Sabtu, 04 Oktober 2025

Air Mata yang Terlambat

Bagi Arif, kesibukan selalu menjadi prioritas utama. Bertahun-tahun, panggilan telepon dan pesan singkat dari kampung ia anggap sebagai 'interupsi' kecil yang bisa ditunda. Ia terlalu sibuk membangun karir gemilang di kota, meyakinkan dirinya bahwa waktu untuk Ibu akan selalu ada setelah ia mencapai puncak. "Nanti, Bu. Besok Arif telepon lagi. Minggu depan Arif pulang." Begitulah selalu janjinya, janji yang terus diundur hingga menjadi utang waktu yang tak terbayarkan. Namun, ia salah. Di tengah rapat penting yang penuh ambisi, kabar itu datang—secepat dan sedingin kilat. Tiba-tiba, kesuksesan yang ia genggam terasa hampa dan tak berarti. Kini, Arif berdiri di hadapan sebuah nisan yang masih merah, menggenggam telepon yang takkan pernah lagi berdering, dan memandang rumah masa kecil yang kini sunyi. Di sanalah, akhirnya ia menangis. Bukan tangisan sedih karena kehilangan, melainkan tangisan pedih karena kesadaran yang datang terlambat. Semua kata 'maaf' dan 'terima kasih' yang ia simpan kini hanya bergema di udara kosong. Air Mata yang Terlambat adalah kisah pilu tentang harga yang harus dibayar ketika kita menukar waktu emas dengan ilusi kesuksesan, dan menyadari bahwa beberapa hal di dunia ini tidak bisa menunggu, termasuk cinta dan bakti seorang anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar