Jumat, 25 Maret 2011

Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Buku
Buku dengan 211 halaman ini dilaporkan berjudul “Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi” judul buku ini merupakan salah satu topik kajian yang membahas tentang perkuliahan Analisis Kebijakan Pendidikan yang dibimbing oleh Ibu Dr. Murniati, AR, M.Pd.
B. Pengarang
Buku “Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi” ini merupakan karya dari penulis yaitu Dr. Wina Sanjaya, M.Pd.
C. Tahun Terbit
Buku “Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi” diterbitkan tahun 2006, Kencana, Jakarta.
D. Alasan Pemilihan Judul
1. Buku ini merupakan salah satu bahan materi Mata Kuliah “Analisis Kebijakan Pendidikan”.
2. Buku ini memiliki informasi berbagai masalah tentang teori-teori dan praktek-praktek Kurikulum Berbasis Kompetensi secara komprehensif.
3. Bab ini menjelaskan Pengertian Kurikulum Berbasis Kompetensi, latar belakang Kurikulum Berbasis Kompetensi, guru dalam implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.




BAB II
TELAAH BUKU

PENGERTIAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Dari beberapa sumber dapat kite temukan bahwa kurikulum dapat dimaknai dalam tiga konteks, yaitu kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai perencanaan program belajar.Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai seat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan (Saylor, Alexander, Lewis, 1981). Kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran sering dihubungkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah; sedangkan ijazah itu sendiri menggambarkan. kemampuan. Oleh karena itu, hanya orang yang telah memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu yang akan memperoleh ijazah. Pengertian kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang dikemukakan oleh Robert M. Hutchins (1936) yang menyatakan: “The curriculum should include grammar, reading, thetoric and logic, and mathematic, and addition at the scondary level introduce the great-, kooks of the western world”. Sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, dalam proses perencanaannya kurikulum memiliki ketentuan sebagai berikut:
1. Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut menentukan mata pelajaran apa yang harus diajarkan pada siswa.
2. Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan lain sebagainya.
3. Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran, semacam menggunakan pendekatan ekspositori.
Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstra kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara, dan lain sebagainya, itu merupakan hagian dari kurikulum, karena memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah. Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, (Ii antaranya adalah Hollis L. Caswell dan Doak S. Campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah: "All of the experiences children have under the guidance of teacher".
Lebih jelas lagi dikemukakan oleh H.H. Giles. ST, McCutchen, dan A.N. Zechiel:
"The curriculum... the total experience with which the school deals in educating young people".
Pendapat-pendapat di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti Romine (1945) yang mengatakan:
"Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not".

Pendapat yang hampir sama diberikan oleh Harold Alberty (1965). Bagi dia kurikulum itu adalah:
"All of the activities that are provided for the students by the school".
Demikian juga Saylor dan Alexander (1956) yang menyatakan:
"The curriculum is the sum total of school's efforts to influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of school ".
Bagi mereka, kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata pelajaran yang harus dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh usaha sekolah untuk memengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar kelas atau bahkan di luar sekolah. Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pedoman belajar.
Kurikulum sebagai rencana atau program belajar, dikemukakan oleh Hilda Taba (1962). Taba mengatakan:
"A curriculum is a plan for learning: therefore, what is known about the learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of a curriculum ".
Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pem¬belajaran, tampaknya diikuti pula oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adala sebuah perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.
Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus t I itempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan; di samping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan. Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan i i musan kurikulum menurut undang-undang pendidikan kita yang dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, mengartikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran iintuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003, Bab 1 Pasal 1 Ayat 19).
Namun demikian, apalah artinya sebuah perangkat perencanaan tanpa implementasi di lapangan. Apakah artinya rencana atau program tanpa diimplementasikan dalam tindakan nyata? Apakah sebuah rencana dapat menghasilkan sesuatu tanpa implementasi? Tentu tidak, sebuah rencana akan memiliki makna, manakala ada tindakan sesuai dengan rencana itu. Oleh karena itu, dalam konteks perencanaan itu sebenarnya terkadung makna implementasi, artinya apa yang dilakukan siswa semestinya tidak keluar dari program yang telah direncanakan. Sebab, pendidikan sebagai suatu proses yang bertujuan, maka harus didesain agar implementasinya tidak melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam dokumen kurikulum 2004 dirumuskan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan (Depdiknas 2002).
Dari rumusan di atas, tampak jelas bahwa konsep KBK bertumpu pada konsep seperti yang dikemukakan Hilda Taba, yaitu kurikulum sebagai suatu rencana. Ini berarti dalam KBK yang lebih ditekankan adalah kompetensi atau kemampuan apa yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu; sedangkan masalah bagaimana cara mencapainya, secara operasional diserahkan kepada guru di lapangan. Dalam KBK tidak secara khusus dijelaskan apa yang harus dilakukan guru untuk mencapai kompetensi tertentu. KBK hanya memberikan petunjuk-petunjuk secara umum bagaimana seharusnya pola pembelajaran diterapkan oleh setiap guru.
Yang jadi masalah selanjutnya adalah, apa yang dimaksud dengan kompetensi dan hasil belajar itu?
McAshan (1981:45) mengemukakan bahwa kompetensi itu adalah:
"...A konwledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which became part of his or her being to the exent he or she can satisfatorily perform particular cognitive, afective, and psycho¬motor behaviors".
Menurut McAshan, kompetensi itu adalah suatu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai perilaku kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
Dari pendapat di atas, maka jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan apresiasi. Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Gordon (1988) menjelaskan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi sebagai berikut:
1. Pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan untuk melakukan sesuatu, misalnya dapat melakukan proses berpikir ilmiah untuk memecahkan suatu persoalan manakala ia memiliki pengetahuan yang memadai tentang langkah-langkah berpikir ilmiah.
2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu. Misalnya siswa hanya mungkin dapat memecahkan masalah ekonorni manakala ia memahami konsep¬konsep ekonomi.
3. Keterampilan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan. Misalnya siswa hanya mungkin dapat melakukan pengamatan tentang mikroorganisme manakala ia memiliki keterampilan bagaimana cara menggunakan microscope sebagai alat.
4. Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya. Misalnya standar perilaku siswa dalam melaksanakan proses berpikir seperti keterbukaan, kejujuran, demokratis, kasih sayang, dan lain sebagainya.
5. Sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar, misalnya perasaan senang atau tidak senang terhadap munculnya aturan barn; reaksi terhadap diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi; dan lain sebagainya.
6. Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan. Misalnya minat untuk mempelajari dan memperdalam materi pelajaran.
Dari uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambarkan dalam pola perilaku. Artinya seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, apabila ia bukan hanya sekadar tabu tentang sesuatu itu, akan tetapi bagaimana implikasi dan implementasi pengetahuan itu dalam pola perilaku atau tindakan yang ia lakukan. Dengan demikian, maka kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Dari pengertian kompetensi seperti yang telah dijelaskan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa dalam KBK bukan hanya sekadar agar siswa memahami materi pelajaran untuk mengembangkan kemampuan intelektual, saja, akan tetapi bagaimana pengetahuan yang dipahaminya itu dapat mewarnai perilaku yang ditampilkan dalam kehidupannya.
Sekarang kompetensi apa yang harus dicapai oleh KBK terdapat 4 kompetensi dasar yang harus dimiliki sesuai dengan tuntutan KBK:
1. Kompetensi akademik, artinya peserta didik harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi tantangan dan persoalan hidup secara independent.
2. Kompetensi okupasional, artinya peserta didik harus memiliki kesiapan dan mampu beradaptasi terhadap dunia kerja.
3. Kompetensi kultural, artinya peserta didik harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai masyarakat yang pluralistik.
4. Kompetensi temporal, artinya peserta didik tetap eksis dalam menjalani kehidupannya, serta mampu memanfaatkan ketiga kemampuan dasar yang telah dimiliki sesuai dengan perkembangan zaman.

LATAR BELAKANG MUNCULNYA KBK
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi kurikulum. Kemunculan KBK wiring dengan munculnya semangat reformasi pendidikan, diawali dengan munculnya kebijakan pemerintah di antaranya lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; serta lahirnya Tap MPR No. IV/MPR/ 1999 tentang Arah Kebijakan Pendidikan di Masa Depan.
Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang diikuti oleh kebijakan perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke desentralistik. Bila sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangan untuk mengelola berada pada pemerintahan daerah kota/kabupaten. Kelahiran berbagai perangkat kebijakan pemerintah seperti di atas, didorong oleh perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam dimensi global. Dalam perspektif global, yang ditandai dengan semakin "mengecilnya" dunia sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terjadinya fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Berbagai macam tantangan muncul kepermukaan. Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan sekarang menjadi kenyataan. Dapat dipastikan, hanya individu yang mampu bersaing yang akan dapat berbicara dalam era globalisasi ini. Untuk immipu bersaing itu setiap individu harus memiliki kompetensi yang handal dalam berbagai bidang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan.
Di samping itu, rendahnya kualitas pendidikan merupakan faktor pendorong lain perlunya perubahan kurikulum dalam konteks reformasi pendidikan. Misalkan hasil laporan Bank Dunia (1992) berdasarkan studi IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di beberapa negara Asia, menunjukkan keterampilan membaca siswa kelas IV SD kita, berada pada peringkat terendah. Anak-anak SD kita ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD adalah Hong Kong 75,5, Singapura 74,0, Thailand 65,1, Filipina 52,6, dan Indonesia 51,7. Demikian juga dalam pelajaran matematika dan IPA pada tingkat SUP, Indonesia hanya mampu berada diurutan 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika dari 38 negara peserta.
Ditinjau dari proses pembelajaran, mungkin Anda setuju, bahwa kurikulum yang lebih mengedepankan sisi akademik, seperti yang berlaku sekarang ternyata kurang memerhatikan perkembangan sikap dan moral siswa. Semua mata pelajaran menekankan kepada penguasaan materi pembelajaran tanpa membedakan hakikat mata pelajaran itu sendiri. Mata pelajaran Agama dan PMP misalnya yang semestinya menekankan aspek nilai dan sikap, ternyata lebih banyak memberikan pengetahuan akademik yang harus dihafal siswa. Atas dasar hal tersebut di atas, dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, mengantisipasi perubahan-perubahan global pada era persaingan bebas, serta tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, maka sistem pendidikan perlu diarahkan pada pendidikan yang demokratis yang mampu melayani setiap perbedaan dan kebutuhan individu (berdiversifikasi) serta mampu membekali siswa dengan sejumlah kemampuan (kompetensi) yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan.
Melalui iklim yang demikian, pendidikan diharapkan mampu melahirkan generasi yang mandiri, kritis, rasional, cerdas, kreatif serta memiliki kesabaran dan mampu bersaing, siap menghadapi berbagai macam tantangan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yang dipandang sudah tidak efektif dan tidak mampu lagi mempersiapkan anak didik untuk dapat bersaing dengan bangsa lain di dunia. Salah satu perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan kurikulum sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan.

KARAKTERISTIK DAN TUJUAN KBK
Dari uraian tentang pengertian KBK, kita dapat menangkap dua makna yang tersirat. Pertama, KBK mengharapkan adanya hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan kedua, KBK memberikan peluang pada siswa sesuai dengan keberagaman yang dimiliki masing-masing. Makna pertama mengandung pengertian, dalam KBK siswa tidak sekadar dituntut untuk memahami sejumlah konsep, akan tetapi bagaimana pemahaman konsep tersebut berdampak terhadap perilaku dan pola pikir sehari-hari. Inilah hakikat pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning), yaitu bahwa pengembangan kompetensi diarahkan untuk memberi keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam masyarakat yang cepat berubah, penuh persaingan dan tantangan, penuh ketidakpastian dan ketidakmenentuan.
Dalam konteks pembelajaran yang bermakna, proses pembelajaran di sekolah harus menjadi pengalaman bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan belajarnya di masyarakat. Siswa dituntut untuk terus belajar sesuai dengan tantangan masyarakat yang terus berubah. Makna yang kedua, adalah dalam KBK menghargai bahwa setiap siswa memiliki kemampuan, minat, dan bakat yang borboda. KBK memberikan peluang kepada setiap siswa untuk belajar sesuai dengan keberagaman dan kecepatan masing-masing. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus didesain agar dapat melayani setiap keberagaman tersebut. Misalnya dalam pemanfaatan sumber belajar (learning resources), KBK menuntut keragaman penggunaan sumber belajar secara optimal. Siswa dituntut untuk dapat menggunakan berbagai sumber informasi, yang tidak hanya mengandalkan dari mulut guru, akan tetapi dari sumber lainnya termasuk dari media elektronik semacam komputer dan Internet, video, dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Oleh sebab kemajuan bidang teknologi khususnya teknologi informasi, memungkinkan siswa bisa belajar dari berbagai sumber belajar sesuai. dengan minat, kemampuan, dan kecepatan masing-masing.
Berdasarkan makna tersebut, maka KBK sebagai sebuah kurikulum memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, KBK memuat sejumlah kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa. Artinya melalui KBK diharapkan siswa memiliki kemampuan standar minimal yang harus dikuasai. Kedua, Implementasi pembelajaran dalam KBK menekankan kepada proses pengalaman dengan memerhatikan keberagaman setiap individu. Pembelajaran tidak sekadar diarahkan untuk menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana materi itu dapat menunjang dan memengaruhi kemampuan berpikir dan kemampuan bertindak sehari-hari. Ketiga, evaluasi dalam KBK menekankan pada evaluasi hasil dan proses belajar. Kedua sisi evaluasi itu same pentingnya sehingga pencapaian standar kompetensi dilakukan secara utuh yang tidak hanya mengukur aspek pengetahuan saja, akan tetapi sikap dan keterampilan.
Depdiknas (2002) mengemukakan karakteristik KBK secara lebih rinci sebagai berikut:
1. Menekankan kepada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal. Ini mengandung pengertian bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi menekankan kepada ketercapaian kompetensi. Artinya isi KBK pada intinya adalah sejumlah kompetensi yang harus dicapai oleh siswa, kompetensi inilah yang selanjutnya dinamakan standar minimal atau kemampuan dasar.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. Ini artinya, keberhasilan pencapaian kompetensi dasar diukur oleh indikator hasil belajar. Indikator inilah yang selanjutnya dijadikan acuan apakah kompetensi yang diharapkan sudah tercapai atau belum. Proses pencapaian hasil belajar itu tentu saja sangat tergantung pada kemampuan siswa. Sebab diyakini, siswa memiliki kemampuan dan kecepatan yang berbeda. KBK memberikan pe¬luang yang sama kepada seluruh siswa untuk dapat mencapai hasil belajar.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. Artinya, sesuai dengan keberagaman siswa, maka metode yang digunakan dalam proses pembelajaran harus bersifat multimetode. Hal ini dimaksudkan untuk merangsang kemampuan berpikir siswa. Bahwa belajar sebagai proses menerima informasi dari guru, dalam KBK harus ditinggalkan. Belajar adalah proses mencari dan menemukan. Belajar adalah proses mengonstruksi pengetahuan oleh siswa. Oleh sebab itu proses pembelajaran harus bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Artinya, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi, dewasa ini siswa bisa belajar dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tersedia. Guru, dalam pembelajaran KBK, guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar. Guru berperan hanya sebagai fasilitator untuk mempermudah siswa belajar dari berbagai macam sumber belajar.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Artinya, keberhasilan pembelajaran KBK tidak hanya diukur dari sejauh mana siswa dapat menguasai isi atau materi pelajaran, akan tetapi juga bagaimana cara mereka menguasai pelajaran tersebut. Oleh sebab itu, KBK menempatkan hasil dan proses belajar sebagai dua sisi yang sama pentingnya.
Setelah kita memahami karakteristik KBK, maka sebenarnya apa yang ingin dicapai oleh kurikulum ini. Tujuan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang dengan mengembangkan sejumlah kecakapan hidup (life skill). Kecakapan hidup (life skill) adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan'* kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi sehingga akhimya mampu mengatasinya. Secara khusus kecakapan hidup (life skill) itu bertujuan untuk:
1. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi;
2. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas;
3. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah dengan memberikan peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan manajemen berbasis sekolah (school based management).

GURU DALAM IMPLEMENTASI KBK
Keberhasilan pelaksanaan KBK sangat tergantung pada guru. Mengapa demikian? Sebab guru merupakan ujung tombak dalam proses pembelajaran. Bagaimanapun sempurnanya sebuah kurikulum tanpa didukung oleh kemampuan guru, maka kurikulum itu hanya sesuatu yang tertulis dan tidak memiliki makna. Oleh karena itulah, memiliki peran yang sangat penting dalam proses implementasi kurikulum. Selanjutnya peran apa saja yang harus dilakukan oleh guru?
Dalam implementasi KBK, peran guru dapat kita tinjau dari beberapa aspek, yaitu peran guru sebagai perencana, peran sebagai pengelola, dan peran guru sebagai evaluator.

A. Peran Guru sebagai Perencana Pembelajaran
Keberhasilan dalam implementasi KBK dapat dipengaruhi oleh perencanaan pembelajaran yang disusun guru. Oleh sebab itu, kepiawaian guru dalam menyusun rencana pembelajaran (Instructional Design) dapat menemukan keberhasilan pencapaian kompetensi. KBK adalah kurikulum yang memberikan peluang kepada guru untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa serta kondisi daerah masing-masing. Oleh karena itu dalam proses penyusunan perencanaan, guru dituntut agar memahami kebutuhan dan kondisi daerah setempat, di samping memahami karakteristik siswa. Melalui pemahaman itu selanjutnya guru mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kondisi lapangan dan kebutuhan.

B. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran
Tujuan dari pengelolaan pembelajaran adalah terciptanya kondisi lingkiingim belajar yang menyenangkan bagi siswa, sehingga dalam proses pembelajaran siswa tidak merasa terpaksa apalagi tertekan. Oleh karena itulah, peran dan tanggung jawab guru sebagai pengelola pembelajaran (manager of learning) menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, baik iklim sosial maupun iklim psikologis. Iklim sosial yang baik ditunjukkan oleh terciptanya hubungan yang harmonis baik antara guru dan siswa, guru-guru atau antara guru dan pimpinan sekolah; sedang hubungan psikologis ditunjukkan oleh adanya saling kepercayaan dan saling meng¬hormati antarsemua unsur di sekolah. Melalui iklim yang demikian, memungkinkan siswa untuk berkembang secara optimal, terbuka, dan demokratis.

C. Guru sebagai Fasilitator
Sebagai seorang fasilitator, tugas guru adalah membantu untuk mempermudah siswa belajar. Dengan demikian guru perlu memahami karakteristik siswa termasuk gaga belajar, kebutuhan kemampuan dasar yang dimiliki siswa. Melalui pemahaman itu guru dapat melayani dan memfasilitasi setiap siswa. Sebagai seorang fasilitator guru harus menempatkan diri sebagai orang yang memberi pengarahan dan petunjuk agar siswa dapat belajar secara optimal. Dengan demikian yang menjadi sentral kegiatan pembelajaran adalah siswa bukan guru. Guru tidak berperan sebagai sumber belajar yang dianggap serba bisa dan serba tabu segala macam hal.

D. Peran Guru sebagai Evaluator
Guru sebagai seorang evaluator tidak kalah pentingnya dengan peran yang lain. Dilihat dari fungsinya evaluasi bisa berfungsi sebagai formatif dan sumatif. Evaluasi formatif berfungsi untuk melihat berbagai kelemahan guru dalam mengajar. Artinya hasil dari evaluasi ini digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki kinerja guru. Evaluasi sumatif digunakan sebagai bahan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian peran guru sebagai seorang evaluator, menunjukkan ke dalam dua hal, yaitu peran untuk melihat keberhasilannya dalam mengajar dan peran untuk menentukan ketercapaian siswa dalam menguasai kompetensi sesuai dengan kurikulum.


KOMPETENSI GURU DALAM IMPLEMENTASI KBK
Pekerjaan guru merupakan pekerjaan profesional. Sebagai pekerjaan profesional, seorang guru harus memiliki sejunflah kompetensi tertentu yang tidak dimiliki oleh profesi lainnya. Perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan (Mc.Leod, 1999). Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan perannya secara bertanggung jawab dan layak. Kompetensi apa yang harus dimiliki oleh guru dalam rangka implementasi KBK? Sesuai dengan perannya, kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam hubungannya dengan implementasi KBK meliputi tiga hal, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan proses perencanaan pembelajaran, kompetensi proses atau implementasi rencana pembelajaran dan kompetensi dalam bidang evaluasi.
Kompetensi dalam hal penyusunan rencana pembelajaran, berhubungan dengan kemampuan guru dalam menyusun program pembelajaran termasuk menyusun silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah tempat melaksanakan tugas mengajarnya. KBK adalah kurikulum yang memberikan peluang kepada guru untuk mengembangkan proses pembelajaran sesuai dengan kondisi daerah. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk mampu menjabarkan kompetensi dasar ke dalam sejumlah kegiatan pembelajaran yang dianggap sesuai dengan kemampuan siswa dan kondisi daerahnya. Dalam hal inilah letak perbedaan KBK dengan kurikulum sebelumnya. Sesuai dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, guru dapat merencanakan proses pembelajaran sesuai dengan kondisi daerahnya dan kondisi siswa yang dihadapinya.
Kompetensi dalam mengimplementasikan kurikulum berhubungan dengan kemampuan guru mengelola proses pembelajaran. KBK adalah kurikulum yang menekankan kepada aktivitas siswa secara optimal. Asumsi dasar dalam proses pembelajaran KBK adalah bahwa pengetahuan itu akan bermakna manakala dicari, ditemukan dan dikonstruksi oleh siswa sendiri. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar seperti yang terjadi selama ini, akan tetapi guru harus berperan sebagai penge¬Iola atau pengatur lingkungan agar siswa belajar. Guru harus mampu inemanfaatkan berbagai sumber belajar yang tersedia, di samping menggunakan berbagai strategi pembelajaran.
Kompetensi dalam melakukan evaluasi, berhubungan dengan kemampuan guru untuk melakukan evaluasi sebagai fungsi formatif dan evaluasi formatif adalah evaluasi yang dirancang dan dilakukan untuk menilai dirinya sendiri dalam melakukan proses pembelajaran. Artinya, hasil evaluasi ini digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang berbagai kekurangan guru dalam mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai umpan balik untuk memperbaiki kinerjanya; sedangkan evaluasi sumatif dirancang dan dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang keberhasilan siswa mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Melalui evaluasi ini guru dapat menilai sejauh mana kompetensi telah dicapai siswa, di samping guru dapat melihat kemampuan siswa dibandingkan dengan kelompok belajarnya.
Untuk menunjang kompetensi itu tentu saja guru harus memahami berbagai ilmu pengetahuan. Sebab, salah satu persyaratan sebagai profesi adalah adanya keterampilan yang berdasarkan konsep clan teori ilmu pengetahuan yang mendalam sesuai dengan bidang keahliannya (Moh Ali, 1985). Bidang pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional untuk melaksanakan tugasnya di antaranya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak, berbagai pendekatan dalam pembelajaran, pengetahuan tentang media clan sumber belajar, pengetahuan mengenai teknik penilaian dan lain sebagainya. Tanga pengetahuan yang memadai tentang hal-hal tersebut, tidak mungkin kompetensi itu dapat dimiliki setiap guru.

ASAS PENGEMBANGAN KBK
Pendidikan merupakan proses yang sangat menentukan untuk perkembangan individu dan perkembangan masyarakat. Kemajuan suatu masyarakat dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya. Kurikulum berfungsi sebagai alat dalam proses pendidikan di sekolah. dalamnya bukan hanya berisi tentang arah dan tujuan yang ingin dicapai akan tetapi juga menyangkut isi pedoman dalam menyusun prosedur atau strategi mencapai tujuan serta, cara mengevaluasi keberhaasilan pencapaian tujuan itu.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai pedoman dan alat pendidikan bagi guru, didasarkan pada tiga asas pokok, yaitu asas filosofis, asas psikologis, dan asas sosiologis teknologi. Selanjutnya makna ketiga asas tersebut dijelaskan di bawah ini.
Asas filosofis berkenaan dengan sistem nilai (value system) yang berlaku di masyarakat. Sistem nilai erat kaitannya dengan arah tujuan yang harus dicapai. Hendak diarahkan ke mana siswa yang didik itu? Masyarakat yang bagaimana yang harus diciptakan melalui ikhtiar pendidikan? Apa hakikat pengetahuan yang harus dipelajari dan dikaji siswa? Norma-norma yang bagaimana yang harus diwarnai kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaik proses pendidikan itu berlangsung? Merupakan pertanyaan pertanyaan mendasar yang memerlukan jawaban filosofis.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi sebagai alat pendidikan tiniuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertanyakan dan mengembangkan sistem nilai masyarakatnya sendiri. sebab sebabnya, dalam pengembangan KBK, filsafat sebagai system nilai menjadi sumber utama dalam merumuskan tujuan dan arah pendidikan.
Di Indonesia, sistem nilai yang berlaku adalah Pancasila, oleh sebab itu membentuk manusia yang Pancasilais merupakan tujuan dan arah dari segala ikhtiar berbagai level dan jenis pendidikan. Dengan demikian, isi KBK yang disusun harus memuat clan mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Secara jelas tujuan pendidikan Nasional yang bersumber dari sistem nilai Pancasila dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 khususnya Pasal 3, yang merumuskan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang clemokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan sebagaimana termuat dalam undang-undang tersebut, harus dipahami dan disadari oleh setiap pengembang kurikulum. Sebab, apa pun yang direncanakan dan dikembangkan serta dilaksanakan dalam setiap proses pendidikan pada akhirnya harus bermuara pada pengembangan potensi setiap anak agar mereka menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, memiliki akhlak yang mulia, manusia yang sehat, berilmu, cakap, dan lain sebagainya. Pemahaman guru pada setiap jenjang dan jenis pendidikan terhadap tujuan akhir pendidikan seperti dirumuskan di atas, sangat diperlukan. Oleh sebab keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan seperti yang dirumuskan di atas, sangat ditentukan oleh setiap guru yang langsung berhadapan dengan siswa sebagai subjek belajar. Dengan pemahaman akan tujuan pendidikan itu, maka setiap guru tidak akan merasa bahwa mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat berkontribusi terhadap pembentukan manusia beriman dan bertakwa sesuai dengan sistem nilai yang berlaku.
Asas psikologis berhubungan dengan aspek kejiwaan dan perkembangan peserta didik. Mengapa KBK harus didasarkan pada asas psikologis? Oleh sebab itu, secara psikologis anak didik memiliki perbedaan baik perbedaan minat, bakat maupun potensi yang dimilikinya. Walaupun secara fisik mungkin saja ada dua orang anak yang sama, akan tetapi secara psikologis tidak mungkin sama. Anak adalah organisme yang unik, yang berbeda satu dengan yang lain. Anak adalah organisme yang sedang berkembang. pada setiap tahapan perkembangannya mereka memiliki karakteristik dan ciri tertentu. Berdasarkan karakteristik dan ciri-ciri itulah setiap anak harus menye¬lesaikan tugas-tugas perkembangannya. Sebab, manakala tugas perkembangan pada suatu tahap tidak terselesaikan, maka akan mengganggu tahapan berikutnya. Dengan demikian baik tujuan, isi dan strategi pengembangan KBK harus memerhatikan kondisi psikologi perkembangan dan psikologi belajar anak.
Pemahaman tentang anak bagi seorang pengembang kurikulum termasuk guru sangatlah penting. Kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan. Ada dua pandangan tentang anak sebagai manusia yang sedang berkembang, yaitu pandangan anak menurut John Locke dan pandangan anak menurut Leibnitz.
Pandangan Locke seperti yang digambarkan dalam teori tabula rasanya menyatakan bahwa anak adalah organisme yang pasif. Anak itu seperti kertas putih, mau ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Selanjutnya pandangan manusia menurut teori John Locke itu melahirkan aliran belajar behavioristik. Menurut kaum behavioris perilaku manusia sangat ditentukan oleh ling¬kungan yang datang dari luar. Oleh sebab itu, segala macam perilaku manusia dapat dikendalikan melalui pengontrolan setiap stimulus yang datang dari luar (Skinner, 1976). Dari aliran behavioristik itu, melahirkan berbagai teori belajar seperti Teori Koneksionisme dengan tokohnya Thorndike; Teori Belajar Classical Conditioning dengan tokohnya Pavlov, Teori Belajar Operant Conditioning dengan tokohnya Skinner. Seluruh teori belajar tersebut, sesuai dengan pandangannya terhadap manusia sebagai organisms yang pasif, berangkat dari asumsi bahwa proses pembelajaran adalah proses keterkaitan antara stimulus yang datang dari luar diri dan respons dari dalam diri. Semakin terkait hubungan Stimulus-respons itu maka semakin berhasil proses pembelajaran. Dengan demikian, tugas guru dalam mengelola pembelajaran adalah memberikan stimulus kepada anak sebanyak-banyaknya, dan diharapkan anak dapat merespons setepat-tepatnya.
Berbeda dengan pandangan John Locke, menurut Leibnitz melalui orientasi fenomenologis, manusia adalah organisme yang aktif dan bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi. Oleh karena itu, orientasi fenomenologis menganggap manusia sebagai sumber dari semua kegiatan. Mau jadi apa manusia itu bukan hanya ditentukan oleh faktor lingkungan akan tetapi juga ditentukan oleh potensi yang dimilikinya. Selanjutnya pandangan manusia menurut Leibnitz ini melahirkan aliran belajar Kognitif-Wholistik dengan teori-teori belajar Gestalt dengan tokohnya Koffka, Teori Belajar Medan dengan tokohnya Lewin, Teori Belajar Humanistik dengan tokohnya Maslow dan Rogers. Kemudian, bagaimana menurut KBK tentang posisi psikologis itu? Baik dalam konteks desain kurikulum maupun dalam pedoman pembelajarannya, tampaknya kedua aliran ini memengaruhi KBK. KBK menempatkan anak didik sebagai organisme yang sedang berkembang. Perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh kedua sisi, yaitu sisi lingkungan dan sisi potensi yang dimilikinya.
Guru sebagai pencipta kondisi dan lingkungan bertanggung jawab untuk mengembangkan setiap potensi yang dimiliki siswa. Bisa terjadi dalam memerankan fungsinya itu guru memberikan stimulus-stimulus atau mungkin menyediakan kondisi agar siswa aktif dan kreatif membangun sendiri pengetahuan¬nya. Hal-hal yang berhubungan dengan pengaruh asas psikologis terhadap implementasi pembelajaran akan dibahas dalam bab tentang hakikat belajar. Ketiga, pengembangan KBK juga didasarkan kepada asas sosiologis dan teknologis. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan aktif dimasyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Masyarakat tidak bersifat statis.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat selalu mengalami perubahan, bergerak menuju perkembangan yang semakin kompleks. perubahan bukan hanya terjadi pada sistem nilai, akan tetapi juga pada pola kehidupan, struktur sosial, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berpikir manusia telah membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Terciptanya produk-produk teknologi semacam teknologi transportasi, misalnya bukan hanya menyebabkan in anusia bisa menjelajahi seluruh pelosok dunia, akan tetapi manusia mampu menjelajahi ruang angkasa sebuah tempat yang dahulu dibayangkannya sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Demikian juga halnya dengan ditemukannya hasil teknologi informasi dan komunikasi, bukan hanya manusia dapat berhubungan secara langsung dengan orang yang tinggal diseberang sang, akan tetapi manusia dapat iiielihat berbagai peristiwa yang terjadi pada saat yang sama di seluruh belahan dunia. Namun demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negatif yang justru sangat mencerdaskan manusia itu sendiri. Diproduksinya alat-alat transformasi, menyebabkan permasalahan kemacetan dan kecelakaan lalu limas, yang setiap hari merenggut jiwa manusia. Pembangunan pusat-pusat hidustri menyebabkan terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahannya, termasuk munculnya berbagai jenis kejahatan dan kriminalitas. Terciptanya hasil teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan lunturnya dan terjadinya gesekan budaya yang pengaruhnya terhadap eksistensi kelompok masyarakat bukan main besarnya.
Munculnya permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan kompleksitas tugas-tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah. Tugas sekolah menjadi semakin berat, dan kadang-kadang tidak mampu lagi melaksanakan semua tuntutan masyarakat. Sesuai dengan perubahan zaman, tugas-tugas yang dahulu bukan menjadi tugas sekolah, kini diserahkan kepada sekolah. Sekolah bukan hanya bertugas menanamkan dan mewariskan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga hares memberi keterampilan tertentu serta menanamkan budi pekerti d.iii nilai-nilai. Sesuai dengan perubahan dan lompatan-lompatan yang sangat cepat itu, maka KBK yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya. Penyesuaian Kurikulum terhadap berbagai fenomena yang muncul.
























BAB III
PEMBAHASAN

Dewasa ini kehidupan manusia dengan cepat berubah dari waktu ke waktu. Demikian juga dengan kehidupan anak/generasi muda, yang bahkan kadang-kadang perubahan itu sangat kompleks. Kehidupan keluarga, termasuk anak-anak sekarang memberikan banyak kebebasan dan banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar. "Dunia menjadi semakin kosmopolitan dan kita semua mempengaruhi satu sama lain." Demikian ujar desainer Paloma Picasso, seperti dikutip oleh John Naisbitt (1990:106)
Di lain pihak dengan kemajuan di bidang komunikasi (termasuk telekomunikasi tentunya), melalui film, TV, radio, surat kabar, telepon, computer, internet, d1l. anak-anak sekarang sudah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar. Dalam tulisan berikutnya, John Naisbitt menggambarkan: Dahulu biaya untak memulai sebuah surat kabar sama dengan biaya untuk memulai sebuah pabrik baja. Akan tetapi, dengan desktop publishing sekarang ini, sebuah surat kabar dapat dimulai dalam semalam dengan sedikit sekali biaya. Daily Planet Telluride sepenuhnya didigitalkan, termasuk pemakaian kamera digital yang citranya diumpankan langsung ke dalam komputer. (John Naisbitt, 1994:28-29).
Jadi sekarang ini kehidupan kita senantiasa dibayangi oleh perkembangan IPTEKS (baca: Ilmu, Teknologi dan Seni) dengan akselerasi laju yang luar biasa, yang menyebabkan terjadinya "ledakan informasi". Pertumbuhan pengetahuan pada tahun 80-an saja berjalan dengan kecepatan 13% per tahun. Ini berarti bahwa pengetahuan yang ada akan berkembang menjadi dua kali lipat hanya dalam tempo kira-kira 5,5 tahun. Akibatnya pengetahuan dalam bidang tertentu menjadi "kadaluwarsa" hanya dalam tempo kira-kira 2,5 tahun. (Dikutip dari Miguel Ma.Varela, Education for Tomorrow, APEID, Unesco PROAP, Bangkok, 1990, oleh Santoso S. Hamidjojo).
Dari gambaran di atas kiranya jelas bahwa dunia yang dihadapi peserta didik termasuk mahasiswa pada saat ini, sangat kompleks.Wajarlah jika secara periodik kurikulum senantiasa harus selalu ditinjau kembali, dan senantiasa ada pembaharuan di bidang kurikulum.
Masa depan kita ditandai oleh banjir informasi dan perubahan yang amat cepat dikarenakan masyarakat dunia terekspos oleh revolusi di bidang ilmu, teknologi dan seni, serta arus globahsasi, sehingga menuntut kesiapan kita semua untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada atau. akan terjadi. Artinya kita harus mampu menghadapi masyarakat yang sangat kompleks dan global. Faktor-faktor Internal seperti: dampak manajemen yang sentralistik, mekanisme pendanaan oleh pemerintah, manajemen dan organisasi, sumberdaya manusia, penelitian di perguruan tinggi, serta peran serta orang tua dalam pendanaan pendidikan
Pembaharuan pendidikan dan pembelajaran selalu dilaksanakan dari waktu ke waktu dan tak pernah henti. Pendidikan dan pembelajaran berbasis kompetensi merupakan contoh hasil perubahan dimaksud dengan tujuan untuk meningkatkan kulitas pendidikan dan pembelajaran'. Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah "pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur". Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat global. Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi. Paradigma pendidikan berbasis kompetensi yang mencakup kurikulum, pembelajaran, dan penilaian, menekankan pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar kompetensi. Kurikulum berisi bahan ajar yang diberikan kepada siswa/mahasiswa melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran yang mencakup pemilihan materi, strategi, media, penilaian, dan sumber atau bahan pembelajaran. Tingkat keberhasilan belajar yang dicapai siswa/mahasiswa dapat dilihat pada kemampuan siswa/mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikuasai sesuai dengan staniar prosedur tertentu.
Kurikulum dapat. dimaknai sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kuahtas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kuahtas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut aspek lain dari makna kurikulum adalah pengalaman belajar. Pengalaman belajar di sini dimaksudkan adalah pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik seperti yang direncanakan dalam dokumen tertuhs. Pengalaman belajar peserta didik tersebut adalah konsekuensi langsung dari dokumen tertulis yang dikembangkan oleh dosen/instruktur/pendidik. Dokumen tertulis yang dikembangkan dosen ini dinamakan Rencana Perkuliahan/Satuan Pembelajaran. Pengalaman belajar ini memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu jika pengalaman belajar ini tidak sesuai dengan rencana tertulis maka hasil belajar yang diperoleh peserta didik tidak dapat dikatakan sebagai hasil dari kurikulum.

Ada enam dimensi pengembangan kurikulum untuk pendidikan tinggi yaitu pengembangan ide dasar untuk kurikulum, pengembangan program, rencana perkuliahan/satuan pembelajaran, pengalaman belajar, penilaian dan hasil. Keenam dimensi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu Perencanaan Kurikulum, Implementasi Kurikulum, dan Evaluasi Kurikulum. Perencanaan Kurikulum berkenaan dengan pengernbangan Pokok Pikiran/Ide kurikulum dimana wewenang menentukan ada pada pengambil kebijakan urtuk suatu lembaga pendidikan. Sedangkan Implementasi kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum di lapangan (lembaga pendidikan/kelas) dimana yang menjadi pengembang dan penentu adaIah dosen/tenaga kependidikan. Evaluasi KurikuIum merupakan kategori ketiga dimana kurikulum dinilai apakah kurikulum memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang sudah dirancang ataukah ada masalah lain baik berkenaan dengan salah satu dimensi ataukah keseluruhannya. Dalam konteks ini evaluasi kurikulum dilakukan oleh tim di luar tim pengembang kurikulum dan dilaksanakan setelah kurikulum dianggap cukup waktu untuk menunjukkan kinerja dan prestasinya.
Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor 232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum. berdasarkan tujuan belajar (1) Learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, dan (4) learning to be. Bersasarkan pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata. kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan (5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).

Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9 berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai berikut:
Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan "Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu". Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.
SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-elemen kompetensi. Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas nomor 045: Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama, bersifat: dasar untuk mencapai kompetensi lulusan acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi berlaku secara. nasional dan internasional lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa mendatang, dan kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama.
Dalam rangka implementasi KBK di perguruan Tinggi, maka hendaknya kita memperlakukan kelima kelompok mata kuliah tersebut sebagai kelompok kompetensi. Dengan demikian maka setiap mata kuliah harus menjabarkan, kompetensi yang dikembangkan mata kuliah tersebut sehingga setiap mata kuliah memiliki matriks kompetensi. Setelah itu dapat dikembangkan matriks yang menggambarkan sumbangan setiap mata kuliah terhadap kelima, kategori kompetensi. Dengan kurikulum berbasis kompetensi maka sistem penilaian hasil belajar haruslah berubah. Ciri utama perubahan penilaiannya adalah terletak pada pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan serta komprehensif, yang mencakup aspek-aspek berikut:
a) Penilaian hasil belajar
b) Penilaian proses belajar mengajar
c) Penilaian kompetensi mengajar dosen
d) Penilaian relevansi kurikulum
e) Penilaian daya dukung sarana. dan fasilitas
f) Penilaian program (akreditasi)
Sementara itu strategi yang dapat digunakan adalah: Mengartikulasikan standar dan desain penilaian di lingkungan pendidikan pendidikan tinggi. Mengembangkan kemampuan dosen untuk melakukan dan memanfaatkan proses pernbelajaran
Mengembangkan kemampuan subyek didik untuk memanfaatkan hasil penilaian dalam meningkatkan efektifitas belajar mereka. Memantau dan menilai dampak jangka panjang terhadap proses dan hasil belajar. Perubahan yang mendasar juga terjadi pada kriteria lulus dan tidak lulus (menguasai kompetensi atau tidak). Dalam konteks ini tidak setiap kompetensi memiliki rentangan 0 - 4 atau E, D, C. B, dan A, melainkan pendekatan penilaian yang bersifat mastery (Mastery-based Evaluation) untuk menggantikan pendekatan skala yang digunakan pada saat ini.
Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan KBK ini dengan baik sejumlah komponen perlu terlibat secara inten dan memberikan perannya masingmasing sesuai dengan kapasitasnya, antara lain: Visi dan Misi kelembagaan dan kepemimpinan yang berorientasi kualitas dan akuntabilitas serta peka terhadap dinamika pasar. Partisipasi seluruh sivitas akademika (dosen, naahasiswa) dalam bentuk "shared vision" dan "mutual commitment" untuk optimasi kegiatan pembelajaran. Iklim dan kultur akademik yang kondusif untuk proses pengembangan yang berkesinambungan.
Keterlibatan kelompok masyarakat pemrakarsa (stakeholders) serta. Masyarakat pengguna lulusan itu sendiri. Dengan akan segera. dilluncurkannya (launching) Kurikulum 2004 yang lebih dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan bahkan untuk pendidikan tinggi yang sudah diluncurkan sejak tahun 2000, tentu banyak menimbulkan masalah baru, lebih-lebih bila dikaitkan dengan pelaksanaan pembelajaran di masing-masing mata kuhah/pelajaran. Para guru, sebagai ujung tombak dari kegiatan pendidikan, perlu memahami secara mendalami tentang konsep dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi, dalam arti: apa makna hakiki dari KBK, kemana trend KBK harus dibawa/dikembangkan, apa saja komponen yang harus ada, dan bagaimana mengembangkannya, dsb. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan era otonomi daerah di mana kewenangan-kewenangan pusat semakin dikurangi, sementara kewenangan daerah menjadi semakin besar dan luas. Sudah barang tentu era otonomi daerah ini juga membawa dampak yang cukup luas, termasuk tentunya untuk bidang pendidikan.
Di era otonomi seperti sekarang ini kurikulum pendidikan yang belaku secara, nasional bukanlah suatu "harga mati" yang harus diterima dan dilaksanakan apa adanya, melainkan masih dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan, sepanjang tidak menyimpang dari pokok-pokok yang telah digariskan secara, nasional. Dalam hal ini guru adalah pengembang kurikulum yang berada, dalam kedudukan yang menentukan dan strategis. Jika kurikulum diibaratkan sebagai rambu-rambu lalu lintas, maka guru adalah pejalan kakinya. Dengan asumsi bahwa gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan peserta didik, perbedaan perorangan (individual) siswa, daya serap, suasana dalam. kegiatan pembelajaran, serta sarana dan sumber yang tersedia, maka guru berwenang untuk menjabarkan dan mengembangkan kurikulum kedalam, silabus pengembangan kurikulum kedalam. silabus ini hendaknya mendasarkan pada beberapa hal, di antaranya: isi (konten), konsep, kecakapan/keterampilan, masalah, serta minat siswa/mahasiswa.
Sesuai dengan jiwa otonomi dalam bidang pendidikan seperti pada Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, bidang pendidikan dan kebudayaan, pemerintah memiliki wewenang menetapkan: (1) standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan (2) standar materi pelajaran pokok.
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu. Mengacu pada pengertian tersebut, dan juga untak merespons terhadap keberadaan PP No.25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas adalah menyusun standar nasional untuk seluruh mata pelajaran, yang mencakup komponen-komponen; (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) materi pokok, dan (4) indikator pencapaian. Sesuai dengan komponen-komponen tersebut maka format Kurikulum 2004 yang memuat standar kompetensi nasional matapelajaran adalah seperti tampak pada Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilari, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu matapelajaran. Cakupan standar kompetensi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance standard). Kompetensi dasar, merupakan jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa pada masing-masing standar kompetensi. Materi pokok atau materi pembelajaran, yaitu pokok suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, isi, proses, keterampilam, serta konteks keilmuan suatu mata pelajaran. Sedangkan indikator pencapaian dimaksudkan adalah kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasan belajar.
Selanjutnya pengembangan kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan sistem penilaian mencakup jenis tagihan, bentuk instrumen, dan pelaksanaannya. jenis tagihan adalah berbagai tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal uraian. Pengembangan kurikulum 2004 harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan Kurikulum 2004 perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut: Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
Kurikulum SMK dirancang menggunakan berbagai pendekatan sebagai berikut: (1) pendekatan akademik, (2) pendekatan kecakapan hidup (life skills), (3) pendekatan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum), (4) pendekatan kurikulum berbasis luas dan mendasar (broad-based curriculum).
a. Pendekatan Akademik
Kurikulum adalah sebuah perangkat pendidikan, karena itu harus secara sadar dirancang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah kekurikuluman. Kaidah-kaidah akademik yang harus diikuti dalam penyusunan kurikulum antara lain adalah:
a) Kurikulum berisi rancangan pendidikan dan pelatihan yang menyeluruh dan terpadu.
b) Kurikulum mengandung komponen tujuan, isi atau materi dan evaluasi yang dirancang menjadi satu kesatuan yang utuh.
c) Tujuan kurikulum secara jelas menunjukan tujuan langsung (instructional effect) dan tujuan tidak langsung sebagai dampak pengiring (nurturant effect) bagi pengembangan peserta didik seutuhnya.
b. Pendekatan Kecakapan Hidup (life skills)
Agar peserta didik dapat mengenal dengan baik dunianya dan dapat hidup wajar di masyarakat, perlu dibekali kecakapan hidup (life skills). Kecakapan hidup meliputi: (a) kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (b) kecakapan sosial (social skill), (c) kecakapan akademik (academic skill), dan (d) kecakapan vokasional (vocational skill).

a. Pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum)
Kompetensi (competency) mengandung makna kemampuan seseorang yang disyaratkan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu pada dunia kerja dan ada pengakuan resmi atas kemampuan tersebut.
Dalam lingkup pendidikan menengah kejuruan pengertian kurikulum berbasis kompetensi dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Kurikulum berbasis kompetensi diartikan sebagai rancangan pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan berdasarkan persyaratan-persyaratan berupa standar kompetensi yang berlaku di tempat kerja.
b) Substansi kompetensi memuat pernyataan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude).
c) Isi atau materi kurikulum yang dirancang dengan pendekatan berbasis kompetensi diorganisasi dengan sistem modular (satuan utuh), ditata secara sekuensial dan sistemik. Yang dimaksud dengan sistem modular adalah perancangan substansi pembelajaran berdasarkan satuan kompetensi secara utuh, sehingga memudahkan perpindahan dari suatu satuan pembelajaran ke satuan pembelajaran lainnya berdasarkan prinsip pembelajaran tuntas. Dalam pelaksanaannya, bahan ajar untuk mendukung pembelajaran dapat berbentuk modul.
d) Ada korelasi langsung antara penjenjangan jabatan pekerjaan di dunia kerja dengan pentahapan pencapaian kompetensi di SMK.

c. Pendekatan Kurikulum Berbasis Luas dan Mendasar (broad-based curriculum)
Pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memahami dan menguasai konsep, prinsip dan keilmuan yang melandasi suatu bidang keahlian sangat diperlukan dalam pendidikan dan pelatihan di SMK. Peserta didik tidak hanya memahami dan menguasai “apa” (know what) dan “bagaimana” (know how) suatu pekerjaan dilakukan, tetapi harus sampai kepada pemahaman dan penguasaan tentang “mengapa” (know why) dilakukan. Dengan demikian, kurikulum tidak hanya dikembangkan untuk tujuan penguasaan suatu kompetensi dalam arti sempit, tetapi diarahkan untuk penguasaan kompetensi dalam arti yang luas, termasuk kompetensi untuk beradaptasi atau mengalihkan/transfer kompetensi yang dimiliki ke dalam situasi yang baru.

Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah:
a) Kompetensi berkenaan dengan kompetensi siswa melakukan sesuatu dalam berbagai situasi dan keadaan (dalam berbagai konteks ).
b) Kompetensi dapat menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten dibidang tertentu.
c) Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang mampu dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
d) Kehandalan kompetensi siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja/unjuk kerja yang dapat diukur.

Ciri-ciri Kurikulum Berbasis Kompetensi
a) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
b) Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
c) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metoda yang bervariasi.
d) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
e) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya mencapai suatu kompetensi.
Beberapa Pengertian Dalam KBK
1. Kurikulum: Perangkat Mata Pelajaran/Mata Diklat yang diajarkan di Sekolah/Lembaga Pendidikan Pelatihan (Lemdiklat )
2. Kompetensi:
a) Pengetahuan, Ketrampilan dan Nilai-nilai Dasar yang Direfleksikan dalam Kebiasaan Berpikir dan Bertindak.
b) Kompetensi dan Kewenangan seseorang dalam melaksanakan suatu tugas dan atau pekerjaan.
c) Pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kompetensi secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kompetensi yang dapat diamati dan diukur.
d) Kompetensi yang dapat dilakukan siswa yang mencakup pengetahuan, ketrampilan dan prilaku.
e) Kebulatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang dapat didemonstrasikan, ditunjukkan atau ditampilkan siswa sebagai hasil belajar.
3. Standar Kompetensi :
a) Pernyataan tentang pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang dipersyaratkan untuk melaksanakan tugas/pekerjaan tertentu sesuai dengan kriteria penampilan pada suatu standar yang telah ditetapkan.
b) Batas dan arah kompetensi yang harus dimiliki dan dapat dilakukan siswa setelah mengikuti proses pembelajaran suatu mata pelajaran tertentu.
c) Pernyataan tentang pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang harus dikuasai siswa serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu mata pelajaran.
d) Kompetensi yang dapat dilakukan atau ditampilkan untuk satu mata pelajaran.
e) Kompetensi dalam mata pelajaran tertentu yang harus dimiliki siswa.
f) Kompetensi yang harus dimiliki oleh tamatan dalam suatu mata pelajaran.
4. Kompetensi Lintas Kurikulum:
Kompetensi antar rumpun pelajaran dari Kurikulum Berbasis Kompetensi dan merupakan pernyataan tentang pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang hayat dan kecakapan hidup yang harus dimiliki.
5. Kompetensi Tamatan: Pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang pendidikan tertentu.
6. Kompetensi Rumpun Pelajaran: Pernyataan tentang pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang seharusnya dicapai setelah siswa menyelesaikan rumpun pelajaran tertentu.
7. Kompetensi dasar: pengetahuan, ketrampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa. Kompetensi dasar merupakan penjabaran dari Standar Kompetensi.
Prinsip-prinsip dalam Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini.
1. Keimanan, Nilai dan Budi Pekerti Luhur
2. Penguatan Integritas Nasional
3. Keseimbangan Etika, Logika, Estetika dan Kinestetika
4. Kesamaan Meperoleh Kesempatan
5. Abad Pengetahuan dan Teknologi Informasi
6. Pengembangan Kecakapan Hidup ( Life Skill )
7. Belajar Sepanjang Hayat
8. Berpusat pada Anak dengan Penilaian yang Berkelanjutan dan
Komprehensif
9. Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan
Tahapan Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
1. Penyusunan Silabus
Tahap paling awal dari penerapan KBK adalah penyusunan silabus
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Perencanaan
Pembentukan Tim penyusun silabus yang dapat terdiri dari tim MGMP/K3S,
Guru-guru dari satu atau beberapa sekolah.
B. Pelaksanaan
Dalam penyusunan silabus, tim penyusun perlu menganalisis dan
melakukan ha-hal sebagai berikut:
a) Memahami seluruh konteks Kurikulum Berbasis Komptensi ( KBK ).
b) Menelaah perangkat kebijakan KBK yang mendeskripsikan hakikat KBK, struktur KBK, dan pelaksanaan KBK
c) Merumuskan Standar Kompetensi. Standar Kompetensi dijabarkan dari

Visi dan Misi lembaga penyelenggara pendidikan.
a) Merumuskan kompetensi dasar. Kompetensi dasar dijabarkan dari Standar Kompetensi.
b) Menentukan materi pembelajaran.
c) Merumuskan tujuan pembelajaran dan menentukan materi pelajaran yang memuat tiga komponen utama yaitu: kompetensi dasar, pengalaman belajar dan indikator hasil belajar.
d) Menentukan cara dan alat penilaian dengan menggunakan perangkat Penilaian Berbasis Kelas yang menyajikan dan mendeskripsikan tentang sistem penilaian yang sesuai dengan misi KBK
e) Menentukan pengalaman belajar siswa.
f) Menentukan alokasi waktu.
g) Menentukan sumber bahan..
C. Perbaikan
Buram (draft) silabus perlu dikaji ulang sebelum digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Para pengkaji dapat terdiri atas para ahli mata pelajaran, ahli metodik/didaktik, ahli penilaian, guru/instruktur, kepala
sekolah dan pengawas.
D. Pemantapan
Masukan dari pengkajian ulang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki buram awal. Apabila telah memenuhi kriteria dengan cukup baik dapat segera disampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan komunitas sekolah lainnya
D. Pemecahan Masalah Implementasi Kurikulum di SMK Bidang Keahlian Teknik mesin
Meskipun dikatakan bahwa guru bukan satu satunya suber belajar dalam KBK namun aspek aspek lain dari konsep KBK sangat menuntut profesionalisme guru disamping sumber sumber daya pendukung lainnya..Berdasarkan kajian konsep peramalan teoretik implementasi kurikulum, dasarnya kekutan teoritik dengan teknik pemetaan, maka dalam kajian ini terlebih dahulu dibutuhkan sejumlah asumsi data yang ada di sekolah. Salah satu aspek berkenaan dengan data yang ada di sekolah mencakup:
1.Asumsi Pentingnya Profesionalisme dalam Sistem Organisasi Sekolah
SMK Bidang keahlian teknik Mesin sebagai pelaksana kebijakan pengembangan kurikulum dan pembelajaran, ditinjau dari hubungan antara lingkungan dengan kondisi potensi sekolah menghadapi tingkat prakondisi yang berbeda. Ada kecenderungan tidak begitu saja dapat melaksanakan perubahan dan tidak mampu mengatasi hambatan, maka mencoba untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalkan konsekuensi dengan prinsip apa adanya. Implikasinya, kurikulum hanya sebatas bingkai administrasi dengan pelayanan pembelajaran bertahan kebiasaan masa lalu.Karenanya menuntut kemampuan profesional terutama guru dan kepala sekolah dalam pelaksaan kurikulum tersebut.
2. Asumsi Sumber-sumber Daya Pendukung
Sumber-sumber daya pendidikan dalam mendukung implementasi kurikulum, seyogyanya memenuhi kriteria dan nilai-nilai serta standar yang ada. Konsekuensinya pemerintah dalam hal ini yang meluncurkan kebijakan, mesti mempertimbangkan pemenuhan sumber-sumber daya pendukung seperti
(a) Sumber daya manusia terlatih sebagai agen melalui sistem penilaian kebutuhan
(b) Sumber daya ekonomi baik melalui APBN, APBD, loan dan block grand yang memenuhi syarat transfaransi, akuntabilitas, kejujuran dan adil
(c) Kejelasan alokasi pendistribusian penggunaan
(d) Sistem akuntansi yang jelas dan terukur serta dapat diaudit dan dilaporkan setiap saat kepada pihak-pihak berwenang, termasuk masyarakat sekolah.
Sumber-sumber daya pendukung yang bersifat material mempunyai kepekaan yang sensitif, sehingga setiap sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan dapat memenuhi asas keadilan, kecukupan, efektif dan efisien.
3. Asumsi Faktor Non Material Implementasi Kurikulum
Terdapat tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu (Meter.V.dan Horn.V,2002)‟
Salah satu faktor yang sering menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan pendidikan adalah faktor psikologis dari para implementor, baik secara organsiasi maupun individu-individu. Aspek psikologis, merupakan faktor yang dominan bahkan telah menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi persepsi negatif terhadap konsistensi kebijakan yang terdahulu. Situasi psikologis inilah yang menjadi resistansi para pelaksana kebijakan tingkat mikro, seperti pengawas, kepala sekolah, guru dan staf tata usaha. Resistansi terbesar adalah dalam menyikapi konsistensi dan kesinambungan yang harus dilaksanakan cenderung dipengaruhi oleh pengalaman yang telah dialami berulang-ulang yakni kebijakan yang tidak konsisten dipandang dari implementasi. Oleh sebab itu, perlu adanya model pengembangan kapasitas organisasi sekolah secara kontinu dan tidak dirasakan sebagai beban, melainkan menjadi budaya organisasi pembelajaran.
4. Strategi Pencapaian Tujuan SMK Bidang keahlian teknik Mesin
Pertumbuhan industri masa kini dan ke depan, terus berubah seiring dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu, membawa dampak pada sumber daya manusia yang dibutuhkan termasuk lulusan SMK Teknologi. Dunia pendidikan saat ini, juga tidak dapat melepaskan dari isu persaingan baik di lingkungan lokal, nasional dan global. Kondisi ini memungkinkan negara lain akan membuka sekolah sejenis SMK Teknologi di negara kita. Pengembangan strategi pasar dalam konteks dinamika lingkungan, merupakan suatu kondisi dimana arah dan orientasi masyarakat pada tingkat lokal, dan nasional dilihat dari sudut pertumbuhan ekonomi secara bebas. Persoalan yang dihadapi berbagai organisasi, adalah ketidakpastian dan konsistensi dari berbagai kebijakan pemerintah selama ini termasuk dalam dunia pendidikan. Hal itu, menunjukkan bahwa faktor dinamika ekonomi menjadi salah satu instrumen yang mempengaruhi kebijakan, implikasinya sekolah sebagai kelompok sasaran dituntut mempunyai kapasitas untuk melakukan analisis dinamika lingkungan. Suatu kondisi dalam membaca lingkungan sekolah yang mempersiapkan tenaga kerja bidang industri. Kompleksitas lingkungan sebagai dinamika yang memberikan tekanan kepada sekolah, agar mampu bertahan untuk tetap hidup, atau ekspansi melalui pengembangan program baru yang dipandang dapat merebut pasar. Oleh karena itu, yang harus menjadi perhatian adanya langkah-langkah yang dapat mengatasi pemahaman dinamika lingkungan. Adapun langkah yang disarankan antara lain: kepala sekolah dalam kapasitasnya sebagai pimpinan organisasi pendidikan teknologi dan kejuruan, membentuk tim kerja yang bertugas melaksanakan analisis lingkungan sekolah. Analisis dinamika lingkungan sekolah, sebagai titik tolak dalam memahami refleksi tuntutan perubahan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Anggota tim kerja yang dilibatkan, seyogyanya mereka yang mempunyai perhatian dan kapasitas berpikir dan komitmen terhadap pengembangan sekolah.



BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
a. Kemampuan mengadaptasi konteks lingkungan
SMK sebagai kelompok sasaran pelaksana kebijakan pengembangan kurikulum, sudah seharusnya menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah. Salah satu dari prinsip yang dilakukan yakni, aktivitas menganalisis kondisi lingkungan internal dan eksternal dalam suatu kesatuan sistem perencanaan stratejik.
b. Kemampuan pengembangan input sumber-sumber daya pendidikan
Dimensi kemampuan internalisasi hasil analisis dinamika lingkungan strategis, tampak dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Secara eksplisit, dituangkan ke dalam Rencana Strategi dan Rencana Operasional sekolah berupa program secara rinci dengan sasaran pengembangan komponen sumber-sumber daya pendidikan sebagai instrumen input. Pengembangan instrumental input, mencakup KTSP, Potensi Peserta Diklat; Potensi Tenaga Pendidik dan Kependidikan; Sarana Prasarana; Organisasi Sekolah; Pembiayaan; Ketatausahaan dan Perkantoran; Regulasi Sekolah; Peranserta Masyarakat dan Budaya Organisasi Sekolah.
c. Proses transformasi input sumber-sumber daya pendidikan
Proses transformasi manajemen kurikulum dan pembelajaran secara konseptual selaras dengan fungsi-fungai dan prinsip MBS. Persoalan yang dihadapi sekolah adalah bagaimana mengelola sumber-sumber daya terbatas pada satu pihak, dan tuntutan pemenuhan kebutuhan terstandar di lain pihak. Kompleksitas manajemen dapat diatasi dengan berbagai upaya, salah satunya melalui musyawarah pada tingkat komite sekolah untuk melakukan kesepahaman dan kesepakatan guna pemenuhan kebutuhan.
Proses transformasi belajar mengajar merupakan inti dari pelayanan sekolah, dalam hal ini di beberapa sekolah harus dilengkapi dengan bahan ajar modul, rasio guru dengan siswa, peralatan berdasarkan rasio alat dengan siswa, waktu dan tempat penggunaan, penilaian melalui verifikasi internal dan eksternal. Komponen output mewujud pada kompetensi lulusan yang diakui berdasarkan standar nasional dan internasional, merupakan sesuatu yang dapat diestimasi capaiannya berdasarkan data-data sebelumnya. Hal itu berlaku bagi setiap sekolah baik negeri maupun swasta.
2. Saran
a. Bagi pihak yang berwenang dalam menentapkan kebijakan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Implementasi Kurikulum dan Pembelajaran harus dipandang sebagai stimulus dan sarana pemecahan masalah perbaikan mutu proses serta hasil pendidikan di sekolah, sehingga perlu dilakukan pengkajian secara komprehensif mengenai pra kondisi dengan menentapkan patok duga faktor pendukung, sebagai acuan pencapaian kompetensi lulusan.
b. Bagi pihak penyelenggara SMK;
Sekolah dalam menggali, mendistribusikan, dan memanfaatkan sumber-sumber daya pendidikan sebagai komponen input, harus dilandasi oleh prinsip pencapaian sasaran yang dilandasi kriteria kinerja masing-masing kegiatan dengan memperhatikan potensi sekolah. Demikian pula dalam upaya meningkatkan prestasi sekolah, perlu dibangun peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan lainnya melalui pembelajaran organisasi, sehingga tercipta kondisi menajamen sekolah yang inovatif dan mengarah kepada pelayanan pembelajaran sesuai dengan tuntutan standar nasional dan internasional.

DAFTAR BACAAN
BOOK REPORT
Sanjaya, Wina. (2006),Pembelajaran Dalam Implementas Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kencana,jakarta

PEMBAHASAN
Arcaro, Jerome S. (1995), “Quality in Education, an Implementation Hand Book”, ST. Lucie Press, 100 Linton Blud, Suite 403 B Delray Beach, FL 33483

Chinien Chris (2002).Review of Vocational Education and Training in Schools. Department of Education and Training, 151 Royal Street, East Perth WA 6004

Coit, F. B.(1972). Instructional System Development for Vocational and Technical Training.New Jersey:Educational Technology Publication

Daniel.J.R., Herbert Sherman (1999), “From Strategy to Change: Implementing The Plan In Higher Education”. San Fransisco: Jossey-Bass.

Dokumentasi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. (2000-2005). Jakarta: Depdiknas

Dokumentasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat. (2003-2005).Bandung

Dokumentasi Data Akreditasi Tahun (2002-2005). Bandung: Dinas Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar