Litwin dan Stringer (dalam Gunbayi, 2007:1) menjelaskan iklim sekolah didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli sebagai hasil dari persepsi subjektif terhadap sistem formal, gaya informal kepala sekolah, dan faktor lingkungan penting lainnya yang memepengaruhi sikap, kepercayaan, nilai dan motivasi individu yang berada pada sekolah tersebut. Namun demikian variasi definisi iklim sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok. Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan, praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai kepribadian suatu sekolah merujuk pada beberapa pendapat berikut. Halpin dan Croft (dalam Tubbs dan Garner, 2008:17) menjelaskan iklim sekolah sebagai sesuatu yang intangible tetapi penting untuk sebuah organisasi dan dianalogikan dengan kepribadian seorang individu. Hoy dan Miskel (dalam Pretorius dan Villiers, 2009:33) menjelaskan iklim sekolah merujuk kepada hati dan jiwa dari sebuah sekolah, psikologis dan atribut institusi yang menjadikan sekolah memiliki kepribadian, yang relatif bertahan dan dialami oleh seluruh anggota, yang menjelaskan persepsi kolektif dari perilaku rutin, dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku di sekolah
Menurut Hoy, Smith dan Sweetland (dalam Milner dan Khoza, 2008:158), iklim sekolah dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam di sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup. Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain. Sorenson dan Goldsmith (2008:30) memandang iklim sekolah sebagai kepribadian kolektif dari sekolah. Oleh karena itu inti dari iklim sekolah adalah bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Cohen et.al. (dalam Pinkus, 2009:14) menjelaskan iklim sekolah sebagai kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah, berdasarkan pola perilaku siswa, orang tua dan pengalaman personil sekolah tentang kehidupan sekolah yang mencerminkan norma-norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, praktek belajar dan mengajar, serta struktur organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai suasana di tempat merujuk pada beberapa pendapat berikut. Moos (1979:81) mendefinisikan iklim sekolah sebagai pengaturan suasana sosial atau lingkungan belajar. Moos membagi lingkungan sosial menjadi tiga kategori, yaitu 1) Hubungan, termasuk keterlibatan, berafiliasi dengan orang lain di dalam kelas, dan dukungan guru; 2) Pertumbuhan pribadi atau orientasi tujuan, meliputi pengembangan pribadi dan peningkatan diri semua anggota lingkungan; dan 3) Pemeliharaan sistem dan perubahan sistem, meliputi ketertiban dari lingkungan, kejelasan dari aturan-aturan, dan kesungguhan dari guru dalam menegakkan aturan. Wenzkaff (dalam Cherubini, 2008:40) mengemukakan iklim suatu sekolah menginformasikan mengenai atmosfir dalam kelas, ruang fakultas, kantor, dan setiap gang yang ada di sekolah. Haynes, et.al. (dalam Hoffman et.al., 2009:2) mendefinisikan iklim sekolah sebagai kualitas dan konsistensi interaksi interpersonal dalam masyarakat sekolah yang mempengaruhi kognitif, sosial, dan perkembangan psikologi anak. Styron dan Nyman (2008:2) menjelaskan iklim sekolah adalah komponen penting untuk mewujudkan sekolah menengah yang efektif. Iklim sekolah adalah lingkungan remaja yang ramah, santai, sopan, tenang, dan enerjik. Keseluruhan iklim sekolah dapat ditingkatkan oleh sikap dan perilaku positif dari para siswa dan guru. Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah menengah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.
Pemahaman iklim sekolah sebagai persepsi individu merujuk pada beberapa pendapat berikut. Stichter (2008:45) menyimpulkan iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi bersama tentang apa yang sedang terjadi secara akademis, secara sosial, dan lingkungan di sekolah secara rutin
Menurut Reichers dan Schneider (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) iklim secara luas menggambarkan persepsi bersama menyangkut berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Secara sempit iklim diartikan sebagai persepsi bersama mengenai kebijakan organisasi dan prosedur pelaksanaan, baik secara formal maupun informal. Kopelman, Brief dan Guzzo (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menjelaskan persepsi bersama memungkinkan individu untuk memahami ambiguitas, konflik organisasi dan ketidakpastian, memperkirakan hasil, serta menilai kesesuaian kegiatan organisasi. Oleh karena itu iklim organisasi mempunyai peran fungsional untuk membentuk dan mengarahkan perilaku individu dalam organisasi. Mcevoy (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menyatakan iklim sekolah mengacu pada sikap, kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari praktek pembelajaran dan operasi suatu sekolah.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai iklim organisasi sebagaimana dikemukakan terdahulu, dapat disimpulkan iklim sekolah adalah persepsi kolektif terhadap kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah.
Urgensi Iklim Sekolah
Uraian mengenai urgensi iklim sekolah didasarkan pada dampak yang dapat ditimbulkannya merujuk kepada berbagai hasil penelitian. Cohen et.al. (2009) menjelaskan, selama tiga dekade terakhir telah terjadi pertumbuhan penelitian yang luar biasa yang membuktikan pentingnya iklim sekolah. Penelitian membuktikan bahwa iklim sekolah yang positif berdampak langsung terhadap keberhasilan sekolah seperti siswa putus sekolah rendah, tingkat kekerasan menurun, dan prestasi siswa meningkat. Freiberg (dalam Marshall (2002:1) menegaskan iklim sekolah dapat menjadi pengaruh positif pada kesehatan lingkungan belajar atau hambatan yang signifikan untuk belajar.
Merujuk kepada berbagai hasil penelitian, Marshall (2002:2) memberikan beberapa kesimpulan mengenai pentingnya iklim sekolah bagi berbagai pihak, sebagai berikut.
Iklim sekolah dapat mempengaruhi banyak orang di sekolah. Misalnya, iklim sekolah yang positif telah dikaitkan dengan emosi dan perilaku siswa yang bermasalah.
Iklim sekolah di perkotaan berisiko tinggi menunjukkan bahwa lingkungan yang positif, mendukung, dan budaya sadar iklim sekolah signifikan dapat membentuk kesuksesan siswa perkotaan dalam memperoleh gelar akademik. Para peneliti juga menemukan bahwa iklim sekolah yang positif memberikan perlindungan bagi anak dengan lingkungan belajar yang mendukung serta mencegah perilaku antisocial.
Hubungan interpersonal yang positif dan kesempatan belajar yang optimal bagi siswa di semua lingkungan demografis dapat meningkatkan prestasi dan mengurangi perilaku maladaptive.
Iklim sekolah yang positif berkaitan dengan peningkatan kepuasan kerja bagi personil sekolah.
Iklim sekolah dapat memainkan peran penting dalam menyediakan suasana sekolah yang sehat dan positif.
Interaksi dari berbagai sekolah dan faktor iklim kelas dapat memberikan dukungan yang memungkinkan semua anggota komunitas sekolah untuk mengajar dan belajar dengan optimal.
Iklim sekolah, termasuk “kepercayaan, menghormati, saling mengerti kewajiban, dan perhatian untuk kesejahteraan lainnya, memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidik dan peserta didik ,’hubungan antar peserta didik, serta’ prestasi akademis dan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Iklim sekolah yang positif merupakan lingkungan yang kaya, untuk pertumbuhan pribadi dan keberhasilan akademis.
Dimensi Pengukuran Iklim Sekolah
Banyak peneliti telah mengidentifikasi berbagai dimensi untuk mengukur iklim sekolah. Salah satunya menurut Gunbayi (2007:2) adalah Halpin & Croft (1963), yang mengajukan delapan dimensi iklim organisasi. Empat di antaranya berfokus pada perilaku guru, yaitu disengagement, hindrance, esprit dan intimacy. Empat dimensi lagi fokus pada perilaku kepala sekolah, yaitu aloofness, production, thrust, dan consideration. Tahun 1968 Harvard Business mengidentifikasi enam dimensi iklim sekolah, yaitu flexibility, responsibility, standards, rewards, clarity and team commitment. Schneider pada tahun 1983 mengemukakan enam dimensi iklim organisasi, yaitu organizational support, member quality, openness, supervisory style, member conflict dan member autonomy.
Tahun 1996 Hoy, Hofman, Sabo dan Bliss (dalam Gunbayi (2007:2) menjabarkan 6 dimensi iklim sekolah, yang dikelompokkan ke dalam dua aspek, yaitu aspek perilaku kepala, dan aspek perilaku guru. Tiga dimensi perilaku kepala sekolah yang diukur adalah supportive, directive, dan restrictive, sedangkan tiga dimensi perilaku guru yang diukur adalah collegial, committed, dan disengaged.
Supportive, adalah perilaku kepala sekolah yang diarahkan kepada kebutuhan sosial dan prestasi kerja. Kepala sekolah suka menolong, benar-benar memperhatikan guru, dan berupaya untuk memotivasi dengan menggunakan kritik yang konstruktif dan dengan memberikan contoh melalui kerja keras. Directive, adalah perilaku kepala sekolah yang kaku. Kepala sekolah terus-menerus memantau hampir semua aspek perilaku guru di sekolah. Restrictive, adalah perilaku kepala sekolah yang membatasi pekerjaan guru daripada memfasilitasinya. Kepala sekolah membebani guru dengan pekerjaan administratif, dan permintaan lainnya yang menggangu tanggung jawab mengajar. Collegial, adalah perilaku guru yang terbuka dan mendukung interaksi antara guru secara profesional. Seperti saling menghormati dan membantu satu sama lain baik secara pribadi maupun secara profesional. Committed, adalah perilaku guru yang diarahkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan sosial. Guru bekerja ekstra keras untuk memastikan keberhasilan siswa di sekolah. Disengaged adalah perilaku guru yang kurang fokus dan bermakna bagi kegiatan profesional.
Cohen, et.al. (dalam Pinkus, 2009:14), menjabarkan pengukuran iklim sekolah ke dalam 10 dimensi, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 1) safety, 2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment.
Kategori pertama terdiri atas a) rules and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan dilaksanakan secara konsisten; b) physical safety meliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari kerugian fisik di sekolah; dan c) social and emotional security meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan pengecualian.
Kategori kedua terdiri atas a) support for learning, menunjukkan adanya dukungan terhadap praktek-praktek pengajaran, seperti tanggapan yang positif dan konstruktif, dorongan untuk mengambil risiko, tantangan akademik, perhatian individual, dan kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai cara; dan b) social and civic learning, menunjukkan adanya dukungan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial dan kemasyarakatan, termasuk mendengarkan secara efektif, pemecahan masalah, refleksi dan tanggung jawab, serta pembuatan keputusan yang etis.
Kategori ketiga terdiri atas: a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa.
Kategori keempat, terdiri atas a) school connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah bagi siswa dan keluarga; dan b) physical surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan sumber daya dan material yang memadai.
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya : (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4) meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK. Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah : (1) meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4) pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.
Pengembangan Budaya Sekolah
Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut ini.
Berfokus pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah. Pengembangan budaya sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah.
Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal. Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko. Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
Memiliki Strategi yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
Berorientasi Kinerja. Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
Sistem Evaluasi yang Jelas. Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
Memiliki Komitmen yang Kuat. Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
Keputusan Berdasarkan Konsensus. Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.
Sistem Imbalan yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah.
Evaluasi Diri. Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya sekolah.
Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya pengembangan budaya sekolah juga seyogyanya berpegang pada asas-asas berikut ini:
Kerjasama tim (team work). Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil sekolah.
Kemampuan. Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.
Keinginan. Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.
Kegembiraan (happiness). Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.
Hormat (respect). Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan sebagaianya.
Jujur (honesty). Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya sekolah yang baik.
Disiplin (discipline). Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf.
Empati (empathy). Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami.
Pengetahuan dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.
Sumber adaptasi dari: Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.2007. Pengembangan Budaya dan Iklim Pembelajaran di Sekolah (materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah). Jakarta.
Daftar Rujukan
Cherubini, Lorenzo. (2008). Teacher Candidates’ Perceptions of School Culture: A Mixed Methods Investigation. Journal of Teaching and Learning. 5(2), 39-54. [Online]. Tersedia: http://www.phaenex.uwindsor.ca/ojs/leddy/ index.php/JTL/ article/view/157/51
Gunbayi, Ilhan. (2007). School Climate and Teachers’ Perceptions on Climate Factors: Research Into Nine Urban High Schools. The Turkish Online Journal of Educational Technology (TOJET). 6(3). 1-10. [Online]. Tersedia: http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_ storage_01/0000019b/80/3d/04/58.pdf
Hoffman, Lorrie L., Hutchinson, Cynthia J., dan Reiss, Elayne., (2009). On Improving School Climate: Reducing Reliance on Rewards and Punishment. International Journal Of Whole Schooling. 5 (3). [Online]. Tersedia: http://www.wholeschooling.net/Journal_of_Whole_Schooling/ articles/5-1%20Hoffman.pdf
Marshall, Megan L. (2002). Examining School Climate: Defining Factors And Educational Influences. Center for Research on School Safety, School Climate and Classroom Management Georgia State University. [Online]. Tersedia: http://education.gsu.edu/schoolsafety/download%20files/wp%20 2002%20school%20climate.pdf
Milner, Karen dan Khoza, Harriet. (2008). A Comparison of Teacher Stress and School Climate Across Schools with Different Matric Success Rates. South African Journal of Education. 28. 155-173. [Online]. Tersedia: http://ajol.info/index.php/saje/article/viewFile/25151/4350
Moos, R.H. (1979). Evaluating Educational Environments: Procedures, Measures, Findings, and Policy Implications. San Francisco: Jossey-Bass. [Online]. Tersedia: http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/envrnmnt/famncomm/pa3lk1.htm. [16 Agustus 2009]
Pinkus, Lyndsay M. (2009). Moving Beyond AYP: High School Performance Indicators. Alliance for Excellent Education. 1-20. [Online]. Tersedia: http://www.all4ed.org/files/SPIMovingBeyondAYP.pdf
Pretorius, Stephanus dan Villiers, Elsabe de. (2009). Educators’ Perceptions of School Climate and Health in Selected Primary Schools. South African Journal of Education. (29). 33-52. [Online]. Tersedia: http://www.sajournalofeducation.co.za/index.php/saje/article/view/230/ 141
Sorenson, Richard D., Goldsmith, Lloyd M. (2008). The Principal’s Guide to Managing School Personnel. Corwin Press. [Online]. Tersedia: http://books.google.co.id/books?id=tomNInqEARcC&printsec=frontcover#v=onepage&q=&f=false
Stichter, Kenneth (2008). Student School Climate Perceptions as a Measure of School District Goal Attainment. Journal of Educational Research & Policy Studies. 8 (1). 44-66. [Online]. Tersedia: http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_storage_01/0000019b/80/3f/5a/c3.pdf
Styron Jr, Ronald A., Nyman, Terri R., (2008). Key Characteristics of Middle School Performance. RMLE Online. 31(5). 1-17. [Online]. Tersedia: http://www.nmsa.org/portals/0/pdf/publications/RMLE/rmle_vol31_no5.pdf
Tubbs, J.E., dan Garner, M., (2008). The Impact Of School Climate On School Outcomes. Journal of College Teaching & Learningi. 5 ( 9); 17-26. [Online]. Tersedia: http://www.cluteinstitute-onlinejournals.com/PDFs/1212.pdf
1. Pengertian Iklim Sekolah
Litwin dan Stringer (dalam Gunbayi, 2007:1) menjelaskan iklim sekolah didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli sebagai hasil dari persepsi subjektif terhadap sistem formal, gaya informal kepala sekolah, dan faktor lingkungan penting lainnya yang memepengaruhi sikap, kepercayaan, nilai dan motivasi individu yang berada pada sekolah tersebut. Namun demikian variasi definisi iklim sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok. Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan, praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai kepribadian suatu sekolah merujuk pada beberapa pendapat berikut. Halpin dan Croft (dalam Tubbs dan Garner, 2008:17) menjelaskan iklim sekolah sebagai sesuatu yang intangible tetapi penting untuk sebuah organisasi dan dianalogikan dengan kepribadian seorang individu. Hoy dan Miskel (dalam Pretorius dan Villiers, 2009:33) menjelaskan iklim sekolah merujuk kepada hati dan jiwa dari sebuah sekolah, psikologis dan atribut institusi yang menjadikan sekolah memiliki kepribadian, yang relatif bertahan dan dialami oleh seluruh anggota, yang menjelaskan persepsi kolektif dari perilaku rutin, dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku di sekolah
Menurut Hoy, Smith dan Sweetland (dalam Milner dan Khoza, 2008:158), iklim sekolah dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam di sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup. Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain. Sorenson dan Goldsmith (2008:30) memandang iklim sekolah sebagai kepribadian kolektif dari sekolah. Oleh karena itu inti dari iklim sekolah adalah bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Cohen et.al. (dalam Pinkus, 2009:14) menjelaskan iklim sekolah sebagai kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah, berdasarkan pola perilaku siswa, orang tua dan pengalaman personil sekolah tentang kehidupan sekolah yang mencerminkan norma-norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, praktek belajar dan mengajar, serta struktur organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai suasana di tempat merujuk pada beberapa pendapat berikut. Moos (1979:81) mendefinisikan iklim sekolah sebagai pengaturan suasana sosial atau lingkungan belajar. Moos membagi lingkungan sosial menjadi tiga kategori, yaitu 1) Hubungan, termasuk keterlibatan, berafiliasi dengan orang lain di dalam kelas, dan dukungan guru; 2) Pertumbuhan pribadi atau orientasi tujuan, meliputi pengembangan pribadi dan peningkatan diri semua anggota lingkungan; dan 3) Pemeliharaan sistem dan perubahan sistem, meliputi ketertiban dari lingkungan, kejelasan dari aturan-aturan, dan kesungguhan dari guru dalam menegakkan aturan. Wenzkaff (dalam Cherubini, 2008:40) mengemukakan iklim suatu sekolah menginformasikan mengenai atmosfir dalam kelas, ruang fakultas, kantor, dan setiap gang yang ada di sekolah. Haynes, et.al. (dalam Hoffman et.al., 2009:2) mendefinisikan iklim sekolah sebagai kualitas dan konsistensi interaksi interpersonal dalam masyarakat sekolah yang mempengaruhi kognitif, sosial, dan perkembangan psikologi anak. Styron dan Nyman (2008:2) menjelaskan iklim sekolah adalah komponen penting untuk mewujudkan sekolah menengah yang efektif. Iklim sekolah adalah lingkungan remaja yang ramah, santai, sopan, tenang, dan enerjik. Keseluruhan iklim sekolah dapat ditingkatkan oleh sikap dan perilaku positif dari para siswa dan guru. Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah menengah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.
Pemahaman iklim sekolah sebagai persepsi individu merujuk pada beberapa pendapat berikut. Stichter (2008:45) menyimpulkan iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi bersama tentang apa yang sedang terjadi secara akademis, secara sosial, dan lingkungan di sekolah secara rutin
Menurut Reichers dan Schneider (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) iklim secara luas menggambarkan persepsi bersama menyangkut berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Secara sempit iklim diartikan sebagai persepsi bersama mengenai kebijakan organisasi dan prosedur pelaksanaan, baik secara formal maupun informal. Kopelman, Brief dan Guzzo (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menjelaskan persepsi bersama memungkinkan individu untuk memahami ambiguitas, konflik organisasi dan ketidakpastian, memperkirakan hasil, serta menilai kesesuaian kegiatan organisasi. Oleh karena itu iklim organisasi mempunyai peran fungsional untuk membentuk dan mengarahkan perilaku individu dalam organisasi. Mcevoy (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menyatakan iklim sekolah mengacu pada sikap, kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari praktek pembelajaran dan operasi suatu sekolah.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai iklim organisasi sebagaimana dikemukakan terdahulu, dapat disimpulkan iklim sekolah adalah persepsi kolektif terhadap kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah.
2. Urgensi Iklim Sekolah
Uraian mengenai urgensi iklim sekolah didasarkan pada dampak yang dapat ditimbulkannya merujuk kepada berbagai hasil penelitian. Cohen et.al. (2009) menjelaskan, selama tiga dekade terakhir telah terjadi pertumbuhan penelitian yang luar biasa yang membuktikan pentingnya iklim sekolah. Penelitian membuktikan bahwa iklim sekolah yang positif berdampak langsung terhadap keberhasilan sekolah seperti siswa putus sekolah rendah, tingkat kekerasan menurun, dan prestasi siswa meningkat. Freiberg (dalam Marshall (2002:1) menegaskan iklim sekolah dapat menjadi pengaruh positif pada kesehatan lingkungan belajar atau hambatan yang signifikan untuk belajar.
Merujuk kepada berbagai hasil penelitian, Marshall (2002:2) memberikan beberapa kesimpulan mengenai pentingnya iklim sekolah bagi berbagai pihak, sebagai berikut.
Iklim sekolah dapat mempengaruhi banyak orang di sekolah. Misalnya, iklim sekolah yang positif telah dikaitkan dengan emosi dan perilaku siswa yang bermasalah.
Iklim sekolah di perkotaan berisiko tinggi menunjukkan bahwa lingkungan yang positif, mendukung, dan budaya sadar iklim sekolah signifikan dapat membentuk kesuksesan siswa perkotaan dalam memperoleh gelar akademik. Para peneliti juga menemukan bahwa iklim sekolah yang positif memberikan perlindungan bagi anak dengan lingkungan belajar yang mendukung serta mencegah perilaku antisocial.
Hubungan interpersonal yang positif dan kesempatan belajar yang optimal bagi siswa di semua lingkungan demografis dapat meningkatkan prestasi dan mengurangi perilaku maladaptive.
Iklim sekolah yang positif berkaitan dengan peningkatan kepuasan kerja bagi personil sekolah.
Iklim sekolah dapat memainkan peran penting dalam menyediakan suasana sekolah yang sehat dan positif.
Interaksi dari berbagai sekolah dan faktor iklim kelas dapat memberikan dukungan yang memungkinkan semua anggota komunitas sekolah untuk mengajar dan belajar dengan optimal.
Iklim sekolah, termasuk “kepercayaan, menghormati, saling mengerti kewajiban, dan perhatian untuk kesejahteraan lainnya, memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidik dan peserta didik ,’hubungan antar peserta didik, serta’ prestasi akademis dan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Iklim sekolah yang positif merupakan lingkungan yang kaya, untuk pertumbuhan pribadi dan keberhasilan akademis.
3. Dimensi Pengukuran Iklim Sekolah
Banyak peneliti telah mengidentifikasi berbagai dimensi untuk mengukur iklim sekolah. Salah satunya menurut Gunbayi (2007:2) adalah Halpin & Croft (1963), yang mengajukan delapan dimensi iklim organisasi. Empat di antaranya berfokus pada perilaku guru, yaitudisengagement, hindrance, esprit dan intimacy. Empat dimensi lagi fokus pada perilaku kepala sekolah, yaitu aloofness, production, thrust, dan consideration. Tahun 1968 Harvard Business mengidentifikasi enam dimensi iklim sekolah, yaitu flexibility,responsibility, standards, rewards, clarity and team commitment. Schneider pada tahun 1983 mengemukakan enam dimensi iklim organisasi, yaitu organizational support, member quality, openness, supervisory style, member conflict dan member autonomy.
Tahun 1996 Hoy, Hofman, Sabo dan Bliss (dalam Gunbayi (2007:2) menjabarkan 6 dimensi iklim sekolah, yang dikelompokkan ke dalam dua aspek, yaitu aspek perilaku kepala, dan aspek perilaku guru. Tiga dimensi perilaku kepala sekolah yang diukur adalahsupportive, directive, dan restrictive, sedangkan tiga dimensi perilaku guru yang diukur adalah collegial, committed, dan disengaged.
Supportive, adalah perilaku kepala sekolah yang diarahkan kepada kebutuhan sosial dan prestasi kerja. Kepala sekolah suka menolong, benar-benar memperhatikan guru, dan berupaya untuk memotivasi dengan menggunakan kritik yang konstruktif dan dengan memberikan contoh melalui kerja keras. Directive, adalah perilaku kepala sekolah yang kaku. Kepala sekolah terus-menerus memantau hampir semua aspek perilaku guru di sekolah. Restrictive, adalah perilaku kepala sekolah yang membatasi pekerjaan guru daripada memfasilitasinya. Kepala sekolah membebani guru dengan pekerjaan administratif, dan permintaan lainnya yang menggangu tanggung jawab mengajar. Collegial, adalah perilaku guru yang terbuka dan mendukung interaksi antara guru secara profesional. Seperti saling menghormati dan membantu satu sama lain baik secara pribadi maupun secara profesional. Committed, adalah perilaku guru yang diarahkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan sosial. Guru bekerja ekstra keras untuk memastikan keberhasilan siswa di sekolah. Disengaged adalah perilaku guru yang kurang fokus dan bermakna bagi kegiatan profesional.
Cohen, et.al. (dalam Pinkus, 2009:14), menjabarkan pengukuran iklim sekolah ke dalam 10 dimensi, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 1) safety, 2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment.
Kategori pertama terdiri atas a) rules and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan dilaksanakan secara konsisten; b) physical safetymeliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari kerugian fisik di sekolah; dan c) social and emotional security meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan pengecualian.
Kategori kedua terdiri atas a) support for learning, menunjukkan adanya dukungan terhadap praktek-praktek pengajaran, seperti tanggapan yang positif dan konstruktif, dorongan untuk mengambil risiko, tantangan akademik, perhatian individual, dan kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai cara; dan b) social and civic learning, menunjukkan adanya dukungan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial dan kemasyarakatan, termasuk mendengarkan secara efektif, pemecahan masalah, refleksi dan tanggung jawab, serta pembuatan keputusan yang etis.
Kategori ketiga terdiri atas: a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa.
Kategori keempat, terdiri atas a) school connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah bagi siswa dan keluarga; dan b) physical surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan sumber daya dan material yang memadai.
Daftar Rujukan
Cherubini, Lorenzo. (2008). Teacher Candidates’ Perceptions of School Culture: A Mixed Methods Investigation. Journal of Teaching and Learning. 5(2), 39-54. [Online]. Tersedia: http://www.phaenex.uwindsor.ca/ojs/leddy/ index.php/JTL/ article/view/157/51
Gunbayi, Ilhan. (2007). School Climate and Teachers’ Perceptions on Climate Factors: Research Into Nine Urban High Schools. The Turkish Online Journal of Educational Technology (TOJET). 6(3). 1-10. [Online]. Tersedia:http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_ storage_01/0000019b/80/3d/04/58.pdf
Hoffman, Lorrie L., Hutchinson, Cynthia J., dan Reiss, Elayne., (2009). On Improving School Climate: Reducing Reliance on Rewards and Punishment. International Journal Of Whole Schooling. 5 (3). [Online]. Tersedia:http://www.wholeschooling.net/Journal_of_Whole_Schooling/ articles/5-1%20Hoffman.pdf
Marshall, Megan L. (2002). Examining School Climate: Defining Factors And Educational Influences. Center for Research on School Safety, School Climate and Classroom Management Georgia State University. [Online]. Tersedia:http://education.gsu.edu/schoolsafety/download%20files/wp%20 2002%20school%20climate.pdf
Milner, Karen dan Khoza, Harriet. (2008). A Comparison of Teacher Stress and School Climate Across Schools with Different Matric Success Rates. South African Journal of Education. 28. 155-173. [Online]. Tersedia:http://ajol.info/index.php/saje/article/viewFile/25151/4350
Moos, R.H. (1979). Evaluating Educational Environments: Procedures, Measures, Findings, and Policy Implications. San Francisco: Jossey-Bass. [Online]. Tersedia:http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/envrnmnt/famncomm/pa3lk1.htm.[16 Agustus 2009]
Pinkus, Lyndsay M. (2009). Moving Beyond AYP: High School Performance Indicators. Alliance for Excellent Education. 1-20. [Online]. Tersedia:http://www.all4ed.org/files/SPIMovingBeyondAYP.pdf
Pretorius, Stephanus dan Villiers, Elsabe de. (2009). Educators’ Perceptions of School Climate and Health in Selected Primary Schools. South African Journal of Education. (29). 33-52. [Online]. Tersedia:http://www.sajournalofeducation.co.za/index.php/saje/article/view/230/ 141
Sorenson, Richard D., Goldsmith, Lloyd M. (2008). The Principal’s Guide to Managing School Personnel. Corwin Press. [Online]. Tersedia:http://books.google.co.id/books?id=tomNInqEARcC&printsec=frontcover#v=onepage&q=&f=false
Stichter, Kenneth (2008). Student School Climate Perceptions as a Measure of School District Goal Attainment. Journal of Educational Research & Policy Studies. 8 (1). 44-66. [Online]. Tersedia:http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_storage_01/0000019b/80/3f/5a/c3.pdf
Styron Jr, Ronald A., Nyman, Terri R., (2008). Key Characteristics of Middle School Performance. RMLE Online. 31(5). 1-17. [Online]. Tersedia:http://www.nmsa.org/portals/0/pdf/publications/RMLE/rmle_vol31_no5.pdf
Tubbs, J.E., dan Garner, M., (2008). The Impact Of School Climate On School Outcomes. Journal of College Teaching & Learningi. 5 (9); 17-26. [Online]. Tersedia: http://www.cluteinstitute-onlinejournals.com/PDFs/1212.pdf
Minggu, 24 April 2011
Metodelogi Kuantitatif Administrasi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas guru harus dilaksanakan secara terencana, efektif, efisien dan komprehensif. Kualitas yang dimiliki guru adalah sangat penting guna meningkatkan kinerja guru yang dapat memberikan kontribusi dalam pendidikan. Keberhasilan pendidikan justru diukur dari besar kecilnya kontribusi pendidikan bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 3 yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bertujuan untuk berkembang potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan warga negara demokratis serta bertanggung jawab.
Praktisi pendidikan menyadari bahwa kualitas masa awal anak (early chilhood) termasuk masa prasekolah merupakan cermin kualitas bangsa di masa yang akan datang. Khususnya para orang tua makin lama makin menyadari betapa pentingnya hubungan orang tua anak yang kelak akan mewarnai hubungan anak dengan lingkungannya, teman sebaya, guru maupun atasannya.
Kota Banda Aceh, dalam derap pembangunan sejalan dengan UU No.22 Tahun 2003 tentang pemberian otonomi daerah, memberikan perhatian cukup besar dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat dicermati dengan kebijakan pemerintah daerah yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Kemajuan pendidikan di Kota Banda Aceh dalam tahun terakhir ini cukup menggembirakan. Dengan penempatan prioritas pembangunan pada bidang pendidikan ini, telah mendorong makin maraknya suasana belajar di berbagai jenis dan jenjang pendidikan dan mulai menjangkau ke pelosok daerah.
Sejalan dengan kebijakan peningkatkan mutu pendidikan yang lebih dikhususkan pada peningkatan kualitas pembelajaran di kelas, maka upaya pengelolaan sekolah memegang peranan yang sangat penting, karena sekolah merupakan tempat terlibat langsung dalam menangani dan melaksanakan proses belajar mengajar, maka sekolah memiliki kewenangan kemandirian yang lebih besar dalam rangka mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Menurut Patmonodewo (2003:43) “Dalam undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 Ayat 2 menyebutkan “Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah, adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup”.
Kepala Sekolah merupakan jabatan kunci sebagai penentu, penggerak dan pendayagunaan semua sumber daya yang ada agar dapat berfungsi secara optimal dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran di kelas. Menurut Depdiknas (2003:4) “Adapun upaya peningkatan kualitas tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan leadership dan manajerial kepala dalam menjalankan fungsinya. Fungsi kepala sekolah adalah sebagai pemimpin, sebagai administrator, dan sebagai supervisor di sekolahnya”.
Selanjutnya guru merupakan salah satu komponen dalam pendidikan mempunyai peran yang dominan dalam peningkatan mutu pendidikan, karena guru adalah orang yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran anak di kelas. Agar proses pengajaran efektif, maka guru-gurunya juga harus berkualitas. Peningkatan kualitas guru dapat ditempuh melalui berbagai cara, antara lain pelatihan-pelatihan, seminar, penelitian, melanjutkan studi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2). Faktor lain juga tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan fungsinya secara optimal adalah supervisi dari kepala sekolah terhadap kinerja guru.
Dengan adanya supervisi tersebut dapat memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi bagi peningkatan kinerja guru dalam proses pembelajaran. Menurut Sahertian (2004:78) bahwa “fungsi utama supervisi pendidikan diarahkan pada perbaikan dan peningkatan kualitas pengajaran yang berkesinambungan yang dapat dilakukan oleh guru yang memiliki kadar pengalaman profesi yang berkualitas”.
Berdasarkan kenyataan ini, maka dapat ditentukan peranan supervisi yaitu membantu, memberi dukungan, mengajak dan mengikutsertakan semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran untuk bertindak selaras dengan program perbaikan pengajaran, pengembangan kurikulum dan peningkatan staf pengajaran.
Supervisi kepala sekolah dapat berpengaruh terhadap kinerja guru dalam proses pembelajaran, sebab dengan adanya supervisi kesulitan dan masalah yang dihadapi guru dapat diselesaikan dengan baik. Melalui pelaksanaan supervisi yang efektif, kepala sekolah dapat mengontrol, membina, mendorong dan memotivasi guru-guru untuk melaksanakan tugasnya yang lebih berkualitas. Temuan awal penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah melakukan supervisi mengajar di Sekolah Dasar 26 Meulaboh dalam satu semester rata-rata seminggu sekali. Berdasarkan kenyataan itu, kegiatan supervisi tersebut sudah dilaksanakan secara efektif baik dalam mekanisme pelaksanaan, implementasi dari hasil supervisi, maupun dalam hal kemampuan atau profesionalisme dari pelaksanaan supervisi tersebut.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa peningkatan kinerja guru tidak terlepas dari pelaksanaan supervisi pendidikan. Sehubungan dengan pentingnya peningkatan kinerja guru ini, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh supervisi yang dilakukan kepala Sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini untuk mengetahui: Pengaruh positif dan signifikan supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah: Terdapat pengaruh positif dan signifikan supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh”.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna baik secara teoretis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat teoretis
Manfaat teoretis ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan memperluas kajian ilmu administrasi pendidikan yang menyangkut pengaruh supervise kepala Sekolah terhadap kerja guru, serta dapat menambah konsep baru yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu administrasi.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis adalah:
a. Sebagai bahan masukan bagi supervisi pendidikan untuk menyusun program pengembangan kinerja guru di sekolah pada masa yang akan datang.
b. Dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi kepala sekolah untuk meningkatkan pengawasan terhadap kerja guru dalam rangka meningkatkan motivasi dalam proses pembelajaran.
c. Sebagai bahan masukan bagi Kepala Dinas Pendidikan untuk membuat suatu kebijakan dalam bidang supervisi.
F. Landasan Teoretis
1. Pengertian Supervisi Pendidikan
Supervisi berasal dari bahasa Inggris terdiri dari dua kata yaitu : super yang artinya “di atas”, dan vision yang artinya “melihat”, maka secara keseluruhan supervisi adalah sebagai “melihat dari atas”. Dengan pengertian itu maka supervisi diartikan sebagai pejabat yang berkedudukan di atas karena berkedudukan lebih tinggi dari guru untuk melihat dan mengawasi pekerjaan guru yang berkedudukan di bawahnya.
Dengan pemahaman ini supervisi yang tradisional memberikan indikasi bahwa: aktivitas inspeksi, dengan maksud seorang pengawas mengawasi dalam pengertian mencari dan menemukan kesalahan dengan tujuan untuk diperbaiki. Konsep seperti ini menyebabkan guru merasa takut, tidak bebas dalam melaksanakan tugas dan merasa terancam kenyamanannya bila bertemu dengan pengawas, karena guru merasa tindakannya ada kemungkinan dapat dipersalahkan.
Sebaliknya pemahaman supervisi secara modern menurut pedoman pelaksanaan kurikulum pendidikan prasekolah Depdiknas (2006:3) adalah keseluruhan usaha yang bersifat bantuan bagi seluruh tenaga kependidikan sekolah untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Supervisi bukan lagi berupa inspeksi dari orang yang merasa serba tahu (supervisor) kepada orang yang dianggap belum tahu (inferior).
Pengertian supervisi yang lebih modern seperti yang diungkapkan oleh Imron (2005:11) adalah: serangkaian usaha bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional, untuk meningkatkan proses dan hasil belajar. Dalam kaitan ini Alfonso, Firth dan Neveille (1997:43) menjelaskan bahwa :Instructional supervisor is here in defined as : behavior officially by the organization that directly affects teacher behavior in such a way as to facilitate pupil learning and achieve the goal of the organization”.
Istilah supervisi muncul pada awalnya di Barat dan sering digunakan dalam pengelolaan manajemen perusahaan, sehingga supervisi sangat erat kaitannya dengan istilah monitoring dan evaluasi. Namun setelah sistem pendidikan memasuki era modern, maka konsep dan model supervisi dipandang sangat bermanfaat bagi kegiatan dalam dunia pendidikan. Oleh sebab itu, supervisi erat kaitannya dengan pendidikan, istilah supervisi sering diartikan dengan pembinaan yaitu pembinaan terhadap guru dan administrator sekolah. Kegiatan supervisi dilakukan untuk memimpin guru dalam rangka memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru. Menurut Sahertian dalam Mulyasa (2005:156) menjelaskan sebagai berikut:
Supervisi adalah usaha mengawali, mengarahkan, menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara kontinyu pertumbuhan guru-guru di sekolah secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pembelajaran. Dengan demikian usaha dapat menstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap siswa secara kontinyu serta mampu dan lebih cakap untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern.
Dalam penjelasan lain disebutkan bahwa pengertian supervisi pendidikan menurut Mc Nerney dalam Sahertian (2004:17) bahwa: supervisi adalah suatu prosedur memberi arah dan mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pembelajaran. Menurut Burton dalam Sahertian (2004:18) mengartikan supervisi adalah sebagai suatu teknik pelayanan yang tujuan utamanya mempelajari dan memperbaiki secara bersama-sama faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Lebih lanjut Mulyasa (2002:156) menjelaskan bahwa:
Supervisi adalah pembinaan yang kontinyu, pengembangan kemampuan profesional, perbaikan situasi pembelajaran, dengan situasi akhir pencapaian tujuan pendidikan dan pertumbuhan siswa. Dengan kata lain dalam supervisi ada proses pelayanan untuk membantu dan membina guru-guru, pembinaan ini menyebabkan perbaikan atau peningkatan kemampuan profesional guru, sehingga tercipta situasi belajar yang lebih baik, yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan siswa.
Selanjutnya Peter F. Oliva dalam Sahertian (2004:18) supervisi pendidikan adalah segala sesuatu yang dilakukan personalia sekolah untuk memelihara atau mengubah apa yang dilakukan sekolah dengan cara langsung mempengaruhi proses pembelajaran dalam usaha meningkatkan proses belajar siswa. Demikian juga menurut Purwanto (2002:76) bahwa :
Supervisi pendidikan adalah segala bantuan dari pemimpin sekolah, yang tentunya kepada perkembangan kepemimpinan guru-guru dan personil sekolah lainnya di dalam mencapai tujuan pendidikan. Ia berupa dorongan, bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan keahlian dan kecakapan guru-guru seperti bimbingan dalam usaha dan pelaksanaan pembaharuan-pembaharuan dalam pendidikan dan pembelajaran. Pemilihan alat-alat pelajaran dan metode-metode pembelajaran yang lebih baik, cara-cara penilaian atau evaluasi yang sistematis terhadap proses-proses dari seluruh kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya menurut Pidarta (2002:4) bahwa :
Ada tiga unsur penting yang harus diperhatikan dalam melakukan supervisi pendidikan yaitu unsur proses pengarahan, bantuan atau pertolongan dari pihak atasan atau piohak yang lebih memahami, unsur guru-guru dan personalia sekolah lainnya yang berhubungan langsung dengan pembelajaran para siswa sebagai pihak yang diberikan pertolongan, dan unsur proses pembelajaran sebagai objek diperbaiki.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa supervisi pada hakikatnya, bukan sekedar menilai kinerja guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran, karena penilaian itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas supervisi. Supervisi dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Penilaian kinerja (performance) guru digunakan untuk menetapkan aspek dan cara pengembangan kemampuan guru. Tingkat kemampuan, kebutuhan, minat dan kematangan profesional serta karakteristik personal guru harus dijadikan dasar pertimbangan dalam mengembangkan dan menerapkan program supervisi.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, ada tiga konsep supervisi yang diterapkan dalam memberi pembinaan perbaikan pembelajaran. Pertama, supervisi pembelajaran harus secara langsung mempengaruhi dan mengembangkan prilaku guru dalam mengelola proses pembelajaran walaupun tidak satupun prilaku supervisi yang baik dan cocok untuk semua guru. kedua, peran supervisor harus didesain bersama-sama dengan guru. Ketiga, tujuan akhir supervisi adalah agar kemampuan guru memfasilitasi siswa ke arah pencapaian tujuan pembelajaran.
2. Pengertian Kinerja
Menurut Mulyasa (2006:136) Kinerja atau Performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pencapaian kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja atau unjuk kerja. Vroom dalam Mulyasa (2006:136) menyatakan bahwa “kinerja seseorang merupakan fungsi perkalian antara kemampuan (ability) dan motivasi. Pidarta (2003:233) performance atau penampilan kerja bergantung kepada besarnya kemampuan atau kompetensi di kali dengan tingginya motivasi seseorang. Silalahi (2000:29) kinerja adalah bagian kemampuan unjuk kerja karena unjuk kerja merupakan perbandingan keluaran kerja dan perilaku kerja. Wibowo (2007:114) Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Performance bukanlah kerja, melainkan bagaimana seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan prosedur dan organisasi kerja yang telah ditetapkan.
Kinerja (performance) dapat diartikan sebagai prestasi, hasil atau kemampuan yang dicapai atau diperlihatkan dalam pelaksanaan kerja, kewajiban atau tugas. Pengertian kinerja dapat diartikan sebagai penampilan yang ditunjukkan atau hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok guru pada pereode waktu tertentu dalam melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran yang telah menjadi wewenang dan tanggung jawab seorang atau sekelompok guru berdasarkan prosedur dan aturan yang berlaku untuk kepentingan pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Kemampuan kinerja guru setiap sekolah tidaklah sama, hal ini merupakan delema dalam mencapai tujuan pendidikan secara umum. Guru senantiasa dituntut untuk tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat sistem informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejalan dengan itu guru harus berusaha untuk mengembangkan kinerjanya. Pengembangan kinerja guru dapat dilaksanakan sendiri melalui kegiatan dalam melaksanakan tugasnya. Di lain pihak guru merupakan bawahan kepala sekolah, secara langsung berkewajiban mengembangkan kinerjanya.
Pembinaan pada dasarnya berkaitan dengan fungsi dan usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manusia dalam suatu proses kerja sama untuk mencapai tujuan. Hal ini dilakukan usaha menciptakan iklim kerja yang dapat mendorong pengembangan potensi individu secara optimal.
Konsep pembinaan kinerja guru harus diarahkan pada upaya peningkatan kualitas. Siagian (2004:186) menjelaskan : Esensi pembinaan bagi karyawan apabila: besarnya pemborosan karena banyak kesalahan yang diperbuat dalam melaksanakan tugas, sering terjadinya kecelakaan, rendahnya produktivitas kerja, kurangnya kegairahan bekerja”. Menurut Siagian (2004:187) menyebutkan bahwa “Pembinaan mengandung makna adalah: 1) pertumbuhan setiap individu guru dalam pekerjaan, 2) meningkatkan kepercayaan diri, 3) memperluas dan memantapkan keterampilan, 4) memperluas/memperdalam pengetahuan sebagai upaya peningkatan serta penyegaran, 5) mempertinggi kesadaran terhadap pekerjaan”. Pembinaan pengembangan kinerja adalah upaya perbaikan kelemahan, yang dilakukan kepada bawahan (termasuk guru)) yang mengacu kepada kepentingan organisasi.
3. Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru
Salah satu faktor utama dalam pelaksanaan pembelajaran, yang harus mendapat perhatian penting oleh kepala sekolah adalah guru, sebab guru merupakan ujung tombak yang berhadapan langsung dengan peserta didik dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu sangat strategis sekali bilamana dilakukan pemerataan guru baik dari segi jumlahnya maupun mutunya, sehingga relevan dengan kebutuhan pendidikan di lapangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Djojonegoro (2005:216) bahwa:
Faktor yang menentukan keberhasilan mutu, selain ditentukan oleh kelengkapan fasilitas juga ditentukan oleh faktor tenaga pengajar. Oleh karena itu, dalam setiap program pengembangan pendidikan, faktor penyediaan dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar selalu menjadi komponen utama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan tenaga pengajar itu sendiri masih dapat dibedakan dalam hal jumlah, mutu, dan kesejahteraan. Peningkatan mutu dan kesejahteraan tenaga kependidikan dimaksudkan agar guru-guru dapat melaksanakan tugas-tugas profesionalnya dalam membantu anak didik belajar.
Selanjutnya untuk mengukur kinerja guru menurut Usman (2007:115) adalah:
(1) Tingkat keterampilan. Keterampilan adalah bahan mentah yang dibawa seseorang guru ke tempat kerja: pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal serta kecakapan-kecakapan teknis. (2). Tingkat upaya. Upaya dapat digambarkan sebagai motivasi yang diperlihatkan guru untuk menyelesaikan pekerjaan. Meskipun guru memiliki tingkat keterampilan untuk melakukan pekerjaan, mereka tidak akan bekerja dengan baik bila hanya sedikit berupaya atau tidak ada upaya sama sekali. (3) Kondisi-kondisi eksternal. Elemen penentu kinerja adalah tingkat sejauh mana kondisi-kondisi eksternal mendukung produktivitas guru. meskipun seorang guru mempunyai tingkat keterampilan dan upaya yang diperlukan untuk berhasil, guru tersebut mungkin saja tidak berhasil. Hal ini diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang di luar kendali guru.
Guru yang bermutu atau berkinerja juga harus didukung oleh peran kepala sekolah. Menurut Pidarta (2005:39) ada beberapa bentuk peran kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru yaitu:
1. Meningkatkan sistem kepemimpinan
2. Memotivasi, mengaktifkan dan mensejahterakan
3. Melaksanakan supervisi
4. Meningkatkan profesi
5. Melaksanakan disiplin.
Untuk lebih jelasnya bentuk peran kepala sekolah akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:
1. Meningkatkan Sistem Kepemimpinan
Kegiatan memimpin pembelajaran di sekolah terutama ditentukan kepada guru sebab merekalah yang terlibat langsung dengan proses pendidikan dan pembelajaran. Memimpin pembelajaran di sekolah tidak boleh dipandang sebagai tugas sambilan, melainkan perhatian harus diarahkan sepenuhnya kepada proses kepemimpian itu. Duke dalam Pidarta (2005:40) menjelaskan bahwa:
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin diibaratkan seorang ibu rumah tangga yang setia, yang dengan tekun mencurahkan perhatian dan bekerja, tanpa mengenal lelah dari hari ke hari demi kesejahteraan keluarga secara lahir dan bathin. Demikian pula hendaknya seorang pemimpin pembelajaran haruslah menekuni tugasnya demi kesuksesan belajar siswa sebagai tujuan akhir sekolah.
Kepala sekolah sebagai pimpinan harus bertanggung jawab terhadap bawahannya, terutama guru yang harus diawasi, dibina dan diberikan motivasi agar kinerjanya dalam melakukan aktivitas proses pembelajaran senantiasa terwujud. Dalam hal ini Gorton dalam Purwanto (2004:76) menerangkan sebagai berikut:
Kepala sekolah sebagai pimpinan yang baik adalah merasa terbebani untuk menciptakan kinerja guru, dia tahu bahwa kinerja guru adalah kunci keberhasilan belajar siswa. Oleh sebab itu kepala sekolah yang efektif dalam meningkatkan kinerja guru adalah:
1. Dapat melihat secara akurat problem atau kebutuhan perbaikan pembelajaran.
2. Memiliki wawasan pendidikan yang dinamis/maju.
3. Ahli dalam membuat konsep dan terampil mengubah program.
4. Punya dorongan yang kuat untuk mempengaruhi guru-guru dan menyelesaikan tugas-tugas.
5. Punya komitmen yang kuat untuk memperbaiki pembelajaran.
6. Sangat bernergi dan bekerja dengan giat untuk membimbing, membina guru-guru dalam usaha meningkatkan kinerjanya.
7. Bisa bekerja sama dengan baik dalam waktu yang lama.
Jelas bahwa kepala sekolah yang berperan dalam meningkatkan kinerja guru adalah kepala sekolah yang dapat melihat dan membaca bagaimana situasi sekolah yang sebenarnya terutama keadaan guru dan siswa. Kepala sekolah dalam hal ini harus bisa mengintropeksi diri apakah ia sudah memiliki sikap dan kemampuan yang digambarkan dalam kepemimpinan efektif tersebut. Kepemimpinan kepala sekolah yang berperan dalam meningkatkan kinerjanya tidak hanya terjadi di sekolah saja, tetapi juga terjadi pada setiap tempat proses pembelajaran. Selain di sekolah juga berlangsung di perusahaan-perusahaan tempat para siswa praktik atau magang. Sementara itu menurut Gorton dalam Rusyan (2005:234) menjelaskan bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam meningkatkan kinerja guru adalah:
1. Mendukung guru-guru terhadap isu dan problem disiplin siswa. Artinya kalau ada ketidakcocokan antara guru dengan para siswa, kepala sekolah diharapkan membantu menyelesaikannya tanpa merugikan pihak guru.
2. Memperlakukan guru sebagai teman profesi, tidak sebagai bawahan. Hal ini cocok dengan kepemimpinan demokrasi.
3. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah, juga tentang aktivitas yang melibatkan guru bersangkutan. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan harga diri dan dedikasi guru. Lebih-lebih kalau suatu kegiatan akan melibatkan guru tertentu, sangat tidak bijaksana kalau pengambilan keputusannya tidak melibatkan guru bersangkutan.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah yang berperan aktif dalam meningkatkan kinerja guru adalah kepala sekolah yang memiliki gaya kepemimpinan demokrasi, sebab kenyataan menunjukan guru-guru tidak banyak matang betul dalam ilmu dan keterampilan mengajar, juga dalam dedikasi bekerja dan lain-lain.
G. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian korelasi yaitu penelitian yang berusaha untuk mengetahui hubungan satu variabel atau lebih dengan variabel lainnya. Arikunto (2003:65) mengatakan penelitian korelasi adalah “suatu penelitian yang mencari hubungan antara satu varibel atau lebih dengan variabel lainnya pada suatu kelompok manusia, objek, kondisi, sistem pemikiran ataupun program, peristiwa pada masa sekarang”. Dimana temuan penelitian ini untuk membuat suatu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena-fenomena, fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasi dengan pendekatan kuantitatif. Pada dasarnya kuantitatif bertujuan untuk membuat suatu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena-fenomena, fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Pada proses tersebut setiap langkah yang dilakukan untuk menggali informasi yang berkenaan dengan supervisi pengawas dan kepala sekolah dan pengaruhnya terhadap kinerja guru, sehingga diharapkan data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam dan dapat dipercaya serta lebih bermakna. Penelitian ini adalah penelitian ekspositori-post facto yang bersifat korelasional, dengan melibatkan dua variabel penelitian yaitu variabel bebas yaitu variabel supervisi kepala Sekolah dan variabel terikat yaitu kinerja guru.
H. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh guru Sekolah Dasar 26 Meulaboh yang dengan jumlah guru 26 orang. Menurut Arikunto (2003:112) jika jumlah subjeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua, jika jumlah subjeknya lebih dari 100 dapat diambil antara 10 – 15% atau 20 – 25%. Karena populasi yang tidak terlalu banyak, maka semua populasi ditetapkan menjadi sampel (total sampel).
I. Teknik Pengumpulan Data
Ada dua macam data yang diperlukan untuk dianalisis dalam penelitian ini yaitu data supervisi kepala sekolah, data kinerja guru. Data-data variabel tersebut masing-masing diperoleh dengan teknik angket dan teknik dokumentasi.
1. Angket yang digunakan itu bersifat tertutup, dimana setiap pertanyaan yang diajukan disediakan empat alternatif jawaban. Angket ini berpedoman pada skala Likert (skala sikap) yaitu: sangat setuju (4), setuju (3), kurang setuju (2) tidak setuju (1).
2. Dokumentasi berupa photo-photo yang digunakan untuk mendukung data angket tentang pengaruh supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh.
J. Teknik Analisis Data
Analisis data meliputi penggolongan, interpretasi data atau pemberian makna dan mencari hubungan antar konsep. Analisis data dilakukan secara terus menerus sejak pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara induktif.
1. Uji Validitas
Setelah semua data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data. Dalam pelaksanaan kegiatan ini penulis olah dengan menggunakan metode statistik validitas Product Moment menurut Sudjana (2002:369) sebagai berikut:
n X Y) – ( X) ( Y)
r = ------------------------------------------------
2 – ( 2}{n ( 2) – ( )2}
Dimana:
r = Koefisien korelasi antara X dengan Y
XY = Jumlah hasil perkalian antara X dengan Y
X = Jumlah variabel X
Y = Jumlah variabel Y
X2 = Jumlah variabel X yang dikuadratkan
Y2 = Jumlah variabel Y yang dikuadratkan
n = Jumlah sampel
Data yang terkumpul dalam penelitian ini, diolah dengan menggunakan teknik statistik, baik teknik statistik korelasi maupun teknik analisis inferensial. Teknik statistik korelasi dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang karakteristik populasi. Statistik korelasi yang digunakan adalah distribusi frekuensi, rata-rata hitung, standar deviasi, modus, median dan analisis persentase.
2. Uji Normalitas
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah korelasi antara variabel merupakan model normalitas. Hal-hal yang dilakukan untuk pengujian ini adalah:
1) Regresi normalitas yang ditaksir adalah:
γ= a + bX, Sudjana (2002:315)
Y : Kriterion
a : bilangan konstan
b : koefisien arah
x : prediktor
Uji statistik inferensial dimaksudkan untuk pengujian hipotesis penelitian. Uji statistik inferensial yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh variabel terikat dan variabel bebas.
3. Uji Hipotesis
Kriteria pengujian hipotesis adalah jika t-hitung diperoleh lebih besar dari t tabel maka menerima hipotesis Ha dan menolak hipotesis Ho dan sebaliknya jika t hitung diperoleh lebih kecil dari t-tabel maka menolak hipotesis Ha dan menerima Ho pada taraf signifikan 0,05 atau 95%.
Hipotesis yang diajukan adalah:
Ha = Ada pengaruh antara supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh.
Ho = Tidak ada ada pengaruh antara supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh.
Langkah selanjutnya perlu diadakan uji hipotesis untuk menentukan signifikan tidaknya koefisien korelasi yang diperoleh dapat dilakukan dengan menggunakan uji-t seperti yang dikemukakan oleh Sudjana (2002:380) sebagai berikut:
√n - 2
t = r -----------
√2 – r2
Dengan derajat kebebasan dk = ( n – 2). Taraf signifikan untuk pengujian α = 0,05 oleh Sudjana (2002:243) mengemukakan : Kriteria pengujian yang berlaku adalah terima Ho jika t < t (1 – α) dan tolak Ho jika t mempunyai harga lain”.
DAFTAR PUSTAKA
Alfonso, Robert dan Firth, Nevelle. (1997). Intructional Supervisi on Abehavior System. New York: Allynand Bacon Inc
Arikunto, Suharsimi. (2003). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bina Aksara.
Depdiknas, (2003). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas (2006). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Djoyonegoro, W. (2005). Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui SMK. Jakarta: PT. Jayakarta Agung Ofset.
Imron, Ali. (2005). Pembinaan Guru di Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Mulyasa, E. (2002). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2005). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Patmonodewo, Soemiarti. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Pidarta, Made. (2002). Landasan Pendidikan. Jakarta; Rineka Cipta.
Pidarta, Made. (2003). Perencanaan Pendidikan Partisipatori, dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Rineka Cipta.
Pidarta, Made (2005). Perencanaan Pendidikan Partisipatori, dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, M. Ngalim. (2002). Administrasi Pendidikan dan Prinsip-prinsip Supervisi Pendidikan. Jakarta: Mutiara.
Purwanto, M. Ngalim. (2004). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rusyan, A. Tabrani. (2005). Efisisensi dan Efektivitas Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Bandung: Remaja Karya.
Sahertian, A. (2004). Konsep Dasar dan Tehnik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Siagian, P. Sondang. (2004). Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Adaministrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Silalahi, (2000). Azas-Azas Manajemen. Bandung: Bandar Maju.
Sudjana. (2002). Metode Statistika. Edisi Kelima, Bandung: Tarsito.
Usman. Nasir. (2007). Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Bandung: Mutiara Ilmu.
Wibowo. (2007). Manajemen Kinerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas guru harus dilaksanakan secara terencana, efektif, efisien dan komprehensif. Kualitas yang dimiliki guru adalah sangat penting guna meningkatkan kinerja guru yang dapat memberikan kontribusi dalam pendidikan. Keberhasilan pendidikan justru diukur dari besar kecilnya kontribusi pendidikan bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 3 yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bertujuan untuk berkembang potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan warga negara demokratis serta bertanggung jawab.
Praktisi pendidikan menyadari bahwa kualitas masa awal anak (early chilhood) termasuk masa prasekolah merupakan cermin kualitas bangsa di masa yang akan datang. Khususnya para orang tua makin lama makin menyadari betapa pentingnya hubungan orang tua anak yang kelak akan mewarnai hubungan anak dengan lingkungannya, teman sebaya, guru maupun atasannya.
Kota Banda Aceh, dalam derap pembangunan sejalan dengan UU No.22 Tahun 2003 tentang pemberian otonomi daerah, memberikan perhatian cukup besar dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat dicermati dengan kebijakan pemerintah daerah yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Kemajuan pendidikan di Kota Banda Aceh dalam tahun terakhir ini cukup menggembirakan. Dengan penempatan prioritas pembangunan pada bidang pendidikan ini, telah mendorong makin maraknya suasana belajar di berbagai jenis dan jenjang pendidikan dan mulai menjangkau ke pelosok daerah.
Sejalan dengan kebijakan peningkatkan mutu pendidikan yang lebih dikhususkan pada peningkatan kualitas pembelajaran di kelas, maka upaya pengelolaan sekolah memegang peranan yang sangat penting, karena sekolah merupakan tempat terlibat langsung dalam menangani dan melaksanakan proses belajar mengajar, maka sekolah memiliki kewenangan kemandirian yang lebih besar dalam rangka mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Menurut Patmonodewo (2003:43) “Dalam undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 Ayat 2 menyebutkan “Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah, adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup”.
Kepala Sekolah merupakan jabatan kunci sebagai penentu, penggerak dan pendayagunaan semua sumber daya yang ada agar dapat berfungsi secara optimal dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran di kelas. Menurut Depdiknas (2003:4) “Adapun upaya peningkatan kualitas tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan leadership dan manajerial kepala dalam menjalankan fungsinya. Fungsi kepala sekolah adalah sebagai pemimpin, sebagai administrator, dan sebagai supervisor di sekolahnya”.
Selanjutnya guru merupakan salah satu komponen dalam pendidikan mempunyai peran yang dominan dalam peningkatan mutu pendidikan, karena guru adalah orang yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran anak di kelas. Agar proses pengajaran efektif, maka guru-gurunya juga harus berkualitas. Peningkatan kualitas guru dapat ditempuh melalui berbagai cara, antara lain pelatihan-pelatihan, seminar, penelitian, melanjutkan studi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2). Faktor lain juga tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan fungsinya secara optimal adalah supervisi dari kepala sekolah terhadap kinerja guru.
Dengan adanya supervisi tersebut dapat memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi bagi peningkatan kinerja guru dalam proses pembelajaran. Menurut Sahertian (2004:78) bahwa “fungsi utama supervisi pendidikan diarahkan pada perbaikan dan peningkatan kualitas pengajaran yang berkesinambungan yang dapat dilakukan oleh guru yang memiliki kadar pengalaman profesi yang berkualitas”.
Berdasarkan kenyataan ini, maka dapat ditentukan peranan supervisi yaitu membantu, memberi dukungan, mengajak dan mengikutsertakan semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran untuk bertindak selaras dengan program perbaikan pengajaran, pengembangan kurikulum dan peningkatan staf pengajaran.
Supervisi kepala sekolah dapat berpengaruh terhadap kinerja guru dalam proses pembelajaran, sebab dengan adanya supervisi kesulitan dan masalah yang dihadapi guru dapat diselesaikan dengan baik. Melalui pelaksanaan supervisi yang efektif, kepala sekolah dapat mengontrol, membina, mendorong dan memotivasi guru-guru untuk melaksanakan tugasnya yang lebih berkualitas. Temuan awal penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah melakukan supervisi mengajar di Sekolah Dasar 26 Meulaboh dalam satu semester rata-rata seminggu sekali. Berdasarkan kenyataan itu, kegiatan supervisi tersebut sudah dilaksanakan secara efektif baik dalam mekanisme pelaksanaan, implementasi dari hasil supervisi, maupun dalam hal kemampuan atau profesionalisme dari pelaksanaan supervisi tersebut.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa peningkatan kinerja guru tidak terlepas dari pelaksanaan supervisi pendidikan. Sehubungan dengan pentingnya peningkatan kinerja guru ini, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh supervisi yang dilakukan kepala Sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini untuk mengetahui: Pengaruh positif dan signifikan supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah: Terdapat pengaruh positif dan signifikan supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh”.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna baik secara teoretis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat teoretis
Manfaat teoretis ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan memperluas kajian ilmu administrasi pendidikan yang menyangkut pengaruh supervise kepala Sekolah terhadap kerja guru, serta dapat menambah konsep baru yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu administrasi.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis adalah:
a. Sebagai bahan masukan bagi supervisi pendidikan untuk menyusun program pengembangan kinerja guru di sekolah pada masa yang akan datang.
b. Dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi kepala sekolah untuk meningkatkan pengawasan terhadap kerja guru dalam rangka meningkatkan motivasi dalam proses pembelajaran.
c. Sebagai bahan masukan bagi Kepala Dinas Pendidikan untuk membuat suatu kebijakan dalam bidang supervisi.
F. Landasan Teoretis
1. Pengertian Supervisi Pendidikan
Supervisi berasal dari bahasa Inggris terdiri dari dua kata yaitu : super yang artinya “di atas”, dan vision yang artinya “melihat”, maka secara keseluruhan supervisi adalah sebagai “melihat dari atas”. Dengan pengertian itu maka supervisi diartikan sebagai pejabat yang berkedudukan di atas karena berkedudukan lebih tinggi dari guru untuk melihat dan mengawasi pekerjaan guru yang berkedudukan di bawahnya.
Dengan pemahaman ini supervisi yang tradisional memberikan indikasi bahwa: aktivitas inspeksi, dengan maksud seorang pengawas mengawasi dalam pengertian mencari dan menemukan kesalahan dengan tujuan untuk diperbaiki. Konsep seperti ini menyebabkan guru merasa takut, tidak bebas dalam melaksanakan tugas dan merasa terancam kenyamanannya bila bertemu dengan pengawas, karena guru merasa tindakannya ada kemungkinan dapat dipersalahkan.
Sebaliknya pemahaman supervisi secara modern menurut pedoman pelaksanaan kurikulum pendidikan prasekolah Depdiknas (2006:3) adalah keseluruhan usaha yang bersifat bantuan bagi seluruh tenaga kependidikan sekolah untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Supervisi bukan lagi berupa inspeksi dari orang yang merasa serba tahu (supervisor) kepada orang yang dianggap belum tahu (inferior).
Pengertian supervisi yang lebih modern seperti yang diungkapkan oleh Imron (2005:11) adalah: serangkaian usaha bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional, untuk meningkatkan proses dan hasil belajar. Dalam kaitan ini Alfonso, Firth dan Neveille (1997:43) menjelaskan bahwa :Instructional supervisor is here in defined as : behavior officially by the organization that directly affects teacher behavior in such a way as to facilitate pupil learning and achieve the goal of the organization”.
Istilah supervisi muncul pada awalnya di Barat dan sering digunakan dalam pengelolaan manajemen perusahaan, sehingga supervisi sangat erat kaitannya dengan istilah monitoring dan evaluasi. Namun setelah sistem pendidikan memasuki era modern, maka konsep dan model supervisi dipandang sangat bermanfaat bagi kegiatan dalam dunia pendidikan. Oleh sebab itu, supervisi erat kaitannya dengan pendidikan, istilah supervisi sering diartikan dengan pembinaan yaitu pembinaan terhadap guru dan administrator sekolah. Kegiatan supervisi dilakukan untuk memimpin guru dalam rangka memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru. Menurut Sahertian dalam Mulyasa (2005:156) menjelaskan sebagai berikut:
Supervisi adalah usaha mengawali, mengarahkan, menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara kontinyu pertumbuhan guru-guru di sekolah secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pembelajaran. Dengan demikian usaha dapat menstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap siswa secara kontinyu serta mampu dan lebih cakap untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern.
Dalam penjelasan lain disebutkan bahwa pengertian supervisi pendidikan menurut Mc Nerney dalam Sahertian (2004:17) bahwa: supervisi adalah suatu prosedur memberi arah dan mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pembelajaran. Menurut Burton dalam Sahertian (2004:18) mengartikan supervisi adalah sebagai suatu teknik pelayanan yang tujuan utamanya mempelajari dan memperbaiki secara bersama-sama faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Lebih lanjut Mulyasa (2002:156) menjelaskan bahwa:
Supervisi adalah pembinaan yang kontinyu, pengembangan kemampuan profesional, perbaikan situasi pembelajaran, dengan situasi akhir pencapaian tujuan pendidikan dan pertumbuhan siswa. Dengan kata lain dalam supervisi ada proses pelayanan untuk membantu dan membina guru-guru, pembinaan ini menyebabkan perbaikan atau peningkatan kemampuan profesional guru, sehingga tercipta situasi belajar yang lebih baik, yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan siswa.
Selanjutnya Peter F. Oliva dalam Sahertian (2004:18) supervisi pendidikan adalah segala sesuatu yang dilakukan personalia sekolah untuk memelihara atau mengubah apa yang dilakukan sekolah dengan cara langsung mempengaruhi proses pembelajaran dalam usaha meningkatkan proses belajar siswa. Demikian juga menurut Purwanto (2002:76) bahwa :
Supervisi pendidikan adalah segala bantuan dari pemimpin sekolah, yang tentunya kepada perkembangan kepemimpinan guru-guru dan personil sekolah lainnya di dalam mencapai tujuan pendidikan. Ia berupa dorongan, bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan keahlian dan kecakapan guru-guru seperti bimbingan dalam usaha dan pelaksanaan pembaharuan-pembaharuan dalam pendidikan dan pembelajaran. Pemilihan alat-alat pelajaran dan metode-metode pembelajaran yang lebih baik, cara-cara penilaian atau evaluasi yang sistematis terhadap proses-proses dari seluruh kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya menurut Pidarta (2002:4) bahwa :
Ada tiga unsur penting yang harus diperhatikan dalam melakukan supervisi pendidikan yaitu unsur proses pengarahan, bantuan atau pertolongan dari pihak atasan atau piohak yang lebih memahami, unsur guru-guru dan personalia sekolah lainnya yang berhubungan langsung dengan pembelajaran para siswa sebagai pihak yang diberikan pertolongan, dan unsur proses pembelajaran sebagai objek diperbaiki.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa supervisi pada hakikatnya, bukan sekedar menilai kinerja guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran, karena penilaian itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas supervisi. Supervisi dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Penilaian kinerja (performance) guru digunakan untuk menetapkan aspek dan cara pengembangan kemampuan guru. Tingkat kemampuan, kebutuhan, minat dan kematangan profesional serta karakteristik personal guru harus dijadikan dasar pertimbangan dalam mengembangkan dan menerapkan program supervisi.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, ada tiga konsep supervisi yang diterapkan dalam memberi pembinaan perbaikan pembelajaran. Pertama, supervisi pembelajaran harus secara langsung mempengaruhi dan mengembangkan prilaku guru dalam mengelola proses pembelajaran walaupun tidak satupun prilaku supervisi yang baik dan cocok untuk semua guru. kedua, peran supervisor harus didesain bersama-sama dengan guru. Ketiga, tujuan akhir supervisi adalah agar kemampuan guru memfasilitasi siswa ke arah pencapaian tujuan pembelajaran.
2. Pengertian Kinerja
Menurut Mulyasa (2006:136) Kinerja atau Performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pencapaian kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja atau unjuk kerja. Vroom dalam Mulyasa (2006:136) menyatakan bahwa “kinerja seseorang merupakan fungsi perkalian antara kemampuan (ability) dan motivasi. Pidarta (2003:233) performance atau penampilan kerja bergantung kepada besarnya kemampuan atau kompetensi di kali dengan tingginya motivasi seseorang. Silalahi (2000:29) kinerja adalah bagian kemampuan unjuk kerja karena unjuk kerja merupakan perbandingan keluaran kerja dan perilaku kerja. Wibowo (2007:114) Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Performance bukanlah kerja, melainkan bagaimana seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan prosedur dan organisasi kerja yang telah ditetapkan.
Kinerja (performance) dapat diartikan sebagai prestasi, hasil atau kemampuan yang dicapai atau diperlihatkan dalam pelaksanaan kerja, kewajiban atau tugas. Pengertian kinerja dapat diartikan sebagai penampilan yang ditunjukkan atau hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok guru pada pereode waktu tertentu dalam melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran yang telah menjadi wewenang dan tanggung jawab seorang atau sekelompok guru berdasarkan prosedur dan aturan yang berlaku untuk kepentingan pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Kemampuan kinerja guru setiap sekolah tidaklah sama, hal ini merupakan delema dalam mencapai tujuan pendidikan secara umum. Guru senantiasa dituntut untuk tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat sistem informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejalan dengan itu guru harus berusaha untuk mengembangkan kinerjanya. Pengembangan kinerja guru dapat dilaksanakan sendiri melalui kegiatan dalam melaksanakan tugasnya. Di lain pihak guru merupakan bawahan kepala sekolah, secara langsung berkewajiban mengembangkan kinerjanya.
Pembinaan pada dasarnya berkaitan dengan fungsi dan usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manusia dalam suatu proses kerja sama untuk mencapai tujuan. Hal ini dilakukan usaha menciptakan iklim kerja yang dapat mendorong pengembangan potensi individu secara optimal.
Konsep pembinaan kinerja guru harus diarahkan pada upaya peningkatan kualitas. Siagian (2004:186) menjelaskan : Esensi pembinaan bagi karyawan apabila: besarnya pemborosan karena banyak kesalahan yang diperbuat dalam melaksanakan tugas, sering terjadinya kecelakaan, rendahnya produktivitas kerja, kurangnya kegairahan bekerja”. Menurut Siagian (2004:187) menyebutkan bahwa “Pembinaan mengandung makna adalah: 1) pertumbuhan setiap individu guru dalam pekerjaan, 2) meningkatkan kepercayaan diri, 3) memperluas dan memantapkan keterampilan, 4) memperluas/memperdalam pengetahuan sebagai upaya peningkatan serta penyegaran, 5) mempertinggi kesadaran terhadap pekerjaan”. Pembinaan pengembangan kinerja adalah upaya perbaikan kelemahan, yang dilakukan kepada bawahan (termasuk guru)) yang mengacu kepada kepentingan organisasi.
3. Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru
Salah satu faktor utama dalam pelaksanaan pembelajaran, yang harus mendapat perhatian penting oleh kepala sekolah adalah guru, sebab guru merupakan ujung tombak yang berhadapan langsung dengan peserta didik dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu sangat strategis sekali bilamana dilakukan pemerataan guru baik dari segi jumlahnya maupun mutunya, sehingga relevan dengan kebutuhan pendidikan di lapangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Djojonegoro (2005:216) bahwa:
Faktor yang menentukan keberhasilan mutu, selain ditentukan oleh kelengkapan fasilitas juga ditentukan oleh faktor tenaga pengajar. Oleh karena itu, dalam setiap program pengembangan pendidikan, faktor penyediaan dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar selalu menjadi komponen utama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan tenaga pengajar itu sendiri masih dapat dibedakan dalam hal jumlah, mutu, dan kesejahteraan. Peningkatan mutu dan kesejahteraan tenaga kependidikan dimaksudkan agar guru-guru dapat melaksanakan tugas-tugas profesionalnya dalam membantu anak didik belajar.
Selanjutnya untuk mengukur kinerja guru menurut Usman (2007:115) adalah:
(1) Tingkat keterampilan. Keterampilan adalah bahan mentah yang dibawa seseorang guru ke tempat kerja: pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal serta kecakapan-kecakapan teknis. (2). Tingkat upaya. Upaya dapat digambarkan sebagai motivasi yang diperlihatkan guru untuk menyelesaikan pekerjaan. Meskipun guru memiliki tingkat keterampilan untuk melakukan pekerjaan, mereka tidak akan bekerja dengan baik bila hanya sedikit berupaya atau tidak ada upaya sama sekali. (3) Kondisi-kondisi eksternal. Elemen penentu kinerja adalah tingkat sejauh mana kondisi-kondisi eksternal mendukung produktivitas guru. meskipun seorang guru mempunyai tingkat keterampilan dan upaya yang diperlukan untuk berhasil, guru tersebut mungkin saja tidak berhasil. Hal ini diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang di luar kendali guru.
Guru yang bermutu atau berkinerja juga harus didukung oleh peran kepala sekolah. Menurut Pidarta (2005:39) ada beberapa bentuk peran kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru yaitu:
1. Meningkatkan sistem kepemimpinan
2. Memotivasi, mengaktifkan dan mensejahterakan
3. Melaksanakan supervisi
4. Meningkatkan profesi
5. Melaksanakan disiplin.
Untuk lebih jelasnya bentuk peran kepala sekolah akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:
1. Meningkatkan Sistem Kepemimpinan
Kegiatan memimpin pembelajaran di sekolah terutama ditentukan kepada guru sebab merekalah yang terlibat langsung dengan proses pendidikan dan pembelajaran. Memimpin pembelajaran di sekolah tidak boleh dipandang sebagai tugas sambilan, melainkan perhatian harus diarahkan sepenuhnya kepada proses kepemimpian itu. Duke dalam Pidarta (2005:40) menjelaskan bahwa:
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin diibaratkan seorang ibu rumah tangga yang setia, yang dengan tekun mencurahkan perhatian dan bekerja, tanpa mengenal lelah dari hari ke hari demi kesejahteraan keluarga secara lahir dan bathin. Demikian pula hendaknya seorang pemimpin pembelajaran haruslah menekuni tugasnya demi kesuksesan belajar siswa sebagai tujuan akhir sekolah.
Kepala sekolah sebagai pimpinan harus bertanggung jawab terhadap bawahannya, terutama guru yang harus diawasi, dibina dan diberikan motivasi agar kinerjanya dalam melakukan aktivitas proses pembelajaran senantiasa terwujud. Dalam hal ini Gorton dalam Purwanto (2004:76) menerangkan sebagai berikut:
Kepala sekolah sebagai pimpinan yang baik adalah merasa terbebani untuk menciptakan kinerja guru, dia tahu bahwa kinerja guru adalah kunci keberhasilan belajar siswa. Oleh sebab itu kepala sekolah yang efektif dalam meningkatkan kinerja guru adalah:
1. Dapat melihat secara akurat problem atau kebutuhan perbaikan pembelajaran.
2. Memiliki wawasan pendidikan yang dinamis/maju.
3. Ahli dalam membuat konsep dan terampil mengubah program.
4. Punya dorongan yang kuat untuk mempengaruhi guru-guru dan menyelesaikan tugas-tugas.
5. Punya komitmen yang kuat untuk memperbaiki pembelajaran.
6. Sangat bernergi dan bekerja dengan giat untuk membimbing, membina guru-guru dalam usaha meningkatkan kinerjanya.
7. Bisa bekerja sama dengan baik dalam waktu yang lama.
Jelas bahwa kepala sekolah yang berperan dalam meningkatkan kinerja guru adalah kepala sekolah yang dapat melihat dan membaca bagaimana situasi sekolah yang sebenarnya terutama keadaan guru dan siswa. Kepala sekolah dalam hal ini harus bisa mengintropeksi diri apakah ia sudah memiliki sikap dan kemampuan yang digambarkan dalam kepemimpinan efektif tersebut. Kepemimpinan kepala sekolah yang berperan dalam meningkatkan kinerjanya tidak hanya terjadi di sekolah saja, tetapi juga terjadi pada setiap tempat proses pembelajaran. Selain di sekolah juga berlangsung di perusahaan-perusahaan tempat para siswa praktik atau magang. Sementara itu menurut Gorton dalam Rusyan (2005:234) menjelaskan bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam meningkatkan kinerja guru adalah:
1. Mendukung guru-guru terhadap isu dan problem disiplin siswa. Artinya kalau ada ketidakcocokan antara guru dengan para siswa, kepala sekolah diharapkan membantu menyelesaikannya tanpa merugikan pihak guru.
2. Memperlakukan guru sebagai teman profesi, tidak sebagai bawahan. Hal ini cocok dengan kepemimpinan demokrasi.
3. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah, juga tentang aktivitas yang melibatkan guru bersangkutan. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan harga diri dan dedikasi guru. Lebih-lebih kalau suatu kegiatan akan melibatkan guru tertentu, sangat tidak bijaksana kalau pengambilan keputusannya tidak melibatkan guru bersangkutan.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah yang berperan aktif dalam meningkatkan kinerja guru adalah kepala sekolah yang memiliki gaya kepemimpinan demokrasi, sebab kenyataan menunjukan guru-guru tidak banyak matang betul dalam ilmu dan keterampilan mengajar, juga dalam dedikasi bekerja dan lain-lain.
G. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian korelasi yaitu penelitian yang berusaha untuk mengetahui hubungan satu variabel atau lebih dengan variabel lainnya. Arikunto (2003:65) mengatakan penelitian korelasi adalah “suatu penelitian yang mencari hubungan antara satu varibel atau lebih dengan variabel lainnya pada suatu kelompok manusia, objek, kondisi, sistem pemikiran ataupun program, peristiwa pada masa sekarang”. Dimana temuan penelitian ini untuk membuat suatu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena-fenomena, fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasi dengan pendekatan kuantitatif. Pada dasarnya kuantitatif bertujuan untuk membuat suatu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena-fenomena, fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Pada proses tersebut setiap langkah yang dilakukan untuk menggali informasi yang berkenaan dengan supervisi pengawas dan kepala sekolah dan pengaruhnya terhadap kinerja guru, sehingga diharapkan data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam dan dapat dipercaya serta lebih bermakna. Penelitian ini adalah penelitian ekspositori-post facto yang bersifat korelasional, dengan melibatkan dua variabel penelitian yaitu variabel bebas yaitu variabel supervisi kepala Sekolah dan variabel terikat yaitu kinerja guru.
H. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh guru Sekolah Dasar 26 Meulaboh yang dengan jumlah guru 26 orang. Menurut Arikunto (2003:112) jika jumlah subjeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua, jika jumlah subjeknya lebih dari 100 dapat diambil antara 10 – 15% atau 20 – 25%. Karena populasi yang tidak terlalu banyak, maka semua populasi ditetapkan menjadi sampel (total sampel).
I. Teknik Pengumpulan Data
Ada dua macam data yang diperlukan untuk dianalisis dalam penelitian ini yaitu data supervisi kepala sekolah, data kinerja guru. Data-data variabel tersebut masing-masing diperoleh dengan teknik angket dan teknik dokumentasi.
1. Angket yang digunakan itu bersifat tertutup, dimana setiap pertanyaan yang diajukan disediakan empat alternatif jawaban. Angket ini berpedoman pada skala Likert (skala sikap) yaitu: sangat setuju (4), setuju (3), kurang setuju (2) tidak setuju (1).
2. Dokumentasi berupa photo-photo yang digunakan untuk mendukung data angket tentang pengaruh supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh.
J. Teknik Analisis Data
Analisis data meliputi penggolongan, interpretasi data atau pemberian makna dan mencari hubungan antar konsep. Analisis data dilakukan secara terus menerus sejak pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara induktif.
1. Uji Validitas
Setelah semua data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data. Dalam pelaksanaan kegiatan ini penulis olah dengan menggunakan metode statistik validitas Product Moment menurut Sudjana (2002:369) sebagai berikut:
n X Y) – ( X) ( Y)
r = ------------------------------------------------
2 – ( 2}{n ( 2) – ( )2}
Dimana:
r = Koefisien korelasi antara X dengan Y
XY = Jumlah hasil perkalian antara X dengan Y
X = Jumlah variabel X
Y = Jumlah variabel Y
X2 = Jumlah variabel X yang dikuadratkan
Y2 = Jumlah variabel Y yang dikuadratkan
n = Jumlah sampel
Data yang terkumpul dalam penelitian ini, diolah dengan menggunakan teknik statistik, baik teknik statistik korelasi maupun teknik analisis inferensial. Teknik statistik korelasi dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang karakteristik populasi. Statistik korelasi yang digunakan adalah distribusi frekuensi, rata-rata hitung, standar deviasi, modus, median dan analisis persentase.
2. Uji Normalitas
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah korelasi antara variabel merupakan model normalitas. Hal-hal yang dilakukan untuk pengujian ini adalah:
1) Regresi normalitas yang ditaksir adalah:
γ= a + bX, Sudjana (2002:315)
Y : Kriterion
a : bilangan konstan
b : koefisien arah
x : prediktor
Uji statistik inferensial dimaksudkan untuk pengujian hipotesis penelitian. Uji statistik inferensial yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh variabel terikat dan variabel bebas.
3. Uji Hipotesis
Kriteria pengujian hipotesis adalah jika t-hitung diperoleh lebih besar dari t tabel maka menerima hipotesis Ha dan menolak hipotesis Ho dan sebaliknya jika t hitung diperoleh lebih kecil dari t-tabel maka menolak hipotesis Ha dan menerima Ho pada taraf signifikan 0,05 atau 95%.
Hipotesis yang diajukan adalah:
Ha = Ada pengaruh antara supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh.
Ho = Tidak ada ada pengaruh antara supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru pada Sekolah Dasar 26 Meulaboh.
Langkah selanjutnya perlu diadakan uji hipotesis untuk menentukan signifikan tidaknya koefisien korelasi yang diperoleh dapat dilakukan dengan menggunakan uji-t seperti yang dikemukakan oleh Sudjana (2002:380) sebagai berikut:
√n - 2
t = r -----------
√2 – r2
Dengan derajat kebebasan dk = ( n – 2). Taraf signifikan untuk pengujian α = 0,05 oleh Sudjana (2002:243) mengemukakan : Kriteria pengujian yang berlaku adalah terima Ho jika t < t (1 – α) dan tolak Ho jika t mempunyai harga lain”.
DAFTAR PUSTAKA
Alfonso, Robert dan Firth, Nevelle. (1997). Intructional Supervisi on Abehavior System. New York: Allynand Bacon Inc
Arikunto, Suharsimi. (2003). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bina Aksara.
Depdiknas, (2003). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas (2006). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Djoyonegoro, W. (2005). Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui SMK. Jakarta: PT. Jayakarta Agung Ofset.
Imron, Ali. (2005). Pembinaan Guru di Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Mulyasa, E. (2002). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2005). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Patmonodewo, Soemiarti. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Pidarta, Made. (2002). Landasan Pendidikan. Jakarta; Rineka Cipta.
Pidarta, Made. (2003). Perencanaan Pendidikan Partisipatori, dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Rineka Cipta.
Pidarta, Made (2005). Perencanaan Pendidikan Partisipatori, dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, M. Ngalim. (2002). Administrasi Pendidikan dan Prinsip-prinsip Supervisi Pendidikan. Jakarta: Mutiara.
Purwanto, M. Ngalim. (2004). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rusyan, A. Tabrani. (2005). Efisisensi dan Efektivitas Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Bandung: Remaja Karya.
Sahertian, A. (2004). Konsep Dasar dan Tehnik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Siagian, P. Sondang. (2004). Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Adaministrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Silalahi, (2000). Azas-Azas Manajemen. Bandung: Bandar Maju.
Sudjana. (2002). Metode Statistika. Edisi Kelima, Bandung: Tarsito.
Usman. Nasir. (2007). Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Bandung: Mutiara Ilmu.
Wibowo. (2007). Manajemen Kinerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Profesi Supervisor Dalam Melaksanakan Supervisi Akademik
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Kita meyakini bahwa salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasakan arah perkembangan masyarakat Indonesia di masa depan adalah pendidikan. Pendidikan dalam konsep pengembangan masyarakat merupakan dinamisasi dalam pengembangan manusia yang beradab. Pendidikan tidak hanya terbatas berperan pada pengalihan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) saja, namun dalam Undang-undang No: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dari fungsi dan tujuan pendidikan ini diharapkan manusia Indonesia adalah manusia yang berimbang antara segi kognitif, afektif dan psikomotor.
Dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional, dunia pendidikan kita secara nasional dihadapkan pada salah satu masalah besar yakni peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Masalah ini menjadi fokus yang paling penting dalam pembangunan pendidikan nasional. Pembangunan pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan SDM suatu Negara. Di antara faktor terpenting adalah terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh pengawas sekolah dalam membina dan mensupervisi sekolah di satuan pendidikan yang menyelenggarakan proses pembelajaran kepada peserta didik. Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12/2007 tanggal 28 Maret 2009 mengisyaratkan tentang Standar yang harus dimiliki oleh Pengawas Sekolah/Madrasah. Oleh karena itu, pengawas sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Maka peninjauan kualifikasi dan kompetensi pengawas sekolah/madrasah dalam upaya strategis peningkatan mutu pendidikan khususnya pada jejang sekolah menengah sangatlah diperlukan.
Eksistensi pengawas sekolah dinaungi oleh sejumlah dasar hukum. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah landasan hukum yang terbaru yang menegaskan keberadaan pejabat fungsional itu. Selain itu, Keputusan Menteri Pendayagunaan aparatur Negara Nomor 118 Tahun 1996 (disempurnakan dengan keputusan nomor 091/2001) dan Keputuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 020/U/1998 (disempurnakan dengan keputusan nomor 097/U/2001) merupakan menetapan pengawas sebagai pejabat fungsional yang permanen sampai saat ini. Jika ditilik sejumlah peraturan dan perundang-undangan yang ada, yang terkait dengan pendidikan, ternyata secara hukum pengawas sekolah tidak diragukan lagi keberadaannya. Dengan demikian, tidak ada alasan apapun dan oleh siapapun yang memarjinalkan dan mengecilkan eksistensi pengawas sekolah.
Pentingnya pelaksanaan supervisi akademik untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui proses pembelajaran yang baik serta membantu guru dan kepala sekolah menciptakan lulusan yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu, kegiatan supervisi ini hendaknya rutin dilaksanakan di sekolah sebagai salah satu kegiatan yang dipandang positif dalam meningkatkan proses pembelajaran. Apabila konsep-konsep ideal tersebut dilaksanakan, maka dapat diharapkan kualitas pendidikan akan meningkat secara signifikan.
Supervisi (akademik) merupakan kegiatan pembinaan yang direncanakan dengan memberi bantuan teknis kepada guru dan pegawai lainnya dalam melaksanakan proses pembelajaran, atau mendukung proses pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara efektif. Supervisi akademik sebaiknya dilakukan dengan pendekatan supervisi klinis yang dilaksanakan secara berkesinambungan melalui tahapan pra-observasi, observasi pembelajaran, dan pasca observasi.
Idealita supervisi akademik tersebut, praktiknya di lapangan selama ini masih jauh dari harapan. Berbagai kendala baik yang disebabkan oleh aspek struktur birokrasi yang rancu, maupun kultur kerja dan interaksi supervisor dengan guru yang kurang mendukung, telah mendistorsi nilai ideal supervisi pengajaran di sekolah-sekolah. Apa yang selama ini dilaksanakan oleh para Pengawas pendidikan, belum bergeser dari nama jabatan itu sendiri, yaitu sekedar mengawasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana Hakikat Supervisi, Tugas Pokok Supervisi dan Kompetensi Supervisi?
2) Bagaimana Peranan Supervisor Akademik, Teknik-teknik Supervisi Akademi dan Kendala-Kendala Pelaksanaan Supervisi Akademik?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1) Untuk mengetahui Bagaimana Hakikat Supervisi, Tugas Pokok Supervisi dan Kompetensi Supervisi?
2) Untuk mengetahui Peranan Supervisor Akademik, Teknik-teknik Supervisi Akademi dan Kendala-Kendala Pelaksanaan Supervisi Akademik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Supervisi
Supervisi dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997). Supervisi (Pengawasan) juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa supervisi pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya (Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan supervisi harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan supervisi memiliki standard dan tujuan yang jelas.
Dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000:19) menegaskan bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran.
Burhanuddin (1990:284) memperjelas hakikat pengawasan pendidikan pada hakikat substansinya. Substansi hakikat pengawasan yang dimaksud menunjuk pada segenap upaya bantuan supervisor kepada stakeholder pendidikan terutama guru yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pembelajaran. Bantuan yang diberikan kepada guru harus berdasarkan penelitian atau pengamatan yang cermat dan penilaian yang objektif serta mendalam dengan acuan perencanan program pembelajaran yang telah dibuat. Proses bantuan yang diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar itu penting, sehingga bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Jadi bantuan yang diberikan itu harus mampu memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar.
Supervisor/Pengawas satuan pendidikan/sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan (Pandong, A. 2003).
Aktivitas pengawas sekolah selanjutnya adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah satuan pendidikan/sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya. Penilaian itu dilakukan untuk penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dalam bentuk memberikan arahan, saran dan bimbingan (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Februari 1998).
Dengan menyadari pentingnya upaya peningkatan mutu dan efektifitas sekolah dapat (dan memang tepat) dilakukan melalui pengawasan. Atas dasar itu maka kegiatan pengawasan harus difokuskan pada perilaku dan perkembangan siswa sebagai bagian penting dari: kurikulum/mata pelajaran, organisasi sekolah, kualitas belajar mengajar, penilaian/evaluasi, sistem pencatatan, kebutuhan khusus, administrasi dan manajemen, bimbingan dan konseling, peran dan tanggung jawab orang tua dan masyarakat (Law dan Glover 2000).
Lebih lanjut Ofsted (2005) menyatakan bahwa fokus pengawasan sekolah meliputi: (1) standard dan prestasi yang diraih siswa, (2) kualitas layanan siswa di sekolah (efektifitas belajar mengajar, kualitas program kegiatan sekolah dalam memenuhi kebutuhan dan minat siswa, kualitas bimbingan siswa), serta (3) kepemimpinan dan manajemen sekolah.
Dari uraian di atas dapat dimaknai bahwa kepengawasan merupakan kegiatan atau tindakan pengawasan dari seseorang yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang melakukan pembinaan dan penilaian terhadap orang dan atau lembaga yang dibinanya. Seseorang yang diberi tugas tersebut disebut pengawas atau supervisor. Dalam bidang kependidikan dinamakan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan. Pengawasan perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkesinambungan pada sekolah yang diawasinya.
Indikator peningkatan mutu pendidikan di sekolah dilihat pada setiap komponen pendidikan antara lain: mutu lulusan, kualitas guru, kepala sekolah, staf sekolah (Tenaga Administrasi, Laboran dan Teknisi, Tenaga Perpustakaan), proses pembelajaran, sarana dan prasarana, pengelolaan sekolah, implementasi kurikulum, sistem penilaian dan komponen-lainnya. Ini berarti melalui pengawasan harus terlihat dampaknya terhadap kinerja sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Itulah sebabnya kehadiran pengawas sekolah harus menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan, agar bersama guru, kepala sekolah dan staf sekolah lainnya berkolaborasi membina dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah yang bersangkutan seoptimal mungkin sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kiprah supervisor menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang dimaksud memiliki empat dimensi: (1) Support, (2) Trust, (3) Challenge, dan (4) Networking and Collaboration. Keempat dimensi hakikat pengawasan itu masing-masing dijelaskan berikut ini.
Hakikat Pengawasan diadopsi dari Ofsted, 2003 :
1. Dimensi pertama dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Support. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mendukung (support kepada) pihak sekolah untuk mengevaluasi diri kondisi existing-nya. Oleh karena itu, supervisor bersama pihak sekolah dapat melakukan analisis kekuatan, kelemahan dan potensi serta peluang sekolahnya untuk mendukung peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pada sekolah di masa yang akan datang.
2. Dimensi kedua dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Trust. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu membina kepercayaan (trust) stakeholder pendidikan dengan penggambaran profil dinamika sekolah masa depan yang lebih baik dan lebih menjanjikan.
3. Dimensi ketiga dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Challenge. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu memberikan tantangan (challenge) pengembangan sekolah kepada stakeholder pendidikan di sekolah. Tantangan ini harus dibuat serealistik mungkin agar dapat dan mampu dicapai oleh pihak sekolah, berdasarkan pada situasi dan kondisi sekolah pada sat ini. Dengan demikian stakeholder tertantang untuk bekerjasama secara kolaboratif dalam rangka pengembangan mutu sekolah.
4. Dimensi keempat dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Networking and Collaboration. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mengembangkan jejaring dan berkolaborasi antar stakeholder pendidik-an dalam rangka meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah.
Fokus dari keempat dimensi hakikat pengawasan itu dirumuskan dalam tiga aktivitas utama pengawasan yaitu: negosiasi, kolaborasi dan networking. Negosiasi dilakukan oleh supervisor terhadap stakeholder pendidikan dengan fokus pada substansi apa yang dapat dan perlu dikembangkan atau ditingkatkan serta bagaimana cara meningkatkannya. Kolaborasi merupakan inti kegiatan supervisi yang harus selalu diadakan kegiatan bersama dengan pihak stakeholder pendidikan di sekolah binaannya. Hal ini penting karena muara untuk terjadinya peningkatan mutu pendidikan ada pada pihak sekolah. Networking merupakan inti hakikat kegiatan supervisi yang prospektif untuk dikembangkan terutama pada era globalisasi dan cybernet teknologi seperti sekarang ini. Jejaring kerjasama dapat dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal. Jejaring kerjasama secara horisontal dilakukan dengan sesama sekolah sejenis untuk saling bertukar informasi dan sharing pengalaman pengembangan mutu sekolah, misalnya melalui MKP, MKKS, MGBS, MGMP. Jejaring kerjasama secara vertikal dilakukan baik dengan sekolah pada aras dibawahnya sebagai pemasok siswa barunya, maupun dengan sekolah pada jenjang pendidikan di atasnya sebagai lembaga yang akan menerima para siswa lulusannya.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan adalah tenaga kependidikan profesional yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan di sekolah baik pengawasan dalam bidang akademik (teknis pendidikan) maupun bidang manajerial (pengelolaan sekolah). Jabatan pengawas adalah jabatan fungsional bukan jabatan struktural sehingga untuk menyandang predikat sebagai pengawas harus sudah berstatus tenaga pendidik/guru dan atau kepala sekolah/wakil kepala sekolah, setidak-tidaknya pernah menjadi guru.
Berdasarkan rumusan di atas maka kepengawasan adalah aktivitas profesional pengawas dalam rangka membantu sekolah binaannya melalui penilaian dan pembinaan yang terencana dan berkesinambungan. Pembinaan diawali dengan mengidentifikasi dan mengenali kelemahan sekolah binaannya, menganalisis kekuatan/potensi dan prospek pengembangan sekolah sebagai bahan untuk menyusun program pengembangan mutu dan kinerja sekolah binaannya. Untuk itu maka pengawas harus mendampingi pelaksanaan dan pengembangan program-program inovasi sekolah. Ada tiga langkah yang harus ditempuh pengawas dalam menyusun program kerja pengawas agar dapat membantu sekolah mengembangkan program inovasi sekolah. Ketiga langkah tersebut adalah :
1. Menetapkan standar/kriteria pengukuran performansi sekolah (berdasarkan evaluasi diri dari sekolah).
2. Membandingkan hasil tampilan performansi itu dengan ukuran dan kriteria/benchmark yang telah direncanakan, guna menyusun program pengembangan sekolah.
3. Melakukan tindakan pengawasan yang berupa pembinaan/pendampingan untuk memperbaiki implementasi program pengembangan sekolah.
4. Dalam melaksanakan kepengawasan, ada sejumlah prinsip yang dapat dilaksanakan pengawas agar kegiatan kepengawasan berjalan efektif.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Trust, artinya kegiatan pengawasan dilaksanakan dalam pola hubungan kepercayaan antara pihak sekolah dengan pihak pengawas sekolah sehingga hasil pengawasannya dapat dipercaya
2. Realistic, artinya kegiatan pengawasan dan pembinaannya dilaksanakan berdasarkan data eksisting sekolah,
3. Utility, artinya proses dan hasil pengawasan harus bermuara pada manfaat bagi sekolah untuk mengembangkan mutu dan kinerja sekolah binaannya,
4. Supporting, Networking dan Collaborating, artinya seluruh aktivitas pengawasan pada hakikatnya merupakan dukungan terhadap upaya sekolah menggalang jejaring kerja sama secara kolaboratif dengan seluruh stakeholder,
5. Testable, artinya hasil pengawasan harus mampu menggambarkan kondisi kebenaran objektif dan siap diuji ulang atau dikonfirmasi pihak manapun.
Prinsip-prinsip di atas digunakan pengawas dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang pengawas/ supervisor pendidikan pada sekolah yang dibinanya. Dengan demikian kehadiran pengawas di sekolah bukan untuk mencari kesalahan sebagai dasar untuk memberi hukuman akan tetapi harus menjadi mitra sekolah dalam membina dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah sehingga secara bertahap kinerja sekolah semakin meningkat menuju tercapainya sekolah yang efektif.
Prinsip-prinsip kepengawasan itu harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kode etik pengawas satuan pendidikan. Kode etik yang dimaksud minimal berisi sembilan hal berikut ini.
1. Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas satuan pendidikan senantiasa berlandaskan Iman dan Taqwa serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pengawas satuan pendidikan senantiasa merasa bangga dalam mengemban tugas sebagai pengawas.
3. Pengawas satuan pendidikan memiliki pengabdian yang tinggi dalam menekuni tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas.
4. Pengawas satuan pendidikan bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pengawas.
5. Pengawas satuan pendidikan menjaga citra dan nama baik profesi pengawas.
6. Pengawas satuan pendidikan menjunjung tinggi disiplin dan etos kerja dalam melaksanakan tugas profresional pengawas.
7. Pengawas satuan pendidikan mampu menampilkan keberadaan dirinya sebagai supervisor profesional dan tokoh yang diteladani.
8. Pengawas satuan pendidikan sigap dan terampil dalam menanggapi dan membantu pemecahan masalah-masalah yang dihadapi stakeholder sekolah binaannya
9. Pengawas satuan pendidikan memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi, baik terhadap stakeholder sekolah binaannya maupun terhadap koleganya.
B. Kompetensi Supervisor
Untuk dapat melaksanakan perannya, supervisor harus memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu berkaitan dengan substantive aspects of professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas, yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerjakan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerja-kan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya (will grow) (Bafadal, 1992: 10-11).
Glatthorn (1990) menyatakan kompetensi yang harus dimiliki supervisor meliputi hal-hal yang berkaitan dengan the nature of teaching, the nature of adult development, dan tentu saja juga the characteristics of good and effective school.
Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work.
Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi pengawas sekolah dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang pengawas sekolah dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan.
Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah bahwa pengawas sekolah harus memiliki enam dimensi kompetensi:
a. Kepribadian
1. Menyadari akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pengawas satuan pendidikan yang professional
2. Kreatif dalam bekerja dan memecahkan masalah baik yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya maupun tugas-tugas profesinya
3. Memiliki rasa ingin tahu akan hal-hal baru tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang menunjang profesinya.
b. Supervisi Manajerial
1. Menguasai metode, teknik dan prinsip-prinsip supervisi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
2. Menyusun program kepengawasan berdasarkan visi-misi-tujuan dan program sekolah-sekolah binaannya.
3. Menyusun metode kerja dan berbagai instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengawasan.
4. Membina kepala sekolah dalam mengelola satuan pendidikan berdasarkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
5. Membina kepala sekolah dalam melaksanakan administrasi satuan pendidikan meliputi administrasi kesiswaan, kurikulum dan pembelajaran, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, keuangan,lingkungan sekolah dan peran serta masyarakat.
6. Membantu kepala sekolah dalam menyusun indikator keberhasilan mutu pendidikan di sekolah.
7. Membina staf sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya.
8. Memotivasi pengembangan karir kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.
9. Menyusun laporan hasil-hasil pengawasan pada sekolah-sekolah binaannnya dan menindak lanjutinya untuk perbaikan mutu pendidikan dan program pengawasan berikutnya.
10. Mendorong guru dan kepala sekolah untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dalam melaksanakan tugas pokoknya.
11. Menjelaskan berbagai inovasi dan kebijakan pendidikan kepada guru dan kepala sekolah.
12. Memantau pelaksanaan inovasi dan kebijakan pendidikan pada sekolah-sekolah binaannya.
c. Supervisi Akademik
1. Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan bidang ilmu yang menjadi isi tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
2. Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
3. Membimbing guru dalam menentukan tujuan pendidikan yang sesuai, berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
4. Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap bidang pengembangan/ mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk rumpunnya berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP.
5. Menggunakan berbagai pendekatan/metode/ teknik dalam memecahkan masalah pendidikan dan pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
6. Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan startegi/metode/teknik pembelajaran yang dapat mengembangkan berbagai potensi peserta didik melalui bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
7. Membimbing guru dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP) untuk tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
8. Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan media pendidikan yang sesuai untuk menyajikan isi tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
9. Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
10. Membimbing guru dalam melaksanakan strategi/metode/teknik pembelajaran yang telah direncanakan untuk tiap bidang pengembangan/ mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
11. Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran (di kelas, laboratorium, dan/atau di lapangan) untuk mengembangkan potensi peserta didik pada tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
12. Membimbing guru dalam merefleksi hasil-hasil yang dicapai, kekuatan, kelemahan, dan hambatan yang dialami dalam pembelajaran yang telah dilaksanakan.
13. Membantu guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan, dan memanfaatkan fasilitas pembelajaran yang berkaitan dengan mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
d. Evaluasi Pendidikan
1. Membimbing guru dalam menentukan aspek-aspek yang penting dinilai untuk tiap bidang pengembangan/mata pelajaran yang termasuk dalam rumpunnya.
2. Membimbing guru dalam menentukan kriteria dan indikator keberhasilan pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata pelajaran yang termasuk dalam rumpunnya.
3. Menyusun kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan pada satuan pendidikan yang menjadi binaannya
4. Menilai kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran pada tiap bidang pengembangan/mata pelajaran yang termasuk dalam rumpunnya.
5. Menilai kemampuan kepala sekolah dalam mengelola satuan pendidikan.
6. Menilai kinerja staf sekolah dalam melaksanakan tugas pokoknya.
7. Menilai kinerja sekolah dan menindaklanjuti hasilnya untuk keperluan akreditasi sekolah.
8. Mengolah dan menganalisis data hasil penilaian kinerja sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan kinerja staf sekolah.
9. Memantau pelaksanaan kurikulum, pembelajaran, bimbingan dan hasil belajar siswa serta menganalisisnya untuk perbaikan mutu pendidikan pada sekolah binaannya
10. Membina guru dalam memanfaatkan hasil penilaian untuk kepentingan pendidikan dan pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata yang termasuk dalam rumpunnya
11. Memberikan saran kepada kepala sekolah, guru, dan seluruh staf sekolah dalam meningkatkan kinerjanya berdasarkan hasil penilaian.
e. Penelitian dan Pengembangan
1. Menguasai berbagai pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam pendidikan.
2. Menentukan masalah kepengawasan yang penting untuk diteliti baik untuk keperluan tugas pengawasan, pemecahan masalah pendidikan, dan pengembangan profesi.
3. Menyusun proposal penelitian pendidikan baik proposal penelitian kualitatif maupun proposal penelitian kuantitatif.
4. Melaksanakan penelitian pendidikan baik untuk keperluan pemecahan masalah pendidikan, perumusan kebijakan pendidikan maupun untuk pengembangan profesi.
5. Mengolah dan menganalisis data penelitian pendidikan baik data kualitatif maupun data kuantitatif.
6. Memberikan bimbingan kepada guru tentang penelitian tindakan kelas, baik perencanaan maupun pelaksanaannya.
7. Menyusun karya tulis ilmiah (KTI) dalam bidang pendidikan/kepengawasan.
8. Mendiseminasikan hasil-hasil penelitian pada forum kegiatan ilmiah baik lisan maupun tulisan.
9. Membina guru dalam menyusun karya tulis ilmiah dalam bidang pendidikan dan pembelajaran.
10. Membuat artikel ilmiah untuk dimuat pada jurnal.
11. Menulis buku/modul untuk bahan pengawasan.
12. Menyusun pedoman/panduan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pengawasan.
f. Sosial
1. Menyadari akan pentingnya bekerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan kualitas diri dan profesinya.
2. Menangani berbagai kasus yang terjadi di sekolah atau di masyarakat .
3. Aktif dalam kegiatan organisasi profesi seperti APSI, PGRI, ISPI dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
C. Tugas Pokok Pengawas Sekolah
Tugas pokok supervisor sekolah/satuan pendidikan adalah melakukan penilaian dan pembinaan dengan melaksanakan fungsi-fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi di atas minimal ada tiga kegiatan yang harus dilaksanakan pengawas yakni:
1. Melakukan pembinaan pengembangan kualitas sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan kinerja seluruh staf sekolah,
2. Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan program sekolah beserta pengembangannya,
3. Melakukan penilaian terhadap proses dan hasil program pengembangan sekolah secara olaboratif dengan stakeholder sekolah.
Bantuan yang diberikan oleh supervisor dalam meningkatkan kemampuan guru adalah :
1. Merancang program belajar mengajar.
2. Melaksanakan proses belajar mengajar.
3. Menilai proses dan hasil belajar.
4. Mengembangkan manajemen kelas
Mengacu pada SK Menpan nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya, Keputusan bersama Mendikbud nomor 03420/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas serta Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya, dapat dikemukakan tentang tugas pokok dan tanggung jawab pengawas sekolah yang meliputi:
1. Melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan penugasannya pada TK, SD, SLB, SLTP dan SLTA.
2. Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Tugas pokok yang pertama merujuk pada supervisi atau pengawasan manajerial sedangkan tugas pokok yang kedua merujuk pada supervisi atau pengawasan akademik. Pengawasan manajerial pada dasarnya memberikan pembinaan, penilaian dan bantuan/bimbingan mulai dari rencana program, proses, sampai dengan hasil. Bimbingan dan bantuan diberikan kepada kepala sekolah dan seluruh staf sekolah dalam pengelolaan sekolah atau penyelenggaraan pendidikan di sekolah untuk meningkatkan kinerja sekolah. Pengawasan akademik berkaitan dengan membina dan membantu guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran/bimbingan dan kualitas hasil belajar siswa.
Sedangkan wewenang yang diberikan kepada pengawas sekolah meliputi:
(1) Memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil yang optimal dalam melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kode etik profesi,
(2) Menetapkan tingkat kinerja guru dan tenaga lainnya yang diawasi beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya,
(3) Menentukan atau mengusulkan program pembinaan serta melakukan pembinaan.
Wewenang tersebut menyiratkan adanya otonomi pengawas untuk menentukan langkah dan strategi dalam menentukan prosedur kerja kepengawasan. Namun demikian pengawas perlu berkolaborasi dengan kepala sekolah dan guru agar dalam melaksanakan tugasnya sejalan dengan arah pengembangan sekolah yang telah ditetapkan kepala sekolah.
Berdasarkan kedua tugas pokok di atas maka kegiatan yang dilakukan oleh pengawas antara lain:
1. Menyusun program kerja kepengawasan untuk setiap semester dan setiap tahunnya pada sekolah yang dibinanya.
2. Melaksanakan penilaian, pengolahan dan analisis data hasil belajar/bimbingan siswa dan kemampuan guru.
3. Mengumpulkan dan mengolah data sumber daya pendidikan, proses pembelajaran/bimbingan, lingkungan sekolah yang berpengaruh terhadap perkembangan hasil belajar/bimbingan siswa.
4. Melaksanakan analisis komprehensif hasil analisis berbagai faktor sumber daya pendidikan sebagai bahan untuk melakukan inovasi sekolah.
5. Memberikan arahan, bantuan dan bimbingan kepada guru tentang proses pembelajaran/bimbingan yang bermutu untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar/ bimbingan siswa.
6. Melaksanakan penilaian dan monitoring penyelenggaran pendidikan di sekolah binaannya mulai dari penerimaan siswa baru, pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan ujian sampai kepada pelepasan lulusan/pemberian ijazah.
7. Menyusun laporan hasil pengawasan di sekolah binaannya dan melaporkannya kepada Dinas Pendidikan, Komite Sekolah dan stakeholder lainnya.
8. Melaksanakan penilaian hasil pengawasan seluruh sekolah sebagai bahan kajian untuk menetapkan program kepengawasan semester berikutnya.
9. Memberikan bahan penilaian kepada sekolah dalam rangka akreditasi sekolah.
10. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pihak sekolah dalam memecahkan masalah yang dihadapi sekolah berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas maka tugas pengawas mencakup: (1) inspecting (mensupervisi), (2) advising (memberi advis atau nasehat), (3) monitoring (memantau), (4) reporting (membuat laporan), (5) coordinating (mengkoordinir) dan (6) performing leadership dalam arti memimpin dalam melaksanakan kelima tugas pokok tersebut (Ofsted, 2003).
Tugas pokok inspecting (mensupervisi) meliputi tugas mensupervisi kinerja kepala sekolah, kinerja guru, kinerja staf sekolah, pelaksanaan kurikulum/mata pelajaran, pelaksanaan pembelajaran, ketersediaan dan pemanfaatan sumberdaya, manajemen sekolah, dan aspek lainnya seperti: keputusan moral, pendidikan moral, kerjasama dengan masyarakat.
Tugas pokok advising (memberi advis/nasehat) meliputi advis mengenai sekolah sebagai sistem, memberi advis kepada guru tentang pembelajaran yang efektif, memberi advis kepada kepala sekolah dalam mengelola pendidikan, memberi advis kepada tim kerja dan staf sekolah dalam meningkatkan kinerja sekolah, memberi advis kepada orang tua siswa dan komite sekolah terutama dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.
Tugas pokok monitoring/pemantauan meliputi tugas: memantau penjaminan/ standard mutu pendidikan, memantau penerimaan siswa baru, memantau proses dan hasil belajar siswa, memantau pelaksanaan ujian, memantau rapat guru dan staf sekolah, memantau hubungan sekolah dengan masyarakat, memantau data statistik kemajuan sekolah, memantau program-program pengembangan sekolah.
Tugas pokok reporting meliputi tugas: melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Propinsi dan/atau Nasional, melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan ke masyarakat publik, melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan ke sekolah binaannya.
Tugas pokok coordinating meliputi tugas: mengkoordinir sumber-sumber daya sekolah baik sumber daya manusia, material, financial dll, mengkoordinir kegiatan antar sekolah, mengkoordinir kegiatan preservice dan in service training bagi Kepala Sekolah, guru dan staf sekolah lainnya, mengkoordinir personil stakeholder yang lain, mengkoordinir pelaksanaan kegiatan inovasi sekolah.
Tugas pokok performing leadership/memimpin meliputi tugas: memimpin pengembangan kualitas SDM di sekolah binaannya, memimpin pengembangan inovasi sekolah, partisipasi dalam memimpin kegiatan manajerial pendidikan di Diknas yang bersangkutan, partisipasi pada perencanaan pendidikan di kabupaten/kota, partisipasi pada seleksi calon kepala sekolah/calon pengawas, partisipasi dalam akreditasi sekolah, partisipasi dalam merekruit personal untuk proyek atau program-program khusus pengembangan mutu sekolah, partisipasi dalam mengelola konflik di sekolah dengan win-win solution dan partisipasi dalam menangani pengaduan baik dari internal sekolah maupun dari masyarakat. Itu semua dilakukan guna mewujudkan kelima tugas pokok di atas.
Berdasarkan uraian tugas-tugas pengawas sebagaimana dikemukakan di atas, maka pengawas satuan pendidikan banyak berperan sebagai: (1) penilai, (2) peneliti, (3) pengembang, (4) pelopor/inovator, (5) motivator, (6) konsultan, dan (7) kolaborator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah binaannya. Dikaitkan dengan tugas pokok pengawas sebagai pengawas atau supervisor akademik yaitu tugas pokok supervisor yang lebih menekankan pada aspek teknis pendidikan dan pembelajaran, dan supervisor manajerial yaitu tugas pokok supervisor yang lebih menekankan pada aspek manajemen sekolah dapat dimatrikkan dalam tabel berikut ini.
Tugas Pokok Pengawas
Rincian Tugas Supervisi Akademik Supervisi Manajerial
Inspecting/ Pengawasan Pelaksanaan kurikulum mata pelajaran
Proses pembelajaran/ praktikum/ studi lapangan
Kegiatan ekstra kurikuler
Penggunaan media, alat bantu dan sumber belajar
Kemajuan belajar siswa
Lingkungan belajar Pelaksanaan kurikulum sekolah
Penyelenggaraan administrasi sekolah
Kinerja kepala sekolah dan staf sekolah
Kemajuan pelaksanaan pendidikan di sekolah
Kerjasama sekolah dengan masyarakat
Advising/ Menasehati Menasehati guru dalam pembelajaran/bimbingan yang efektif
Guru dalam meningkatkan kompetensi professional
Guru dalam melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar
Guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas
Guru dalam meningkatkan kompetensi pribadi, sosial dan pedagogik Kepala sekolah di dalam mengelola pendidikan
Kepala sekolah dalam melaksanakan inovasi pendidikan
Kepala sekolah dalam peningkatan kemampuan professional kepala sekolah
Menasehati staf sekolah dalam melaksanakan tugas administrasi sekolah
Kepala sekolah dan staf dalam kesejahteraan sekolah
Monitoring/ Memantau Ketahanan pembelajaranPelaksanaan ujian mata pelajaran Standar mutu hasil belajar siswa
Pengembangan profesi guru
Pengadaan dan pemanfaatan sumber-sumber belajar Penyelenggaraan kurikulum
Administrasi sekolah
Manajemen sekolah
Kemajuan sekolah
Pengembangan SDM sekolah
Penyelenggaraan ujian sekolah
Penyelenggaraan penerimaan siswa baru
Coordinating/ mengkoordinir Pelaksanaan inovasi pembelajaranPengadaan sumber-sumber belajar
Kegiatan peningkatan kemampuan profesi guru Mengkoordinir peningkatan mutu SDM sekolah
Penyelenggaraan inovasi di sekolah
Mengkoordinir akreditasi sekolah
Mengkoordinir kegiatan sumber daya pendidikan
Reporting Kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran
Kemajuan belajar siswa
Pelaksanaan tugas kepengawasan akademik Kinerja kepala sekolah
Kinerja staf sekolah
Standar mutu pendidikan
Inovasi pendidikan
D. Fungsi Pengawas Sekolah
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, pengawas sekolah melaksanakan fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial.
Supervisi akademik adalah fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah. Sasaran supervisi akademik antara lain membantu guru dalam: (1) merencanakan kegiatan pembelajaran dan atau bimbingan, (2) melaksanakan kegiatan pembelajaran/ bimbingan, (3) menilai proses dan hasil pembelajaran/ bimbingan, (4) memanfaatkan hasil penilaian untuk peningkatan layanan pembelajaran/bimbingan, (5) memberikan umpan balik secara tepat dan teratur dan terus menerus pada peserta didik, (6) melayani peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, (7) memberikan bimbingan belajar pada peserta didik, (8) menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, (9) mengembangkan dan memanfaatkan alat Bantu dan media pembelajaran dan atau bimbingan, (10) memanfaatkan sumber-sumber belajar, (11) mengembangkan interaksi pembelajaran/bimbingan (metode, strategi, teknik, model, pendekatan dll.) yang tepat dan berdaya guna, (12) melakukan penelitian praktis bagi perbaikan pembelajaran/bimbingan, dan (13) mengembangkan inovasi pembelajaran/bimbingan.
Dalam melaksanakan fungsi supervisi akademik seperti di atas, pengawas hendaknya berperan sebagai:
1. Mitra guru dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran dan bimbingan di sekolah binaannya
2. Inovator dan pelopor dalam mengembangkan inovasi pembelajaran dan bimbingan di sekolah binaannya
3. Konsultan pendidikan di sekolah binaannya
4. Konselor bagi kepala sekolah, guru dan seluruh staf sekolah
5. Motivator untuk meningkatkan kinerja semua staf sekolah
Supervisi manajerial adalah fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup: (1) perencanaan, (2) koordinasi, (3) pelaksanaan, (3) penilaian, (5) pengembangan kompetensi SDM kependidikan dan sumberdaya lainnya. Sasaran supervisi manajerial adalah membantu kepala sekolah dan staf sekolah lainnya dalam mengelola administrasi pendidikan seperti: (1) administrasi kurikulum, (2) administrasi keuangan, (3) administrasi sarana prasarana/perlengkapan, (4) administrasi personal atau ketenagaan, (5) administrasi kesiswaan, (6) administrasi hubungan sekolah dan masyarakat, (7) administrasi budaya dan lingkungan sekolah, serta (8) aspek-aspek administrasi lainnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam melaksanakan fungsi supervisi manajerial, pengawas hendaknya berperan sebagai:
1. Kolaborator dan negosiator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen sekolah,
2. Asesor dalam mengidentifikasi kelemahan dan menganalisis potensi sekolah binaannya
3. Pusat informasi pengembangan mutu pendidikan di sekolah binaannya
4. Evaluator/judgement terhadap pemaknaan hasil pengawasan
E. Kewenangan dan Hak Pengawas Sekolah
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas sekolah/satuan pendidikan, setiap pengawas memiliki kewenangan dan hak-hak yang melekat pada jabatannya. Beberapa kewenangan yang ada pada pengawas adalah kewenangan untuk:
1. Bersama pihak sekolah yang dibinanya, menentukan program peningkatan mutu pendidikan di sekolah binaannya.
2. Menyusun program kerja/agenda kerja kepengawasan pada sekolah binaannya dan membicarakannya dengan kepala sekolah yang bersangkutan,
3. Menentukan metode kerja untuk pencapaian hasil optimal berdasarkan program kerja yang telah disusun.
4. Menetapkan kinerja sekolah, kepala sekolah dan guru serta tenaga kependidikan guna peningkatan kualitas diri dan layanan pengawas.
Hak yang seharusnya diperoleh pengawas sekolah yang profesional adalah :
1. Menerima gaji sebagai pegawai negeri sipil sesuai dengan pangkat dan golongannya,
2. Memperoleh tunjangan fungsional sesuai dengan jabatan pengawas yang dimilikinya,
3. Memperoleh biaya operasional/rutin untuk melaksanakan tugas-tugas kepengawasan seperti; transportasi, akomodasi dan biaya untuk kegiatan kepengawasan.
4. Memperoleh tunjangan profesi pengawas setelah memiliki sertifikasi pengawas.
5. Menerima subsidi dan insentif untuk menunjang pelaksanaan tugas dan pengembangan profesi pengawas.
6. Memperoleh tunjangan khusus bagi pengawas yang bertugas di daerah terpencil, rawan kerusuhan dan atau daerah bencana alam.
Semua biaya hak di atas dibebankan pada Pemerintah Pusat dan Daerah. Sedangkan tunjangan kesejahteraan diharapkan diberikan oleh pemerintah daerah. Besarnya tunjangan-tunjangan di atas disesuaikan dengan kemampuan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Subsidi dan insentif untuk peningkatan profesionalitas pengawas diberikan sekali dalam setahun oleh pemerintah melalui Direktorat Tenaga Kependidikan. Besarnya subsidi dan insentif disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Subsidi diberikan kepada pengawas melalui koordinator pengawas (korwas) yang ada disetiap Kabupaten/Kota. Untuk itu setiap korwas perlu menyusun program dan kegiatan peningkatan kemampuan profesionalisme pengawas di daerah-nya.
F. Peranan Supervisor Akademik
Banyak pakar menyatakan betapa pentingnya supervise sebagai bagian dari manajemen pendidikan dalam substansi ekstensinya maupun substansi intinya. Menurut konsep tradisional, supervisi dilaksanakan dalam bentuk inspeksi atau mencari kesalahan. Sedangkan dalam pandangan modern, supervisi merupakan usaha untuk memperbaiki situasi pendidikan atau pembelajaran, yakni sebagai bantuan bagi pendidik untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme sehinnga peserta didik akan lebih berkualitas. Konsekuensi prilaku supervisi tradisonal atau Snooper Vision adalah para staf pengajar akan menjadi takut dan mereka bekerja secara terpaksa serta mengurangi / mematikan kreativitas guru/dosen dalam pengembangan profesionalismenya.
Supervisor akademik, tentu memiliki peran berbeda dengan “pengawas”. Supervisor, lebih berperan sebagai “gurunya guru” yang siap membantu kesulitan guru dalam mengajar. Supervisor akademik (pengajaran) bukanlah seorang pengawas yang hanya mencari-cari kesalahan guru.
Peranan pengawas sekolah/madrasah menurut Wiles & Bondi (2007),“The role of the supervisor is to help teachers and other education leaders understand issues and make wise decisions affecting student education.” Bertitik tolak dari pendapat Wiles & Bondi tersebut, maka peranan pengawas sekolah/madrasah adalah membantu guru-guru dan pemimpin-pemimpin pendidikan untuk memahami isu-isu dan membuat keputusan yang bijak yang mempengaruhi pendidikan siswa.
Dalam melaksanakan supervisi akademik, pengawas sekolah/madrasah hendaknya memiliki peranan khusus sebagai:
a. Patner (mitra) guru dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran dan bimbingan di sekolah/madrasah binaannya,
b. Inovator dan pelopor dalam mengembangkan inovasi pembelajaran dan bimbingan di sekolah/madrasah binaannya,
c. Konsultan pendidikan dan pembelajaran di sekolah/madrasah binaannya,
d. Konselor bagi guru dan seluruh tenaga kependidikan di sekolah/madrasah, dan
e. Motivator untuk meningkatkan kinerja guru dan semua tenaga kependidikan di sekolah/madrasah.
Karena itu, sasaran supervisi akademik antara lain adalah untuk membantu guru dalam hal:
a. merencanakan kegiatan pembelajaran dan atau bimbingan,
b. melaksanakan kegiatan pembelajaran/ bimbingan,
c. menilai proses dan hasil pembelajaran/bimbingan,
d. memanfaatkan hasil penilaian untuk peningkatan layanan pembelajaran/ bimbingan,
e. memberikan umpan balik secara tepat dan teratur dan terus menerus pada peserta didik,
f. melayani peserta didik yang mengalami kesulitan belajar,
g. memberikan bimbingan belajar pada peserta didik,
h. menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan,
i. mengembangkan dan memanfaatkan alat bantu dan media pembelajaran dan atau bimbingan,
j. memanfaatkan sumber-sumber belajar,
k. mengembangkan interaksi pembelajaran/ bimbingan (metode, strategi, teknik, model, pendekatan dan sebagainya) yang tepat dan berdaya guna,
l. melakukan penelitian praktis bagi perbaikan pembelajaran/bimbingan, dan
m. mengembangkan inovasi pembelajaran/bimbingan.
G. Kompetensi Supervisor Akademik
Kompetensi pengawas berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 12 Tahun 2007 tentang standar kompetensi pengawas sekolah/madrasah yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, dan kompetensi penelitian pengembangan. Secara lebih sepesiifik kompetensi akademik supervisor adalah sebagai berikut:
1. Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap bidang pengembangan
2. Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran/ bimbingan tiap bidang pengembangan.
3. Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap bidang pengembangan atau mata pelajaran berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP.
4. Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa melalui bidang pengembangan.
5. Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
6. Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas, laboratorium, dan/atau di lapangan) untuk mengembangkan potensi siswa.
7. Membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan
8. Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk pembelajaran/ bimbingan.
Untuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, supervisor harus memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu berkaitan dengan substantive aspects of professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas, yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerjakan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerjakan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya (will grow).
H. Teknik-teknik Supervisi Akademik
Teknik supervisi, dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Berbagai teknik supervisi individual meliputi kegiatan, antara lain: (a) kunjungan kelas, (b) observasi kelas, (c) Pertemuan individual, (d) kunjungan antar kelas, dan (e) self assessment.
Berbagai kegiatan supervisi yang dilakukan secara kelompok, antara lain (a) orientasi bagi guru baru, (b) ujicoba di kelas atau penelitian tindakan kelas, (c) pelatihan sensitivitas, (d) pertemuan guru yang efektif, (e) melakukan teknikDelphi untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan pengajaran/sekolah, (f) mengunjungi guru lain yang profesional, (g) pengembangan instrument ujian secara bersama, dan (h) pusat kegiatan guru. Dalam kegiatan supervisi kelompok tersebut, tentu saja peran supervisor yang menonjol adalah sebagai koordinator dan group leader. Sementara itu dalam kegiatan supervisi individual, supervisor lebih berperan sebagai konsultan. Berbagai bentuk kegiatan atau taknik supervisi tersebut tentunya sangat tergantung pada inisiatif supervisor. Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa ada 3 tahap yang harus dilakukan supervisor dalam melakukan supervisi yaitu pra observasi, observasi dan pasca observasi:
1. Pra-observasi (Pertemuan awal)
• Menciptakan suasana akrab dengan guru.
• Membahas persiapan yang dibuat oleh guru dan membuat kesepakatan mengenai aspek yang menjadi fokus pengamatan
• Menyepakati instrumen observasi yang akan digunakan
2. Observasi (Pengamatan pembelajaran)
• Pengamatan difokuskan pada aspek yang telah disepakat.
• Menggunakan instrumen observasi
• Di samping instrumen perlu dibuat catatan (fieldnotes
• Catatan observasi meliputi perilaku guru dan sisw
• Tidak mengganggu proses pembelajaran.
3. Pasca-observasi (Pertemuan balikan)
• Dilaksanakan segera setelah observasi
• Tanyakan bagaimana pendapat guru mengenai proses pembelajaran yang baru berlangsung
• Tunjukkan data hasil observasi (instrumen dan catatan) –beri kesempatan guru mencermati dan menganalisisnya
• Diskusikan secara terbuka hasil observasi, terutama pada aspek yang telah disepakati (kontrak)
• Berikan penguatan terhadap penampilan guru. Hindari kesan menyalahkan.
• Usahakan guru menemukan sendiri kekurangannya
• Berikan dorongan moral bahwa guru mampu memperbaiki kekurangannya
• Tentukan bersama rencana pembelajaran
a. Pelaksanaan Supervisi oleh Pengawas
Penelitian yang dilakukan oleh Ekosusilo (2003) menunjukkan kenyataan pelaksanaan supervisi oleh pengawas sungguh bertolak belakang dengan konsep ideal supervisi. kegiatan supervisi yang dilakukan oleh pengawas, masih jauh dari substansi teori supervisi. Supervisi yang dilakukan oleh pengawas lebih dekat pada paradigma inspeksi atau pengawasan. Upaya “membantu guru” dengan terlebih dahulu menjalin hubungan yang akrab sebagai syarat keberhasilan supervisi pengajaran, belum dilakukan oleh para pengawas. Secara lebih spesifik, sasaran dan indikator pengawas adalah sebagai berikut:
a) KBM dan pengelolaan kelas, meliputi: Program persiapan, metode persiapan, materi, perhatian terhadap siswa, pengelolaan KBM/kelas, teknik mengajar, hasil belajar, buku, alat dan bahan ajar, pemberian dan pengayaan pengajaran.
b) Sarana dan prasarana, meliputi: perpustakaan, laboratoriom, dll.
c) Manajemen sekolah, antara lain: program pembinaan profesional, monitoring dan supervisi kelas, partisipasi masyarakat administrasi sekolah.
d) KKG (Kelompok Kerja Guru), meliputi: perencanaan, kegiatan, interaksi, peran titor dan pemandu, dampak pelatihan, fasilitas fisik, dan dampak dalam KBM.
b. Pelaksanaan Supervisi oleh Kepala Sekolah
Kepala sekolah sebagai supervisor dibebani peran dan tanggungjawab memantau, membina, dan memperbaiki proses belajar mengajar (PBM) di kelas / di sekolah. Salah satu tugas pokok kepala sekolah, selain sebagai administrator adalah juga sebagai supervisor. Tugas ini termasuk dalam kapasitas kepala sekolah sebagai instructional leader.
Dalam kenyataannya, pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah, sebagaimana pengawas, juga masih terfokus pada pengawasan administrasi. Pada umumnya kepala sekolah akan melakukan supervisi akademik (pembelajaran) pada guru melalui kunjungan kelas, apabila dia mendapat laporan mengenai kinerja guru yang kurang baik, atau berbeda dari teman-temannya. Bahkan seringkali dijumpai, seorang kepala sekolah melakukan supervisi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru dengan cara mengintip dari balik pintu atau jendela, agar tidak diketahui.
Perilaku kepala sekolah tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya (Jawa) yaitu pekewuh yang dipersepsikan secara salah. Dalam pemahaman yang salah tersebut, apabila kepala sekolah melakukan supervisi kunjungan kelas dan mengamati PBM yang dilakukan guru, maka ia dianggap tidak percaya pada kemampuan guru. Hal ini akan menimbulan konflik dalam hubungan guru dengan kepala sekolah.
I. Kendala-Kendala Pelaksanaan Supervisi Akademik
Kendala pelaksanaan supervisi yang ideal dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu struktur dan kultur. Pada aspek struktur birokrasi pendidikan di Indonesia ditemukan kendala antara lain sebagai berikut :
a) Secara legal yang ada dalam nomenklatur adalah jabatan pengawas bukan supervisor. Hal ini mengindikasikan paradigma berpikir tentang pendidikan yang masih dekat dengan era inspeksi.
b) Lingkup tugas jabatan pengawas lebih menekankan pada pengawasan administrastif yang dilakukan oleh kepala sekolah dan atau guru. Asumsi yang digunakan adalah apabila administrasinya baik, maka pembelajaran di sekolah tersebut juga baik. Inilah asumsi yang kurang tepat.
c) Rasio jumlah pengawas dengan sekolah dan guru yang harus dibina/diawasi sangat tidak ideal. Di daerah-daerah luar pula Jawa misalnya, seorang pengawas harus menempuh puluhan kilo meter untuk mencapai sekolah yang diawasinya; dan
d) Persyaratan kompetensi, pola rekrutmen dan seleksi, serta evaluasi dan promosi terhadap jabatan pengawas juga belum mencerminkan perhatian yang besar terhadap pentingnya implementasi supervisi pada ruh pedidikan, yaitu interaksi belajar mengajar di kelas.
Pada aspek kultural dijumpai kendala dalam pelaksanaan supervisi antara lain:
a) Para pengambil kebijakan tentang pendidikan belum berpikir tentang pengembangan budaya mutu dalam pendidikan secara sistemis. Apabila dicermati, maka mutu pendidikan yang diminta oleh customers sebenarnya justru terletak pada kualitas interaksi belajar mengajar antara siswa dengan guru. Hal ini belum menjadi komitmen para pengambil kebijakan, juga tentu saja para pelaksana di lapangan.
b) Nilai budaya interaksi sosial yang kurang positif, dibawa dalam interaksi fungsional dan professional antara pengawas, kepala sekolah dan guru. Budayaewuh-pakewuh, menjadikan pengawas atau kepala sekolah tidak mau “masuk terlalu jauh” pada wilayah guru.
c) Budaya paternalistik, menjadikan guru tidak terbuka dan membangun hubungan professional yang akrab dengan kepala sekolah dan pengawas. Guru menganggap mereka sebagai “atasan” sebaliknya pengawas menganggap kepala sekolah dan guru sebagai “bawahan”. Inilah yang menjadikan tidak terciptanya rapport atau kedekatan hubungan yang menjadi syarat pelaksanaan supervisi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah uraian mengenai supervisi akademik, antara konsep teoritik dan kenyataannya. Pelaksanaan supervisi pengajaran di lapangan, kenyataannya masih jauh dari konsep teoritik yang dikembangkan di jurusan/program manajemen pendidikan. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, diperlukan sosialisasi dan “tekanan” dari pihak-pihak yang komit terhadap kualitas pendidikan kepada para pengambil kebijakan dan pengelola pendidikan. Hal ini secara bersama-sama harus dilakukan dengan pengembangan budaya mutu dalam pendidikan, yang intinya terletak pada kualitas proses pembelajaran di dalam kelas.
B. Saran-saran
1. Menegaskan, dan apabila diperlukan memisahkan jabatan supervisor dengan jabatan pengawas dalam struktur birokrasi pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini, terdapat dua pilihan, yaitu mengarahkan jabatan pengawas agar terartikulasi pada peran dan tugas sebagai supervisor, atau mengangkat supervisor secara khusus dan tetap membiarkan jabatan pengawas melaksanakan fungsi pengawasan.
2. Memperbaiki pola pendidikan prajabatan maupun inservice rekrutmen, seleksi, penugasan, serta penilaian dan promosi jabatan supervisor/pengawas.
3. Dalam konteks otonomi daerah, jabatan supervisor dapat diangkat sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.
4. Membangun kesadaran budaya mutu dalam pendidikan bagi pengelola-pengelola pendidikan pada semua tingkatan.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin. (1990). Analisis Administrasi Manajemen Dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bafadal, Ibrahim. (1992). Supervisi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Burhanuddin, dkk. (2007). Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Konsep, Pendekatan, dan Penerapan Pembinaan Profesional. Malang: Rosindo. Edisi Revisi.
Instrumen supervise Akademik dalam http://akhmadsudrajat.files. wordpress.com/2009/03/instrumen-supervisi-akademik.pdf (online) Diakses pada 20 November 2009
Mantja, W. (2007), Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas
Metode dan Teknik Supervisi. (2008). Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional dalam http://lpmpjogja.diknas.go.id/materi/fsp/2009-Pembekalan-Pengawas/06%20–%20KODE%20–%2002%20-%20B1%20-%20A%20Metode%20dan%20Teknik%20Supervisi.pdf (Online) Diakses pada 20 Nopember 2009
http://www.tendik.org/
Keputusan bersama Mendikbud nomor 03420/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor 38 tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas
Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah Dan Angka Kreditnya.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. No. 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Law dan Glover. (2000). Educational Leadership and Learning. Buckingham. Philadelphia: Open University Press
Louise Moqvist. 2003. The Competency Dimension of Leadership: Findings from a Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation, Linköping University.
Mantja, W. 2001. Organisasi dan Hubungan Kerja Pengawas Pendidikan. Makalah,disampaikan dalam Rapat Konsultasi Pengawasan antara Inspektorat Jendral Departemen Pendidikan Nasional dengan Badan Pengawasan Daerah di Solo,tanggal 24 s/d 28 September2001
Ofsted. (2003). Inspecting schools Framework for inspecting schools. London: Office for Standards in Education
Ofsted. (2005). Ofsted inspection of teacher education. London: Office for Standards in Education
Pandong, A. (2003). Jabatan Fungsional Pengawas. Badan Diklat Depdagri & Diklat Depdiknas
Peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah
Robbins, P. Stephen, (1997). Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications (Hardcover), Prentice Hall- Gale.
Sahertian, P.A. (2000). Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Supervisi/Implementasi/Supervisi/Akademik/dalam/Proses/Pembelajara.Ca.Santing's.Blog.htm
Undang-undang No: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Kita meyakini bahwa salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasakan arah perkembangan masyarakat Indonesia di masa depan adalah pendidikan. Pendidikan dalam konsep pengembangan masyarakat merupakan dinamisasi dalam pengembangan manusia yang beradab. Pendidikan tidak hanya terbatas berperan pada pengalihan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) saja, namun dalam Undang-undang No: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dari fungsi dan tujuan pendidikan ini diharapkan manusia Indonesia adalah manusia yang berimbang antara segi kognitif, afektif dan psikomotor.
Dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional, dunia pendidikan kita secara nasional dihadapkan pada salah satu masalah besar yakni peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Masalah ini menjadi fokus yang paling penting dalam pembangunan pendidikan nasional. Pembangunan pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan SDM suatu Negara. Di antara faktor terpenting adalah terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh pengawas sekolah dalam membina dan mensupervisi sekolah di satuan pendidikan yang menyelenggarakan proses pembelajaran kepada peserta didik. Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12/2007 tanggal 28 Maret 2009 mengisyaratkan tentang Standar yang harus dimiliki oleh Pengawas Sekolah/Madrasah. Oleh karena itu, pengawas sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Maka peninjauan kualifikasi dan kompetensi pengawas sekolah/madrasah dalam upaya strategis peningkatan mutu pendidikan khususnya pada jejang sekolah menengah sangatlah diperlukan.
Eksistensi pengawas sekolah dinaungi oleh sejumlah dasar hukum. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah landasan hukum yang terbaru yang menegaskan keberadaan pejabat fungsional itu. Selain itu, Keputusan Menteri Pendayagunaan aparatur Negara Nomor 118 Tahun 1996 (disempurnakan dengan keputusan nomor 091/2001) dan Keputuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 020/U/1998 (disempurnakan dengan keputusan nomor 097/U/2001) merupakan menetapan pengawas sebagai pejabat fungsional yang permanen sampai saat ini. Jika ditilik sejumlah peraturan dan perundang-undangan yang ada, yang terkait dengan pendidikan, ternyata secara hukum pengawas sekolah tidak diragukan lagi keberadaannya. Dengan demikian, tidak ada alasan apapun dan oleh siapapun yang memarjinalkan dan mengecilkan eksistensi pengawas sekolah.
Pentingnya pelaksanaan supervisi akademik untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui proses pembelajaran yang baik serta membantu guru dan kepala sekolah menciptakan lulusan yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu, kegiatan supervisi ini hendaknya rutin dilaksanakan di sekolah sebagai salah satu kegiatan yang dipandang positif dalam meningkatkan proses pembelajaran. Apabila konsep-konsep ideal tersebut dilaksanakan, maka dapat diharapkan kualitas pendidikan akan meningkat secara signifikan.
Supervisi (akademik) merupakan kegiatan pembinaan yang direncanakan dengan memberi bantuan teknis kepada guru dan pegawai lainnya dalam melaksanakan proses pembelajaran, atau mendukung proses pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara efektif. Supervisi akademik sebaiknya dilakukan dengan pendekatan supervisi klinis yang dilaksanakan secara berkesinambungan melalui tahapan pra-observasi, observasi pembelajaran, dan pasca observasi.
Idealita supervisi akademik tersebut, praktiknya di lapangan selama ini masih jauh dari harapan. Berbagai kendala baik yang disebabkan oleh aspek struktur birokrasi yang rancu, maupun kultur kerja dan interaksi supervisor dengan guru yang kurang mendukung, telah mendistorsi nilai ideal supervisi pengajaran di sekolah-sekolah. Apa yang selama ini dilaksanakan oleh para Pengawas pendidikan, belum bergeser dari nama jabatan itu sendiri, yaitu sekedar mengawasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana Hakikat Supervisi, Tugas Pokok Supervisi dan Kompetensi Supervisi?
2) Bagaimana Peranan Supervisor Akademik, Teknik-teknik Supervisi Akademi dan Kendala-Kendala Pelaksanaan Supervisi Akademik?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1) Untuk mengetahui Bagaimana Hakikat Supervisi, Tugas Pokok Supervisi dan Kompetensi Supervisi?
2) Untuk mengetahui Peranan Supervisor Akademik, Teknik-teknik Supervisi Akademi dan Kendala-Kendala Pelaksanaan Supervisi Akademik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Supervisi
Supervisi dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997). Supervisi (Pengawasan) juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa supervisi pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya (Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan supervisi harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan supervisi memiliki standard dan tujuan yang jelas.
Dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000:19) menegaskan bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran.
Burhanuddin (1990:284) memperjelas hakikat pengawasan pendidikan pada hakikat substansinya. Substansi hakikat pengawasan yang dimaksud menunjuk pada segenap upaya bantuan supervisor kepada stakeholder pendidikan terutama guru yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pembelajaran. Bantuan yang diberikan kepada guru harus berdasarkan penelitian atau pengamatan yang cermat dan penilaian yang objektif serta mendalam dengan acuan perencanan program pembelajaran yang telah dibuat. Proses bantuan yang diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar itu penting, sehingga bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Jadi bantuan yang diberikan itu harus mampu memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar.
Supervisor/Pengawas satuan pendidikan/sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan (Pandong, A. 2003).
Aktivitas pengawas sekolah selanjutnya adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah satuan pendidikan/sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya. Penilaian itu dilakukan untuk penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dalam bentuk memberikan arahan, saran dan bimbingan (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Februari 1998).
Dengan menyadari pentingnya upaya peningkatan mutu dan efektifitas sekolah dapat (dan memang tepat) dilakukan melalui pengawasan. Atas dasar itu maka kegiatan pengawasan harus difokuskan pada perilaku dan perkembangan siswa sebagai bagian penting dari: kurikulum/mata pelajaran, organisasi sekolah, kualitas belajar mengajar, penilaian/evaluasi, sistem pencatatan, kebutuhan khusus, administrasi dan manajemen, bimbingan dan konseling, peran dan tanggung jawab orang tua dan masyarakat (Law dan Glover 2000).
Lebih lanjut Ofsted (2005) menyatakan bahwa fokus pengawasan sekolah meliputi: (1) standard dan prestasi yang diraih siswa, (2) kualitas layanan siswa di sekolah (efektifitas belajar mengajar, kualitas program kegiatan sekolah dalam memenuhi kebutuhan dan minat siswa, kualitas bimbingan siswa), serta (3) kepemimpinan dan manajemen sekolah.
Dari uraian di atas dapat dimaknai bahwa kepengawasan merupakan kegiatan atau tindakan pengawasan dari seseorang yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang melakukan pembinaan dan penilaian terhadap orang dan atau lembaga yang dibinanya. Seseorang yang diberi tugas tersebut disebut pengawas atau supervisor. Dalam bidang kependidikan dinamakan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan. Pengawasan perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkesinambungan pada sekolah yang diawasinya.
Indikator peningkatan mutu pendidikan di sekolah dilihat pada setiap komponen pendidikan antara lain: mutu lulusan, kualitas guru, kepala sekolah, staf sekolah (Tenaga Administrasi, Laboran dan Teknisi, Tenaga Perpustakaan), proses pembelajaran, sarana dan prasarana, pengelolaan sekolah, implementasi kurikulum, sistem penilaian dan komponen-lainnya. Ini berarti melalui pengawasan harus terlihat dampaknya terhadap kinerja sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Itulah sebabnya kehadiran pengawas sekolah harus menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan, agar bersama guru, kepala sekolah dan staf sekolah lainnya berkolaborasi membina dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah yang bersangkutan seoptimal mungkin sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kiprah supervisor menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang dimaksud memiliki empat dimensi: (1) Support, (2) Trust, (3) Challenge, dan (4) Networking and Collaboration. Keempat dimensi hakikat pengawasan itu masing-masing dijelaskan berikut ini.
Hakikat Pengawasan diadopsi dari Ofsted, 2003 :
1. Dimensi pertama dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Support. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mendukung (support kepada) pihak sekolah untuk mengevaluasi diri kondisi existing-nya. Oleh karena itu, supervisor bersama pihak sekolah dapat melakukan analisis kekuatan, kelemahan dan potensi serta peluang sekolahnya untuk mendukung peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pada sekolah di masa yang akan datang.
2. Dimensi kedua dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Trust. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu membina kepercayaan (trust) stakeholder pendidikan dengan penggambaran profil dinamika sekolah masa depan yang lebih baik dan lebih menjanjikan.
3. Dimensi ketiga dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Challenge. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu memberikan tantangan (challenge) pengembangan sekolah kepada stakeholder pendidikan di sekolah. Tantangan ini harus dibuat serealistik mungkin agar dapat dan mampu dicapai oleh pihak sekolah, berdasarkan pada situasi dan kondisi sekolah pada sat ini. Dengan demikian stakeholder tertantang untuk bekerjasama secara kolaboratif dalam rangka pengembangan mutu sekolah.
4. Dimensi keempat dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Networking and Collaboration. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mengembangkan jejaring dan berkolaborasi antar stakeholder pendidik-an dalam rangka meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah.
Fokus dari keempat dimensi hakikat pengawasan itu dirumuskan dalam tiga aktivitas utama pengawasan yaitu: negosiasi, kolaborasi dan networking. Negosiasi dilakukan oleh supervisor terhadap stakeholder pendidikan dengan fokus pada substansi apa yang dapat dan perlu dikembangkan atau ditingkatkan serta bagaimana cara meningkatkannya. Kolaborasi merupakan inti kegiatan supervisi yang harus selalu diadakan kegiatan bersama dengan pihak stakeholder pendidikan di sekolah binaannya. Hal ini penting karena muara untuk terjadinya peningkatan mutu pendidikan ada pada pihak sekolah. Networking merupakan inti hakikat kegiatan supervisi yang prospektif untuk dikembangkan terutama pada era globalisasi dan cybernet teknologi seperti sekarang ini. Jejaring kerjasama dapat dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal. Jejaring kerjasama secara horisontal dilakukan dengan sesama sekolah sejenis untuk saling bertukar informasi dan sharing pengalaman pengembangan mutu sekolah, misalnya melalui MKP, MKKS, MGBS, MGMP. Jejaring kerjasama secara vertikal dilakukan baik dengan sekolah pada aras dibawahnya sebagai pemasok siswa barunya, maupun dengan sekolah pada jenjang pendidikan di atasnya sebagai lembaga yang akan menerima para siswa lulusannya.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan adalah tenaga kependidikan profesional yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan di sekolah baik pengawasan dalam bidang akademik (teknis pendidikan) maupun bidang manajerial (pengelolaan sekolah). Jabatan pengawas adalah jabatan fungsional bukan jabatan struktural sehingga untuk menyandang predikat sebagai pengawas harus sudah berstatus tenaga pendidik/guru dan atau kepala sekolah/wakil kepala sekolah, setidak-tidaknya pernah menjadi guru.
Berdasarkan rumusan di atas maka kepengawasan adalah aktivitas profesional pengawas dalam rangka membantu sekolah binaannya melalui penilaian dan pembinaan yang terencana dan berkesinambungan. Pembinaan diawali dengan mengidentifikasi dan mengenali kelemahan sekolah binaannya, menganalisis kekuatan/potensi dan prospek pengembangan sekolah sebagai bahan untuk menyusun program pengembangan mutu dan kinerja sekolah binaannya. Untuk itu maka pengawas harus mendampingi pelaksanaan dan pengembangan program-program inovasi sekolah. Ada tiga langkah yang harus ditempuh pengawas dalam menyusun program kerja pengawas agar dapat membantu sekolah mengembangkan program inovasi sekolah. Ketiga langkah tersebut adalah :
1. Menetapkan standar/kriteria pengukuran performansi sekolah (berdasarkan evaluasi diri dari sekolah).
2. Membandingkan hasil tampilan performansi itu dengan ukuran dan kriteria/benchmark yang telah direncanakan, guna menyusun program pengembangan sekolah.
3. Melakukan tindakan pengawasan yang berupa pembinaan/pendampingan untuk memperbaiki implementasi program pengembangan sekolah.
4. Dalam melaksanakan kepengawasan, ada sejumlah prinsip yang dapat dilaksanakan pengawas agar kegiatan kepengawasan berjalan efektif.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Trust, artinya kegiatan pengawasan dilaksanakan dalam pola hubungan kepercayaan antara pihak sekolah dengan pihak pengawas sekolah sehingga hasil pengawasannya dapat dipercaya
2. Realistic, artinya kegiatan pengawasan dan pembinaannya dilaksanakan berdasarkan data eksisting sekolah,
3. Utility, artinya proses dan hasil pengawasan harus bermuara pada manfaat bagi sekolah untuk mengembangkan mutu dan kinerja sekolah binaannya,
4. Supporting, Networking dan Collaborating, artinya seluruh aktivitas pengawasan pada hakikatnya merupakan dukungan terhadap upaya sekolah menggalang jejaring kerja sama secara kolaboratif dengan seluruh stakeholder,
5. Testable, artinya hasil pengawasan harus mampu menggambarkan kondisi kebenaran objektif dan siap diuji ulang atau dikonfirmasi pihak manapun.
Prinsip-prinsip di atas digunakan pengawas dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang pengawas/ supervisor pendidikan pada sekolah yang dibinanya. Dengan demikian kehadiran pengawas di sekolah bukan untuk mencari kesalahan sebagai dasar untuk memberi hukuman akan tetapi harus menjadi mitra sekolah dalam membina dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah sehingga secara bertahap kinerja sekolah semakin meningkat menuju tercapainya sekolah yang efektif.
Prinsip-prinsip kepengawasan itu harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kode etik pengawas satuan pendidikan. Kode etik yang dimaksud minimal berisi sembilan hal berikut ini.
1. Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas satuan pendidikan senantiasa berlandaskan Iman dan Taqwa serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pengawas satuan pendidikan senantiasa merasa bangga dalam mengemban tugas sebagai pengawas.
3. Pengawas satuan pendidikan memiliki pengabdian yang tinggi dalam menekuni tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas.
4. Pengawas satuan pendidikan bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pengawas.
5. Pengawas satuan pendidikan menjaga citra dan nama baik profesi pengawas.
6. Pengawas satuan pendidikan menjunjung tinggi disiplin dan etos kerja dalam melaksanakan tugas profresional pengawas.
7. Pengawas satuan pendidikan mampu menampilkan keberadaan dirinya sebagai supervisor profesional dan tokoh yang diteladani.
8. Pengawas satuan pendidikan sigap dan terampil dalam menanggapi dan membantu pemecahan masalah-masalah yang dihadapi stakeholder sekolah binaannya
9. Pengawas satuan pendidikan memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi, baik terhadap stakeholder sekolah binaannya maupun terhadap koleganya.
B. Kompetensi Supervisor
Untuk dapat melaksanakan perannya, supervisor harus memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu berkaitan dengan substantive aspects of professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas, yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerjakan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerja-kan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya (will grow) (Bafadal, 1992: 10-11).
Glatthorn (1990) menyatakan kompetensi yang harus dimiliki supervisor meliputi hal-hal yang berkaitan dengan the nature of teaching, the nature of adult development, dan tentu saja juga the characteristics of good and effective school.
Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work.
Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi pengawas sekolah dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang pengawas sekolah dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan.
Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah bahwa pengawas sekolah harus memiliki enam dimensi kompetensi:
a. Kepribadian
1. Menyadari akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pengawas satuan pendidikan yang professional
2. Kreatif dalam bekerja dan memecahkan masalah baik yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya maupun tugas-tugas profesinya
3. Memiliki rasa ingin tahu akan hal-hal baru tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang menunjang profesinya.
b. Supervisi Manajerial
1. Menguasai metode, teknik dan prinsip-prinsip supervisi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
2. Menyusun program kepengawasan berdasarkan visi-misi-tujuan dan program sekolah-sekolah binaannya.
3. Menyusun metode kerja dan berbagai instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengawasan.
4. Membina kepala sekolah dalam mengelola satuan pendidikan berdasarkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
5. Membina kepala sekolah dalam melaksanakan administrasi satuan pendidikan meliputi administrasi kesiswaan, kurikulum dan pembelajaran, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, keuangan,lingkungan sekolah dan peran serta masyarakat.
6. Membantu kepala sekolah dalam menyusun indikator keberhasilan mutu pendidikan di sekolah.
7. Membina staf sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya.
8. Memotivasi pengembangan karir kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.
9. Menyusun laporan hasil-hasil pengawasan pada sekolah-sekolah binaannnya dan menindak lanjutinya untuk perbaikan mutu pendidikan dan program pengawasan berikutnya.
10. Mendorong guru dan kepala sekolah untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dalam melaksanakan tugas pokoknya.
11. Menjelaskan berbagai inovasi dan kebijakan pendidikan kepada guru dan kepala sekolah.
12. Memantau pelaksanaan inovasi dan kebijakan pendidikan pada sekolah-sekolah binaannya.
c. Supervisi Akademik
1. Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan bidang ilmu yang menjadi isi tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
2. Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
3. Membimbing guru dalam menentukan tujuan pendidikan yang sesuai, berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
4. Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap bidang pengembangan/ mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk rumpunnya berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP.
5. Menggunakan berbagai pendekatan/metode/ teknik dalam memecahkan masalah pendidikan dan pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
6. Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan startegi/metode/teknik pembelajaran yang dapat mengembangkan berbagai potensi peserta didik melalui bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
7. Membimbing guru dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP) untuk tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
8. Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan media pendidikan yang sesuai untuk menyajikan isi tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
9. Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
10. Membimbing guru dalam melaksanakan strategi/metode/teknik pembelajaran yang telah direncanakan untuk tiap bidang pengembangan/ mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
11. Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran (di kelas, laboratorium, dan/atau di lapangan) untuk mengembangkan potensi peserta didik pada tiap bidang pengembangan/mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
12. Membimbing guru dalam merefleksi hasil-hasil yang dicapai, kekuatan, kelemahan, dan hambatan yang dialami dalam pembelajaran yang telah dilaksanakan.
13. Membantu guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan, dan memanfaatkan fasilitas pembelajaran yang berkaitan dengan mata pelajaran SD/mata pelajaran sekolah menengah yang termasuk dalam rumpunnya.
d. Evaluasi Pendidikan
1. Membimbing guru dalam menentukan aspek-aspek yang penting dinilai untuk tiap bidang pengembangan/mata pelajaran yang termasuk dalam rumpunnya.
2. Membimbing guru dalam menentukan kriteria dan indikator keberhasilan pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata pelajaran yang termasuk dalam rumpunnya.
3. Menyusun kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan pada satuan pendidikan yang menjadi binaannya
4. Menilai kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran pada tiap bidang pengembangan/mata pelajaran yang termasuk dalam rumpunnya.
5. Menilai kemampuan kepala sekolah dalam mengelola satuan pendidikan.
6. Menilai kinerja staf sekolah dalam melaksanakan tugas pokoknya.
7. Menilai kinerja sekolah dan menindaklanjuti hasilnya untuk keperluan akreditasi sekolah.
8. Mengolah dan menganalisis data hasil penilaian kinerja sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan kinerja staf sekolah.
9. Memantau pelaksanaan kurikulum, pembelajaran, bimbingan dan hasil belajar siswa serta menganalisisnya untuk perbaikan mutu pendidikan pada sekolah binaannya
10. Membina guru dalam memanfaatkan hasil penilaian untuk kepentingan pendidikan dan pembelajaran tiap bidang pengembangan/mata yang termasuk dalam rumpunnya
11. Memberikan saran kepada kepala sekolah, guru, dan seluruh staf sekolah dalam meningkatkan kinerjanya berdasarkan hasil penilaian.
e. Penelitian dan Pengembangan
1. Menguasai berbagai pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam pendidikan.
2. Menentukan masalah kepengawasan yang penting untuk diteliti baik untuk keperluan tugas pengawasan, pemecahan masalah pendidikan, dan pengembangan profesi.
3. Menyusun proposal penelitian pendidikan baik proposal penelitian kualitatif maupun proposal penelitian kuantitatif.
4. Melaksanakan penelitian pendidikan baik untuk keperluan pemecahan masalah pendidikan, perumusan kebijakan pendidikan maupun untuk pengembangan profesi.
5. Mengolah dan menganalisis data penelitian pendidikan baik data kualitatif maupun data kuantitatif.
6. Memberikan bimbingan kepada guru tentang penelitian tindakan kelas, baik perencanaan maupun pelaksanaannya.
7. Menyusun karya tulis ilmiah (KTI) dalam bidang pendidikan/kepengawasan.
8. Mendiseminasikan hasil-hasil penelitian pada forum kegiatan ilmiah baik lisan maupun tulisan.
9. Membina guru dalam menyusun karya tulis ilmiah dalam bidang pendidikan dan pembelajaran.
10. Membuat artikel ilmiah untuk dimuat pada jurnal.
11. Menulis buku/modul untuk bahan pengawasan.
12. Menyusun pedoman/panduan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pengawasan.
f. Sosial
1. Menyadari akan pentingnya bekerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan kualitas diri dan profesinya.
2. Menangani berbagai kasus yang terjadi di sekolah atau di masyarakat .
3. Aktif dalam kegiatan organisasi profesi seperti APSI, PGRI, ISPI dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
C. Tugas Pokok Pengawas Sekolah
Tugas pokok supervisor sekolah/satuan pendidikan adalah melakukan penilaian dan pembinaan dengan melaksanakan fungsi-fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi di atas minimal ada tiga kegiatan yang harus dilaksanakan pengawas yakni:
1. Melakukan pembinaan pengembangan kualitas sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan kinerja seluruh staf sekolah,
2. Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan program sekolah beserta pengembangannya,
3. Melakukan penilaian terhadap proses dan hasil program pengembangan sekolah secara olaboratif dengan stakeholder sekolah.
Bantuan yang diberikan oleh supervisor dalam meningkatkan kemampuan guru adalah :
1. Merancang program belajar mengajar.
2. Melaksanakan proses belajar mengajar.
3. Menilai proses dan hasil belajar.
4. Mengembangkan manajemen kelas
Mengacu pada SK Menpan nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya, Keputusan bersama Mendikbud nomor 03420/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas serta Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya, dapat dikemukakan tentang tugas pokok dan tanggung jawab pengawas sekolah yang meliputi:
1. Melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan penugasannya pada TK, SD, SLB, SLTP dan SLTA.
2. Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Tugas pokok yang pertama merujuk pada supervisi atau pengawasan manajerial sedangkan tugas pokok yang kedua merujuk pada supervisi atau pengawasan akademik. Pengawasan manajerial pada dasarnya memberikan pembinaan, penilaian dan bantuan/bimbingan mulai dari rencana program, proses, sampai dengan hasil. Bimbingan dan bantuan diberikan kepada kepala sekolah dan seluruh staf sekolah dalam pengelolaan sekolah atau penyelenggaraan pendidikan di sekolah untuk meningkatkan kinerja sekolah. Pengawasan akademik berkaitan dengan membina dan membantu guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran/bimbingan dan kualitas hasil belajar siswa.
Sedangkan wewenang yang diberikan kepada pengawas sekolah meliputi:
(1) Memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil yang optimal dalam melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kode etik profesi,
(2) Menetapkan tingkat kinerja guru dan tenaga lainnya yang diawasi beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya,
(3) Menentukan atau mengusulkan program pembinaan serta melakukan pembinaan.
Wewenang tersebut menyiratkan adanya otonomi pengawas untuk menentukan langkah dan strategi dalam menentukan prosedur kerja kepengawasan. Namun demikian pengawas perlu berkolaborasi dengan kepala sekolah dan guru agar dalam melaksanakan tugasnya sejalan dengan arah pengembangan sekolah yang telah ditetapkan kepala sekolah.
Berdasarkan kedua tugas pokok di atas maka kegiatan yang dilakukan oleh pengawas antara lain:
1. Menyusun program kerja kepengawasan untuk setiap semester dan setiap tahunnya pada sekolah yang dibinanya.
2. Melaksanakan penilaian, pengolahan dan analisis data hasil belajar/bimbingan siswa dan kemampuan guru.
3. Mengumpulkan dan mengolah data sumber daya pendidikan, proses pembelajaran/bimbingan, lingkungan sekolah yang berpengaruh terhadap perkembangan hasil belajar/bimbingan siswa.
4. Melaksanakan analisis komprehensif hasil analisis berbagai faktor sumber daya pendidikan sebagai bahan untuk melakukan inovasi sekolah.
5. Memberikan arahan, bantuan dan bimbingan kepada guru tentang proses pembelajaran/bimbingan yang bermutu untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar/ bimbingan siswa.
6. Melaksanakan penilaian dan monitoring penyelenggaran pendidikan di sekolah binaannya mulai dari penerimaan siswa baru, pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan ujian sampai kepada pelepasan lulusan/pemberian ijazah.
7. Menyusun laporan hasil pengawasan di sekolah binaannya dan melaporkannya kepada Dinas Pendidikan, Komite Sekolah dan stakeholder lainnya.
8. Melaksanakan penilaian hasil pengawasan seluruh sekolah sebagai bahan kajian untuk menetapkan program kepengawasan semester berikutnya.
9. Memberikan bahan penilaian kepada sekolah dalam rangka akreditasi sekolah.
10. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pihak sekolah dalam memecahkan masalah yang dihadapi sekolah berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas maka tugas pengawas mencakup: (1) inspecting (mensupervisi), (2) advising (memberi advis atau nasehat), (3) monitoring (memantau), (4) reporting (membuat laporan), (5) coordinating (mengkoordinir) dan (6) performing leadership dalam arti memimpin dalam melaksanakan kelima tugas pokok tersebut (Ofsted, 2003).
Tugas pokok inspecting (mensupervisi) meliputi tugas mensupervisi kinerja kepala sekolah, kinerja guru, kinerja staf sekolah, pelaksanaan kurikulum/mata pelajaran, pelaksanaan pembelajaran, ketersediaan dan pemanfaatan sumberdaya, manajemen sekolah, dan aspek lainnya seperti: keputusan moral, pendidikan moral, kerjasama dengan masyarakat.
Tugas pokok advising (memberi advis/nasehat) meliputi advis mengenai sekolah sebagai sistem, memberi advis kepada guru tentang pembelajaran yang efektif, memberi advis kepada kepala sekolah dalam mengelola pendidikan, memberi advis kepada tim kerja dan staf sekolah dalam meningkatkan kinerja sekolah, memberi advis kepada orang tua siswa dan komite sekolah terutama dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.
Tugas pokok monitoring/pemantauan meliputi tugas: memantau penjaminan/ standard mutu pendidikan, memantau penerimaan siswa baru, memantau proses dan hasil belajar siswa, memantau pelaksanaan ujian, memantau rapat guru dan staf sekolah, memantau hubungan sekolah dengan masyarakat, memantau data statistik kemajuan sekolah, memantau program-program pengembangan sekolah.
Tugas pokok reporting meliputi tugas: melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Propinsi dan/atau Nasional, melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan ke masyarakat publik, melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan ke sekolah binaannya.
Tugas pokok coordinating meliputi tugas: mengkoordinir sumber-sumber daya sekolah baik sumber daya manusia, material, financial dll, mengkoordinir kegiatan antar sekolah, mengkoordinir kegiatan preservice dan in service training bagi Kepala Sekolah, guru dan staf sekolah lainnya, mengkoordinir personil stakeholder yang lain, mengkoordinir pelaksanaan kegiatan inovasi sekolah.
Tugas pokok performing leadership/memimpin meliputi tugas: memimpin pengembangan kualitas SDM di sekolah binaannya, memimpin pengembangan inovasi sekolah, partisipasi dalam memimpin kegiatan manajerial pendidikan di Diknas yang bersangkutan, partisipasi pada perencanaan pendidikan di kabupaten/kota, partisipasi pada seleksi calon kepala sekolah/calon pengawas, partisipasi dalam akreditasi sekolah, partisipasi dalam merekruit personal untuk proyek atau program-program khusus pengembangan mutu sekolah, partisipasi dalam mengelola konflik di sekolah dengan win-win solution dan partisipasi dalam menangani pengaduan baik dari internal sekolah maupun dari masyarakat. Itu semua dilakukan guna mewujudkan kelima tugas pokok di atas.
Berdasarkan uraian tugas-tugas pengawas sebagaimana dikemukakan di atas, maka pengawas satuan pendidikan banyak berperan sebagai: (1) penilai, (2) peneliti, (3) pengembang, (4) pelopor/inovator, (5) motivator, (6) konsultan, dan (7) kolaborator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah binaannya. Dikaitkan dengan tugas pokok pengawas sebagai pengawas atau supervisor akademik yaitu tugas pokok supervisor yang lebih menekankan pada aspek teknis pendidikan dan pembelajaran, dan supervisor manajerial yaitu tugas pokok supervisor yang lebih menekankan pada aspek manajemen sekolah dapat dimatrikkan dalam tabel berikut ini.
Tugas Pokok Pengawas
Rincian Tugas Supervisi Akademik Supervisi Manajerial
Inspecting/ Pengawasan Pelaksanaan kurikulum mata pelajaran
Proses pembelajaran/ praktikum/ studi lapangan
Kegiatan ekstra kurikuler
Penggunaan media, alat bantu dan sumber belajar
Kemajuan belajar siswa
Lingkungan belajar Pelaksanaan kurikulum sekolah
Penyelenggaraan administrasi sekolah
Kinerja kepala sekolah dan staf sekolah
Kemajuan pelaksanaan pendidikan di sekolah
Kerjasama sekolah dengan masyarakat
Advising/ Menasehati Menasehati guru dalam pembelajaran/bimbingan yang efektif
Guru dalam meningkatkan kompetensi professional
Guru dalam melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar
Guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas
Guru dalam meningkatkan kompetensi pribadi, sosial dan pedagogik Kepala sekolah di dalam mengelola pendidikan
Kepala sekolah dalam melaksanakan inovasi pendidikan
Kepala sekolah dalam peningkatan kemampuan professional kepala sekolah
Menasehati staf sekolah dalam melaksanakan tugas administrasi sekolah
Kepala sekolah dan staf dalam kesejahteraan sekolah
Monitoring/ Memantau Ketahanan pembelajaranPelaksanaan ujian mata pelajaran Standar mutu hasil belajar siswa
Pengembangan profesi guru
Pengadaan dan pemanfaatan sumber-sumber belajar Penyelenggaraan kurikulum
Administrasi sekolah
Manajemen sekolah
Kemajuan sekolah
Pengembangan SDM sekolah
Penyelenggaraan ujian sekolah
Penyelenggaraan penerimaan siswa baru
Coordinating/ mengkoordinir Pelaksanaan inovasi pembelajaranPengadaan sumber-sumber belajar
Kegiatan peningkatan kemampuan profesi guru Mengkoordinir peningkatan mutu SDM sekolah
Penyelenggaraan inovasi di sekolah
Mengkoordinir akreditasi sekolah
Mengkoordinir kegiatan sumber daya pendidikan
Reporting Kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran
Kemajuan belajar siswa
Pelaksanaan tugas kepengawasan akademik Kinerja kepala sekolah
Kinerja staf sekolah
Standar mutu pendidikan
Inovasi pendidikan
D. Fungsi Pengawas Sekolah
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, pengawas sekolah melaksanakan fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial.
Supervisi akademik adalah fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah. Sasaran supervisi akademik antara lain membantu guru dalam: (1) merencanakan kegiatan pembelajaran dan atau bimbingan, (2) melaksanakan kegiatan pembelajaran/ bimbingan, (3) menilai proses dan hasil pembelajaran/ bimbingan, (4) memanfaatkan hasil penilaian untuk peningkatan layanan pembelajaran/bimbingan, (5) memberikan umpan balik secara tepat dan teratur dan terus menerus pada peserta didik, (6) melayani peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, (7) memberikan bimbingan belajar pada peserta didik, (8) menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, (9) mengembangkan dan memanfaatkan alat Bantu dan media pembelajaran dan atau bimbingan, (10) memanfaatkan sumber-sumber belajar, (11) mengembangkan interaksi pembelajaran/bimbingan (metode, strategi, teknik, model, pendekatan dll.) yang tepat dan berdaya guna, (12) melakukan penelitian praktis bagi perbaikan pembelajaran/bimbingan, dan (13) mengembangkan inovasi pembelajaran/bimbingan.
Dalam melaksanakan fungsi supervisi akademik seperti di atas, pengawas hendaknya berperan sebagai:
1. Mitra guru dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran dan bimbingan di sekolah binaannya
2. Inovator dan pelopor dalam mengembangkan inovasi pembelajaran dan bimbingan di sekolah binaannya
3. Konsultan pendidikan di sekolah binaannya
4. Konselor bagi kepala sekolah, guru dan seluruh staf sekolah
5. Motivator untuk meningkatkan kinerja semua staf sekolah
Supervisi manajerial adalah fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup: (1) perencanaan, (2) koordinasi, (3) pelaksanaan, (3) penilaian, (5) pengembangan kompetensi SDM kependidikan dan sumberdaya lainnya. Sasaran supervisi manajerial adalah membantu kepala sekolah dan staf sekolah lainnya dalam mengelola administrasi pendidikan seperti: (1) administrasi kurikulum, (2) administrasi keuangan, (3) administrasi sarana prasarana/perlengkapan, (4) administrasi personal atau ketenagaan, (5) administrasi kesiswaan, (6) administrasi hubungan sekolah dan masyarakat, (7) administrasi budaya dan lingkungan sekolah, serta (8) aspek-aspek administrasi lainnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam melaksanakan fungsi supervisi manajerial, pengawas hendaknya berperan sebagai:
1. Kolaborator dan negosiator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen sekolah,
2. Asesor dalam mengidentifikasi kelemahan dan menganalisis potensi sekolah binaannya
3. Pusat informasi pengembangan mutu pendidikan di sekolah binaannya
4. Evaluator/judgement terhadap pemaknaan hasil pengawasan
E. Kewenangan dan Hak Pengawas Sekolah
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas sekolah/satuan pendidikan, setiap pengawas memiliki kewenangan dan hak-hak yang melekat pada jabatannya. Beberapa kewenangan yang ada pada pengawas adalah kewenangan untuk:
1. Bersama pihak sekolah yang dibinanya, menentukan program peningkatan mutu pendidikan di sekolah binaannya.
2. Menyusun program kerja/agenda kerja kepengawasan pada sekolah binaannya dan membicarakannya dengan kepala sekolah yang bersangkutan,
3. Menentukan metode kerja untuk pencapaian hasil optimal berdasarkan program kerja yang telah disusun.
4. Menetapkan kinerja sekolah, kepala sekolah dan guru serta tenaga kependidikan guna peningkatan kualitas diri dan layanan pengawas.
Hak yang seharusnya diperoleh pengawas sekolah yang profesional adalah :
1. Menerima gaji sebagai pegawai negeri sipil sesuai dengan pangkat dan golongannya,
2. Memperoleh tunjangan fungsional sesuai dengan jabatan pengawas yang dimilikinya,
3. Memperoleh biaya operasional/rutin untuk melaksanakan tugas-tugas kepengawasan seperti; transportasi, akomodasi dan biaya untuk kegiatan kepengawasan.
4. Memperoleh tunjangan profesi pengawas setelah memiliki sertifikasi pengawas.
5. Menerima subsidi dan insentif untuk menunjang pelaksanaan tugas dan pengembangan profesi pengawas.
6. Memperoleh tunjangan khusus bagi pengawas yang bertugas di daerah terpencil, rawan kerusuhan dan atau daerah bencana alam.
Semua biaya hak di atas dibebankan pada Pemerintah Pusat dan Daerah. Sedangkan tunjangan kesejahteraan diharapkan diberikan oleh pemerintah daerah. Besarnya tunjangan-tunjangan di atas disesuaikan dengan kemampuan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Subsidi dan insentif untuk peningkatan profesionalitas pengawas diberikan sekali dalam setahun oleh pemerintah melalui Direktorat Tenaga Kependidikan. Besarnya subsidi dan insentif disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Subsidi diberikan kepada pengawas melalui koordinator pengawas (korwas) yang ada disetiap Kabupaten/Kota. Untuk itu setiap korwas perlu menyusun program dan kegiatan peningkatan kemampuan profesionalisme pengawas di daerah-nya.
F. Peranan Supervisor Akademik
Banyak pakar menyatakan betapa pentingnya supervise sebagai bagian dari manajemen pendidikan dalam substansi ekstensinya maupun substansi intinya. Menurut konsep tradisional, supervisi dilaksanakan dalam bentuk inspeksi atau mencari kesalahan. Sedangkan dalam pandangan modern, supervisi merupakan usaha untuk memperbaiki situasi pendidikan atau pembelajaran, yakni sebagai bantuan bagi pendidik untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme sehinnga peserta didik akan lebih berkualitas. Konsekuensi prilaku supervisi tradisonal atau Snooper Vision adalah para staf pengajar akan menjadi takut dan mereka bekerja secara terpaksa serta mengurangi / mematikan kreativitas guru/dosen dalam pengembangan profesionalismenya.
Supervisor akademik, tentu memiliki peran berbeda dengan “pengawas”. Supervisor, lebih berperan sebagai “gurunya guru” yang siap membantu kesulitan guru dalam mengajar. Supervisor akademik (pengajaran) bukanlah seorang pengawas yang hanya mencari-cari kesalahan guru.
Peranan pengawas sekolah/madrasah menurut Wiles & Bondi (2007),“The role of the supervisor is to help teachers and other education leaders understand issues and make wise decisions affecting student education.” Bertitik tolak dari pendapat Wiles & Bondi tersebut, maka peranan pengawas sekolah/madrasah adalah membantu guru-guru dan pemimpin-pemimpin pendidikan untuk memahami isu-isu dan membuat keputusan yang bijak yang mempengaruhi pendidikan siswa.
Dalam melaksanakan supervisi akademik, pengawas sekolah/madrasah hendaknya memiliki peranan khusus sebagai:
a. Patner (mitra) guru dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran dan bimbingan di sekolah/madrasah binaannya,
b. Inovator dan pelopor dalam mengembangkan inovasi pembelajaran dan bimbingan di sekolah/madrasah binaannya,
c. Konsultan pendidikan dan pembelajaran di sekolah/madrasah binaannya,
d. Konselor bagi guru dan seluruh tenaga kependidikan di sekolah/madrasah, dan
e. Motivator untuk meningkatkan kinerja guru dan semua tenaga kependidikan di sekolah/madrasah.
Karena itu, sasaran supervisi akademik antara lain adalah untuk membantu guru dalam hal:
a. merencanakan kegiatan pembelajaran dan atau bimbingan,
b. melaksanakan kegiatan pembelajaran/ bimbingan,
c. menilai proses dan hasil pembelajaran/bimbingan,
d. memanfaatkan hasil penilaian untuk peningkatan layanan pembelajaran/ bimbingan,
e. memberikan umpan balik secara tepat dan teratur dan terus menerus pada peserta didik,
f. melayani peserta didik yang mengalami kesulitan belajar,
g. memberikan bimbingan belajar pada peserta didik,
h. menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan,
i. mengembangkan dan memanfaatkan alat bantu dan media pembelajaran dan atau bimbingan,
j. memanfaatkan sumber-sumber belajar,
k. mengembangkan interaksi pembelajaran/ bimbingan (metode, strategi, teknik, model, pendekatan dan sebagainya) yang tepat dan berdaya guna,
l. melakukan penelitian praktis bagi perbaikan pembelajaran/bimbingan, dan
m. mengembangkan inovasi pembelajaran/bimbingan.
G. Kompetensi Supervisor Akademik
Kompetensi pengawas berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 12 Tahun 2007 tentang standar kompetensi pengawas sekolah/madrasah yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, dan kompetensi penelitian pengembangan. Secara lebih sepesiifik kompetensi akademik supervisor adalah sebagai berikut:
1. Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap bidang pengembangan
2. Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran/ bimbingan tiap bidang pengembangan.
3. Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap bidang pengembangan atau mata pelajaran berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP.
4. Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa melalui bidang pengembangan.
5. Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
6. Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas, laboratorium, dan/atau di lapangan) untuk mengembangkan potensi siswa.
7. Membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan
8. Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk pembelajaran/ bimbingan.
Untuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, supervisor harus memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu berkaitan dengan substantive aspects of professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas, yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerjakan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerjakan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya (will grow).
H. Teknik-teknik Supervisi Akademik
Teknik supervisi, dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Berbagai teknik supervisi individual meliputi kegiatan, antara lain: (a) kunjungan kelas, (b) observasi kelas, (c) Pertemuan individual, (d) kunjungan antar kelas, dan (e) self assessment.
Berbagai kegiatan supervisi yang dilakukan secara kelompok, antara lain (a) orientasi bagi guru baru, (b) ujicoba di kelas atau penelitian tindakan kelas, (c) pelatihan sensitivitas, (d) pertemuan guru yang efektif, (e) melakukan teknikDelphi untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan pengajaran/sekolah, (f) mengunjungi guru lain yang profesional, (g) pengembangan instrument ujian secara bersama, dan (h) pusat kegiatan guru. Dalam kegiatan supervisi kelompok tersebut, tentu saja peran supervisor yang menonjol adalah sebagai koordinator dan group leader. Sementara itu dalam kegiatan supervisi individual, supervisor lebih berperan sebagai konsultan. Berbagai bentuk kegiatan atau taknik supervisi tersebut tentunya sangat tergantung pada inisiatif supervisor. Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa ada 3 tahap yang harus dilakukan supervisor dalam melakukan supervisi yaitu pra observasi, observasi dan pasca observasi:
1. Pra-observasi (Pertemuan awal)
• Menciptakan suasana akrab dengan guru.
• Membahas persiapan yang dibuat oleh guru dan membuat kesepakatan mengenai aspek yang menjadi fokus pengamatan
• Menyepakati instrumen observasi yang akan digunakan
2. Observasi (Pengamatan pembelajaran)
• Pengamatan difokuskan pada aspek yang telah disepakat.
• Menggunakan instrumen observasi
• Di samping instrumen perlu dibuat catatan (fieldnotes
• Catatan observasi meliputi perilaku guru dan sisw
• Tidak mengganggu proses pembelajaran.
3. Pasca-observasi (Pertemuan balikan)
• Dilaksanakan segera setelah observasi
• Tanyakan bagaimana pendapat guru mengenai proses pembelajaran yang baru berlangsung
• Tunjukkan data hasil observasi (instrumen dan catatan) –beri kesempatan guru mencermati dan menganalisisnya
• Diskusikan secara terbuka hasil observasi, terutama pada aspek yang telah disepakati (kontrak)
• Berikan penguatan terhadap penampilan guru. Hindari kesan menyalahkan.
• Usahakan guru menemukan sendiri kekurangannya
• Berikan dorongan moral bahwa guru mampu memperbaiki kekurangannya
• Tentukan bersama rencana pembelajaran
a. Pelaksanaan Supervisi oleh Pengawas
Penelitian yang dilakukan oleh Ekosusilo (2003) menunjukkan kenyataan pelaksanaan supervisi oleh pengawas sungguh bertolak belakang dengan konsep ideal supervisi. kegiatan supervisi yang dilakukan oleh pengawas, masih jauh dari substansi teori supervisi. Supervisi yang dilakukan oleh pengawas lebih dekat pada paradigma inspeksi atau pengawasan. Upaya “membantu guru” dengan terlebih dahulu menjalin hubungan yang akrab sebagai syarat keberhasilan supervisi pengajaran, belum dilakukan oleh para pengawas. Secara lebih spesifik, sasaran dan indikator pengawas adalah sebagai berikut:
a) KBM dan pengelolaan kelas, meliputi: Program persiapan, metode persiapan, materi, perhatian terhadap siswa, pengelolaan KBM/kelas, teknik mengajar, hasil belajar, buku, alat dan bahan ajar, pemberian dan pengayaan pengajaran.
b) Sarana dan prasarana, meliputi: perpustakaan, laboratoriom, dll.
c) Manajemen sekolah, antara lain: program pembinaan profesional, monitoring dan supervisi kelas, partisipasi masyarakat administrasi sekolah.
d) KKG (Kelompok Kerja Guru), meliputi: perencanaan, kegiatan, interaksi, peran titor dan pemandu, dampak pelatihan, fasilitas fisik, dan dampak dalam KBM.
b. Pelaksanaan Supervisi oleh Kepala Sekolah
Kepala sekolah sebagai supervisor dibebani peran dan tanggungjawab memantau, membina, dan memperbaiki proses belajar mengajar (PBM) di kelas / di sekolah. Salah satu tugas pokok kepala sekolah, selain sebagai administrator adalah juga sebagai supervisor. Tugas ini termasuk dalam kapasitas kepala sekolah sebagai instructional leader.
Dalam kenyataannya, pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah, sebagaimana pengawas, juga masih terfokus pada pengawasan administrasi. Pada umumnya kepala sekolah akan melakukan supervisi akademik (pembelajaran) pada guru melalui kunjungan kelas, apabila dia mendapat laporan mengenai kinerja guru yang kurang baik, atau berbeda dari teman-temannya. Bahkan seringkali dijumpai, seorang kepala sekolah melakukan supervisi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru dengan cara mengintip dari balik pintu atau jendela, agar tidak diketahui.
Perilaku kepala sekolah tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya (Jawa) yaitu pekewuh yang dipersepsikan secara salah. Dalam pemahaman yang salah tersebut, apabila kepala sekolah melakukan supervisi kunjungan kelas dan mengamati PBM yang dilakukan guru, maka ia dianggap tidak percaya pada kemampuan guru. Hal ini akan menimbulan konflik dalam hubungan guru dengan kepala sekolah.
I. Kendala-Kendala Pelaksanaan Supervisi Akademik
Kendala pelaksanaan supervisi yang ideal dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu struktur dan kultur. Pada aspek struktur birokrasi pendidikan di Indonesia ditemukan kendala antara lain sebagai berikut :
a) Secara legal yang ada dalam nomenklatur adalah jabatan pengawas bukan supervisor. Hal ini mengindikasikan paradigma berpikir tentang pendidikan yang masih dekat dengan era inspeksi.
b) Lingkup tugas jabatan pengawas lebih menekankan pada pengawasan administrastif yang dilakukan oleh kepala sekolah dan atau guru. Asumsi yang digunakan adalah apabila administrasinya baik, maka pembelajaran di sekolah tersebut juga baik. Inilah asumsi yang kurang tepat.
c) Rasio jumlah pengawas dengan sekolah dan guru yang harus dibina/diawasi sangat tidak ideal. Di daerah-daerah luar pula Jawa misalnya, seorang pengawas harus menempuh puluhan kilo meter untuk mencapai sekolah yang diawasinya; dan
d) Persyaratan kompetensi, pola rekrutmen dan seleksi, serta evaluasi dan promosi terhadap jabatan pengawas juga belum mencerminkan perhatian yang besar terhadap pentingnya implementasi supervisi pada ruh pedidikan, yaitu interaksi belajar mengajar di kelas.
Pada aspek kultural dijumpai kendala dalam pelaksanaan supervisi antara lain:
a) Para pengambil kebijakan tentang pendidikan belum berpikir tentang pengembangan budaya mutu dalam pendidikan secara sistemis. Apabila dicermati, maka mutu pendidikan yang diminta oleh customers sebenarnya justru terletak pada kualitas interaksi belajar mengajar antara siswa dengan guru. Hal ini belum menjadi komitmen para pengambil kebijakan, juga tentu saja para pelaksana di lapangan.
b) Nilai budaya interaksi sosial yang kurang positif, dibawa dalam interaksi fungsional dan professional antara pengawas, kepala sekolah dan guru. Budayaewuh-pakewuh, menjadikan pengawas atau kepala sekolah tidak mau “masuk terlalu jauh” pada wilayah guru.
c) Budaya paternalistik, menjadikan guru tidak terbuka dan membangun hubungan professional yang akrab dengan kepala sekolah dan pengawas. Guru menganggap mereka sebagai “atasan” sebaliknya pengawas menganggap kepala sekolah dan guru sebagai “bawahan”. Inilah yang menjadikan tidak terciptanya rapport atau kedekatan hubungan yang menjadi syarat pelaksanaan supervisi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah uraian mengenai supervisi akademik, antara konsep teoritik dan kenyataannya. Pelaksanaan supervisi pengajaran di lapangan, kenyataannya masih jauh dari konsep teoritik yang dikembangkan di jurusan/program manajemen pendidikan. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, diperlukan sosialisasi dan “tekanan” dari pihak-pihak yang komit terhadap kualitas pendidikan kepada para pengambil kebijakan dan pengelola pendidikan. Hal ini secara bersama-sama harus dilakukan dengan pengembangan budaya mutu dalam pendidikan, yang intinya terletak pada kualitas proses pembelajaran di dalam kelas.
B. Saran-saran
1. Menegaskan, dan apabila diperlukan memisahkan jabatan supervisor dengan jabatan pengawas dalam struktur birokrasi pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini, terdapat dua pilihan, yaitu mengarahkan jabatan pengawas agar terartikulasi pada peran dan tugas sebagai supervisor, atau mengangkat supervisor secara khusus dan tetap membiarkan jabatan pengawas melaksanakan fungsi pengawasan.
2. Memperbaiki pola pendidikan prajabatan maupun inservice rekrutmen, seleksi, penugasan, serta penilaian dan promosi jabatan supervisor/pengawas.
3. Dalam konteks otonomi daerah, jabatan supervisor dapat diangkat sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.
4. Membangun kesadaran budaya mutu dalam pendidikan bagi pengelola-pengelola pendidikan pada semua tingkatan.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin. (1990). Analisis Administrasi Manajemen Dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bafadal, Ibrahim. (1992). Supervisi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Burhanuddin, dkk. (2007). Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Konsep, Pendekatan, dan Penerapan Pembinaan Profesional. Malang: Rosindo. Edisi Revisi.
Instrumen supervise Akademik dalam http://akhmadsudrajat.files. wordpress.com/2009/03/instrumen-supervisi-akademik.pdf (online) Diakses pada 20 November 2009
Mantja, W. (2007), Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas
Metode dan Teknik Supervisi. (2008). Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional dalam http://lpmpjogja.diknas.go.id/materi/fsp/2009-Pembekalan-Pengawas/06%20–%20KODE%20–%2002%20-%20B1%20-%20A%20Metode%20dan%20Teknik%20Supervisi.pdf (Online) Diakses pada 20 Nopember 2009
http://www.tendik.org/
Keputusan bersama Mendikbud nomor 03420/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor 38 tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas
Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah Dan Angka Kreditnya.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. No. 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Law dan Glover. (2000). Educational Leadership and Learning. Buckingham. Philadelphia: Open University Press
Louise Moqvist. 2003. The Competency Dimension of Leadership: Findings from a Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation, Linköping University.
Mantja, W. 2001. Organisasi dan Hubungan Kerja Pengawas Pendidikan. Makalah,disampaikan dalam Rapat Konsultasi Pengawasan antara Inspektorat Jendral Departemen Pendidikan Nasional dengan Badan Pengawasan Daerah di Solo,tanggal 24 s/d 28 September2001
Ofsted. (2003). Inspecting schools Framework for inspecting schools. London: Office for Standards in Education
Ofsted. (2005). Ofsted inspection of teacher education. London: Office for Standards in Education
Pandong, A. (2003). Jabatan Fungsional Pengawas. Badan Diklat Depdagri & Diklat Depdiknas
Peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah
Robbins, P. Stephen, (1997). Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications (Hardcover), Prentice Hall- Gale.
Sahertian, P.A. (2000). Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Supervisi/Implementasi/Supervisi/Akademik/dalam/Proses/Pembelajara.Ca.Santing's.Blog.htm
Undang-undang No: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Langganan:
Postingan (Atom)
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepuasan kerja dalam teori motivasi Maslow menempati peringkat yang tinggi. Sebab ia berkaita...
-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seorang maupun organisasi akan selalu memiliki tujuan...
-
1. Bagaimana sistem informasi manajemen digunakana di seluruh lapisan manajemen pendidikan ? Sekarang ini manusia sud...