Litwin dan Stringer (dalam Gunbayi, 2007:1) menjelaskan iklim sekolah didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli sebagai hasil dari persepsi subjektif terhadap sistem formal, gaya informal kepala sekolah, dan faktor lingkungan penting lainnya yang memepengaruhi sikap, kepercayaan, nilai dan motivasi individu yang berada pada sekolah tersebut. Namun demikian variasi definisi iklim sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok. Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan, praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai kepribadian suatu sekolah merujuk pada beberapa pendapat berikut. Halpin dan Croft (dalam Tubbs dan Garner, 2008:17) menjelaskan iklim sekolah sebagai sesuatu yang intangible tetapi penting untuk sebuah organisasi dan dianalogikan dengan kepribadian seorang individu. Hoy dan Miskel (dalam Pretorius dan Villiers, 2009:33) menjelaskan iklim sekolah merujuk kepada hati dan jiwa dari sebuah sekolah, psikologis dan atribut institusi yang menjadikan sekolah memiliki kepribadian, yang relatif bertahan dan dialami oleh seluruh anggota, yang menjelaskan persepsi kolektif dari perilaku rutin, dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku di sekolah
Menurut Hoy, Smith dan Sweetland (dalam Milner dan Khoza, 2008:158), iklim sekolah dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam di sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup. Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain. Sorenson dan Goldsmith (2008:30) memandang iklim sekolah sebagai kepribadian kolektif dari sekolah. Oleh karena itu inti dari iklim sekolah adalah bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Cohen et.al. (dalam Pinkus, 2009:14) menjelaskan iklim sekolah sebagai kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah, berdasarkan pola perilaku siswa, orang tua dan pengalaman personil sekolah tentang kehidupan sekolah yang mencerminkan norma-norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, praktek belajar dan mengajar, serta struktur organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai suasana di tempat merujuk pada beberapa pendapat berikut. Moos (1979:81) mendefinisikan iklim sekolah sebagai pengaturan suasana sosial atau lingkungan belajar. Moos membagi lingkungan sosial menjadi tiga kategori, yaitu 1) Hubungan, termasuk keterlibatan, berafiliasi dengan orang lain di dalam kelas, dan dukungan guru; 2) Pertumbuhan pribadi atau orientasi tujuan, meliputi pengembangan pribadi dan peningkatan diri semua anggota lingkungan; dan 3) Pemeliharaan sistem dan perubahan sistem, meliputi ketertiban dari lingkungan, kejelasan dari aturan-aturan, dan kesungguhan dari guru dalam menegakkan aturan. Wenzkaff (dalam Cherubini, 2008:40) mengemukakan iklim suatu sekolah menginformasikan mengenai atmosfir dalam kelas, ruang fakultas, kantor, dan setiap gang yang ada di sekolah. Haynes, et.al. (dalam Hoffman et.al., 2009:2) mendefinisikan iklim sekolah sebagai kualitas dan konsistensi interaksi interpersonal dalam masyarakat sekolah yang mempengaruhi kognitif, sosial, dan perkembangan psikologi anak. Styron dan Nyman (2008:2) menjelaskan iklim sekolah adalah komponen penting untuk mewujudkan sekolah menengah yang efektif. Iklim sekolah adalah lingkungan remaja yang ramah, santai, sopan, tenang, dan enerjik. Keseluruhan iklim sekolah dapat ditingkatkan oleh sikap dan perilaku positif dari para siswa dan guru. Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah menengah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.
Pemahaman iklim sekolah sebagai persepsi individu merujuk pada beberapa pendapat berikut. Stichter (2008:45) menyimpulkan iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi bersama tentang apa yang sedang terjadi secara akademis, secara sosial, dan lingkungan di sekolah secara rutin
Menurut Reichers dan Schneider (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) iklim secara luas menggambarkan persepsi bersama menyangkut berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Secara sempit iklim diartikan sebagai persepsi bersama mengenai kebijakan organisasi dan prosedur pelaksanaan, baik secara formal maupun informal. Kopelman, Brief dan Guzzo (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menjelaskan persepsi bersama memungkinkan individu untuk memahami ambiguitas, konflik organisasi dan ketidakpastian, memperkirakan hasil, serta menilai kesesuaian kegiatan organisasi. Oleh karena itu iklim organisasi mempunyai peran fungsional untuk membentuk dan mengarahkan perilaku individu dalam organisasi. Mcevoy (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menyatakan iklim sekolah mengacu pada sikap, kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari praktek pembelajaran dan operasi suatu sekolah.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai iklim organisasi sebagaimana dikemukakan terdahulu, dapat disimpulkan iklim sekolah adalah persepsi kolektif terhadap kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah.
Urgensi Iklim Sekolah
Uraian mengenai urgensi iklim sekolah didasarkan pada dampak yang dapat ditimbulkannya merujuk kepada berbagai hasil penelitian. Cohen et.al. (2009) menjelaskan, selama tiga dekade terakhir telah terjadi pertumbuhan penelitian yang luar biasa yang membuktikan pentingnya iklim sekolah. Penelitian membuktikan bahwa iklim sekolah yang positif berdampak langsung terhadap keberhasilan sekolah seperti siswa putus sekolah rendah, tingkat kekerasan menurun, dan prestasi siswa meningkat. Freiberg (dalam Marshall (2002:1) menegaskan iklim sekolah dapat menjadi pengaruh positif pada kesehatan lingkungan belajar atau hambatan yang signifikan untuk belajar.
Merujuk kepada berbagai hasil penelitian, Marshall (2002:2) memberikan beberapa kesimpulan mengenai pentingnya iklim sekolah bagi berbagai pihak, sebagai berikut.
Iklim sekolah dapat mempengaruhi banyak orang di sekolah. Misalnya, iklim sekolah yang positif telah dikaitkan dengan emosi dan perilaku siswa yang bermasalah.
Iklim sekolah di perkotaan berisiko tinggi menunjukkan bahwa lingkungan yang positif, mendukung, dan budaya sadar iklim sekolah signifikan dapat membentuk kesuksesan siswa perkotaan dalam memperoleh gelar akademik. Para peneliti juga menemukan bahwa iklim sekolah yang positif memberikan perlindungan bagi anak dengan lingkungan belajar yang mendukung serta mencegah perilaku antisocial.
Hubungan interpersonal yang positif dan kesempatan belajar yang optimal bagi siswa di semua lingkungan demografis dapat meningkatkan prestasi dan mengurangi perilaku maladaptive.
Iklim sekolah yang positif berkaitan dengan peningkatan kepuasan kerja bagi personil sekolah.
Iklim sekolah dapat memainkan peran penting dalam menyediakan suasana sekolah yang sehat dan positif.
Interaksi dari berbagai sekolah dan faktor iklim kelas dapat memberikan dukungan yang memungkinkan semua anggota komunitas sekolah untuk mengajar dan belajar dengan optimal.
Iklim sekolah, termasuk “kepercayaan, menghormati, saling mengerti kewajiban, dan perhatian untuk kesejahteraan lainnya, memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidik dan peserta didik ,’hubungan antar peserta didik, serta’ prestasi akademis dan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Iklim sekolah yang positif merupakan lingkungan yang kaya, untuk pertumbuhan pribadi dan keberhasilan akademis.
Dimensi Pengukuran Iklim Sekolah
Banyak peneliti telah mengidentifikasi berbagai dimensi untuk mengukur iklim sekolah. Salah satunya menurut Gunbayi (2007:2) adalah Halpin & Croft (1963), yang mengajukan delapan dimensi iklim organisasi. Empat di antaranya berfokus pada perilaku guru, yaitu disengagement, hindrance, esprit dan intimacy. Empat dimensi lagi fokus pada perilaku kepala sekolah, yaitu aloofness, production, thrust, dan consideration. Tahun 1968 Harvard Business mengidentifikasi enam dimensi iklim sekolah, yaitu flexibility, responsibility, standards, rewards, clarity and team commitment. Schneider pada tahun 1983 mengemukakan enam dimensi iklim organisasi, yaitu organizational support, member quality, openness, supervisory style, member conflict dan member autonomy.
Tahun 1996 Hoy, Hofman, Sabo dan Bliss (dalam Gunbayi (2007:2) menjabarkan 6 dimensi iklim sekolah, yang dikelompokkan ke dalam dua aspek, yaitu aspek perilaku kepala, dan aspek perilaku guru. Tiga dimensi perilaku kepala sekolah yang diukur adalah supportive, directive, dan restrictive, sedangkan tiga dimensi perilaku guru yang diukur adalah collegial, committed, dan disengaged.
Supportive, adalah perilaku kepala sekolah yang diarahkan kepada kebutuhan sosial dan prestasi kerja. Kepala sekolah suka menolong, benar-benar memperhatikan guru, dan berupaya untuk memotivasi dengan menggunakan kritik yang konstruktif dan dengan memberikan contoh melalui kerja keras. Directive, adalah perilaku kepala sekolah yang kaku. Kepala sekolah terus-menerus memantau hampir semua aspek perilaku guru di sekolah. Restrictive, adalah perilaku kepala sekolah yang membatasi pekerjaan guru daripada memfasilitasinya. Kepala sekolah membebani guru dengan pekerjaan administratif, dan permintaan lainnya yang menggangu tanggung jawab mengajar. Collegial, adalah perilaku guru yang terbuka dan mendukung interaksi antara guru secara profesional. Seperti saling menghormati dan membantu satu sama lain baik secara pribadi maupun secara profesional. Committed, adalah perilaku guru yang diarahkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan sosial. Guru bekerja ekstra keras untuk memastikan keberhasilan siswa di sekolah. Disengaged adalah perilaku guru yang kurang fokus dan bermakna bagi kegiatan profesional.
Cohen, et.al. (dalam Pinkus, 2009:14), menjabarkan pengukuran iklim sekolah ke dalam 10 dimensi, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 1) safety, 2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment.
Kategori pertama terdiri atas a) rules and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan dilaksanakan secara konsisten; b) physical safety meliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari kerugian fisik di sekolah; dan c) social and emotional security meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan pengecualian.
Kategori kedua terdiri atas a) support for learning, menunjukkan adanya dukungan terhadap praktek-praktek pengajaran, seperti tanggapan yang positif dan konstruktif, dorongan untuk mengambil risiko, tantangan akademik, perhatian individual, dan kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai cara; dan b) social and civic learning, menunjukkan adanya dukungan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial dan kemasyarakatan, termasuk mendengarkan secara efektif, pemecahan masalah, refleksi dan tanggung jawab, serta pembuatan keputusan yang etis.
Kategori ketiga terdiri atas: a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa.
Kategori keempat, terdiri atas a) school connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah bagi siswa dan keluarga; dan b) physical surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan sumber daya dan material yang memadai.
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya : (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4) meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK. Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah : (1) meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4) pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.
Pengembangan Budaya Sekolah
Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut ini.
Berfokus pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah. Pengembangan budaya sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah.
Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal. Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko. Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
Memiliki Strategi yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
Berorientasi Kinerja. Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
Sistem Evaluasi yang Jelas. Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
Memiliki Komitmen yang Kuat. Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
Keputusan Berdasarkan Konsensus. Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.
Sistem Imbalan yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah.
Evaluasi Diri. Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya sekolah.
Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya pengembangan budaya sekolah juga seyogyanya berpegang pada asas-asas berikut ini:
Kerjasama tim (team work). Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil sekolah.
Kemampuan. Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.
Keinginan. Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.
Kegembiraan (happiness). Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.
Hormat (respect). Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan sebagaianya.
Jujur (honesty). Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya sekolah yang baik.
Disiplin (discipline). Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf.
Empati (empathy). Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami.
Pengetahuan dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.
Sumber adaptasi dari: Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.2007. Pengembangan Budaya dan Iklim Pembelajaran di Sekolah (materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah). Jakarta.
Daftar Rujukan
Cherubini, Lorenzo. (2008). Teacher Candidates’ Perceptions of School Culture: A Mixed Methods Investigation. Journal of Teaching and Learning. 5(2), 39-54. [Online]. Tersedia: http://www.phaenex.uwindsor.ca/ojs/leddy/ index.php/JTL/ article/view/157/51
Gunbayi, Ilhan. (2007). School Climate and Teachers’ Perceptions on Climate Factors: Research Into Nine Urban High Schools. The Turkish Online Journal of Educational Technology (TOJET). 6(3). 1-10. [Online]. Tersedia: http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_ storage_01/0000019b/80/3d/04/58.pdf
Hoffman, Lorrie L., Hutchinson, Cynthia J., dan Reiss, Elayne., (2009). On Improving School Climate: Reducing Reliance on Rewards and Punishment. International Journal Of Whole Schooling. 5 (3). [Online]. Tersedia: http://www.wholeschooling.net/Journal_of_Whole_Schooling/ articles/5-1%20Hoffman.pdf
Marshall, Megan L. (2002). Examining School Climate: Defining Factors And Educational Influences. Center for Research on School Safety, School Climate and Classroom Management Georgia State University. [Online]. Tersedia: http://education.gsu.edu/schoolsafety/download%20files/wp%20 2002%20school%20climate.pdf
Milner, Karen dan Khoza, Harriet. (2008). A Comparison of Teacher Stress and School Climate Across Schools with Different Matric Success Rates. South African Journal of Education. 28. 155-173. [Online]. Tersedia: http://ajol.info/index.php/saje/article/viewFile/25151/4350
Moos, R.H. (1979). Evaluating Educational Environments: Procedures, Measures, Findings, and Policy Implications. San Francisco: Jossey-Bass. [Online]. Tersedia: http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/envrnmnt/famncomm/pa3lk1.htm. [16 Agustus 2009]
Pinkus, Lyndsay M. (2009). Moving Beyond AYP: High School Performance Indicators. Alliance for Excellent Education. 1-20. [Online]. Tersedia: http://www.all4ed.org/files/SPIMovingBeyondAYP.pdf
Pretorius, Stephanus dan Villiers, Elsabe de. (2009). Educators’ Perceptions of School Climate and Health in Selected Primary Schools. South African Journal of Education. (29). 33-52. [Online]. Tersedia: http://www.sajournalofeducation.co.za/index.php/saje/article/view/230/ 141
Sorenson, Richard D., Goldsmith, Lloyd M. (2008). The Principal’s Guide to Managing School Personnel. Corwin Press. [Online]. Tersedia: http://books.google.co.id/books?id=tomNInqEARcC&printsec=frontcover#v=onepage&q=&f=false
Stichter, Kenneth (2008). Student School Climate Perceptions as a Measure of School District Goal Attainment. Journal of Educational Research & Policy Studies. 8 (1). 44-66. [Online]. Tersedia: http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_storage_01/0000019b/80/3f/5a/c3.pdf
Styron Jr, Ronald A., Nyman, Terri R., (2008). Key Characteristics of Middle School Performance. RMLE Online. 31(5). 1-17. [Online]. Tersedia: http://www.nmsa.org/portals/0/pdf/publications/RMLE/rmle_vol31_no5.pdf
Tubbs, J.E., dan Garner, M., (2008). The Impact Of School Climate On School Outcomes. Journal of College Teaching & Learningi. 5 ( 9); 17-26. [Online]. Tersedia: http://www.cluteinstitute-onlinejournals.com/PDFs/1212.pdf
1. Pengertian Iklim Sekolah
Litwin dan Stringer (dalam Gunbayi, 2007:1) menjelaskan iklim sekolah didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli sebagai hasil dari persepsi subjektif terhadap sistem formal, gaya informal kepala sekolah, dan faktor lingkungan penting lainnya yang memepengaruhi sikap, kepercayaan, nilai dan motivasi individu yang berada pada sekolah tersebut. Namun demikian variasi definisi iklim sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok. Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan, praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai kepribadian suatu sekolah merujuk pada beberapa pendapat berikut. Halpin dan Croft (dalam Tubbs dan Garner, 2008:17) menjelaskan iklim sekolah sebagai sesuatu yang intangible tetapi penting untuk sebuah organisasi dan dianalogikan dengan kepribadian seorang individu. Hoy dan Miskel (dalam Pretorius dan Villiers, 2009:33) menjelaskan iklim sekolah merujuk kepada hati dan jiwa dari sebuah sekolah, psikologis dan atribut institusi yang menjadikan sekolah memiliki kepribadian, yang relatif bertahan dan dialami oleh seluruh anggota, yang menjelaskan persepsi kolektif dari perilaku rutin, dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku di sekolah
Menurut Hoy, Smith dan Sweetland (dalam Milner dan Khoza, 2008:158), iklim sekolah dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam di sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup. Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain. Sorenson dan Goldsmith (2008:30) memandang iklim sekolah sebagai kepribadian kolektif dari sekolah. Oleh karena itu inti dari iklim sekolah adalah bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Cohen et.al. (dalam Pinkus, 2009:14) menjelaskan iklim sekolah sebagai kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah, berdasarkan pola perilaku siswa, orang tua dan pengalaman personil sekolah tentang kehidupan sekolah yang mencerminkan norma-norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, praktek belajar dan mengajar, serta struktur organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai suasana di tempat merujuk pada beberapa pendapat berikut. Moos (1979:81) mendefinisikan iklim sekolah sebagai pengaturan suasana sosial atau lingkungan belajar. Moos membagi lingkungan sosial menjadi tiga kategori, yaitu 1) Hubungan, termasuk keterlibatan, berafiliasi dengan orang lain di dalam kelas, dan dukungan guru; 2) Pertumbuhan pribadi atau orientasi tujuan, meliputi pengembangan pribadi dan peningkatan diri semua anggota lingkungan; dan 3) Pemeliharaan sistem dan perubahan sistem, meliputi ketertiban dari lingkungan, kejelasan dari aturan-aturan, dan kesungguhan dari guru dalam menegakkan aturan. Wenzkaff (dalam Cherubini, 2008:40) mengemukakan iklim suatu sekolah menginformasikan mengenai atmosfir dalam kelas, ruang fakultas, kantor, dan setiap gang yang ada di sekolah. Haynes, et.al. (dalam Hoffman et.al., 2009:2) mendefinisikan iklim sekolah sebagai kualitas dan konsistensi interaksi interpersonal dalam masyarakat sekolah yang mempengaruhi kognitif, sosial, dan perkembangan psikologi anak. Styron dan Nyman (2008:2) menjelaskan iklim sekolah adalah komponen penting untuk mewujudkan sekolah menengah yang efektif. Iklim sekolah adalah lingkungan remaja yang ramah, santai, sopan, tenang, dan enerjik. Keseluruhan iklim sekolah dapat ditingkatkan oleh sikap dan perilaku positif dari para siswa dan guru. Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah menengah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.
Pemahaman iklim sekolah sebagai persepsi individu merujuk pada beberapa pendapat berikut. Stichter (2008:45) menyimpulkan iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi bersama tentang apa yang sedang terjadi secara akademis, secara sosial, dan lingkungan di sekolah secara rutin
Menurut Reichers dan Schneider (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) iklim secara luas menggambarkan persepsi bersama menyangkut berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Secara sempit iklim diartikan sebagai persepsi bersama mengenai kebijakan organisasi dan prosedur pelaksanaan, baik secara formal maupun informal. Kopelman, Brief dan Guzzo (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menjelaskan persepsi bersama memungkinkan individu untuk memahami ambiguitas, konflik organisasi dan ketidakpastian, memperkirakan hasil, serta menilai kesesuaian kegiatan organisasi. Oleh karena itu iklim organisasi mempunyai peran fungsional untuk membentuk dan mengarahkan perilaku individu dalam organisasi. Mcevoy (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menyatakan iklim sekolah mengacu pada sikap, kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari praktek pembelajaran dan operasi suatu sekolah.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai iklim organisasi sebagaimana dikemukakan terdahulu, dapat disimpulkan iklim sekolah adalah persepsi kolektif terhadap kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah.
2. Urgensi Iklim Sekolah
Uraian mengenai urgensi iklim sekolah didasarkan pada dampak yang dapat ditimbulkannya merujuk kepada berbagai hasil penelitian. Cohen et.al. (2009) menjelaskan, selama tiga dekade terakhir telah terjadi pertumbuhan penelitian yang luar biasa yang membuktikan pentingnya iklim sekolah. Penelitian membuktikan bahwa iklim sekolah yang positif berdampak langsung terhadap keberhasilan sekolah seperti siswa putus sekolah rendah, tingkat kekerasan menurun, dan prestasi siswa meningkat. Freiberg (dalam Marshall (2002:1) menegaskan iklim sekolah dapat menjadi pengaruh positif pada kesehatan lingkungan belajar atau hambatan yang signifikan untuk belajar.
Merujuk kepada berbagai hasil penelitian, Marshall (2002:2) memberikan beberapa kesimpulan mengenai pentingnya iklim sekolah bagi berbagai pihak, sebagai berikut.
Iklim sekolah dapat mempengaruhi banyak orang di sekolah. Misalnya, iklim sekolah yang positif telah dikaitkan dengan emosi dan perilaku siswa yang bermasalah.
Iklim sekolah di perkotaan berisiko tinggi menunjukkan bahwa lingkungan yang positif, mendukung, dan budaya sadar iklim sekolah signifikan dapat membentuk kesuksesan siswa perkotaan dalam memperoleh gelar akademik. Para peneliti juga menemukan bahwa iklim sekolah yang positif memberikan perlindungan bagi anak dengan lingkungan belajar yang mendukung serta mencegah perilaku antisocial.
Hubungan interpersonal yang positif dan kesempatan belajar yang optimal bagi siswa di semua lingkungan demografis dapat meningkatkan prestasi dan mengurangi perilaku maladaptive.
Iklim sekolah yang positif berkaitan dengan peningkatan kepuasan kerja bagi personil sekolah.
Iklim sekolah dapat memainkan peran penting dalam menyediakan suasana sekolah yang sehat dan positif.
Interaksi dari berbagai sekolah dan faktor iklim kelas dapat memberikan dukungan yang memungkinkan semua anggota komunitas sekolah untuk mengajar dan belajar dengan optimal.
Iklim sekolah, termasuk “kepercayaan, menghormati, saling mengerti kewajiban, dan perhatian untuk kesejahteraan lainnya, memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidik dan peserta didik ,’hubungan antar peserta didik, serta’ prestasi akademis dan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Iklim sekolah yang positif merupakan lingkungan yang kaya, untuk pertumbuhan pribadi dan keberhasilan akademis.
3. Dimensi Pengukuran Iklim Sekolah
Banyak peneliti telah mengidentifikasi berbagai dimensi untuk mengukur iklim sekolah. Salah satunya menurut Gunbayi (2007:2) adalah Halpin & Croft (1963), yang mengajukan delapan dimensi iklim organisasi. Empat di antaranya berfokus pada perilaku guru, yaitudisengagement, hindrance, esprit dan intimacy. Empat dimensi lagi fokus pada perilaku kepala sekolah, yaitu aloofness, production, thrust, dan consideration. Tahun 1968 Harvard Business mengidentifikasi enam dimensi iklim sekolah, yaitu flexibility,responsibility, standards, rewards, clarity and team commitment. Schneider pada tahun 1983 mengemukakan enam dimensi iklim organisasi, yaitu organizational support, member quality, openness, supervisory style, member conflict dan member autonomy.
Tahun 1996 Hoy, Hofman, Sabo dan Bliss (dalam Gunbayi (2007:2) menjabarkan 6 dimensi iklim sekolah, yang dikelompokkan ke dalam dua aspek, yaitu aspek perilaku kepala, dan aspek perilaku guru. Tiga dimensi perilaku kepala sekolah yang diukur adalahsupportive, directive, dan restrictive, sedangkan tiga dimensi perilaku guru yang diukur adalah collegial, committed, dan disengaged.
Supportive, adalah perilaku kepala sekolah yang diarahkan kepada kebutuhan sosial dan prestasi kerja. Kepala sekolah suka menolong, benar-benar memperhatikan guru, dan berupaya untuk memotivasi dengan menggunakan kritik yang konstruktif dan dengan memberikan contoh melalui kerja keras. Directive, adalah perilaku kepala sekolah yang kaku. Kepala sekolah terus-menerus memantau hampir semua aspek perilaku guru di sekolah. Restrictive, adalah perilaku kepala sekolah yang membatasi pekerjaan guru daripada memfasilitasinya. Kepala sekolah membebani guru dengan pekerjaan administratif, dan permintaan lainnya yang menggangu tanggung jawab mengajar. Collegial, adalah perilaku guru yang terbuka dan mendukung interaksi antara guru secara profesional. Seperti saling menghormati dan membantu satu sama lain baik secara pribadi maupun secara profesional. Committed, adalah perilaku guru yang diarahkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan sosial. Guru bekerja ekstra keras untuk memastikan keberhasilan siswa di sekolah. Disengaged adalah perilaku guru yang kurang fokus dan bermakna bagi kegiatan profesional.
Cohen, et.al. (dalam Pinkus, 2009:14), menjabarkan pengukuran iklim sekolah ke dalam 10 dimensi, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 1) safety, 2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment.
Kategori pertama terdiri atas a) rules and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan dilaksanakan secara konsisten; b) physical safetymeliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari kerugian fisik di sekolah; dan c) social and emotional security meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan pengecualian.
Kategori kedua terdiri atas a) support for learning, menunjukkan adanya dukungan terhadap praktek-praktek pengajaran, seperti tanggapan yang positif dan konstruktif, dorongan untuk mengambil risiko, tantangan akademik, perhatian individual, dan kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai cara; dan b) social and civic learning, menunjukkan adanya dukungan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial dan kemasyarakatan, termasuk mendengarkan secara efektif, pemecahan masalah, refleksi dan tanggung jawab, serta pembuatan keputusan yang etis.
Kategori ketiga terdiri atas: a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa.
Kategori keempat, terdiri atas a) school connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah bagi siswa dan keluarga; dan b) physical surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan sumber daya dan material yang memadai.
Daftar Rujukan
Cherubini, Lorenzo. (2008). Teacher Candidates’ Perceptions of School Culture: A Mixed Methods Investigation. Journal of Teaching and Learning. 5(2), 39-54. [Online]. Tersedia: http://www.phaenex.uwindsor.ca/ojs/leddy/ index.php/JTL/ article/view/157/51
Gunbayi, Ilhan. (2007). School Climate and Teachers’ Perceptions on Climate Factors: Research Into Nine Urban High Schools. The Turkish Online Journal of Educational Technology (TOJET). 6(3). 1-10. [Online]. Tersedia:http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_ storage_01/0000019b/80/3d/04/58.pdf
Hoffman, Lorrie L., Hutchinson, Cynthia J., dan Reiss, Elayne., (2009). On Improving School Climate: Reducing Reliance on Rewards and Punishment. International Journal Of Whole Schooling. 5 (3). [Online]. Tersedia:http://www.wholeschooling.net/Journal_of_Whole_Schooling/ articles/5-1%20Hoffman.pdf
Marshall, Megan L. (2002). Examining School Climate: Defining Factors And Educational Influences. Center for Research on School Safety, School Climate and Classroom Management Georgia State University. [Online]. Tersedia:http://education.gsu.edu/schoolsafety/download%20files/wp%20 2002%20school%20climate.pdf
Milner, Karen dan Khoza, Harriet. (2008). A Comparison of Teacher Stress and School Climate Across Schools with Different Matric Success Rates. South African Journal of Education. 28. 155-173. [Online]. Tersedia:http://ajol.info/index.php/saje/article/viewFile/25151/4350
Moos, R.H. (1979). Evaluating Educational Environments: Procedures, Measures, Findings, and Policy Implications. San Francisco: Jossey-Bass. [Online]. Tersedia:http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/envrnmnt/famncomm/pa3lk1.htm.[16 Agustus 2009]
Pinkus, Lyndsay M. (2009). Moving Beyond AYP: High School Performance Indicators. Alliance for Excellent Education. 1-20. [Online]. Tersedia:http://www.all4ed.org/files/SPIMovingBeyondAYP.pdf
Pretorius, Stephanus dan Villiers, Elsabe de. (2009). Educators’ Perceptions of School Climate and Health in Selected Primary Schools. South African Journal of Education. (29). 33-52. [Online]. Tersedia:http://www.sajournalofeducation.co.za/index.php/saje/article/view/230/ 141
Sorenson, Richard D., Goldsmith, Lloyd M. (2008). The Principal’s Guide to Managing School Personnel. Corwin Press. [Online]. Tersedia:http://books.google.co.id/books?id=tomNInqEARcC&printsec=frontcover#v=onepage&q=&f=false
Stichter, Kenneth (2008). Student School Climate Perceptions as a Measure of School District Goal Attainment. Journal of Educational Research & Policy Studies. 8 (1). 44-66. [Online]. Tersedia:http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_storage_01/0000019b/80/3f/5a/c3.pdf
Styron Jr, Ronald A., Nyman, Terri R., (2008). Key Characteristics of Middle School Performance. RMLE Online. 31(5). 1-17. [Online]. Tersedia:http://www.nmsa.org/portals/0/pdf/publications/RMLE/rmle_vol31_no5.pdf
Tubbs, J.E., dan Garner, M., (2008). The Impact Of School Climate On School Outcomes. Journal of College Teaching & Learningi. 5 (9); 17-26. [Online]. Tersedia: http://www.cluteinstitute-onlinejournals.com/PDFs/1212.pdf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepuasan kerja dalam teori motivasi Maslow menempati peringkat yang tinggi. Sebab ia berkaita...
-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seorang maupun organisasi akan selalu memiliki tujuan...
-
1. Bagaimana sistem informasi manajemen digunakana di seluruh lapisan manajemen pendidikan ? Sekarang ini manusia sud...
Terima kasih atas artikelnya. mohon bisa berbagi sumber mengenai penjelasan 6 dimensi iklim sekolah menurut Harvard bussines 1986.
BalasHapus