. Dalam kaitan hal tersebut, berikut akan disajikan tentang pokok-pokok pemikiran “Kepemimpina dalam Abad 21”, dengan tetap memperhatikan berbagai perkembangan paradigma kepemimpinan sebelumnya yang dipandang valid dalam menghadapi pokok permasalahan dan tantangan abad ini.
Menurut Chowdury (2000) manajemen pada Abad 21 akan tergantung pada 3 faktor yang menopangnya, yakni kepemimpinan, proses, dan organisasi. Asset yang paling berharga bagi pemimpin Abad 21 adalah kemampuan untuk membangun impian seperti dilakukan para entrepreneurs. Faktor pertama, Pemimpin Abad 21 adalah pemimpin yang memiliki kompetensi berupa kemampuan mengembangkan peoplistic communication, emotion and belief, multi skill, dan juga memiliki next mentality. Pemimpin yang berhasil dalam mengejar dan mengerjakan impian-impiannya menggunakan komunikasi, dan memberikan inspirasi kepada setiap orang dalam organisasi untuk juga meyakini impiannya. Sebab itu, kompetensi sang pemimpin ditandai dengan sikap peoplistic bukan individualistic. Diingatkan oleh Chowdury bahwa “You can have the best communication system, but if you areindividualistic as a leader the organization suffers”. Seorang komunikator yang peopulistik mengembangkan iklim yang bersahabat di mana setiap orang dapat berkomunikasi secara cepat. Dalam organisasi yang besar komunikasi dapat mengalami kegagalan karena jenjang birokrasi dan orang hanya menerima sekitar 10% dari informasi yang dibutuhkannya. “The 21st century leader will be a firm believe in such peoplistic communication, which is fast and all envolving”. Kompetensi lain menurut Chowdury adalah sentuhan emosional (emotion) dan kepercayaan (belief). Emosi dalam pengertian “You should touch the heart, touch the mind, touch the emotion”. Komitment emosional sangat berharga bagi manajemen. Untuk mendapatkan komitmen terhadap suatu strategi baru, dapat ditempu dengan melibatkan orang-orang dalam penyusunan startegi tersebut, dan dengan mengurangi jangka waktu antara konsptualisasi strategi dan pelaksanaannya. Sedangkan mengenai believe, dikemukakan bahwa “That should be the 21st century leader’s watchword”; dan ada perbedaan mendasar antara memenrima (accepting) dan mempercayai (believing). Bertalian denga kompetensi multi skill, Chowdury memandang bahwa “twenty first century leaders will become more multi-skilled than their 20th century predecessors”…”One of the important characteristics of multi-skill leader is the abality to encourage diversity”. Sebab, tantangan organisasional sesungguhnya pada Abad 21 bukanlah jarak geograpikal, melainkan diversitas kultural. Mengenai next mentality, yang dipandang sebagai kunci keberhasilan oragnisasi Abad 21, meliputi hard working, never satisfied, idea-centric, curious, dan persistent.
Faktor kedua, Proses Abad 21 fokus pada kegiatan inti (core pactices), meliputi 4 area kritis berupa grass root education, fire prevention, direct interaction, dan effecrive globalization. Grass root education dimaksudkan pendidikan dan pelatihan yang melibatkan seluruh staff tanpa diskriminasi, dari pimpinan sampai staff biasa. Fire prevention dimaksudkan sebagau wawasan dan upaya untuk meningkatkan durasi kemanfaatan teknologi dalam produksi dan distribusi produk-produk tertentu. Direct interaction, organisasi Abad 21 menekankan lebih pada entusisme pelanggan di samping kepuasannya; “Customer enthusiasism means excitement and loyalty on the part of customer, fuelled by the service and producta available to them exceeding their expectations”. Effecrive globalization; gloablisasi selalu mengandung resiko yang berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Permasalahannya adalah berapa cepat respons dalam menghadapi perubahan dramatik yang terjadi. Dalam hubungan itu, Chowdury berpandangan bahwa manajemen harus : study local culture, local market, and local competition; prepare a busisness model that effectively seves the market needs; select the right strategic local partner or group with thw bwst local market knowledge; encourage employees by maintaining local values; introduce new and innovative product, with local flavour.
Faktor ketiga, Organisasi Abd 21 yang komit terhadap kualitas sumber daya manusia. “The driving force of behind a 21 st century organization will be it people…People manage people, inside and outside an oraganization. Effective management of people is a challlenge managers will increasingly face in the 21 st century”.
Berbagai kompetensi kepemimpinan yang telah dikemukakan terdahulu, seperti yang dikemukanan Spencer dan Kazanas, Warren Bennis, Kanter akan tetap diperlukan bagi kepemimpinan dan pemimpin Abad 21. Dalam rangka pengembangan pemikiran tersebut ada baiknya apabila kita eksplorasi dan simak kembali berbagai pandangan mengenai kepemimpinan dan pemimpin yang dikemukakan beberapa ahli. Cooper dan Sawaf (1997: p. 15), mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang pimpinan dalam merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Bethel, mengemukakan bahwa, kepemimpinan merupakan pola keterampilan, bakat, dan gagasan yang selalu berkembang, bertumbuh, dan berubah. White Hodgson, dan Crainer (1997:129-163), berpendapat kepemimpinan masa depan adalah pemimpin yang terus belajar, memaksimalkan energi dan menguasai perasaan yang terdalam, kesederhanaan, dan multifokus. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa kualitas menjadi penting dan kuantitas tidak lagi menjadi keunggulan bersaing. Mencari pengetahuan dan menggali ilmu harus terus dilakukan bagi pemimpin masa depan, hal ini sangat penting sebab ilmu pengetahuan merupakan energi vital bagi setiazp organisasi. Sejalan dengan pendapat ini, Kotter (1998), mengemukakan bahwa kemampuan seseorang pemimpin masa depan meliputi kemampuan intelektual dan interpersonal untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
Ronald Heifetz dan Laurie (1998) berpendapat, kepemimpinan masa depan adalah seorang pemimpin yang adaptif terhadap tantangan, peraturan yang menekan, memperhatikan pemeliharaan disiplin, memberikan kembali kepada para karyawan, dan menjaga kepemimpinannya. Ditambahkan, kepemimpinan harus selalu menyiapkan berbagai bentuk solusi dalam pemecahan masalah tantangan masa depan. Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap perubahan, ditekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia. Untuk itu, perlu dikembangkan peraturan-peraturan baru, hubungan dan kerjasama yan baru, nilai-nilai baru, perilaku baru, dan pendekatan yang baru terhadap pekerjaan. Abad 21 juga mengisyaratkan diperlukannya global leadership dan mind set tertentu. Seiring dengan dinamika perkembangan global, berkembang pula pemikiran dan pandangan mengenai kepemimpinan global (global leadership), yang akan banyak menghadapi tantangan dan memerlukan berbagai persyaratan untuk suksesnya., seperti dalam membangun visi bersama dalam konteks lintas budaya dalam kemajemukan hidup dan kehidupan bangsa-bangsa dalam rangka merubah ancaman global menjadi peluang yang sangat berarti.
Sumber:
Cise, Jerrold G. Van. “regulation – by Business or Government” Harvard Business Review, 1996.
David, Fred R. Concepts of Strategic Management. New York. Macmillan Publishing Company.,1991
Drucker, Peter F . Managing for the Future. New York : Truman Talley Books.,1992.
Drost, J.I.G.M.S.J. Sekolah Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius, 2001/
Hou, Wee chow, dkk. Sun Tzu, War and Management : Addison Wesley Publishing Co.Singapore,1992.
Hunger, J. David dan Wheelen, Thomas L. . Strategic Management London Addison Wesley Publishing Co, 1993..
Philips Jusario Vermonte. Transnasional Organized Crime : Isu dan Permasalah-an. Analisis CSIS Review, 2002.
Ali Moertopo . Strategi Pembangunan Nasional : CSIS ,Jakarta,1981.
LAN, Perencanaan Strategik Instansi Pemerintah, Jakarta LAN dan BPKP,2000.
Silberman, M. Active Learning : 101 Strategi to Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon, 1996.
Sondang PS. Management Strategik, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
Suwarsono M. Management Strategik Konsep dan Kasus, Yogyakarta 1998.
Definisi, Unsur, Prinsip, Manfaat Program Total Quality Management (TQM)
Definisi TQM
Mendefinisikan mutu / kualitas memerlukan pandangan yang komprehensif. Ada beberapa elemen bahwa sesuatu dikatakan berkualitas, yakni;
1) Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
2) Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan
3) Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (apa yang dianggap berkualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada saat yang lain).
4) Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.(Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, 2003:3-4)
Mutu terpadu atau disebut juga Total Quality Management (TQM) dapat didefinisikan dari tiga kata yang dimilikinya yaitu: Total (keseluruhan), Quality (kualitas, derajat/tingkat keunggulan barang atau jasa), Management (tindakan, seni, cara menghendel, pengendalian, pengarahan). Dari ketiga kata yang dimilikinya, definisi TQM adalah: “sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dengan kegiatan yang diupayakan benar sekali (right first time), melalui perbaikan berkesinambungan (continous improvement) dan memotivasi karyawan “(Kid Sadgrove, 1995) Dalam (Yamit, 2001:181)
a) Seperti halnya kualitas, Total Quality Management dapat diartikan sebagai berikut;
Perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan (Ishikawa, 1993, p.135).
b) Sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi (Santosa, 1992, p.33).
c) Suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya. (Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, 2003:4)
Pengertian lain dikemukakan oleh Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U. mengatakan bahwa Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya.
Unsur-unsur utama TQM
a) Fokus pada pelanggan.
b) Obsesi terhadap kualitas.
c) Pendekatan ilmiah.
d) Komitmen jangka panjang.
e) Kerja sama tim.
f) Perbaikan sistem secara berkesinambungan
g) Pendidikan dan pelatihan.
h) Kebebasan yang terkendali
i) Kesatuan tujuan.
j) Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan. (Nasution, 2005:22)
Prinsip-prinsip TQM
Ada beberapa tokoh yang mengemukakan prinsip-prinsip TQM. Salah satunya adalah Bill Crash, 1995, mengatakan bahwa program TQM harus mempunyai empat prinsip bila ingin sukses dalam penerapannya. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a) Program TQM harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi pada kualitas dalam semua kegiatannya sepanjang program, termasuk dalam setiap proses dan produk.
b) Program TQM harus mempunyai sifat kemanusiaan yang kuat dalam memberlakukan karyawan, mengikutsertakannya, dan memberinya inspirasi.
c) Progran TQM harus didasarkan pada pendekatan desentralisasi yang memberikan wewenang disemua tingkat, terutama di garis depan, sehingga antusiasme keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan.
d) Program TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijaksanaan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah organisasi.
Lebih lanjut (Bill, 1996) menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar 5 pilar sistem yaitu; Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan, dan Komitmen.
Lima Pilar TQM :
1) Produk
2) Proses
3) Organisasi
4) Pemimpin
5) Komitmen
Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi. Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua yang lain. Setiap pilar tergantung pada keempat pilar yang lain, dan kalau salah satu lemah dengan sendirinya yang lain juga lemah. (Bambang, 1996:7)
Pendapat lain dikemukakan oleh Hensler dan Brunnell (dalam Scheuing dan Christopher, 1993: 165-166) yang dikutip oleh Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U. dalam bukkunya yang berjudul Manjemen Mutu Terpadu, mengatakan bahwa TQM merupakan suatu konsep yang berupaya, melaksanakan sistem manajemen kualitas kelas dunia. Untuk itu, diperlukan perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai suatu organisasi. ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu :
1) Kepuasan pelanggan.
2) Respek terhadap setiap orang.
3) Manajemen berdasarkan fakta.
4) Perbaikan berkesinambungan. (Nasution, 2005:30)
Manfaat Program TQM
TQM sangat bermanfaat baik bagi pelanggan, institusi, maupun bagi staf organisasi.
Manfaat TQM bagi pelanggan adalah:
1) Sedikit atau bahkan tidak memiliki masalah dengan produk atau pelayanan.
2) Kepedulian terhadap pelanggan lebih baik atau pelanggan lebih diperhatikan.
3) Kepuasan pelanggan terjamin.
Manfaat TQM bagi institusi adalah:
a. Terdapat perubahan kualitas produk dan pelayanan
b. Staf lebih termotivasi
c. Produktifitas meningkat
d. Biaya turun
e. Produk cacat berkurang
f. Permasalahan dapat diselesaikan dengan cepat.
Manfaat TQM bagi staf Organisasi adalah:
a. Pemberdayaan
b. Lebih terlatih dan berkemampuan
c. Lebih dihargai dan diakui
Manfaat dari implementasi TQM yang mungkin dapat dirasakan oleh institusi di masa yang akan datang adalah:
a. Membuat institusi sebagai pemimpin (leader) dan bukan hanya sekedar pengikut (follower)
b. Membantu terciptanya tim work
c. Membuat institusi lebih sensitif terhadap kebutuhan pelanggan
d. Membuat institusi siap dan lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan
e. Hubungan antara staf departemen yang berbeda lebih mudah
Persyaratan Implementasi TQM
Agar implementasi program TQM berjalan sesuai dengan yang diharapkan diperlukan persyaratan sebagai berikut:
a. Komitmen yang tinggi (dukungan penuh) dari menejemen puncak.
b. Mengalokasikan waktu secara penuh untuk program TQM
c. Menyiapkan dana dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
d. Memilih koordinator (fasilitator) program TQM
e. Melakukan banchmarking pada perusahaan lain yang menerapkan TQM
f. Merumuskan nilai (value), visi (vision) dan misi (mission)
g. Mempersiapkan mental untuk menghadapi berbagai bentuk hambatan
h. Merencanakan mutasi program TQM.(Bambang, 1996:186)
TQM dalam Pendidikan
Manajemen Mutu Terpadu yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM) atau disebut pula Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait. M. Jusuf Hanafiah, dkk (1994:4) mendefinisikan Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan yang sistematis, praktis, dan strategis dalam menyelenggarakan suatu organisasi, yang mengutamakan kepentingan pelanggan. pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu. Sedang yang dimaksud dengan Pengeloaan Mutu Total (PMT) Pendidikan tinggi (bisa pula sekolah) adalah cara mengelola lembaga pendidikan berdasarkan filosofi bahwa meningkatkan mutu harus diadakan dan dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu berkesinambungan sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan baik masa kini maupun yang akan datang.
Dalam MMT sekolah dipahami sebagai Unit Layanan Jasa, yakni pelayanan pembelajaran. Sebagai unit layanan jasa, maka yang dilayani sekolah (pelanggan sekolah) adalah: 1) Pelanggan internal : guru, pustakawan, laboran, teknisi dan tenaga administrasi, 2) Pelanggan eksternal terdiri atas : pelanggan primer (siswa), pelanggan sekunder (orang tua, pemerintah dan masyarakat), pelanggan tertier (pemakai/penerima lulusan baik diperguruan tinggi maupun dunia usaha).(Yunus:2008)
Karakteristik Sekolah Bermutu Terpadu[10]
Arcaro, Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu; prinsip-prinsip perumusan dan tata langkah penerapan, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 36.
Dimensi Kualitas Pelayanan pada Jasa Pendidikan
Kualitas jasa pendidikan dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi pelanggan atas pelayanan yang diperoleh atau diterima secara nyata oleh mereka dengan pelayanan yang sesungguhnya diharapkan. Jika kenyataan lebih dari yang diharrpkan, pelayanan dapat dikatakan bermutu. Sebaliknya jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan tidak bermutu Namun apabila kenyataan sama dengan harapan, maka kualitas pelayanan disebut memuaskan. Dengan demikian, kualitas pelayanan dapat didefinisikan seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan atas layanan yang diterima mereka, dimensi jasa pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Bukti Fisik (tangible) Bukti fisik berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang tercantum dalam pasal Pasal 42 bab VII Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan yang berisi sebagai berikut :(1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2)Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 42)
b. Keandalan (reliability) Yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera atau cepat, akurat, dan memuaskan
c. Daya Tanggap (responsiveness) Yaitu kemauan/kesediaan para staff untuk membantu para peserta didik dan memberikan pelayanan cepat tanggap.
d. Jaminan (assurance) Yaitu mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap peserta didik, serta memiliki sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya dan keragu-raguan. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, yang berisi: (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 28)
e. Empati (empathy) Yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi dengan baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan peserta didiknya.
Pendekatan Total Quality Service (TQS)
Total quality service atau layanan mutu terpadu adalah suatu keadaan ketika sebuah lembaga pendidikan memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan bermutu kepada para pelanggan maupun pemilik lembaga pendidikan (pemerintah atau yayasan) san pegawainya. TQS ini memiliki 5 elemen yang saling terkait satu sama lain, yaitu :
a. Riset Pasar dan Pelanggan (market and customer research) Riset pasar adalah kegiatan penelitian terhadap struktur dan dinamika pasar tempat lembaga pendidikan berada yang meliputi identifikasi segmen pasar, analisis demografis, dan analisis kekuatan yang ada di dalam pasar itu sendiri.
b. Perumusan Strategi (strategy formulation) Suatu proses perancangan strategi untuk mempertahankan pelanggan yang ada dan meraih pelanggan baru.
c. Pendidikan, Pelatihan, dan Komunikasi (education, traning and communication)
Pendidikan dan pelatihan sangat penting dalam pengembangan dan peningkatan mutu layanan (pengetahuan dan kemampuan) sumber daya manusia agar mereka mampu memberikan layanan yang bermutu kepada para pelanggannya. Adapun komunikasi berperan dalam mendistribusikan informasi kepada setiap individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan.
d. Penyempurnaan Proses (process improvement) Penyempurnaan proses merupakan berbagai usaha di setiap hierarki manajemen pendidikan untuk secara berkesinambungan menyempurnakan proses pemberi layanan dan secara aktif memberikan cara baru dalam memperbaiki layanan.
e. Penilaian, Pengukuran, dan Umpan balik (assessment, measurement, and feedback) Penilaian, pengukuran, dan umpan balik berperan dalam menginformasikan kepada penyaji jasa pendidikan seberapa jauh mereka mampu memenuhi keinginan dan harapan pelanggannya. Hasil penilaian kinerja dan umpan balik dapat dijadikan dasar untuk memberikan balas jasa kepada merka, serta memberikan isyarat kepada lembaga pendidikan tentang apa yang masih harus diperbaiki, kapan diperbaiki, dan bagaimana cara memperbaikinya.
Sumber: Karl Albrecht & Ron Zemke (1990)
Total Quality Service (TQS)
Perbaikan yang berkesenimbangunan berkaitan dengan komitmen (continuous quality improvement atau CQI) dan proses (continuous process improvement). Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan pernyatann dedikasi pada misi dan visi bersama, serta pemberdayaan semua partisipan untuk secara inkremental mewujudkan visi tersebut (Lewis dan Simth, 1994). Perbaikan yang berkesinambungan tergantung kepada dua unsur. Pertama, mempelajari proses, alat, dan ketrampilan yang tepat. Kedua, menerapkan ketrampilan baru pada small achieveable projects. Upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan dalam lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan sistem terbuka atas fungsi inti lembaga pendidikan, student learning. Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menjamin kualitas lembaga pendidikan, yaitu (1) Pendekatan akreditas, (2) Pendekatan outcome assessment, dan (3) Pendekatan sistem terbuka (Lewish & Smith, 1994) dalam Rochaety: 2006, 118-120)
Penyempurnaan kualitas berkesinambungan dalam lembaga pendidikan
a. Perbaikan berkelanjutan merupakan hal penting untuk setiap organisasi mutu.
b. Perbaikan tersebut hanya dapat dicapai bila setiap orang disekolah atau wilayah bekerja bersama-sama dan: Menerapkan roda mutu pada setiap aspek kerja
c. Memahami manfaat jangka panjang pendekatan biaya mutu
d. Mendorong semua perbaikan baik besar maupun kecil
e. Mefokuskan pada upaya pencegahan dan bukab penyelesaian masalah (Jerome, 2007:204)
Sumber
Arcaro, Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu; prinsip-prinsip perumusan dan tata langkah penerapan, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Bambang H. Hadi Wiardjo dan Sulistijarningsih Wibisono, Memasuki Pasar Internasional Dengan ISO 9000, Sistem Manajemen Mutu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996)
Depdiknas, Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005)
Dr. Umedi, M.Ed., Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), (Jakarta: Pusat Kajian Mutu Pendidikan, 2004)
Drs. Zulian Yamit, Msi, Manajemen Kualitas Produk Dan Jasa, (Yogyakarta: CV Adipura, 2001)
Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003)
Nasution, M, Nur, Manajemen Mutu Terpadu, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)
Rochaety, Eti, dkk, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Arah Kebijakan Pengembangan Sekolah 2008-2025 Masalah yang Perlu Dibenahi
Persamaan
Fakta menunjukkan bahwa keinginan dan harapan dalam penyelenggaraan pendidikan SBI di daerah sangat tinggi, namun masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Permasalahan mendasar yang perlu dibenahi dapat dinyatakan bahwa manajemen SBI merupakan sasaran yang sangat besar dan multi stratum. Peserta didik dalam program SBI merentang mulai penduduk usia dini hingga usia remaja. Dengan kata lain, garapan pendidikan pada SBI melebihi garapan pendidikan sekolah dengan latar belakang dan segmen peserta didik yang beragam. Problema-problema pokok dalam aspek manajerial ketiga jenis lembaga pendidikan tersebut berkaitan dengan:
Pertama, belum adanya spesifikasi dan standarisasi tentang peserta didik, kurikulum, ketenagaan (kepala sekolah, guru, pustakawan, laboran, tata usaha sekolah, dan tenaga kependidikan lainnya), media dan sumber belajar, pembiayaan, dan model-model proses pembelajaran, serta komite sekolah atau tata hubungan dengan masyarakat;
Kedua, perencanaan pendidikan masih bersifat terpusat dan belum komprehensif. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya kapasitas pemahaman, apresiasi dan keterampilan dari aparat pemerintah dan masyarakat tentang karakteristik kelembagaan pendidikan SBI. Sehingga menyebabkan pula kurangnya partisipasi masyarakat dan stakeholders pendidikan dalam sistem penganggaran dan pembinaannya;
Ketiga, walaupun pemerintah daerah telah memberikan keleluasaan penuh dalam manajemen pendidikan SBI kepada setiap satuan pendidikan, namun belum disertai dengan perangkat sistem dan aturan pelaksanaan yang memadai. Sehingga otoritas dan kewenangan dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pembiayaan, pembinaan dan pengawasan serta evaluasi program pendidikan masih dianggap tumpang tindih, baik secara horizontal maupun vertikal.
Di samping ketiga problema dalam manajemen pendidikan SBI, perlu pula diperhatikan tiga kondisi sosial yang sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan SBI di daerah, antara lain:
Kondisi umum kehidupan masyarakat di daerah dari sisi kesehatan dan perekonomian masih memprihatinkan. Persoalan gizi buruk, AKI (angka kematian ibu) dan AKB (angka kematian bayi), penyakit lama yang menghinggapi masyarakat, daya beli disadari atau tidak sangat berpengaruh terhadap akses kepada pendidikan SBI. Kedua, diakui atau tidak bahwa dalam melaksanakan pembangunan pendidikan SBI di kabupaten masih ditemukan fakta yang saling bertentangan antara dimensi konsumtif dengan dimensi investatif. Dimensi konsumtif berkaitan dengan kepentingan pemerataan dan keadilan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tentang pendidikan yang populis, sedangkan dimensi investatif berkenaan dengan kebutuhan untuk menciptakan kemampuan menghasilkan daya saing SDM di masa depan. Pilihan terhadap kedua tujuan tersebut pada kenyataannya harus melalui pertimbangan-pertimbangan politis dan ekonomis. Pertimbangan politis didasarkan kepada tujuan masyarakat secara menyeluruh, dan pertimbangan ekonomis didasarkan pada kemampuan fiskal otoritas penentu anggaran pembangunan daerah. Investasi dalam bidang pendidikan secara dini memang akan menjamin terwujudnya pemenuhan hak asasi manusia, meningkatnya kualitas SDM, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terwujudnya masyarakat sejahtera, mempunyai kemampuan mengelola teknologi, mempunyai keunggulan kompetitif yang tinggi, dan menjamin kelangsungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apabila setiap pemerintah daerah betul-betul ingin mengelola model sistem pendidikan SBI dengan sebaik-baiknya, maka status atau fungsi pengelola pendidikan SBI pada setiap jenjang pendidikan memerlukan perangkat hukum dan perundang-undangan yang dapat memberikan keleluasaan untuk merubah pola pikir, apresiasi, dan kebiasaan dalam mengelola pendidikan yang inovatif dan lebih akuntabel. Sehingga, mengelola sistem pendidikan SBI berada dalam satuan sistem tata kelola. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pada era baru ke depan, model SBI perlu terus dibina dan dikembangkan agar memiliki peran yang lebih menonjol dalam mengembangkan kualitas SDM di setiap daerah. Untuk itu model SBI perlu ditata dan dikembangkan sehingga menjadi komponen yang integral, saling membangun dan saling melengkapi dengan komponen pendidikan persekolahan lainnya.
Tujuan dan Sasaran Pengembangan
Dalam aspek pemerataan, tujuan dan sasaran pengembangan SBI harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan daya tampung pada setiap jenjang pendidikan SBI, dengan memberikan kesempatan kepada semua penduduk usia sekolah untuk memperoleh pendidikan pada SBI dengan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang pluralistik yang disertai dengan tanggungjawab dalam memberikan konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat. Tujuan ini akan berlanjut sampai kepada upaya dalam meningkatkan angka melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dengan disertai bekal kemampuan yang lebih memadai dan berbagai kemudahan baik bagi peserta didik, masyarakat dan sekolah. Dalam aspek peningkatan mutu, relevansi dan dayasaing, harus dimulai dari upaya dalam meningkatkan mutu muatan kurikulum yang diarahkan pada: (1) Regulasi tuntutan perubahan yang dinamis dan akseleratif, sehingga memberikan makna yang berarti bagi bekal kehidupan peserta didik di masa depan, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai religius, bekal kecakapan hidup (life skills), tata pergaulan, budi-pekerti, seni budaya lokal, kesehatan dan lingkungan hidup, serta aspek-aspek pembentuk karakter kehidupan berbangsa dan bernegara; (2) Menghilangkan kesenjangan tingkat pendidikan dan kesempatan berkiprah dalam memperoleh layanan pendidikan antara laki-laki dengan perempuan; (3) Meningkatkan daya nalar, apresiasi dan kemampuan belajar peserta didik pada setiap jenjang pendidikan terhadap setiap mengikuti tuntutan kurikulum pendidikan; (4) Meningkatkan fungsi dan peran pelayanan perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, dan sarana berlatih lainnya sebagai media/sumber belajar dan pembelajaran peserta didik; (5) Meningkatkan jumlah dan mutu buku paket, buku perpustakaan, peralatan laboratorium, alat peraga edukatif (indoor maupun outdoor), serta sarana dan prasarana belajar lainnya baik bagi peserta didik maupun bagi guru yang sesuai tuntutan kurikulum; (6) Meningkatkan status hukum kepemilikan tanah, bangunan gedung dan sarana/prasarana serta aset-aset sekolah atas nama negara yang dilimpahkan wewenang pengelolaannya kepada lembaga pengelola setiap satuan pendidikan; (7) Meningkatkan mutu pemeliharaan gedung, perabot, sarana dan prasarana sekolah yang didukung oleh mekanisme sistem pemeliharaan yang berkelanjutan dan pembiayaan yang seimbang; (8) Meningkatkan jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya sesuai dengan tuntutan kurikulum; (9) Meningkatkan wawasan pengetahuan, apresiasi, dan kemampuan teknis manajerial para kepala satuan pendidikan, pengurus komite/dewan sekolah, tata usaha, serta pengawas sekolah, baik yang menyangkut bidang garapan sekolah, maupun proses manajemen yang sesuai dengan karakteristik kelembagaan sekolah; dan (10) Meningkatkan pelayanan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya pada setiap jenjang pendidikan dengan memberi imbalan yang layak dan berkeadilan dalam memikul tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik setiap sekolah. Sedangkan pada aspek peningkatan mutu tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik harus diarahkan pada: (1) Upaya dalam meningkatkan kinerja kelembagaan yang mengangkut sistem perencanaan, pembiayaan, penyelenggaraan, pengawasan dan supervisi, evaluasi (evaluasi hasil belajar maupun evaluasi program) dan sistem pelaporan terhadap satuan program penyelenggaraan pendidikan, sehingga tercipta profesionalitas, transparansi, akuntabilitas dan pencitraan publik yang wajar tanpa syarat; (2) Mengembangkan inovasi-inovasi pembelajaran yang lebih bersifat antisipatif ke arah peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan; (3) Meningkatkan kualitas data dan informasi pendidikan yang cepat, akurat dan dapat dipercaya dalam upaya mendukung sistem pembuatan kebijakan dan keputusan yang menyangkut manajemen pembangunan pendidikan di daerah; dan (4) Meningkatkan peranserta masyarakat, dunia perusahaan, dan stakeholders pendidikan lainnya yang diarahkan pada kebersamaan memikul tanggungjawab antara pemerintah, masyarakat dan peserta didik sebagai bagian dari subjek pembelajaran, yang dinamis, adaptif, dan penuh inisiatif.
Pendekatan Program
Pelibatan sekolah pada suatu program pembaharuan pendidikan, didasarkan pada dua alasan: Pertama, upaya menempatkan sekolah sebagai pelaku utama yang peka dan aktif pada seluruh kegiatan yang terkait dengan substansi program berdasarkan: kondisi, sumber daya yang dimiliki dan potensi sumber daya yang dapat dikuasainya. Kedua, upaya memposisikan peran lembaga sekolah sebagai fasilitator agar peran pelaku utama yang peka dan aktif tersebut dapat terwujud. Kedua alasan tersebut beranjak dari pandangan bahwa suatu program intervensi yang benar-benar melibatkan sekolah akan mengarahkan kepada keberhasilan program itu sendiri dan sekaligus membangun kekuatan kelembagaan kelompok sasarannya. Sekolah sebagai pelaku utama dalam pembangunan mengandung pengertian bahwa seluruh aspek manajemen program tersebut pada dasarnya dilakukan oleh sekolah. Sehingga dengan demikian konteks pelibatan sekolah dalam program tersebut bukan sekedar untuk mengarahkan sekolah sebagai pelaksana tetapi memberikan kondisi agar sekolah dapat melakukan pengembangan aspek program yang dibutuhkannya dan sekaligus memberikan perspektif terhadap kepentingan pembangunan yang lebih luas. Fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dalam kerangka penguatan kemampuan dan potensi masyarakat (pembelajaran dan pemberdayaan serta pembaharuan masyarakat). Artinya, para pengelola sekolah diharapkan pada suatu proses yang terbuka bagi pemikiran dan ketrampilan baru. Sehingga pelibatan sekolah akan merupakan media untuk terjadi proses penerimaan dan pengalihan kemampuan masyarakat dalam mengelola aspek program yang dibutuhkannya.
Pemberdayaan sekolah dilihat sebagai upaya fasilitasi dari unsur di luar masyarakat akan terkait dengan aspek perilaku (psiko-sosial), budaya dan politik, dan mata pencaharian masyarakat. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi sehingga baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama akan berpengaruh terhadap tingkat kesiapan sekolah untuk melibatkan diri atau dilibatkan dalam suatu program. Merujuk pada makna dasar dan dimensi yang terkandung di dalamnya maka hasil akhir dari proses pelibatan sekolah dalam kerangka pembangunan yang berperspektif Pemberdayaan Sekolah Mandiri adalah tumbuhnya: (1) rasa memiliki dari para pengelola sekolah termasuk kelembagaannya terhadap program intervensi yang dirancang; (2) kemandirian atau keswadayaan sekolah baik sebagai penggagas, pelaksana maupun pemanfaat pembangunan, dan (3) kepercayaan diri yang mapan terhadap potensi, sumber daya dan kemampuan yang dimiliki untuk membangun kelembagaan. Apabila kebijakan pembangunan masyarakat lebih menekankan kepada terwujudnya peranserta masyarakat dan pemberdayaan masyarakat menjadi satu-satunya pilihan, maka persoalan sangat mendasar yang perlu diantisipasi dalam pemberdayaan sekolah adalah perbedaan persepsi antara para disainer program dengan keinginan, kebutuhan dan harapan masyarakat itu sendiri. Apa yang dianggap pemerintah diperlukan oleh sekolah dan kemudian dirumuskan ke dalam serangkaian program pembangunan belum tentu betul-betul dibutuhkan oleh golongan masyarakat. Dengan demikian, program Pemberdayaan Sekolah yang berbasis kemasyarakatan harus bercirikan: (1) ada kebijakan yang menjamin hak dan kewajiban sekolah dalam menggali, merumuskan kebutuhan dan melaksanakan aktivitas dalam memenuhi kebutuhannya; (2) ada sistem informasi yang melembaga dalam masyarakat dalam bentuk youth coalitions atau semacamnya; (3) ada upaya penguatan kapasitas atau kemampuan pengelola dan guru dalam pelaksanaan program; (4) ada transparansi keterpaduan visi dan misi program; (5) ada akuntabilitas program, dan (6) ada lembaga yang menjadi mitra kerja pelaksanaan program. Keenam ciri tersebut akan muncul apabila: (1) Sekolah mengetahui akan kebutuhan, keinginan dan harapannya; (2) Sekolah mempunyai kesempatan dan keleluasaan untuk memutuskan keinginan, kebutuhan dan harapannya; (3) Sekolah memahami visi, misi, prinsip, dan tujuan program; (4) Sekolah mengetahui tugas dan perannya; (5) Sekolah mempunyai penggerak baik bersifat individual maupun kelembagaan;
Strategi Manajemen
SBI dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan prakarsa sekolah (demand driven dan bottom up) yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan lokal, nasional, dan internasional. Hal ini harus dituangkan ke dalam Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) yang disusun secara partisipatif oleh pihak sekolah dan komite sekolah, serta pemangku kepentingan pendidikan. Secara umum pengembangan SBI berprinsip pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) plus. Hal ini berarti bahwa pengembangan SBI harus dapat memenuhi SNP, yakni Standar Nasional Pendidikan dan “plus” dalam arti penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, pengadopsian, dan pengadaptasian semua komponen dan kemampuan sekolah dengan berorientasi pada sekolah yang secara internasional telah mendapat pengakuan baik sekolah yang ada didalam negeri maupun di luar negeri. Pengembangan strategi manajemen SBI dilakukan melalui berbagai strategi yang menyangkut bidang kelembagaan, sumber daya manusia, kurikulum dan bahan ajar, sarana dan prasarana, proses belajar mengajar, lingkungan hidup dan budaya sekolah, kelembagaan komite sekolah, publikasi dan hubungan kemitraan dengan masyarakat.
Kelembagaan
Untuk mengembangkan kelembagaan SBI dari fase rintisan sampai fase mandiri ditempuh berbagai strategi sebagai berikut:
a. Melakukan studi banding ke beberapa sekolah bertaraf internasional baik di dalam maupun di luar negeri untuk memperoleh gambaran tentang bagaimana penyelenggaraan kelembagaan sekolah bertaraf internasional
b. Menjalin kemitraan melalui program sister school atau sekolah koalisi dengan sekolah bertaraf internasional baik di dalam maupun di luar negeri. Melalui strategi ini sekolah yang menjadi sister school atau koalisi tersebut secara intensif dan dalam jangka waktu lama dapat membagi pengetahuan dan pengalamannya kepada SBI tentang bagaimana menyelenggarakan sekolah sekolah yang bertaraf internasional.
c. Pendampingan oleh konsultan yang secara intensif mendampingi pengelola SBI Sukabumi dalam merencanakan dan mengimplementasikan program dan kegiatan sekolah.
d. Konsultasi secara berkala dengan pengembang sekolah bertaraf internasional di Dinas Pendidikan Kabupaten dan Direktorat Pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional.
Sumber Daya Manusia
Pengembangan sumber daya manusia meliputi pengembangan manajer, kepala sekolah, guru, staf administrasi, tenaga perpustakaan, pengelola unit fasilitas penunjang (tenaga lab bahasa, lab IPA dan matematika, lab komputer, pengelola GOR dan stadion, kantin sekolah, kolam renang), cleaning service, dan satpam. Pengembangan sumber daya manusia ini dapat ditempuh melalui beberapa strategi berikut:
a. Pendidikan lanjutan, yakni memberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
b. Pendidikan dan pelatihan, fasilitasi dan pendampingan yang dilaksanakan di tingkat gugus, kabupaten, provinsi, nasional, maupun internasional.
c. In house training, yakni melakukan pelatihan di sekolah sendiri dengan menggunakan nara sumber dari dalam sekolah sendiri maupun mendatangkan dari luar.
d. Studi banding, yakni dengan melakukan kunjungan ke sekolah bertaraf internasional baik di dalam maupun di luar negeri untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman langsung.
e. Magang, yakni dengan belajar secara langsung untuk waktu yang cukup lama, misalnya sebagai guru, di sekolah bertaraf internasional baik di dalam maupun di luar negeri.
f. Pendampingan oleh konsultan secara langsung baik dalam perencanaan maupun dalam implementasi program dan kegiatan di sekolah.
g. Pembinaan secara berkala oleh Dinas Penddikan Kabupaten Sukabumi.
Kurikulum dan Bahan Ajar
Pengembangan kurikulum dan bahan ajar bertaraf internasional dilakukan dengan pendampingan dari konsultan dan berkoordinasi dengan Sister School dalam dan luar negeri.
Pemanfaatan Sarana dan Prasarana
a. Sarana dan prasarana SBI secara bertahap telah dibangun dan dikembangkan dengan bantuan dana dari pemerintah pusat dan dana pendamping dari pemerintah daerah. Secara bertahap bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan dikurangi pada fase kemandirian.
b. Partisipasi masyarakat, melalui wadah komite sekolah, perlu diberdayakan untuk mendukung pengelolaan sekolah secara mandiri.
c. Sarana dan prasarana SBI yang sangat lengkap perlu dimanfaatkan secara optimal oleh pihak sekolah.
d. Agar sarana dan prasarana memiliki umur keterpakaian dan kemanfaatan yang panjang maka perlu dilakukan pemeliharaan secara baik.
e. Pemeliharaan sarana dan parasarana pada tahap awal dilakukan oleh Dinas Pendidikan, namun pada tahap selanjutnya menjadi tanggung jawab sekolah dan komite sekolah.
f. Untuk memperoleh pendapatan (income generating) bagi sekolah maka sarana dan prasarana sekolah seperti stadion, gelanggang olah raga, kolam renang, ruang pertemuan, laboratorium, dan sarana lainnya dapat disewakan kepada pihak luar. Pendapatan sekolah ini setidaknya dapat digunakan untuk biaya perawatan sarana dan prasarana.
Proses Belajar Mengajar
Pengembangan proses belajar mengajar diarahkan pada pengembangan PBM yang berbasis ICT dan penerapan active learning. Stategi pengembangan yang dapat ditempuh antara lain:
a. Pendampingan atau fasilitasi dari konsultan dan/atau tenaga pengajar dari Sister School terhadap kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya.
b. Program magang dan/atau pertukaran tenaga pengajar dengan sister school.
Lingkungan Hidup dan Budaya Sekolah
a. Sekolah bekerja sama dengan Sister School dan didampingi konsultan mengembangkan budaya sekolah yang memiliki karakteristik kedisiplinan dan komitmen tinggi semua warga sekolah, full-accessibility dalam proses pelayanan siswa, pengamalan ajaran Islam dalam setiap perilaku sehari-hari, penegakan tata-tertib sekolah secara musyawarah mufakat.
b. Lingkungan sekolah dikembangkan dengan nuansa K-7; kebersihan, ketertiban, kekeserasian, keindahan, keamanan, kedamaian, dan kerindangan.
Pengembangan Komite Sekolah
a. Pendirian komite sekolah harus memperhatikan keterwakilan (representasi) dari berbagai unsur masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh agama, pengusaha, pihak sekolah, dsb). Kepengurusan komite sekolah juga perlu memperhatikan keterwakilan gender.
b. Komite Sekolah harus memiliki program tahunan yang jelas dan melakukan pertemuan secara reguler, sekurang-kurangnya setiap tiga bulan sekali.
c. Komite sekolah sebagai mitra sekolah perlu menciptakan hubungan yang harmonis dengan pihak sekolah, dengan tidak terlalu mendominasi sekolah atau terlalu jauh mengintervensi sekolah.
Komite Sekolah juga harus transparan dalam mengelola keuangan dan bantuan lainnya yang berasal dari masyarakat dan harus dapat mempertanggung jawabkan pelaksanaan program dan penggunaan dana kepada masyarakat.
Pengembangan Publikasi
Pengembangan publikasi dimaksudkan agar di dalam maupun di luar SBI memperoleh informasi yang benar dan aktual tentang kegiatan yang dilakukan oleh sekolah ini. Publikasi juga dimaksudkan agar SBI lebih dikenal oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal, nasional, dan bahkan internasional. Strategi pengembangan publikasi antara lain dapat dilakukan melalui:
a. Pembuatan spanduk/leaflet/pamflet yang berisi berbagai informasi tentang SBI.
b. Penerbitan buletin atau majalah.
c. Publikasi lewat media masa cetak dan elektronik.
d. Pembuatan website.
e. Pameran dan openhouse.
f. Penyelenggaraan kejuaraan olah raga dan seni.
Tahapan Pengembangan Manajemen
Dengan merujuk pada buku panduan system penyelenggaraan SBI dari Depdiknas, serta mempertimbangkan kondisi nyata saat ini; maka rencana pengembangan SBI dirancang melalui 3 tahapan/fase yaitu fase rintisan, fase konsolidasi, dan fase kemandirian.
Fase Rintisan
Pada fase rintisan strategi pengembangan diarahkan pada pengembangan SDM (guru, kepala sekolah, tenaga administrasi dan tenaga pendukung lainnya termasuk komite sekolah). Selain dari pengembangan SDM difokuskan pula pengembangan sarana prasarana sekolah yang memenuhi kriteria SNP termasuk pengembangan program pembelajaran berbasis ICT. Fase rintisan diupayakan berlangsung selama 2 tahun. Mempertimbangkan kondisi saat ini maka selama 2 tahun tahap rintisan SBI masih perlu ditopang dari aspek pembinaan dan dana baik dari pemerintah pusat, propinsi, maupun daerah. Fase rintisan diharapkan rampung selama dua tahun pelajaran.
Fase Konsolidasi
Pada fase ini sarana dan prasarana SBI sudah tuntas dan siap untuk mengantarkan proses pembelajaran. Fase konsolidasi ini merupakan fase pengembangan yang memerlukan waktu maksimal 2 tahun. Pengembangan dimaksudkan untuk memantapkan semua aspek meliputi: (a) pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), (b) pengembangan kurikulum dan bahan ajar, (c) pengembangan proses belajar mengajar, (4) pengembangan lingkungan dan budaya sekolah, dan (5) penguatan peran masyarakat.
Fase konsolidasi memerlukan waktu minimal 2 tahun dan masih perlu didampingi oleh konsultan maupun tim pengembang kabupaten dan Sister School. Dalam menempuh implementasi pengembangan 5 aspek sebagaimana disebutkan di atas peran dukungan secara dominan Pemerintah daerah dalam hal penyediaan dana masih sangat dibutuhkan.
Fase Mandiri
Pada fase mandiri SBI telah memasuki tahun ke-5, maka diharapkan penataan sarana prasarana dan pengembangan SDM telah selesai. Pada fase ini sekolah telah mencapai kemandirian yang kuat dalam semua aspek, sehingga mampu bersaing dalam kualitas dengan sekolah bertarap internasional lainnya.
Kegiatan pembinaan pada fase ini diarahkan pada penguatan dengan menempuh pengawasan melekat serta monitoring dan evaluasi secara rutin dan terjadwal sehingga pelaksanaan program sekolah terpantau secara langsung. Dari hasil waskat maupun monev dijadikan bahan pembinaan dan reinforcement rutin kepada semua warga sekolah. Pada fase ini pula diharapkan segi pendanaan program sekolah telah dapat dilakukan sharing antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah daerah; dan tidak menggantungkan secara penuh pada subsidi pemerintah daerah. Program dan kegiatan pengembangan yang terinci pada setiap fase akan dikembangkan tersendiri pada Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS).
Perbedaan
Dalam membentuk sekolah yang unggul, diperlukan manajemen strategik yang unggul pula. Manajemen strategik adalah suatu cara untuk mengendalikan organisasi, dalam hal ini sekolah secara efektif dan efesien, sampai kepada implikasi garis terdepan, sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai. Sasaran manajemen strategik adalah meningkatkan: (1) Kualitas sekolah; (2) Efisiensi penganggaran; (3) Penggunaan sumberdaya; (4) Kualitas evaluasi program dan pementauan kinerja; serta (5) Kualitas pelaporan. Menurut David dalam Akdon ( 2007 : 79 ), aspek penting dalam manajemen strategik adalah perumusan strategi (Strategy Formulation), implementasi strategi (Strategy Implementation), dan evaluasi strategi (Strategy Evaluation).
Prinsip dalam manajemen strategik adalah adanya perumusan strategi yang mencerminkan keinginan dan tujuan sekolah yang sesungguhnya, adanya implikasi strategi yang menggambarkan cara mencapai tujuan (secara teknis strategi implementasi mencerminkan kemampuan sekolah dan alokasinya termasuk dalam hal ini adalah alokasi keuangan), serta strategi evaluasi yang mampu mengukur, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik kinerja sekolah.
Perumusan strategi sangat penting untuk dilaksanakan karena adanya keterbatasan yang dihadapi oleh suatu sekolah, misalnya keterbatasan dana dan kemampuan jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan yang diinginkan sehingga perlu disusun strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan sekolah sesuai dengan kemampuan sekolah. Kegiatan utama dalam perumusan strategi adalah pembuatan tujuan yang rasional. Rasionalitas ini dalam perkembangannya semakin komplek karena pesatnya perkembangan lingkungan dimana sekolah itu berada. Perkembangan lingkungan ini menuntut organisasi untuk selalu melakukan perubahan kearah perbaikan untuk mempertahankan eksistensinya. Kemampuan internal sekolah dan tuntutan perubahan eksternal merupakan dua komponen utama yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan strategik. Perumusan strategis yang realitas dan up-to-date adalah dua tuntutan yang harus dijawab dalam pembuatannya.
Realitas dalam arti bahwa perencanaan tersebut menunjukkan dengan jelas kemampuan dan tujuan yang akan dicapai dan bagaimana sekolah ingin mencapai tujuan tersebut. Up-to-date dalam arti meskipun strategi ini dibuat dalam jangka waktu tertentu (panjang, menengah, dan pendek), namun selalu efektif dan tepat dengan perkembangan lingkungan (antisipasi terhadap perubahan lingkungan) sehingga mampu memaksimalkan keunggulan kompetetif dan meminimalkan keterbatasan. Dan salah satu cara untuk mewujudkan keberhasilan tersebut adalah dengan adanya penguatan visi, misi, dan tujuan dalam manajemen sekolah tersebut.
Visi
Langkah awal dalam perumusan strategi adalah penetapan visi. Visi merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu . Visi harus dapat memberi kepekaan yang kuat tentang area fokus bisnis. Hal ini lebih lanjut diungkapkan oleh Hax dan Majluf dalam Akdon (2007 : 95), bahwa visi adalah pernyataan yang merupakan sarana untuk:
a. Mengkomunikasikan alasan keberadaan organisasi dalam arti tujuan dan tugas pokok.
b. Memperlihatkan framework hubungan antara organisasi dengan stakeholders (sumber daya manusia organisasi, konsumen/citizen, pihak lain yang terkait).
c. Menyatakan sasaran utama kinerja organisasi dalam arti pertumbuhan dan perkembangan.
Pernyataan visi perlu diekspresikan dengan baik agar mampu menjadi tema yang mempersatukan semua unit dalam sekolah, menjadi media komunikasi dan motivasi semua pihak, serta sebagai sumber kreativitas dan inovasi sekolah.
Kriteria-kriteria pembuatan visi meliputi:
a. Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang ingin diwujudkan.
b. Visi dapat memberikan arahan mendorong anggota organisasi untuk menunjukkan kinerja yang baik.
c. Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan.
d. Gambaran yang realistik dan kredibel dengan masa depan yang menarik.
e. Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya.
Suatu visi akan menjadi realistik, dapat dipercaya, menyakinkan, serta mengandung daya tarik, maka dalam proses pembuatannya perlu melibatkan semua stakeholders. Selain keterlibatan semua pihak, visi perlu secara intensif dikomunikasikan kesemua anggota sekolah sehingga mereka merasa sebagai pemilik visi tersebut. Selain itu visi dibuat dalam kalimat yang singkat agar mudah diingat dan dijadikan komitmen.
Contoh Visi:
MENJADIKAN SMA SEBAGAI SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN TAHUN 2011
Indikator:
a. Unggul dalam disiplin
b. Unggul dalam keagamaan/berakhlak mulia
c. Unggul dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)
d. Unggul dalam perolehan Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah (US) (output)
e. Unggul dalam memenangkan persaingan UMPT (Outcome)
f. Unggul dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja
g. Unggul dalam lomba Olimpiade Sain
h. Unggul dalam Lomba Kreatifitas Siswa
i. Unggul dalam Penguasaan Bahasa Inggris
j. Unggul dalam Penguasaan Teknologi Informasi
Misi
Visi yang telah kita peroleh harus kita terjemahkan kedalam guidelines yang lebih pragmatis dan kongkrit yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan strategi dan aktivitas dalam sekolah. Untuk hal itu dibutuhkan misi. Pernyataan dalam misi lebih tajam dan lebih detail jika dibandingkan dengan visi. Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai oleh organisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa yang akan datang. Pernyataan misi mencerminkan tentang segala sesuatu penjelasan yang akan ditawarkan yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk pencapaian misi.
Pernyataan misi memperlihatkan tugas utama yang harus dilakukan sekolah dalam mencapai tujuan sekolah. Dalam pernyataan misi terkandung definisi yang jelas tentang pekerjaan atau tugas pokok yang diemban suatu sekolah dan yang diinginkan dalam kurun waktu tertentu. Pernyataan misi menunjukkan dengan jelas arti penting eksistensi sekolah, karena misi mewakili alasan dasar untuk berdirinya sekolah. Banyak sekolah gagal karena pernyataan misi yang dirumuskan hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat pelanggan maupun stakeholder. Oleh karena itu, misi harus jelas menyatakan kepedulian organisasi terhadap kepentingan pelanggan.
Pernyataan misi harus:
a. Menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh organisasi dan bidang kegiatan utama dari organisasi yang bersangkutan.
b. Secara eksplisit mengandung apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.
c. Mengandung partisipasi masyarakat luas terhadap perkembangan bidang utama yang digeluti organisasi tersebut.
Pernyataan misi yang jelas akan memberi arahan jangka panjang sehingga memberikan stabilitas manajemen sekolah. Misi berubah apabila kehendak sekolah berubah atau karena adanya validasi langkah/komponen manajemen strategik yang lain. Pernyataan misi mencerminkan tentang segala sesuatu untuk mencapai visi.
Kriteria pembuatan misi meliputi:
a. Penjelasan tentang layanan yang ditawarkan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
b. Harus jelas memiliki sasaran publik yang akan dilayani.
c. Kualitas pelayanan yang ditawarkan memiliki daya saing yang meyakinkan masyarakat.
d. Penjelasan aspirasi layanan yang diinginkan pada masa datang juga manfaat dan keuntungan bagi masyarakat dengan pelayanan yang tersedia.
Contoh Misi:
a. Menerapkan disiplin tinggi dalam segala kegiatan
b. Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan budaya bangsa
c. Menerapkan pelaksanaan evaluasi atau penilaian hasil belajar secara konsisten dan berkesinambungan
d. Mengoptimalkan pembinaan dalam pembuatan karya tulis ilmiah
e. Mengoptimalkan pembinaan secara insentif guna menghadapi persaingan dalam era globalisasi
f. Menerapkan penggunaan bahasa Inggris dalam komunikasi antar warga sekolah
g. Mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi
h. Memanfaatkan lingkungan hidup sebagai media pembelajaran
Tujuan
Dalam kerangka pikir manajemen strategik, tujuan harus merupakan target-target yang bersifat kuantitatif dari suatu sekolah. Pencapaian tujuan merupakan ukuran dari keberhasilan kinerja faktor-faktor kunci keberhasilan suatu sekolah. Oleh karena itu tujuan merupakan bagian integral dalam sistem strategi managemen yang didalamnya mengandung usaha untuk melaksanakan suatu tindakan. Untuk itu tujuan harus menegaskan tentang apa (what) yang secara khusus harus dicapai dan kapan (when). Pencapain tujuan dapat menjadi tolak ukur untuk menilai kinerja sekolah. Tujuan organisasi (sekolah) pada dasarnya untuk jangka panjang yang harus diselesaikan selama waktu itu dan akan mengarahkan kinerja harian sekolah.
Kriteria Tujuan:
a. Tujuan harus serasi dan mengklarifikasikan visi dan misi.
b. Pencapaian tujuan akan dapat memenuhi atau berkontribusi memenuhi misi, program dan sub program sekolah.
c. Tujuan akan menjangkau hasil-hasil penilaian lingkungan internal/eksternal dan yang diprioritaskan serta mungkin dikembangkan dalam merespon isu-isu strategik.
d. Tujuan cenderung tidak berubah kecuali terjadi penggeseran lingkungan atau dalam hal isu strategik hasil yang diinginkan telah tercapai.
e. Tujuan biasanya secara relatif berjangka panjang, yaitu sekurang-kurangnya tiga tahun atau lebih.
f. Tujuan harus mengatasi kesenjangan antara tingkat pelayanan saat ini dengan yang diinginkan.
g. Tujuan mengambarkan hasil program.
h. Tujuan menggambarkan arah yang jelas dari organisasi, program dan sub program, tetapi belum menetapkan ukuran-ukuran spesifik atau strategi.
i. Tujuan harus menantang.
Penguatan Visi, Misi, dan Tujuan dalam Manajemen Sekolah yang Unggul
Sekolah unggul yaitu sekolah yang didasarkan atas keyakinan bahwa
siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu
belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum. Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Jadi dengan kata lain sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu ditunjukkan prestasinya tersebut. Sekolah yang unggul memiliki sejumlah korelat atau ciri sebagai berikut.
Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum
mampu dan memang tidak diberdayakan untuk mampu mengartikulasikan visi
dan misinya. Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang harus ditempuh, yaitu: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang kita hargai, (4) perbanyak unsur yang kita hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.
Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala
sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai
sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai
materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk
berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk
mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah “pemimpin dari pemimpin” bukan “pemimpin dari pengikut.” Artinya selain kepala sekolah adalah pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.
Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.
Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan.
Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.
Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah. Dan juga dengan adanya penguatan visi, misi, dan tujuan dalam manajemen sekolah tersebut agar terwujud sekolah yang unggul.
Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi dalam Strategi Manajemen Pendidikan
Model Pembelajaran Berbasis e-learning dalam Pendidikan
Dunia pendidikan terimbas pula oleh pesatnya perkembangan jagat maya. Sekolah lewat internet menjadi sesuatu hal yang memungkinkan. e-learning, sebuah alternatif media pendidikan yang tidak mengenal ruang dan waktu. Model sekolah lewat internet seharusnya ideal buat negeri kita. Pemanfaatan e-learning tidak terlepas dari jasa internet. Karena teknik pembelajaran yang tersedia di internet begitu lengkap, maka hal ini akan berpengaruhi terhadap tugas guru dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar mengajar didominasi oleh peran guru disebut “the era of teacher”, sementara siswa hanya mendengar penjelasan guru. Kemudian, proses belajar dan mengajar didominasi oleh peran guru dan buku (the era of teacher and book) dan pada saat ini proses belajar dan mengajar didominasi oleh peran guru, buku dan teknologi (the era of teacher, book and technology).
Teknologi internet pada hakekatnya merupakan perkembangan dari teknologi komunikasi generasi sebelumnya. Media seperti radio, televisi, video, multi media, dan media lainnya telah digunakan dan dapat membantu meningkatkan mutu pendidikan. Apalagi media internet yang memiliki sifat interaktif, bisa sebagai media massa dan interpersonal, dan sumber informasi dari berbagai penjuru dunia, sangat dimungkinkan menjadi media pendidikan lebih unggul dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu Khoe Yao Tung (2000) mengatakan bahwa setelah kehadiran guru dalam arti sebenarnya, internet akan menjadi suplemen dan komplemen dalam menjadikan wakil guru yang mewakili sumber belajar yang penting di dunia. Dengan fasilitas yang dimilikinya, internet menurut Onno W. Purbo (1998) paling tidak, ada tiga hal dampak positif penggunaan internet dalam pendidikan yaitu:
a. Peserta didik dapat dengan mudah mengambil mata kuliah dimanapun di seluruh dunia tanpa batas institusi atau batas negara.
b. Peserta didik dapat dengan mudah berguru pada para ahli di bidang yang diminatinya.
c. Kuliah/belajar dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa bergantung pada universitas/sekolah tempat si mahasiswa belajar. Di samping itu saat ini hadir pula perpustakan internet yang lebih dinamis dan bisa digunakan di seluruh jagat raya.
Pendapat ini hampir senada dengan Budi Rahardjo (2002). Menurutnya, manfaat internet bagi pendidikan adalah dapat menjadi akses kepada sumber informasi, akses kepada nara sumber, dan sebagai media kerjasama. Akses kepada sumber informasi yaitu sebagai perpustakaan on-line, sumber literatur, akses hasil-hasil penelitian, dan akses kepada materi kuliah. Akses kepada nara sumber bisa dilakukan komunikasi tanpa harus bertemu secara fisik. Sedangkan sebagai media kerjasama internet bisa menjadi media untuk melakukan penelitian bersama atau membuat semacam makalah bersama. Penelitian di Amerika Serikat tentang pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk keperluan pendidikan diketahui memberikan dampak positif (Pavlik, 1963). Studi lainya dilakukan oleh Center for Applied Special Technology (CAST), “bahwa pemanfaatan internet sebagai media pendidikan menunjukan positif terhadap hasil belajar peserta didik)”.
Walaupun masih banyak kendalanya, terlebih di Indonesia, kesenjangan mutu pendidikan antar-daerah seperti itu setidaknya bisa dijembatani dengan model sekolah lewat internet, e-learning. Syaratnya, mengubah paradigma teaching menjadi learning. Pembelajaran (learning) berbeda dengan pengajaran (teaching). Banyak definisi, redefinisi, atau kutipan mengenai learning. Intinya, belajar itu menyangkut perubahan terhadap diri-sendiri, mengubah perilaku, melakukan discovery (menguak apa yang semula tertutup). Pendeknya, belajar mengubah seseorang menjadi cerdas, bukan sekadar pintar. “Pintar” dan “cerdas” berbeda yang digambarkan dengan: “Smart people know from repetition of others. Intelligent people can figure it out by themselves”.
Profil peserta e-Learning adalah seseorang yang (1) mempunyai motivasi belajar mandiri yang tinggi dan memiliki komitmen untuk belajar secara sungguh-sungguh karena tanggung jawab belajar sepenuhnya berada pada diri peserta belajar itu sendiri (Loftus, 2001), (2) senang belajar dan melakukan kajian-kajian, gemar membaca demi pengembangan diri secara terus-menerus, dan yang menyenangi kebebasan, (3) mengalami kegagalan dalam mata pelajaran tertentu di sekolah konvensional dan membutuhkan penggantinya, atau yang membutuhkan materi pelajaran tertentu yang tidak disajikan oleh sekolah konvensional setempat maupun yang ingin mempercepat kelulusannya sehingga mengambil beberapa mata pelajaran lainnya melalui e-Learning, serta yang terpaksa tidak dapat meninggalkan rumah karena berbagai pertimbangan (Tucker, 2000).
Sedangkan dalam pengajaran guru atau instruktur memberikan waktu, energi, dan usaha untuk menyiapkan murid atau anak didik sesuai dengan tujuan instruksional. Guru memberi, murid menerima. Namun, orang yang diajar oleh guru atau melalui komputer belum tentu belajar, karena hasil belajar mensyaratkan adanya perubahan terhadap diri-sendiri.
Pengembangan pembelajaran berbasis e-learning perlu dirancang secara cermat sesuai tujuan yang diinginkan. Jika kita setuju bahwa e-learning di dalamnya juga termasuk pembelajaran berbasis internet, maka pendapat Haughey (1998) perlu dipertimbangkan dalam pengembangan e-learning. Menurutnya ada tiga kemungkinan dalam pengembangan sistem pembelajaran berbasis internet, yaitu “web course, web centric course, dan web enhanced course”.
“Web course” adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, yang mana peserta didik dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka. Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan, ujian, dan kegiatan pembelajaran lainnya sepenuhnya disampaikan melalui internet. Dengan kata lain model ini menggunakan sistem jarak jauh
“Web centric course” adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar tanpa tatap muka (jarak jauh) dan tatap muka (konvensional). Sebagian materi disampaikan melalui internet, dan sebagian lagi melalui tatap muka. Fungsinya saling melengkapi. Dalam model ini pengajar bisa memberikan petunjuk pada siswa untuk mempelajari materi pelajaran melalui web yang telah dibuatnya. Siswa juga diberikan arahan untuk mencari sumber lain dari situs-situs yang relevan. Dalam tatap muka, peserta didik dan pengajar lebih banyak diskusi tentang temuan materi yang telah dipelajari melalui internet tersebut.
Hasil penelitian yang menguji penggunaan teknologi pembelajaran bagi siswa (dengan mengakses website yang merujuk pada tampilan powerpoint untuk catatan dan persiapan ujian) dan metode belajar yang relatif lebih tradisional (membaca buku teks dan mencatat di kelas dari buku), serta pengaruh strategi belajar terhadap nilai ujian mereka dan kehadiran di kelas, menunjukkan siswa yang digolongkan tinggi pada penggunaan teknologi dan metode belajar tradisional menunjukkan prestasi dan kehadiran yang lebih tinggi daripada siswa yang digolongkan rendah dalam penggunaan kedua metode belajar yang menggunakan teknologi dan metode belajar tradisional. (Kathleen Debevec, 2006).
Model “web enhanced course” adalah pemanfaatan internet untuk menunjang peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk memberikan pengayaan dan komunikasi antara peserta didik dengan pengajar, sesama peserta didik, anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu peran pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet, membimbing mahasiswa mencari dan menemukan situs-situs yang relevan dengan bahan pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati, melayani bimbingan dan komunikasi melalui internet, dan kecakapan lain yang diperlukan.
Pengembangan e-learning tidak semata-mata hanya menyajikan materi pelajaran secara on-line saja, namun harus komunikatif dan menarik. Materi pelajaran didesain seolah peserta didik belajar dihadapan pengajar melalui layar komputer yang dihubungkan melalui jaringan internet. Untuk dapat menghasilkan e-learning yang menarik dan diminati, Onno W. Purbo (2002) mensyaratkan tiga hal yang wajib dipenuhi dalam merancang e-learning, yaitu “sederhana, personal, dan cepat”. Sistem yang sederhana akan memudahkan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi dan menu yang ada , dengan kemudahan pada panel yang disediakan, akan mengurangi pengenalan sistem e-learning itu sendiri, sehingga waktu belajar peserta dapat diefisienkan untuk proses belajar itu sendiri dan bukan pada belajar menggunakan sistem e-learning-nya.
Syarat personal berarti pengajar dapat berinteraksi dengan baik seperti layaknya seorang guru yang berkomunikasi dengan murid di depan kelas. Dengan pendekatan dan interaksi yang lebih personal, peserta didik diperhatikan kemajuannya, serta dibantu segala persoalan yang dihadapinya. Hal ini akan membuat peserta didik betah berlama-lama di depan layar komputernya. Kemudian layanan ini ditunjang dengan kecepatan, respon yang cepat terhadap keluhan dan kebutuhan peserta didik lainnya. Dengan demikian perbaikan pembelajaran dapat dilakukan secepat mungkin oleh pengajar atau pengelola.
Secara ringkas, e-learning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam sistem digital melalui internet. Oleh karena itu e-learning perlu mengadaptasi unsur-unsur yang biasa dilakukan dalam sistem pembelajaran konvensional. Misalnya dimulai dari perumusan tujuan yang operasional dan dapat diukur, ada persepsi atau pre test, membangkitkan motivasi, menggunakan bahasa yang komunikatif, uraian materi yang jelas, contoh-contoh kongkrit, problem solving, tanya jawab, diskusi, post test, sampai penugasan dan kegiatan tindak lanjutnya. Oleh karena itu merancang e-learning perlu melibatkan pihak terkait, antara lain: pengajar, ahli materi, ahli komunikasi, programmer, seniman, dan sebagainya.
Peranan E-Learning Pada Strategi Manajemen Pendidikan
Observasi para ahli sebagaimana telah dikemukakan di atas mengisyaratkan bahwa pendidikan di masa depan cenderung menjadi multidisipliner, jaringan yang terpadu, terkait pada produktivitas tepat waktu, pluralistik, lebih dialogis/sinkronis,lebih terbuka dan mudah diakses serta lebih bersaing secara alami. Pada tahun 1989, Bishop G. telah meramalkan bahwa pendidikan di masa depan cenderung menjadi luwes, terbuka, beraneka ragam, terjangkau oleh siapapun yang ingin belajar tanpa mengenal usia, jenis kelamin, pengalaman belajar sebelumnya, dan sebagainya.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi yang baru, model penyampaian melalui banyak jalur berbasis multimedia terus berkembang sebagai suatu alat yang sangat handal. Kemampuan untuk menggabungkan teks, diagram, dan gambar dengan video dan suara sangat menunjang kemampuan mentransmisikan informasi yang bermakna dan pembangunan teknologi yang bersifat maya (virtual), dapat meningkatkan efektivitas pendekatan tersebut, bahkan lebih dari itu. Banyak siswa, bahkan sekalipun mereka belum mengerti betul komputer berharap memperoleh kemudahan dengan materi tersebut.
Internet memiliki potensi luar biasa sepanjang infrastruktur sistem telepon yang ada dapat diandalkan disertai peralatan yang telah tersedia, yang telah mendorong orang untuk menyadarinya dan telah dilatih untuk penggunaannya. Bila hal ini dilihat sebagai suatu jawaban yang menyeluruh terhadap masalah-masalah pendidikan massa, maka kenyataan yang ada seperti ini sering diabaikan. Namun akan menjadi sangat bermakna jika dipandang sebagai sistem yang diterpkan secara bertahap dan kumulatif, di mana infrastruktur yang telah tersedia digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang jelas dan khusus.
Rosenberg (2001) menekankan bahwa e-learning merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Bahkan Onno W. Purbo (2002) menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet.
Secara lebih rinci Rosenberg (2001) mengkategorikan tiga kriteria dasar yang ada dalam e-learning, yaitu:
a. E-learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi. Persyaratan ini sangatlah penting dalam e-learning, sehingga Rosenberg menyebutnya sebagai persyaratan absolut.
b. E-learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan standar teknologi internet. CD ROM, Web TV, Web Cell Phones, pagers, dan alat bantu digital personal lainnya walaupun bisa menyiapkan pesan pembelajaran tetapi tidak bisa digolongkan sebagai e-learning.
c. E-learning terfokus pada pandangan pembelajaran yang paling luas, solusi pembelajaran yang menggungguli paradigma tradisional dalam pelatihan.
Uraian di atas menunjukan bahwa sebagai dasar dari e-learning adalah pemanfaatan teknologi internet. e-learning merupakan bentuk pembelajaran konvensional yang dituangkan dalam format digital melalui teknologi internet. Oleh karena itu e-learning dapat digunakan dalam sistem pendidikan jarak jauh dan juga sistem pendidikan konvensional. Dalam pendidikan konvensional fungsi e-learning bukan untuk mengganti, melainkan memperkuat model pembelajaran konvensional. Dalam hal ini Cisco (2001) menjelaskan filosofis e-learning sebagai berikut:
a. E-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line.
b. E-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi.
c. E-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan.
Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar conten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.
Guru atau instruktur dapat menugaskan peserta didik untuk bekerja dalam beberapa kelompok untuk mengembangkan dan mempresentasikan tugas yang diberikan. Peserta didik yang menggarap tugas kelompok ini dapat bekerjasama melalui fasilitas homepage atau web. Selain itu, peserta didik sendiri dapat saling berkontribusi secara individual atau melalui diskusi kelompok dengan menggunakan e-mail (Website kudos, 2002).
Concord Consortium (2002) (http://www.govhs.org/) mengemukakan bahwa pengalaman belajar melalui media elektronik semakin diperkaya ketika peserta didik dapat merasakan bahwa mereka masing-masing adalah bagian dari suatu masyarakat peserta didik, yang berada dalam suatu lingkungan bersama. Dengan mengembangkan suatu komunitas dan hidup di dalamnya, peserta didik menjadi tidak lagi merasakan terisolasi di dalam media elektronik. Bahkan, mereka bekerja saling bahu-membahu untuk mendukung satu sama lain demi keberhasilan kelompok.
Lebih jauh dikemukakan bahwa di dalam kegiatan e-Learning, para guru dan peserta belajar mengungkapkan bahwa mereka justru lebih banyak mengenal satu sama lainnya. Para peserta belajar sendiri mengakui bahwa mereka lebih mengenal para gurunya yang membina mereka belajar melalui kegiatan e-Learning. Di samping itu, para guru e-Learning ini juga aktif melakukan pembicaraan (komunikasi) dengan orangtua peserta didik melalui telepon dan email karena para orangtua ini merupakan mitra kerja dalam kegiatan e-Learning. Demikian juga halnya dengan komunikasi antara sesama para peserta e-Learning.
Pada dasarnya cara penyampaian atau cara pemberian (delivery system) dari e-learning, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. One way communication (komunikasi satu arah); dan
b. Two way communication (komunikasi dua arah).
Komunikasi atau interaksi antara guru dan murid memang sebaiknya melalui sistem dua arah. Dalam e-learning, sistem dua arah ini juga bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Dilaksanakan melalui cara langsung (synchronous). Artinya pada saat instruktur memberikan pelajaran, murid dapat langsung mendengarkan; dan
b. Dilaksanakan melalaui cara tidak langsung (a-synchronous). Misalnya pesan dari instruktur direkam dahulu sebelum digunakan.
Paradigma masa depan di dalam kecenderungan yang menyeluruh (Roll, R. 1997) adalah sebuah dorongan pasar multimedia. Dampak kuat dari lahirnya globalisasi akan menghasilkan perubahan dalam Strategi Manajemen pendidikan dan pelatihan. Untuk itulah diperlukan ilmu pendidikan dan metode-metode pembelajaran yang baru. Struktur ketrampilan kejuruan dan pengetahuan mengalami perubahan guna mendukung kegiatan belajar seumur hidup dan belajar berkelanjutan yang berfungsi untuk mempersiapkan para pekerja memenuhi tuntutan atau kepentingan industri. Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan Roll adalah “Teknologi tinggi hendaknya untuk menjangkau yang tidak terjangkau, dan ketepatan teknologi tinggi adalah apabila infrastrukturnya digunakan secara bijak. Dengan keadaan yang demikianlah, belajar jarak jauh dan pendidikan terbuka/jarak jauh akan menjadi pelopor memasuki dekade baru”.
Kebijakan E-learning Perguruan Tinggi dalam Strategi Manajemen Pendidikan
Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Menurut Hoogerwerf (1988, 66) pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. James E. Anderson (1978, 33), memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who, where, dan how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut; isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan. Disamping kesimpulan tentang pengertian kebijakan dimaksud, pada dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan pemerintah serta perilaku negara pada umumnya (Charles O. Jones, 1991:166)
Dari definisi ini, maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu kebijakan publik adalah juga kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah (James E. Anderson, 1979:3). Implikasi pengertian dari pandangan ini adalah bahwa kebijakan publik :
a. Lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang kebetulan;
b. Pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling terkait;
c. Bersangkutan dengan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dalam bidang tertentu atau bahkan merupakan apa yang pemerintah maksud atau melakukan sesuatu atau menyatakan melakukan sesuatu;
d. Bisa bersifat positif yang berarti merupakan beberapa bentuk tindakan (langkah) pemerintah mengenai masalah tertentu, dan bersifat negatip yang berarti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;
e. Kebijakan publik setidak-tidaknya dalam arti positip didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan/undang-undang yang bersifat memaksa (otoratif).
Dalam studi kebijakan publik, perlu dilakukan implementasi kebijakan yang bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan.
Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi kebijakan adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Charles O. Jones (1991), dimana implementasi diartikan sebagai “getting the job done” dan “doing it”. Tetapi di balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun pelaksanaannya, menurut Jones, menuntut adanya syarat yang antara lain: adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources, Lebih lanjut Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan.
Hal ini dikemukakan berdasarkan pada kenyataan bahwa proses implementasi ini akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu. Dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan, relatif tinggi. Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa keberhasilan impelementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh bernagai variabel atau faktor yang pada gilrannya akan mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri.
Untuk itulah dibutuhkan Analisis Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi sehingga perlu dilakukan suatu kajian untuk mereview terhadap kebijakan tersebut. Mengetahui seberapa baik kebijakan yang dipilih dapat membantu tercapainya tujuan dan untuk mengetahui apakah terdapat dampak-dampak lainnya yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Dan juga untuk mengetahui masalah apa yang ingin diselesaikan oleh pemerintah, seberapa jauh tingkat keberhasilan kebijakan tersebut dalam memecahkan masalah (mencapai sasaran), serta apakah kebijakan tersebut mengakibatkan dampak lain yang tidak diinginkan, tidak diperhitungkan sebelumnya, atau yang merupakan ancaman risiko bagi pemerintah
William N. Dunn (2008) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): “The product of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy decision”. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan
Setelah masalah kebijakan diformulasikan, maka kini saatnya masalah tersebut dicarikan solusi berupa kebijakan publik apa yang akan diambil. Dalam proses desain kebijakan tersebut terdapat tujuh tahap sebagai berikut:
a. Tahap pengkajian persoalan. Tahap ini bertujuan untuk menemukan dan memahami hakikat permasalahan yang berhasil diidentifikasi yang dihadapi oleh organisasi; merumuskan masalah yang dihadapi organisasi serta menunjukkan hubungan kausal dari permasalahan yang berhasil diidentifikasi.
b. Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan. Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan diperlukan sebagai dasar pijakan dalam merumuskan alternatif intervensi yang diperlukan serta menjadi pijakan standar penilaian apakah langkah intervensi tersebut bisa disebut “gagal” atau “berhasil”.
c. Penyusunan model. Beberapa alternatif kebijakan intervensi dituangkan dalam bentuk hubungan kausalitas antar masalah yang dihadapi organisasi dan dirumuskan secara sederhana. Hubungan kausalitas ini disebut sebagai model. Model tersebut bisa berupa diagram alur (flow chart) maupun diagram panah (arrow chart). Tujuan penyusunan model tersebut dimaksudkan untuk memudahkan analisis sekaligus memilih alternatif kebijakan intervensi mana yang harus dipilih.
d. Perumusan alternatif kebijakan. Alternatif kebijakan merupakan sejumlah alat dan cara yang dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan baik secara langsung atau tidak. Rumusan alternatif tersebut diawali dengan penjelasan kerangka logika yang terkait dengan berbagai kemungkinan yang muncul dalam kerangka intervensi masalah. Kemungkinan tersebut berdampak baik positif maupun negatif. Setelah alternatif diidentifikasi, maka tiba saatnya untuk memilih alternatif yang paling berpeluang untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan sebelumnya.
e. Penentuan kriteria pemilihan alternatif kebijakan. Kriteria dan parameter yang bisa dimanfaatkan untuk memilih alternatif kebijakan antara lain adalah a) technical feasibility, yang menekankan pada aspek efektifitas langkah intervensi dalam mencapai tujuan dan sasaran; b) economic and financial feasibility, yang menekankan aspek efisiensi yakni biaya dan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan teknik cost and benefit analysis; c) political viability, yang melihat dampak politik yang ditimbulkan berupa tingkat aksebilitas (acceptability), kecocokan dengan nilai masyarakat (appropriateness), responsifitas (responsiveness), kesesuaian dengan perundangan (legal suitability), serta pemerataan (equity); d) administrative operability yang melihat dari dimensi otoritas instansi pelaksana, komitmen kelembagaan, kapabilitas staf dan dana serta dukungan organisasi.
f. Penilaian alternatif kebijakan. Melalui penilaian ini akan ditemukan alternatif intervensi yang paling efektif, efisien, dan visibel dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu alternatif intervensi yang dipilih paling tidak harus yang efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran, yang paling efisien dalam sisi biaya dan keuntungan, yang paling bisa diterima oleh stakeholder, dan secara kelembagaan dapat dilaksanakan serta memenuhi syarat administratif. Selain itu perlu dipertimbangkan aspek etika dan filsafat sehingga alternatif tersebut tidak melanggar nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
g. Perumusan rekomendasi kebijakan. Rekomendasi kebijakan dibuat berdasar perolehan skor beberapa alternatif intervensi, dimana alternatif ini dinilai visibel untuk mencapai tujuan dan sasaran, memakan biaya yang optimal dengan keuntungan maksimal, diterima oleh seluruh pemangku kepentingan serta sesuai dengan etika dan nilai yang berlaku dalam masyarakat dan peraturan perundangan, dan secara kelembagaan bisa dilaksanakan. Selian itu, alternatif intervensi tersebut juga dipertimbangkan secara lebih komprehensif, holistik, integratif serta prospektif sebelum dipilih. Setelah itu, alternatif intervensi yang direkomendasikan ditetapkan dan disahkan sehingga memiliki kekuatan hukum.
Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi Saat Ini
Kebijakan perihal e-learning pada Rencana Strategis Pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014 sebagai bagian Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing disebutkan sebagai berikut: “Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan ICT dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan ICT untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan pembelajaran secara elektronik (e-learning). Hingga tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah (a) merancang sistem jaringan yang mencakup jaringan internet, yang menghubungkan sekolah-sekolah dengan pusat data dan aplikasi, serta jaringan intranet sebagai sarana dan media komunikasi, dan informasi intern sekolah; (b) merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan, manajemen persekolahan, konten-konten pembelajaran; (c) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web, multimedia interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool; (d) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan; dan (e) mengimplementasikan pemanfaatan TIK secara bertahap untuk memudahkan manajemen pendidikan pada SMP dan sekaligus untuk mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia”. Pada bagian lain disebutkan pula usaha-usaha yang yang telah dilakukan sebagai berikut: “Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan TIK dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan TIK untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan e-Learning. Hingga tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah (a) merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan, manajemen persekolahan, muatan (content) pembelajaran; (b) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web, multimedia interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool; (c) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan; dan (d) mengimplementasikan pemanfaatan TIK secara bertahap untuk memudahkan manajemen pendidikan pada SMA dan SMK dan sekaligus untuk mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia.”
Khusus untuk perguruan tinggi, kebijakan e-learning sesuai Rencana Strategis Pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014 adalah: “Pengembangan pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, dengan proyek percontohan pada beberapa perguruan tinggi dan pusat pelatihan hingga tahun 2009, yaitu ITB, ITS, UGM, IPB, UI, UNRI, UNDANA, UNHAS, PENS, dan POLMAL. Diseminasi proyek ini akan dikembangkan pada UNLAM, UM, UNY, UNP, UNHALU, UNCEN dan PT-PT lainnya.” Sedangkan target yang ditetapkan adalah: “ICT literacy (kemampuan akses, memanfaatkan dan menggunakan radio, televisi, komputer dan internet) 80% untuk kalangan mahasiswa dan dosen” dengan Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik di bidang: “Peningkatan kapasitas satuan perguruan tinggi dilakukan melalui berbagai program hibah kompetisi yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti program hibah kompetisi, program kemitraan, hibah penelitian, pusat pengembangan pendidikan dan aktivitas instruksional (P3AI). Peningkatan kapasitas pengelolaan juga akan ditunjang dengan penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), seperti pengembangan sistem informasi pendidikan tinggi”.
Adapun secara operasional kebijakan e-learning dituangkan pada dokumen akreditasi (BUKU IIIB) point 6.4.1 (Sistem Informasi) sebagai berikut: “Jelaskan sistem informasi manajemen dan fasilitas ICT (Information and Communication Technology) yang digunakan Fakultas/Sekolah Tinggi untuk proses penyelenggaraan akademik dan administrasi (misalkan SIAKAD, SIMKEU, SIMAWA, SIMFA, SIMPEG dan sejenisnya), termasuk distance/e-learning. Jelaskan pemanfaatannya dalam proses pengambilan keputusan dalam pengembangan institusi.” Pada BUKU VI-MATRIKS PENILAIAN INSTRUMEN AKREDITASI PROGRAM STUDI SARJANA juga secara mendetail dijelaskan kebijakan “Akses dan pendayagunaan sistem informasi dalam pengelolaan data dan informasi tentang penyelenggaraan program akademik di program studi”, termasuk juga e-learning, yang bisa dilihat pada tabel berikut ini:
Proposal Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi Masa Datang
Pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Berbagai kritik (Bullen, 2001, Beam, 1997), antara lain dapat disebutkan sbb:
a. Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar;
b. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial;
c. Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan;
d. Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT
e. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal;
f. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer);
g. Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki ketrampilan soal-soal internet; dan
h. Kurangnya penguasaan bahasa komputer.
Dari hal di atas penyusun menyarankan Proposal Kebijakan E-learning pada Perguruan Tinggi Masa Datang memakai kerangka kerja (framework) dari Gellman-Danley and Fetzner (1998) sebagai beikut:
Policy Area Key Issues
Academic Calendar, Course integrity, Transferability, Transcripts, Student/Course evaluation, Admission standards, Curriculum/Course approval, Accreditation, Class cancellations , Course/Program/Degree availability, Recruiting/Marketing
Governance/Administration/
Fiscal Tuition rate, Technology fee, FTE’s, Administration cost, State fiscal regulations, Tuition disbursement, Space, Single versus multiple board oversight, Staffing
Faculty Compensation and workload, Development incentives, Faculty training, Congruence with existing union contracts, Class monitoring, Faculty support, Faculty evaluation
Legal Intellectual property, Faculty, Student and institutional liability
Student Support Services Advisement, Counseling, Library access, Materials delivery, Student training, Test proctoring, Videotaping, Computer accounts, Registration, Financial aid, Labs
Technical Systems reliability, Connectivity/access, Hardware/software, Setup concerns, Infrastructure, Technical support (staffing), Scheduling, Costs
Cultural Adoption of innovations, Acceptance of on-line/distance teaching, Understanding of distance education (what works at a distance), Organizational values
Sedangkan “Policy Analysis Framework” untuk hirarki kebijakannya dapat menggunakan model sebagai berikut:
Policy Area Description
Faculty (including Continuing Education and Cooperative Extension) Rewards (e.g., stipends, promotion and tenure, merit increases, etc.); Support (e.g., student help, technical assistance, training, etc.); Opportunities to learn about technology and new applications (e.g., release time, training, etc.); Intellectual property (e.g. ownership of materials, copyright, etc.)
Students/Participants Support (e.g., access to technology, library resources, registration, advising, financial aid, etc.); Requirements and records (e.g., residency requirements, acceptance of courses from other places, transfer of credit, continuing education, etc.)
Management and Organization Tuition and fee structure; Funding formula; Collaboration (e.g., with other Departments, units, institutions, consortia, intra-and inter-institutional, service areas, etc.); Resources (e.g., financial resources to support distance education, equipment, new technologies, etc.); Curricula/individual courses (e.g., delivery modes, course/program selection, plans to develop, individual sequences, course development, entire program delivery, interactivity requirements, test requirements, contact hour definitions, etc.)
Sumber:
Cisco, (2001). e-Learning: Combines Communication, Education, Information, and Training. http://ww.cisco.com/warp/public/10/wwtraining/elearning.
Cuban, L. (1996). Techno-reformers and classroom teachers, Educational Week on the Web. http://www.edweek.org/ew/vol-16/o6cuban (Nopember 2000).
Hartanto, A.A. dan Purbo, O.W. (2002), Teknologi e-Learning Berbasis PHP dan MySQL, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Jatmiko, R. (1997), Enhancing Learning Experiences through the Use of Internet. Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20 November 1997.
Koran, Jaya Kumar C. (2002), Aplikasi E-Learning dalam Pengajaran dan pembelajaran di Sekolah Malasyia. (8 November 2002).
www.moe.edu.my/smartshool/neweb/Seminar/kkerja8.htm.
Lawanto, Oemardi. (2000). Pembelajaran Berbasis Web sebagai Metoda Komplemen Kegiatan pendidikan dan Pelatihan. Makalah Video Conference; Bandung-Suarabaya: Depdiknas.
Mason Robin. 1994 Using Communications Media in Open and Fleksible Learning. London: Kogan PageLtd.
Mukhopadhyay, M. (1995) “Shifting Paradigms in Open ang distance Education (Paper Presented before the IDLN Fisrt International Symposium in Yogyakarta). Jakarta IDLN-Pustekkom.
Purbo, Onno W. dan Antonius AH. (2002). Teknologi e-Learning Berbasis PHP dan MySQL: Merencanakan dan Mengimplementasikan Sistem e-Learning. Jakarta: Gramedia.
Purbo, Onno W. (2001) Masyarakat Pengguna Internet di Indonesia. Available, http://www.geocities.com/inrecent/project.html. (4 November 2002).
Pavlik, John V. (1996). New Media Technology. Cultur and Commercial Perspectives. Singapore: Allyn and Bacon.
Rahardjo, Budi. (2001). Pergolakan Informasi di Indonesia akan Sia-sia?. Artikel Majalah Tempo. Jakarta: November 2001.
Romiszowski, Alexander J. and Robin Mason. (1996) Computer Mediated Communication in Handbook of Research for Educational Communications Technology. New York: AECT, Macmillan Library Reference USA.
Roll Reider (1997) SEAMOLEC_IDLN Regional Symposium on Future Vision: Distance Education and Open Learnin. Bali Pustekkom.
Robinson, ET. (2001). Knowlarge as Commodity: How do e-commerce a e-learning Relate. Available, http://www.elearningmag.co
Rosenberg, Marc J. (2001), e-Learning; Strategies for Delivering Knowledge in the Digital. New York: McGraw Hill.
Tung, Khoe Yao. (2000). Pendidikan dan Riset di Internet. Jakarta: Dinastindo.
Soekartawi (2002b), e-Learning: Konsep dan Aplikasinya. Bahan-Ceramah/Makalah disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Soekartawi (2002c), The Role of Regional Organization for Mass Education. Invited paper presented at the International Conference on Lifelong Learning organized by Asian European Institute, Kuala Lumpur, 13-15 May 2002.
Soekartawi (2003). Prinsip Dasar e-Learning: Teori dan Aplikasinya di Indosnesia. Jurnal Teknodik Edisi 12.
Beam, P. (1997), Breaking the Sprinter’s Wrist: Achieving Cost-Effectiveness in Online Learning. Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning, organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO Tuban, Bali, Indonesia.
Bullen, M. (2001), e-learning and the Internationalization Education, Malaysian Journal of Educational Technology 1(1), 37-46.
Elangovan, T. (1997), Internet Based On-line Teaching Application with Learning Space. Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20 November 1997.
Hartanto, A.A. dan Purbo, O.W. (2002), Teknologi e-learning Berbasis PHP dan MySQL, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Hashim, Y. and Razmah. Bt. Man (2001), An Overview of Instructional Design and Development Models for Electronic Instruction and Learning, Malaysian Journal of Educational Technology 1(1), 1-7.
Ishaq, A. (2001), On the Global Digital Divide, Finance and Development, September 2001, 44-7.
Mulvihill, R.P. (1997), Technology Application to Distance Education. Paper presented at the International Symposium on Distance Education and Open Learning organized by MONE Indonesia, IDLN, SEAMOLEC, ICDE, UNDP and UNESCO, Tuban, Bali, Indonesia, 17-20 November 1997.
Munaf, D.R. (2001), Cultural Threats on Development of ICT as a Tool for Open and Distance Learning. Speech delivered at the 7th International Symposium on Distance Education and Open Learning at Yogyakarta, November 2001.
Soekartawi (1995), Monitoring dan Evaluasi Proyek Pendidikan, PT Rajawali Press, Jakarta.
Soekartawi (2002a). Prospek Pembelajaran Melalui Internet. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ‘Teknologi Kependidikan’ yang diselenggarakan oleh UT-Pustekkom dan IPTPI, Jakarta, 18-19 Juli 2002.
Soekartawi (2002b), e-learning: Konsep dan Aplikasinya. Bahan-Ceramah/Makalah disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Soekartawi (2002c), The Role of Regional Organization for Mass Education. Invited paper presented at the International Conference on Lifelong Learning organized by Asian European Institute, Kuala Lumpur, 13-15 May 2002.
Soekartawi (2003). Prospects and Challenges e-learning: A Review. Makalah disampaikan di seminar internasional di UPSI, Tanjong Malim, 24-25 September 2003.
Soekartawi, A. Haryono dan F. Librero (2002), Greater Learning Opportunities Through Distance Education: Experiences in Indonesia and the Philippines. Southeast Journal of Education (December 2002)
Soekartawi, Suhardjono, T. Hartono dan A. Ansjarullah (1999), Rancangan Instruksional, PT Rajawali Press, Jakarta.
Soekartawi (2003). E-learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Makalah disampaikan di seminar nasional di Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari 2003.
Williams, B. (1999). The Internet for Teachers. IDG Books Worldwide.Inc., New York.
Departemen Pendidikan Nasional (2008). Rencana Strategis Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) 2009-2014
Badan akreditasi nasional perguruan tinggi, (2008). Buku borang institusi yang diisi oleh fakultas/sekolah tinggi.
Badan akreditasi nasional perguruan tinggi, (2008). Buku vi-matriks penilaian instrumen akreditasi program studi sarjana.
Bates, A.W. 2000. Managing Technological Change. San Francisco: Jossey-Bass.
Berge, Z.L. 1998. Barriers to Online Teaching in Post-Secondary Institutions: Can Policy Changes Fix It? Online Journal of Distance Learning Administration. 1(2).(2/24/99)
Davenport, T.H. 1997. Information Ecology. New York: Oxford.
Epper, R.M. 1999. Excerpts from State Policies for Distance Education; A Survey of the States. State Higher Education Executive Officers (SHEEO). (http://www.sheeo.org/sheeo/pubs-excerpts-from-technology-survey.html). (3/31/99)
Frantz. G. and King, J.W. 2000. The Distance Education Learning systems Model (DEL). Educational Technology. 40(3): 33-40.
Freeman, R. 1997. Managing Open Systems. London: Kogan.
Gellman-Danley, B. and Fetzner, M.J. 1998. Asking the Really Tough Questions: Policy Issues for Distance Learning. Online Journal of Distance Learning Administration. 1(1). ( (2/24/99)
Gustafson, K.L. and Branch, R. M. 1997. Survey of Instructional Development Models. Syracuse Univ., Syracuse, NY: Clearinghouse on Information and Technology.
Iansiti, M. and MacCormack, A. 1997 (Sept.-Oct.). Developing Products on Internet Time. Harvard Business Review.108-117.
King, J.W., Lacy,D., McMillian, J., Bartels, K. and Freddolino, M. 1998. The Policy Perspective in Distance Education: A Futures Landscape/Panorama. Invited paper presented at the 1998 Nebraska Distance Education Conference. Lincoln, NE (September 28-29, 1998) ( (2/24/99)
King, J.W., Nugent, G.C., Russell, E. B., and Lacy, D. 1999. Distance Education Policy in Post-Secondary Education: Nebraska as a Case Study. In Proceedings: 15th Annual Conference on Distance Teaching and Learning. University of Wisconsin, Madision. 275-281.
McLendon, E. and Cronk, P. 1999. Rethinking Academic Management Practices: A case of meeting new challenges in online delivery. Online Journal of Distance Learning Administration. 2(1).http:www.westga.edu/distance/mclendon21.html) (5/25/99)
Nardi, B.A. and O’Day, V.L. 1999. Information Ecologies. Cambridge, MA: MIT.
Rocheleau, B. 1996 (Fall). Structures, Plans, and Policies: Do they make a difference? An initial assessment. CAUSE/EFFECT. 35-39.
Strauss, R. 1997. Managing Multimedia Projects. Boston: Focal.
Model-Model Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan
Dalam dunia bisnis, pendidikan termasuk dalam suatu organisasi atau perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Bisnis jasa sangat kompleks, karena banyak elemen yang mempengaruhinya, seperti system internal organisasi, lingkungan fisik, kontak personal, iklan, tagihan dan pembayaran, komentar dari mulut ke mulut dan sebagainya. Oleh karena itu Gronroos menegaskan bahwa pemasaran jasa tidak hanya membutuhkan pemasaran eksternal, tetapi juga pemasaran internal dan pemasaran interaktif. Dan begitu dalam strategi pemasaran pendidikan haruslan menerapkan tiga model pemasaran jasa yang diungkapkan oleh Gronroos (Alam, 1995:34) tersebut dengan tujuan agar terjadi keserasian dan bisa mencegah terjadinya kesalah pahaman antar komponen fungsi menajemen dalam pendidikan tersebut. Model-model tersebut yaitu:
Pemasaran Eksternal
Pemasaran eksternal menggambarkan aktivitas normal yang dilakukan oleh organisasi pendidikan dalam mempersiapkan produk, menetapkan harga, melakukan distribusi informasi dan mempromosikan produk jasa yang bernilai superior kepada para pelanggan dalah hal ini wali murid. Bila ini bisa dilakukan dengan baik, maka para wali murid sebagai pelanggan akan terikat dengan organisasi, sehingga keuntungan jangka panjang bisa terjamin.
Pemasaran Internal
Pemasaran internal menggambarkan tugas yang diemban organisasi dalam rangka melatih dan memotivasi para guru, karyawan dan para murid sebagai asset utama organisasi agar dapat melayani para pelanggan dengan baik. Yang tak kalah pentingnya adalah pemberian penghargaan atau reward dan pengakuan yang sepadan dan manusiawi. Aspek ini membangkitkan motivasi, moral kerja, rasa bangga, loyalitas, dan rasa memiliki setiap orang dalam organisasi, yang pada gilirannya dapat memerikan kontribusi besar bagi organisasi dan bagi pelanggan yang dilayani.
Pemasaran Interaktif
Pemasaran interaktif menggambarkan interaksi antara pelanggan dalam hal ini para wali murid dengan para karyawan (guru dan staff) dan juga dengan pemimpin organisasi (kepala sekolah). Diharapkan stiap sumber daya manusiawi organisasi yang loyal, bermotivasi tinggi, dan diberdayakan (empowered) dapat memberikan Total Quality Service kepada setiap pelanggan dan calon pelanggan. Bila ini terealisasi, maka pelanggan yang puas akan menjalin hubungan berkesinambungan dengan personil dan organisasi yang bersangkutan, dan bahkan bisa menjadi sarana dan media pemasaran organisasi. (Akdon, 2006:89)
Macam-macam Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan
Produk
Produk merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar bersangkutan. Produk yang ditawarkan tersebut meliputi barang fisik, jasa, organisasi, dan ide. Jadi, produk bisa berupa manfaat tangible maupun manfaat intangible yang dapat memuaskan pelanggan. Seperti dalam gambar di bawah ini:
Pemenuhan Kebutuhan
Proses Pertukaran
(David, 1982:145)
Harga (Biaya Pendidikan)
Agar dapat sukses dalam memasarkan suatu produk, organisasi pendidikan harus menetapkan harga/biaya pendidikan secara tepat. Harga merupakan satu-satunya unsur pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi institusi pendidikan, sedangkan ketiga unsur lainnya (produk, distribusi informasi, dan promosi) menyebabkan timbulnya biaya (pengeluaran). Disamping itu merupakan unsur pemasaran yang bersifat fleksibel, artinya dapat diubah dengan cepat. Berbeda halnya dengan karakteristik produk atau komitmen terhadap system distribusi informasi. Harga dalam dunia pendidikan bisa diungkapkan dengan berbagai istilah. Misalnya iuran SPP, komisi, gaji, honorarium dan sebagainya. dalam pandangan konsumen, harga seringkali digunakan sebagai indicator nilai bilamana harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu produk.
Strategi Distribusi Informasi
Strategi distribusi informasi berkenaan dengan penentuan dan manajemen saluran distribusi dipergunakan oleh organisasi atau produsen untuk memasarkan produk-produknya sehingga produk-produk tersebut dapat sampai ditangan konsumen yang menjadi sasaran dalam jumlah dan jenis yang dibutuhkan pada waktu yang diperulukan, dan tempat yang tepat. Berikut beberapa strategi distribusi yang bisa digunakan antara lain:
Strategi Saluran Distribusi Berganda
Saluran distribusi yang berbeda mungkin dibutuhkan untuk mencapai segemen-segmen pelanggan yang berbeda dalam pasar yang luas. Oleh karena itu beberapa perusahaan menerapkan strategi saluran distribusi berganda (multiple channel strategy) yaitu penggunaan lebih dari satu saluran yang berbeda untuk melayani beberapa segemen pelanggan. Tujuannya dalah untuk memperoleh akses yang optimal pada setiap segemen pelanggan. Dengan menerapkan strategi ini institusi pendidikan dapat meningkatkan cakupan pasar, menurukan biaya saluran dan lebih menyeragamkan penjualan.
Strategi Modifikasi Saluran Distribusi
Strategi modifikasi saluran distribusi (channel modification strategy) adalah strategi mengubah susunan saluran distribusi yang ada berdasarkan evaluasi dan peninjauan ulang. System distribusi memang perlu secara terus-menerus ditinjau dan diatur kembali untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan di pasar.
Strategi Pengendalian Saluran Distribusi
Yang dimaksud dengan strategi pengendalian saluran distribusi (channel control strategy) adalah menguasai semua anggota dalam saluran distribusi agar dapat mengendalikan kegiatan mereka secara terpusat kearah pencapaian tujuan bersama. Adapun tujuan dari strategi pengendalian saluran distribusi adalah:
a. Untuk meningkatkan pengendalian
b. Memperbaiki ketidak efisienan
c. Mengetahui efektivitas biaya melalui kurva pengalaman
d. Mencapai skala ekonomis.
Strategi Manajemen Konflik Dalam Saluran Distribusi
Konsep system pada distribusi mensyaratkan adanya kerjasama antar saluran meskipun demikian di dalam saluran selalu timbul struktur kekuatan sehingga diantara anggota saluran sering terjadi gontok-gontokan. Konflik tersebut dapat bersifat horizontal dan vertikal. Konflik juga dapat timbul antara saluran yang satu dengan saluran yang lain (dalam kasus organisasi menggunakan lebih dari satu saluran distribusi) yang menjual produk yang sama atau yang membawa informasi yang sama ke pasar sasaran yang sama.(Akdon, 2006:77)
Sumber:
Akdon, Dr. Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan. Alfabeta, Bandung, 2006.
Alam, Buchari, H, Prof. DR., Pemasaran Strategik Jasa Pendidikan CV. Alfabeta, Bandung.1995
David W. Cravens, Strategic Marketing, 1982, Richard D. Irvin,Inc.
Sagala, H. Syaiful. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Alfabeta, Bandung, 2007.
Kebijakan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa itu diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemen sekolah. Pendidikan diselenggarakan dengan mengingkari kebhinekaan dan mengurangi toleransi serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak lagi diarahkan pada peningkatan kualitas, melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun telah diterapkan prinsip ‘link and match” karena manajemen hanya dilakukan oleh sekelompok orang.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa pada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.
Kebijakan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di beberapa negara maju menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat karakteristik positif dalam menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan atau pemerataan.
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zeland, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok). Di Amerika Serikat, desentralisasi pendidikan mengharuskan pendapatan pajak di negara bagian (pendapatan asli daerah) sebesar 60%-nya digunakan untuk pendidikan, sedangkan 40%-nya digunakan kegiatan lainnya.
Penerapan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai. Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin dan kurang potensi SDM-nya. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang. Kebijakan desentralisasi bidang pendidikan dalam melaksanakan Otonomi Daerah berkonsekuensi pada perlunya kebijakan strategis bidang pendidikan, yaitu: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Based Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat, pakar, dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha. Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality assurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan. Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat mewadahi kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidiknya masih kurang atau menganggap Komite Sekolah seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Dengan demikian, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, Bos, funding father yaitu pemerintah.
Manajemen Strategik
Sebagaimana diungkapkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan (sekolah/ madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat) berbasis pada potensi stakeholder di sekitar sekolah. Pengelolaan ini sejalan dengan prinsip Badan Hukum Pendidikan yang akan diterapkan untuk setiap satuan pendidikan. Pengelolaan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu dilakukan seperti halnya pengelolaan pesantren, diserahkan kepada pemangku kepentingan. Pemerintah tidak ikut campur lagi mengurusi hal teknis, sehingga kebijakan pemerintah dalam peningkatan mutu hanya difasilitasi dengan kebijakan otonomisasi, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Dalam menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah harus menetapkan mutu sebagai tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian mutu tersebut menjadi benchmarking bagi sekolah dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karena itu, sejak uji coba pelaksanaan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) pada 1000 SLTP/SLTA dilakukan pemerintah maka ditetapkan program Manajemen Peningatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Dalam program MPMBS, pemerintah tidak lagi ikut mengatur masalah kurikulum, karena kurikulum harus dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang disusun oleh lembaga independen yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pemerintah dan pemerintah daerah tidak ikut melakukan pengujian atau mengevaluasi hasil pendidikan (ulangan umum), karena kewenangan tersebut berada pada guru, kecuali nilai prasyarat untuk penentuan kelulusan pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Ujian Nasional yang soal dan pelaksanaannya dilakukan oleh BSNP. Pemerintah tidak ikut mengatur penggunaan buku teks pelajaran, kecuali menyediakan Buku Sumber Elektronik (BSE) yang kualitasnya telah dinilai oleh BSNP dan dana untuk pembelian buku tersebut. Pemerintah atau pemerintah daerah tidak lagi harus menyediakan buku laporan pendidikan (raport), karena hal tersebut merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah.
Otonomi yang demikian besar diberikan kepada sekolah ini seharusnya menjadi dasar untuk melakukan manajemen strategik. Kepala Sekolah sebagai leader memiliki kewenangan manajerial untuk memimpin warga sekolah untuk bersama-sama merancang manajemen strategik.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awalnya manajemen strategik digunakan dalam manajemen bisnis, yaitu usaha manajerial untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang merupakan pengembangan dari visi dan misi yang telah ditentukan”. Peluang bisnis dalam bidang pendidikan adalah “layanan jasa pendidikan”, sehingga yang menjadi pelanggan pun adalah peserta didik sebagai pelanggan internal dan orangtua siswa sebagai pelanggan eksternal. Manajemen strategik dalam dunia pendidikan merupakan suatu pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan pendekatan terhadap analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan untuk merancang aktivitas dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah yang telah ditentukan.
a. Upaya Peningkatan Mutu sebagai Dasar Manajemen Strategik. Program peningkatan mutu pendidikan yang dicanangkan pemerintah sebagai salah satu rencana strategik harus ditindaklanjuti di tingkat satuan pendidikan. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing dimaksudkan untuk perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa. Mutu pendidikan juga dilihat dari peningkatan atas penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan taqwa serta berakhlak mulia, beretika, berwawasan kebangsaan, berkepribadian tangguh, dan berekspresi estetis, serta sehat jasmani dan rohani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Berdasarkan kesadaran ini maka orientasi mutu pendidikan sebagai benchmaking menjadi sasaran manajemen strategik di satuan pendidikan. Dalam menerapkan manajemen strategik, Kepala sekolah memimpin satuan pendidikan untuk melakukan analisis terhadap potensi diri dan lingkungan. Analisis ini merupakan dasar untuk melaksanakan manajemen mutu yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar ini meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kepala Sekolah menetapkan pencapaian terhadap standar-standar tersebut sebagai dasar untuk mengukur kinerja satuan pendidikan yang dipimpinnya pada standarisasi pendidikan.
b. Menerapkan Manajemen Strategik Kontemporer. Dalam melaksanakan manajemen strategik, saat ini telah berkembang dari suatu manajemen strategik yang tradisional ke arah suatu sistem manajemen bersifat kontemporer. Sistem manajemen strategik kontemporer memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem manajemen tradisional. Sistem manajemen tradisional hanya berfokus pada sasaran-sasaran yang bersifat efisiensi keuangan, sedangkan sistem manajemen kontemporer mencakup 4 (empat) perspektif yaitu mencakup perspektif efisiensi keuangan, proses layanan internal, kepuasan pelanggan, dan pertumbuhan layanan jasa. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan manajemen strategik adalah menggunakan empat komponen manajemen strategik, yaitu: Analisis potensi dan profil satuan pendidikan (sekolah/madrasah) untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan; Analisis lingkungan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melaksanakan layanan jasa pendidikan; Menetapkan visi dan misi berdasarkan analisis potensi dan lingkungan sebagai acuan dalam pengelolaan satuan pendidikan; Menetapkan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dalam mencapai visi dan misi sekolah; Berdasarkan pandangan manajemen strategik kontemporer diperlukan keseimbangan antara efisiensi keuangan dengan proses layanan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi dengan peningkatan proses layanan, misalnya dengan menggunakan sarana teknologi atau media lain yang menjadikan proses layanan lebih simpel, cepat, dan akurat. Peningkatan pembiayaan harus sejalan dengan kepuasan pelanggan (custommer satisfaction), semakin besar biaya yang dikeluarkan maka semakin meningkat pula jumlah pelanggan karena mereka merasa puas dengan layanan yang diberikan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi pula dengan penambahan atau pertumbuhan layanan jasa. Peningkatan pembiayaan yang dapat meningkatkan proses layanan dan kepuasan pelanggan seharusnya menumbuhkan jenis layanan jasa lainnya (difersifikasi) layanan jasa pendukung pendidikan. Manajemen strategik kontemporer di atas dapat diterapkan pada satuan pendidikan (sekolah/madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat). Penerapan manajemen strategik ini dapat mendorong satuan pendidikan dalam menjalankan program peningkatan mutu pendidikan.
Sumber:
(Makalah ini disajikan dalam Seminar Nasional Manajemen Strategik Pendidikan yang diselenggarakan di Cilacap Jawa Tengah pada tanggal 14 Juni 2009)
Sebagian besar organisasi hanya mengandalkan manajemen puncak untuk menyusun perencanaan strategik, sementara manajemen menengah sampai karyawan hanya melakukan implementasi rencana jangka panjang dan pendek. Sistem ini hanya pas untuk lingkungan yang stabil yang di dalamnya prediksi masih dapat diandalkan untuk memperkirakan masa depan organisasi. Dalam pengembangan aktivitas, perguruan tinggi harus melibatkan seluruh unit kerja dan personel didalamnya dalam perencanaan strategiknya untuk mengubah mode operasi organisasi dari plan and control menjadi sense and respond. Dengan mekanisme baru ini, diharapkan akan dapat terlihat dan terukur seluruh kinerja organisasi dalam berbagai level. Sistem manajemen strategik terdiri atas dua tahap utama yaitu: tahap perencanaan dan tahap pengimplementasian rencana. Tahap perencanaan terdiri atas empat tahap, yaitu:
1. perumusan strategi (strategy formulation)
2. perencanaan strategik (strategic planning)
3. penyusunan program (programming)
4. penyusunan anggaran (budgeting)
Tahap pengimplementasian rencana terdiri atas dua tahap yaitu:
1. pengimplementasian (implementation)
2. pemantauan (monitoring)
Perencanaan strategis disadari sebagai proses kreatif, selain proses perencanaan praktis untuk perubahan komunitas. Dengan adanya rencana startegis akan diperoleh blueprint untuk perubahan yang menjadi dasar menentukan perubahan seperti apa yang akan dilakukan sampai beberapa tahun ke depan, dan juga bagaimana dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan tersebut. Memang tidak ada rumus praktis untuk membuat rencana strategis, setiap institusi tentu memiliki kekhasan yang merupakan hasil dari proses panjang pembentukan budaya organisasi.
Perencanaan Strategik penting dilakukan/ disusun untuk memberi arah dan bimbingan para pengelola perguruan tinggi dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Penyusunan rencana strategis ini dilakukan untuk dapat membuat kejelasan dalam pencapaian tujuan organisasi yang terartikulasikan dalam visi dan misi.
Perencanaan Strategik perguruan tinggi adalah proses penyusunan gambaran kegiatan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan yang telah ditetapkan. Pengertian ini menunjukkan bahwa perencanaan startegik merupakan proses mengidentifikasi, mengumpulkan dan menganalisis data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh infornasi terkini dan yang berrnanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan organisasi.
Perencanaan strategik perguruan tinggi menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: memperbaiki hasil pendidikan, membawa perubahan yang lebih baik (peningkatan/ pengembangan), demand driven (prioritas kebutuhan), partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, holistic/tersistem, transparans, dan keterkaitan serta kesepadanan secara vertikal dan horisontal dengan rencana-rencana lain.
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan rencana strategis dapat menggunakan pendekatan Balance Scorecard meski dengan modifikasi pada kriteria yang dipilih oleh organisasi. BSC (Balanced Scorecard) berkembang dari hanya kerangka berfikir tentang pengukuran kinerja pada awalnya menjadi sebuah sistem perencanaan dan manajemen strategis. Dengan konsep BSC baru ini maka akan mampu mengubah perencanaan organisasi yang menarik namun berupa dokumen yang pasif, menjadi sebuah orkestra organisasi yang dinamis dan penuh energi. BSC tidak hanya menyediakan kerangka kerja untuk penguruan kinerja, namun juga membantu perencana mengidentifikasi apa yang harus dilakukan dan diukur. Dengan demikian, pimpinan satuan pendidikan dapat dengan pasti menjalankan strategi mereka. BSC dalam tulisan ini nantinya akan dimodifikasi untuk komponen tiap kriteria berdasarkan pada kriteria RAISE sebagai bidang prestasi kunci perguruan tinggi.
Sumber:
(http://blog.uad.ac.id/sulisworo/2009/04/14/balance-scorecard-dan-perencanaan-strategi/)
Langganan:
Postingan (Atom)
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepuasan kerja dalam teori motivasi Maslow menempati peringkat yang tinggi. Sebab ia berkaita...
-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seorang maupun organisasi akan selalu memiliki tujuan...
-
1. Bagaimana sistem informasi manajemen digunakana di seluruh lapisan manajemen pendidikan ? Sekarang ini manusia sud...