Senin, 18 Juli 2022
Iklim Sekolah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang mutu pendidikan tidak akan lepas dari kegiatan belajar. Hasil kegiatan belajar yang diharapkan adalah prestasi belajar yang baik. Setiap orang pasti mendambakan prestasi belajar yang tinggi, baik orang tua, siswa dan lebih-lebih bagi guru. Untuk mencapai prestasi belajar yang optimal tidak lepas dari kondisi-kondisi dimana kemungkinan siswa dapat belajar dengan efektif dan dapat mengembangkan daya eksplorasinya baik fisik maupun psikis. Memperoleh prestasi belajar yang baik tidaklah mudah, banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor siswa memegang peranan dalam mencapai prestasi belajar yang baik, karena siswa yang melakukan kegiatan belajar perlu memiliki karakter belajar dan dan lingkungan belajar yang baik.
Sekolah merupakan lembaga formal sebagai wadah untuk kegiatan belajar mengajar. Agar proses belajar mengajar lancar, maka iklim sekolah harus baik dan kondusif sehingga siswa dapat belajar dengan tenang dan menyenangkan. Selain factor dari dalam diri siswa seperti intelegenci, bakat, minat dan motivasi, iklim sekolah juga sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Iklim sekolah merupakan lingkungan belajar yang medorong prilaku positif dan kepribadian sama sehingga menciptakan proses belajar mengajar yang optimal. Menurut Larsen (1987) dalam Moedjiarto (2002:28) dijelaskan bahwa iklim sekolah merupakan suatu norma, harapan dan kepercayaan dari personil-personil yang terlibat dalam organisasi sekolah yang dapat memberikan dorongan untuk bertindak guna pencapaian prestasi sisawa yang tinggi.
Dalam kenyataannya masih banyak terlihat realita di lapangan sekolah-sekolah yang belum mampu menciptakan iklim yang kondusif sehingga hal ini sangat berpengaruh pada suasana dan aktifitas belajar mengajar disekolah itu dan selanjutnya juga berakibat pada prestasi belajar yang akan dicapai siswa.
Makalah ini mencoba untuk menganalisis secara teoritis tentang pengaruh iklim sekolah terhadap prestasi belajar siswa.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan iklim sekolah?
2. Faktor- factor apa yang mempengaruhi prestasi belajar siswa?
3. Bagaimana pengaruh iklim terhadap prestasi belajar siswa?
C. Prosedur pemecahan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif, yakni pemaparan yang berkenaan dengan masalah yang diuraikan dan teknik yang digunakan library risert (tinjauan pustaka).
D. Sistematika Uraian
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari:
Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, prosedur pemecahan masalah serta sistematika penulisan.
Bab II Berisi pembahasan tentang teori iklim sekolah dan prestasi belajar, yang di dalamnya memuat pengertian iklim sekolah, dimensi dan indicator iklim sekolah, dan prinsip-prinsip pengembangan iklim sekolah.. Kemudian pengertian prestasi belajar, jenis-jenis prestasi bealajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar serta pengaruh iklim sekolah terhadap prestasi belajar siswa.
Bab III Berisi kesimpulan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Iklim Sekolah
1. Pengertian Iklim Sekolah
Iklim sekolah didefinisikan orang secara beragam dan dalam penggunaanya kerapkali dipertukarkan dengan istilah budaya sekolah. Iklim sekolah sering dianalogikan dengan kepribadian individu dan dipandang sebagai bagian dari lingkungan sekolah yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis serta direfleksikan melalui interaksi di dalam maupun di luar kelas.
Menurut Sergiovanni dan Startt (1993) dalam Hadiyanto (2004: 153) yang menyatakan bahwa iklim sekolah merupakan karakteristik yang ada, yang menggambarkan ciri-ciri psikologis dari suatu sekolah tertentu, yang membedakan suatu sekolah dari sekolah yang lain, mempengaruhi tingkah laku guru dan peserta didik dan merupakan prasaan psikologis yang dimiliki guru dan peserta didik di sekolah tertentu.
Litwin dan Stringer (dalam Gunbayi, 2007:1) menjelaskan iklim sekolah didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli sebagai hasil dari persepsi subjektif terhadap sistem formal, gaya informal kepala sekolah, dan faktor lingkungan penting lainnya yang mempengaruhi sikap, kepercayaan, nilai dan motivasi individu yang berada pada sekolah tersebut. Namun demikian variasi definisi iklim sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok. Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan, praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai kepribadian suatu sekolah merujuk pada beberapa pendapat berikut. Halpin dan Croft (dalam Tubbs dan Garner, 2008:17) menjelaskan iklim sekolah sebagai sesuatu yang intangible tetapi penting untuk sebuah organisasi dan dianalogikan dengan kepribadian seorang individu. Hoy dan Miskel (dalam Pretorius dan Villiers, 2009:33) menjelaskan iklim sekolah merujuk kepada hati dan jiwa dari sebuah sekolah, psikologis dan atribut institusi yang menjadikan sekolah memiliki kepribadian, yang relatif bertahan dan dialami oleh seluruh anggota, yang menjelaskan persepsi kolektif dari perilaku rutin, dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku di sekolah.
Menurut Hoy, Smith dan Sweetland (dalam Milner dan Khoza, 2008:158), iklim sekolah dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam di sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup. Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain. Sorenson dan Goldsmith (2008:30) memandang iklim sekolah sebagai kepribadian kolektif dari sekolah. Oleh karena itu inti dari iklim sekolah adalah bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Cohen et.al. (dalam Pinkus, 2009:14) menjelaskan iklim sekolah sebagai kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah, berdasarkan pola perilaku siswa, orang tua dan pengalaman personil sekolah tentang kehidupan sekolah yang mencerminkan norma-norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, praktek belajar dan mengajar, serta struktur organisasi.
Pemahaman iklim sekolah sebagai suasana di tempat merujuk pada beberapa pendapat berikut. Moos (1979:81) mendefinisikan iklim sekolah sebagai pengaturan suasana sosial atau lingkungan belajar. Moos membagi lingkungan sosial menjadi tiga kategori, yaitu 1) Hubungan, termasuk keterlibatan, berafiliasi dengan orang lain di dalam kelas, dan dukungan guru; 2) Pertumbuhan pribadi atau orientasi tujuan, meliputi pengembangan pribadi dan peningkatan diri semua anggota lingkungan; dan 3) Pemeliharaan sistem dan perubahan sistem, meliputi ketertiban dari lingkungan, kejelasan dari aturan-aturan, dan kesungguhan dari guru dalam menegakkan aturan. Wenzkaff (dalam Cherubini, 2008:40) mengemukakan iklim suatu sekolah menginformasikan mengenai atmosfir dalam kelas, ruang fakultas, kantor, dan setiap gang yang ada di sekolah. Haynes, et.al. (dalam Hoffman et.al., 2009:2) mendefinisikan iklim sekolah sebagai kualitas dan konsistensi interaksi interpersonal dalam masyarakat sekolah yang mempengaruhi kognitif, sosial, dan perkembangan psikologi anak. Styron dan Nyman (2008:2) menjelaskan iklim sekolah adalah komponen penting untuk mewujudkan sekolah menengah yang efektif.
Pemahaman iklim sekolah sebagai persepsi individu merujuk pada beberapa pendapat berikut. Stichter (2008:45) menyimpulkan iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi bersama tentang apa yang sedang terjadi secara akademis, secara sosial, dan lingkungan di sekolah secara rutin. Effendi (1997) dalam Arif jauhari (2005: 4) mengemukakan bahwa iklim organisasi sekolah merupakan persepsi para guru dan personil sekolah lainnya tentang struktur kerja sekolah, gaya kepemimpinan, manajemen, supervisi, dan faktor lingkungan sosial pening lainnya yang tampak pada sikap, kepercayaan, nilai dan motivasi kerjanya. Selanjutnya dijelaskan bahwa persepsi tersebut mempunyai dampak terhadap semangat kerja atau moral kerja para guru dan personil sekolah lainnya yang akhirnya akan mempengaruhi kualitas proses belajar mengajar.
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai iklim organisasi sebagaimana dikemukakan terdahulu, dapat disimpulkan iklim sekolah adalah persepsi kolektif terhadap kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah.
Sedangkan iklim sekolah yang positif menurut Moedjiarto dalam Syafaruddin (2005:296) menyebutkan iklim sekolah yang positif merupakan suatu kondisi dimana keadaan sekolah dan lingkungannya dalam keadaan sangat aman, damai, menyenangkan untuk kegiatan belajar mengajar.”
Menurut Syafaruddin (2005:296): “iklim sekolah positif adalah iklim sekolah yang terbebas dari kemungkinan kebisingan, keramaian maupun kejahatan”.
Selanjutnya Mulyasa (2007:154) menyatakan “ lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, optimis dan harapan yang tinggi dari seluruh warga, kesehatan sekolah, serta kegiatan-kegiatan yang terpusat pada peserta didik (student-centered activitres) merupakan iklim yang dapat membangkitkan nafsu, gairah dan semangat belajar.
Dari beberapa definsi tentang iklim sekolah seperti yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa iklim sekolah yang positif merupakan suatu kondisi, dimana keadaan sekolah dan Lingkungannya dalam keadaan yang sangat aman, nyaman, damai dan menyenangkan untuk kegiatan belajar mengajar. Iklim sekolah adalah “ suasana” atau “ keadaan” dari suatu sekolah.
2. Jenis-jenis Iklim Sekolah
Iklim sekolah yang satu dengan iklim sekolah yang lain berbeda-beda. Banyak faktor yang menentukan perbedaan masing-masing iklim sekolah tersebut, dan keseluruhannya dianggap sebagai kepribadian atau iklim suatu sekolah. Halpin dan Don B. Croft dalam Burhanuddin (1990: 272), mengemukakan bahwa iklim-iklim organisasi sekolah itu dapat digolongkan sebagai berikut :
1) Iklim Terbuka
Yaitu suasana yang melukiskan organisasi sekolah penuh semangat dan daya hidup, memberikan kepuasan pada anggota kelompok dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Tindakan-tindakan pimpinan lancar dan serasi, baik dari kelompok maupun pimpinan. Para anggota kelompok mudah memperoleh kepuasan kerja karena dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, sementara kebutuhan-kebutuhan pribadi terpenuhi. Ciri-ciri iklim organisasi sekolah demikian adalah adanya kewajaran tingkah laku semua orang.
2) Iklim Bebas
Melukiskan suasana organisasi sekolah, dimana tindakan kepemimpinan justru muncul pertama-tama dari kelompok. Pemimpin sedikit melakukan pengawasan, semangat kerja pertama muncul hanya karena untuk memenuhi kepuasan pribadi. Sedangkan kepuasan kerja juga muncul, hanya saja kadarnya kecil sekali. Kepuasan kerja yang dimaksud di sini adalah kepuasan
yang ditimbulkan oleh karena kegiatan tertentu dapat diselesaikan.
3) Iklim Terkontrol
Bercirikan “impersonal” dan sangat mementingkan tugas, sementara kebutuhan anggota organisasi sekolah tidak diperhatikan. Dan adanya anggota kelompok sendiri pada akhirnya hanya memperhatikan tugas-tugas yang ditetapkan pemimpin, sedangkan perhatian yang ditujukannya pada kebutuhan pribadi relatif kecil. Semangat kerja kelompok memang tinggi, namun mencerminkan adanya pengorbanan aspek kebutuhan manusiawi. Ciri khas iklim ini adalah adanya ketidakwajaran tingkah laku karena kelompok hanya mementingkan tugas-tugas.
4) Iklim yang Familier
Adalah suatu iklim ysng terlalu bersifat manusiawi dan tidak terkontrol. Para anggota hanya berlomba-lomba untuk memenuhi tuntutan pribadi mereka, \namun sangat sedikit perhatian pada penyelesaian tugas dan kontrol social yang ada kurang diperhatikan. Sejalan dengan itu, semangat kerja kelompok sebenarnya tidak begitu tinggi, karena kelompok mendapat kepuasan yang sedikit dalam penyelesaian tugas-tugas.
5) Iklim Keayahan
Organisasi sekolah demikian bercirikan adanya penekanan bagi \munculnya kegiatan kepemimpinan dari anggota organisasi. Kepala sekolah biasanya berusaha menekan atau tidak menghargai adanya inisiatif yang muncul dari orang-orang yang dipimpinnya. Kecakapan-kecakapan yang dimiliki kelompok tidak dimanfaaatkannya untuk melengkapi kemampuan kerja kepala sekolah. Sejalan dengan itu banyak tindakan-tindakan kepemimpinan yang dijalankan. Dalam iklim yang demikian pun sedikit kepuasan yang diperoleh bawahan, baik yang bertalian dengan hasil kerja maupun kebutuhan pribadi. Sehingga semangat kerja kelompok organisasi sekolah juga akan rendah.
6) Iklim Tertutup
Para anggota biasanya bersikap acuh tak acuh atau masa bodoh. Organisasi tidak maju, semangat kerja kelompok rendah, karena para anggota disamping tidak memenuhi tuntutan pribadi, juga tidak dapat memperoleh kepuasan dari hasil karya mereka. Tingkah laku anggota dalam iklim organisasi demikian juga tidak wajar, dalam artian kenyataannya organisasi seperti mundur.
Setelah menganalisa beberapa ciri dari masing-masing jenis iklim organisasi sekolah diatas, dapat penulis simpulkan bahwa iklim sekolah yang efektif sebenarnya terdapat pada iklim organisasi yang sifatnya terbuka.
3. Dimensi dan Pengukuran Iklim Sekolah
Dimulai dengan mengkaji iklim lembaga kerja, Moos (1979) mengemukakan ada tiga dimensi umum yang digunakan untuk mengukur lingkungan psikis dan social. Ketiga dimensi tersebut adalah
1) Dimensi Hubungan (relationship) : sejauh mana individu dilibatkan dalam lingkungannnya, sehingga mereka saling mendukung dan tolong menolong (dengan beberapa aspek seperti kekompakan (kohesi), ungkapan, dukungan, keanggotaan, dan keterlibatan).
2) Dimensi Pertumbuhan pribadi (personal growth /development) yang ditandai oleh pertumbuhan pribadi dan peluang untuk meningkatkan diri yang ditawarkan oleh lingkungan (dengan beberapa aspek yang berhubungan seperti kemerdekaan, prestasi, pengarahan tugas, self-discovery, kemarahan, agresi, kompetisi, otonomi, dan status pribadi).
3) Dimensi Pemeliharaan Sistem dan Perubahan ( system maintenance and change) : mempertimbangkan tingkat kendali dari lingkungan, ketertiban, kejelasan akan harapan, dan responsif terhadap perubahan (beberapa aspek yang menandai dimensi ini meliputi : organisasi, pengawasan, order, kejelasan, inovasi, kenyamanan phisik, dan pengaruh). Selanjutnya Moos memperlihatkan kualitas ketiga dimensi dalam keluarga, pekerjaan, sekolah, kesehatan, militer, penjara dan beberapa konteks dalam komunitas sosial (Moos, 1976, 1979, 2002).
Arter (1989) menambahkan satu dimensi lagi sebagai pengembangan dari beberapa dimensi Moos, yaitu :Dimensi lingkungan fisik (physical environment) : berkaitan dengan sejauh mana iklim sekolah seperti kelengkapan sumber, kenyamanan, serta keamanan sekolah ikut mempengaruhi proses belajar mengajar.
Jika dimensi tersebut di atas dikaitkan dengan iklim sekolah maka dapat dikatakan bahwa dimensi hubungan mengukur sejauh mana keterlibatan peserta didik di dalam kelas, sejauhmana peserta didik dan personil sekolah saling mendukung dan membantu, dan sejauh mana mereka dapat mengekspresikan kemempuan mereka secara bebas dan terbuka. Moos (1979) mengatakan bahwa dimensi ini mencakup aspek afektif dari interaksi antar peserta didik dan antara peserta didik dan guru. Skala-skala (scales) iklim sekolah yang termasuk dalam dimensi ini diantaranya adalah kekompakan (cohesiveness), kepuasan (satisfaction), dan keterlibatan (involvement). Keterlibatan misalnya mengukur sejauhmana para peserta didik peduli dan tertarik pada kegiatan-kegiatan dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan kegiatan dalam kelas khususnya.
Dimensi pertumbuhan/ perkembangan pribadi yang disebut juga dimensi yang berorientasi pada tujuan membicarakan tujuan utama sekolah dalam mendukung pertumbuhan /perkembangan pribadi dan motivasi diri. Skala-skala yang terkait dalam dimensi ini di antaranya adalah kesulitan (difficulty), kecepatan (speed), kemandirian (independence), kompetisi (competition). Skala kecepatan, misalnya mengukur bagaimana tempo (cepat atau lambatnya) pembelajaran berlangsung.
Dimensi perubahan dan perbaikan sistem membicarakan sejauhmana iklim sekolah mendukung harapan, memperbaiki control dan merespon perubahan. Skala-skala yang termasuk dalam dimensi ini di antaranya adalah formalitas (formality), demokrasi (democracy), kejelasan aturan (rule clarity), inovasi (innovation). Skala formalitas, misalnya mengukur sejauhmana tingkah laku peserta didik di sekolah berdasarkan aturan-aturan sekolah.
Dimensi lingkungan fisik membicarakan sejauhmana iklim sekolah seperti kelengkapan sarana dan prasarana , kenyamanan, serta keamanan sekolah ikut mempengaruhi proses belajar mengajar. Skala-skala yang termasuk dalam dimensi ini di antaranya adalah kelengkapan sumber (resource adequacy), keamanan, dan keteraturan lingkungan (safe and onderly environment), kenyamanan lingkungan fisik (physical comfort), dan lingkungan fisik (material environment).
Berdasarkan keempat dimensi dari Moos (dan Arter) di atas, beberapa peneliti mendesain instrumen iklim kelas/sekolah dengan skala yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lain. Instrumen Iklim Sekolah lebih luas cakupannya dibandingkan instrumen Iklim Kelas yang hanya di titik beratkan pada hubungan antara guru-siswa dan siswa dengan siswa di kelas. Instrumen untuk iklim kelas, antara lain :
1. WIHIC mempunyai dimensi Student Cohesiveness, Teacher Support, Involvement, Investigation, Task Orientation, Cooperation, and Equity.
2. Cultural Learning Environment Questionnaire (CLEQ) mempunyai dimensi Equity, Collaboration, Congruence.
3. Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) mempunyai dimensi Leadership Helpful/friendly, Understanding, Student responsibility, Uncertain, Admonishing, Strict.
4. College and University Classroom Environment Inventory (CUCEI) dengan beberapa dimensi antara lain personalization, innovation, student cohesion, task orientation, cooperation, individualization, dan equity.
5. Techonology-Rich Outcomes-Focused Learning Environment Inventory (TROFLEI) dengan beberapa dimensi, antara lain : student cohesiveness, teacher support, involvement, task orientation, investigation, cooperation, equity, differentation, computer usage, dan young adult ethos.
Sedangkan instrumen untuk iklim sekolah, antara lain :
1. Inventory of School Climate (ISC) mempunyai dimensi Teacher Support, Consistency and Clarity of Rules and Expectations, Student Commitment and Achievement Orientation, Negative Peer Interaction, Positive Peer Interactions, Disciplinary Harshness, Student Input in Decision Making, Instructional Innovation/Relevance, Support for Cultural Pluralism, dan Safety Problems.
2. Student Climate Survey (SCS) dengan tiga dimensi, yakni Behavioral Environment (dengan skala Peer Behavior, Behavior Expectations, dan School Safety & Cleanliness), Student Interactions (dengan skala Teacher Support, Adult Fairness & Respect), Academic Environment (dengan skala Academic Standarts dan Academic Self-Confidence).
3. The Comprehensif School Climate Inventory (CSCI), dengan beberapa dimensi yakni Safety (dengan skala Physical dan Social-Emotional), Teaching and Learning (dengan skala Quality of Instruction, Social, Emotional and Ethical Learning / hanya personil sekolah, Leadership / hanya untuk personil sekolah), Relationship (dengan skala Respect for Diversity, School Community and Collaboration, dan Morale), dan dimensi Environment.
Hasil penelitian Walberg (dalam sergiovanni dan Starrat, 1983) menunjukkan bahwa hampir seluruh skala di atas berkorelasi signifikan dengan prestasi belajar peserta didik. Hal ini ditandai dengan kebanyakan hasil penelitian yang diidentifikasi Walberg di atas menunjukkan korelasi yang positif antara skala-skala iklim kelas yang tertuang dalam Learning Environment Inventory dengan prestasi belajar peserta didik.
4. Model dan Prinsip pengembangan iklim sekolah
1) Model Pengembangan Iklim Sekolah
Model pengembangan budaya dan iklim sekolah yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik itu kepala sekolah, guru dan staf sekolah dan utamanya siswa itu sendiri dapat dijadikan dasar dalam upaya memperbaiki iklim sekolah. Model tersebut merupakan integrasi komponen-komponen seperti budaya sekolah, iklim organisasi, dan pranata sistem sekolah.
Komponen pengembangan budaya dan iklim sekolah secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori dengan beberapa aspek sebagai berikut:
1). Budaya sekolah meliputi aspek-aspek:
1. Nilai
2. Norma
3. Perilaku
2). Lingkungan fisik sekolah meliputi:
1. Keindahan
2. Keamanan
3. Kenyamanan
4. Ketentraman
5. Kebersihan
3). Lingkungan sistem sekolah meliputi:
1. Berbasis mutu
2. Kepemimpinan kepala sekolah
3. Disiplin dan tata tertib
4. Penghargaan dan insentif
5. Harapan untuk berprestasi
6. Akses informasi
7. Evaluasi
8. Komunikasi yang intensif dan terbuka
Model berikut ini menjelaskan tentang bagaimana membangun sebuah budaya dan iklim sekolah berdasarkan unsur-unsur di atas. Model tersebut menggambarkan bahwa budaya dan iklim organisasi merupakan kumpulan nilai-nilai, norma dan perilaku yang mengontrol interaksi-personil sekolah dengan orang diluar sekolah. Budaya organisasi sekolah tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang dianut oleh individu-induidu yang memiliki kepentingan dengan sekolah, atau dengan kata lain budaya dan iklim sekolah merupakan hasil interaksi nilai-nilai yang dianut individu didalam dan diluar sekolah. Sekolah merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif terus-menerus untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah.
2) Prinsip-Prinsip Pengembangan Iklim Sekolah
Prinsip adalah ”suatu pernyataan atau suatu kebenaran yang pokok, yang memberikan suatu petunjuk kepada pemikiran atau tindakan” (Moekijat ,1990). Budaya dan iklim sekolah yang efektif akan memberikan efek positif bagi semua unsur dan personil sekolah seperti kepala sekolah, guru, staf, siswa dan masyarakat. Prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam pengembangan iklim sekolah adalah sebagai berikut:
1. Berfokus Pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah
Pengembangan budaya dan iklim sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya dan iklim sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya dan iklim sekolah.
2. Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal
Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya dan iklim sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
3. Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko
Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
4. Memiliki Strategi yang Jelas
Pengembangan budaya dan iklim sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
5. Berorientasi Kinerja
Pengembangan budaya dan iklim sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
6. Sistem Evaluasi yang Jelas
Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya dan iklim sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
7. Memiliki Komitmen yang Kuat
Komitemen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya dan iklim sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
8. Keputusan Berdasarkan Konsensus
Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.
9. Sistem Imbalan yang Jelas
Pengembangan iklim sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya dan iklim sekolah.
10. Evaluasi Diri
Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya dan iklim sekolah.
B. Prestasi Belajar Siswa
1. Definisi prestasi belajar
Istilah prestasi belajar terdiri dari dua suku kata, yaitu prestasi dan belajar. Istilah prestasi dalam Kamus Ilmiah Populer (Adi Satrio, 2005: 467) didefinisikan sebagai hasil yang telah dicapai. Noehi Nasution (1998: 4) menyimpulkan bahwa belajar dalam arti luas dapat diartikan sebagai suatu proses yang memungkinkan timbulnya atau berubahnya suatu tingkah laku sebagai hasil dari terbentuknya respon utama, dengan syarat bahwa perubahan atau munculnya tingkah baru itu bukan disebabkan oleh adanya kematangan atau oleh adanya perubahan sementara karena sesuatu hal.
Sementara itu Muhibbin Syah (2008: 90-91) mengutip pendapat beberapa pakar psikologi tentang definisi belajar, di antaranya adalah:
a. Skinner, seperti yang dikutip Barlow dalam bukunya educational Psychology : The Teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suau proses adaptasi atau penyesuaian tinkah laku yang berlangsung secara progresif (a process of progressive behavior adaptation). Berdasarkan eksperimennya, B.F. Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforce).
b. Hintzman dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat Learning is change in organism due to experience which can affect the organism’s behavior. Artinya, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organism (manusia dan hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organism tersebut. Jadi, dalam pandangan Hitzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme.
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap (permanent) sebagai hasil atau akibat dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif, afektif dan psikomotor.
Adapun yang dimaksud dengan prestasi belajar atau hasil belajar menurut Muhibbin Syah, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Muhammad Ibnu Abdullah (2008) adalah “taraf keberhasilan murid atau santri dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah atau pondok pesantren yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru”.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat memberikan kepuasan emosional, dan dapat diukur dengan alat atau tes tertentu.
2. Jenis dan indikator prestasi belajar
Prestasi belajar pada dasarnya adalah hasil akhir yang diharapkan dapat dicapai setelah seseorang belajar. Menurut Ahmad Tafsir (2008: 34-35), hasil belajar atau bentuk perubahan tingkah laku yang diharapkan itu merupakan suatu target atau tujuan pembelajaran yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: 1) tahu, mengetahui (knowing); 2) terampil melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui itu (doing); dan 3) melaksanakan yang ia ketahui itu secara rutin dan konsekwen (being).
Adapun menurut Benjamin S. Bloom, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Muhammad Ibnu Abdullah (2008), bahwa hasil belajar diklasifikasikan ke dalam tiga ranah yaitu: 1) ranah kognitif (cognitive domain); 2) ranah afektif (affective domain); dan 3) ranah psikomotor (psychomotor domain).
Bertolak dari kedua pendapat tersebut di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat Benjamin S. Bloom. Kecenderungan ini didasarkan pada alasan bahwa ketiga ranah yang diajukan lebih terukur, dalam artian bahwa untuk mengetahui prestasi belajar yang dimaksudkan mudah dan dapat dilaksanakan, khususnya pada pembelajaran yang bersifat formal. Sedangkan ketiga aspek tujuan pembelajaran yang diajukan oleh Ahmad Tafsir sangat sulit untuk diukur. Walaupun pada dasarnya bisa saja dilakukan pengukuran untuk ketiga aspek tersebut, namun ia membutuhkan waktu yang tidak sedikit, khususnya pada aspek being, di mana proses pengukuran aspek ini harus dilakukan melalui pengamatan yang berkelanjutan sehingga diperoleh informasi yang meyakinkan bahwa seseorang telah benar-benar melaksanakan apa yang ia ketahui dalam kesehariannya secara rutin dan konsekuen.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa jenis prestasi belajar itu meliputi 3 (tiga) ranah atau aspek, yaitu: 1) ranah kognitif (cognitive domain); 2) ranah afektif (affective domain); dan 3) ranah psikomotor (psychomotor domain).
Untuk mengungkap hasil belajar atau prestasi belajar pada ketiga ranah tersebut di atas diperlukan patokan-patokan atau indikator-indikator sebagai penunjuk bahwa seseorang telah berhasil meraih prestasi pada tingkat tertentu dari ketiga ranah tersebut. Dalam hal ini Muhibbin Syah (2008: 150) mengemukakan bahwa:
kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur.
Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai indikator-indikator prestasi belajar sangat diperlukan ketika seseorang akan menggunakan alat dan kiat evaluasi. Muhibbin Syah (2008: 150) mengemukakan bahwa urgensi pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai jenis-jenis prestasi belajar dan indikator-indikatornya adalah bahwa pemilihan dan pengunaan alat evaluasi akan menjadi lebih tepat, reliabel, dan valid.
Selanjutnya agar lebih mudah dalam memahami hubungan antara jenis-jenis belajar dengan indikator-indikatornya, berikut ini penulis sajikan sebuah tabel yang disarikan dari tabel jenis, indikator, dan cara evaluasi prestasi (Muhibbin Syah, 2008: 151).
Tabel 1
Jenis dan Indikator Prestasi Belajar
No Jenis Prestasi Belajar Indikator Prestasi Belajar
1 Ranah Cipta (Kognitif)
Pengamatan
Ingatan
Pemahaman
Penerapan
Analisis (pemeriksaan dan pemilahan secara teliti)
Sintesis (membuat panduan baru dan utuh) Dapat menunjukkan
Dapat membandingkan
Dapat menghubungkan
Dapat menyebutkan
Dapat menunjukkan kembali
Dapat menjelaskan
Dapat mendefinisikan dengan lisan sendiri
Dapat memberikan contoh
Dapat menggunakan secara tepat
Dapat menguraikan
Dapat mengklasifikasikan/memilah-milah
Dapat menghubungkan
Dapat menyimpulkan
Dapat menggeneralisasikan (membuat prinsip umum)
2 Ranah Rasa (Afektif)
Penerimaan
Sambutan
Apresiasi (sikap menghargai)
Internalisasi (pendalaman)
Karaktirasasi Mengingkari
Melembagakan atau meniadakan
Menjelmakan dalam pribadi dan perilaku sehari-hari)
3 Ranah Karsa (Psikomotor))
Keterampilan bergerak dan bertindak
Kecakapan kespresi verbal dan nonverbal Mengkoordinasikan gerak mata, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya
Mengucapkan
Membuat mimik dan gerakan jasmani
Untuk lebih spesifiknya, penulis akan akan menguraikan ketiga ranah kognitif, afektif dan psikomotorik sebagai yang terdapat dalam teori Bloom berikut:
a. Cognitive Domain (Ranah Kognitif)
Yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama adalah berupa Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6).
1) Pengetahuan (Knowledge), Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar dan sebagainya. Pengetahuan juga diartikan sebagai kemampuan mengingat akan hal-hal yang pernah dipelajaridan disimpan dalam ingatan.
2) Pemahaman (Comprehension), Pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk menangkap makna dan arti yang dari bahan yang dipelajari. Pemahaman juga dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dan sebagainya.
3) Aplikasi (Application), Aplikasi atau penerapan diartikansebagai kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus atau problem yang konkret dan baru. Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur,metode, rumus, teori, dan sebagainya di dalam kondisi kerja.
4) Analisis (Analysis), Analisis didefinisikan sebagai kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit.
5) Sintesis (Synthesis). Sintesis diartikan sebagai kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Sintesis satu tingkat di atas analisa. Seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur
atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yang dibutuhkan.
6) Evaluasi (Evaluation) Evaluasi diartikan sebagai kemampuan untik membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria
tertentu. Evaluasi dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
b. Affective Domain (Ranah Afektif)
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Tujuan pendidikan ranah afektif adalah hail belajar atau kemampuan yang berhubungan dengan sikap atau afektif. Taksonomi tujuan pendidikan ranah afektif terdiri dari aspek:
1) Penerimaan (Receiving/Attending), Penerimaan mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangsangan itu, seperti buku pelajaran atau penjelasan yang diberikan oleg guru.
2) Tanggapan (Responding), Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
3) Penghargaan (Valuing), Penghargaan atau penilaian mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu.mulai dibentuk suatu sikap menerima, menolak atau mengabaikan, sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dengan konsisten dengan sikap batin.
4) 4). Pengorganisasian (Organization),Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten. Pengorganisasian juga mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. Nilai- nilai yang diakui dan diterima ditempatkan pada suatu skala nilai mana yang pokok dan selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting.
5) Karakterisasi Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex), Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya. Karakterisasinya mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikin rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri.
c. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor)
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Alisuf Sabri dalam buku Psikologi Pendidikan menjelaskan, keterampilan ini disebut .motorik. karena keterampilan ini melibatkan secara langsung otot, urat dan persendian, sehingga keterampilan benar-benar berakar pada kejasmanian. Orang yang memiliki keterampiulan motorik, mampu melakukan serangkaian gerakan tubuh dalam urutan tertentu dengan mengadakan koordinasi gerakan-gerakan anggota tubuh secara terpadu. Ciri khas dari keterampilan motorik ini ialah adanya kemampuan Automatisme. yaitu gerakan-gerik yang terjadi berlangsung secara teratur dan berjalan dengan enak, lancar dan luwes tanpa harus disertai pikiran tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa hal itu dilakukan.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi dapat meramalkan kesuksesan prestasi belajar. Namun demikian pada beberapa kasus, IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin kesuksuksesan seseorang dalam belajar dan hidup bermasyarakat.
Sementara itu, Sunarto (2009) mendeskripsikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar dan mengklasifikasikannya menjadi dua bagian, yaitu: 1) faktor-faktor intern; dan 2) faktor-faktor ekstern.
Faktor-faktor intern, yakni faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi prestasi belajarnya. Di antara faktor-faktor intern yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang adalah antara lain: 1) kecerdasan/intelegensi; 2) bakat; 3) minat; 4) motivasi. Adapun faktor-faktor ekstern, yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang yang sifatnya berasal dari luar diri seseorang tersebut. Yang termasuk faktor-faktor ini adalah antara lain: 1) keadaan lingkungan keluarga; 2) keadaan lingkungan sekolah; dan 3) keadaan lingkungan masyarakat (Sunarto, 2009).
Kedua uraian pendapat tersebut di atas kurang merepresentasikan kesemua faktor yang dapat mempengaruhi proses dan prestasi belajar seseorang. Masih banyak faktor-faktor lain yang belum tercover di dalamnya. Oleh karenanya, untuk melengkapi kedua pendapat tersebut, penulis sajikan pandangan Muhibbin Syah mengenai hal tersebut. Menurut beliau, faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik di sekolah, secara garis besar dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu :
Faktor internal (faktor dari dalam diri peserta didik), yakni keadaan/kondisi jasmani atau rohani peserta didik. Yang termasuk faktor-faktor internal antara lain adalah:
a. Faktor fisiologis
Keadaan fisik yang sehat dan segar serta kuat akan menguntungkan dan memberikan hasil belajar yang baik. Tetapi keadaan fisik yang kurang baik akan berpengaruh pada siswa dalam keadaan belajarnya.
b. Faktor psikologis
Yang termasuk dalam faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi prestasi belajar adalah antara lain:
Intelegensi, faktor ini berkaitan dengan Intellegency Question (IQ) seseorang
Perhatian, perhatian yang terarah dengan baik akan menghasilkan pemahaman dan kemampuan yang mantap.
Minat, Kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Motivasi, merupakan keadaan internal organisme yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.
Bakat, kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yag akan datang.
c. Faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), yakni kondisi lingkungan sekitar peserta didik. Adapun yang termasuk faktor-faktor ini antara lain yaitu :
Faktor sosial, yang terdiri dari: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat
Faktor non sosial, yang meliputi keadaan dan letak gedung sekolah, keadaan dan letak rumah tempat tinggal keluarga, alat-alat dan sumber belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor tersebut dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta didik di sekolah.
Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang digunakan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran (Muhibin Syah, 2008: 139).
Dan untuk lebih memudahkan dalam memahami hubungan antara proses dan prestasi belajar dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, berikut ini penulis sajikan skema hubungan tersebut:
Gambar 1
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Prestasi Belajar
C. Iklim Sekolah dan Kaitannya Dengan Prestasi Belajar Siswa.
Proses belajar mengajar erat sekali kaitannya dengan lingkungan atau suasana dimana proses itu berlangsung. Meskipun prestasi belajar juga dipengaruhi oleh banyak aspek seperti gaya belajar, fasilitas yang tersedia, tapi pengaruh iklim sekolah masih sangat penting. Hal ini beralasan karena ketika para peserta didik belajar di sekolah, lingkungan sekolah terutama kelas, baik itu lingkungan fisik maupun non fisik kemungkinan mendukung mereka atau bahkan malah mengganggu mereka. Oleh karena itu, Hyman (1980) mengatakan bahwa iklim yang kondusif antara lain dapat mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik, (2) memperjelas pengalaman-pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik. Lebih lanjut, Moos dalam Walberg (1979) mengatakan bahwa iklim social mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan peserta didik, belajar, dan pertumbuhan/ perkembangan pribadi. Kedua pendapat itu sangat beralasan karena hal-hal tersebut di atas pada gilirannya akan mempengaruhi prestasi belajar peserta didik.
Iklim organisasi sekolah itu tidak muncul dengan sendirinya. Ia perlu diciptakan dan dibina agar dapat bertahan lama. Untuk menciptakan lingkungan belajar mengajar yang sehat dan produktif menurut Pidarta (1988: 178) haruslah ada kesempatan dan kemauan para profesional untuk :
1) Saling memberi informasi, ide, persepsi, dan wawasan.
2) Kerja sama dalam kelompok mereka. Kerja sama itu dapat saling memberi dan menerima tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas mereka sebagai pendidik.
3) Membuat para personalia pendidikan khususnya para pengajar sebagai masyarakat paguyuban di lembaga pendidikan.
4) Mengusahakan agar fungsi kepemimpinan dapat dilakukan secara bergantian, sehingga tiap orang mendapat kesempatan mengalami sebagai pemimpin untuk menunjukkan kemampuannya.
5) Menciptakan jaringan komunikasi yang memajukan ketergantungan para anggota satu dengan yang lain.
6) Perlu diciptakan situasi-situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan yang membuat para anggota tertarik pada kegiatan-kegiatan pengambilan \keputusan untuk kepentingan bersama.
7) Usahakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan menyerupai hidup dalam keluarga dan hilangkan situasi tegang.
8) Kalau ada permasalahan, berilah kesempatan orang atau kelompok yang paling bertalian dengan masalah itu menyelesaikan terlebih dahulu. Kalau mereka tidak bisa mengatasi baru dipecahkan bersama-sama.
9) Para pegawai yang baru diberi penjelasan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu dan menyelesaikan masalah.
10) Wujudkan tindakan dalam setiap kegiatan yang menggambarkan bahwa lembaga pendidikan adalah milik setiap warga paguyuban.
Usaha-usaha yang mengkreasikan iklim sekolah yang hangat tersebut dimulai oleh kepala sekolah atau para manajer lembaga pendidikan. Usaha-usaha tersebut juga perlu didukung oleh seluruh warga sekolah agar iklim sekolah yang hangat dapat tercapai dengan baik.
Iklim sekolah yang kondusif-akademik baik fisik maupun non fisik mrupakan landasan bagi penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan produktif. Oleh karena itu, sekolah perlu menciptakan iklim yang kondusif untuk menumbuhkembangkan semangat dan merangsang nafsu belajar peserta didik. Dengan iklim yang kondusif diharapkan tercipta suasana yang aman, nyaman, dan tertib, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan.
Iklim yang kondusif menurut Mulyasa (2004: 23) mencakup :
1) Lingkungan yang aman, nyaman dan tertib
2) Ditunjang oleh optimisme dan harapan warga sekolah
3) Kesehatan sekolah
4) Kegiatan-kegiatan yang berpusat pada perkembangan peserta didik
Seperti halnya iklim fisik, suasana kerja yang tenang dan menyenangkan juga akan membangkitkan kinerja para tenaga kependidikan. (Mulyasa 2004: 120). Untuk itu semua pihak sekolah harus mampu menciptakan hubungan kerja yang harmonis, serta menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan menyenangkan.
Walberg dalam Farley dan Gordon (1981) mengemukakan bahwa prestasi belajar peserta didik ditentukan oleh banyak factor seperti usia, kemampuan dan motivasi, jumlah dan mutu pengajaran, lingkungan alamiah di rumah dan sekolah. Disamping itu, Berliner (dalam Walberg, 1979) kelihatannya mendukung Walberg dengan mengatakan bahwa iklim sekolah ditandai dengan kehangatan, demokrasi, dan keramahtamahan dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi prestasi belajar peserta didik.
Ada beberapa penelitian lain juga membuktikan bahwa iklim sekolah ikut mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Sijde (1988) melakukan penelitian terhadap 558 peserta didik kelas 2 sekolah menengah pertama yang belajar Matematika di Belanda dengan menggunakan Dutch Classroom Climate Questionnaire (DCCQ). Salah satu indicator iklim kelas itu, ‘ pengawasan guru terhadap peserta didik’ mempunyai korelasi yang signifikan dengan prestasi belajar peserta didik.
Lebih jauh, Fraser (1986) mendokumentasikan lebih dari 45 penelitian yang membuktikan bahwa adanya hubungan yang positif antara iklim sekolah dengan prestasi belajar peserta didik. Penelitian-penelitian itu menggunakan berbagai macam alat ukur iklim kelas seperti Learning Environment Inventory (LEI), Classroom Environment Scales (CES), Individualized Classroom Environment Questionnaire (ICEQ). My Class Inventory (MCI) dan instrumen-instrumen yang lain di beberapa Negara baik Negara-negara maju seperti India, Jamaica, Brazil dan Thailand.
Kesimpulan dari beberapa studi tersebut di atas adalah bahwa prestasi belajar peserta didik juga ditentukan oleh kualitas iklim sekolah dimana mereka belajar. Implikasi lebih lanjut dari studi-studi ini adalah bahwa prestasi belajar peserta didik dapat ditingkatkan dengan menciptakan iklim sekolah yang kondusif dan lebih baik.
Karena iklim sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa maka hendaknya sekolah mampu membuat atau mengkreasikan suasananya sehingga selalu menyenangkan peserta didik dan dapat menumbuhkan kegairahan tuk belajar dan berakhir pada peningkatan prestasi belajarnya baik secara kognitif, efektif maupun secara psikomotorik dapat dicapai secara maksimal.
BAB III
KESIMPULAN
Iklim sekolah nerupakan merupakan satu kajian yang masih kurang memperoleh perhatian yang maksimal dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran dan pendidikan di Indonesia, padahal langkah-langkah perbaikan iklim sekolah yang diajukan para ahli iklim sekolah mempunyai jiwa pengambilan keputusan bersama antara guru dan kepala sekolah.
Iklim sekolah diyakini berkorelasi positif dengan perubahan tingkah laku dan prestasi hasil pembelajaran siswa. Dengan kata lain, iklim sekolah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas pembelajaran di sekolah. Namun demikian, pada umumnya guru dan kepala sekolah belum mengetahui makna dan hakikat serta dampak iklim sekolah terhadap proses belajar mengajar.
Melalui iklim sekolah dapat dikembangkan aspek-aspek demokrasi dalam pendidikan. Hal ini tercermin dalam kegiatan seperti pemberian penilaian awal, perlakuan umpan balik, pelaksanaan refleksi dan diskusi, perlakuan perbaikan, dan pemberian penilaian ulang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar