Kamis, 09 Januari 2025

Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

 

Dari beberapa sumber dapat kite temukan bahwa kurikulum dapat dimaknai dalam tiga konteks, yaitu kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai perencanaan program belajar.Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai seat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan (Saylor, Alexander, Lewis, 1981). Kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran sering dihubungkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah; sedangkan ijazah itu sendiri menggambarkan. kemampuan. Oleh karena itu, hanya orang yang telah memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu yang akan memperoleh ijazah. Pengertian kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang dikemukakan oleh Robert M. Hutchins (1936) yang menyatakan: “The curriculum should include grammar, reading, thetoric and logic, and mathematic, and addition at the scondary level introduce the great-, kooks of the western world”. Sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, dalam proses perencanaannya kurikulum memiliki ketentuan sebagai berikut:

  1. Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut menentukan mata pelajaran apa yang harus diajarkan pada siswa.
  2. 2

     
    Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan lain sebagainya.
  3. Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran, semacam menggunakan pendekatan ekspositori.

Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstra kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara, dan lain sebagainya, itu merupakan hagian dari kurikulum, karena memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah. Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, (Ii antaranya adalah Hollis L. Caswell dan Doak S. Campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah: "All of the experiences children have under the guidance of teacher".

Lebih jelas lagi dikemukakan oleh H.H. Giles. ST, McCutchen, dan A.N. Zechiel:

"The curriculum... the total experience with which the school deals in educating young people".

Pendapat-pendapat di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti Romine (1945) yang mengatakan:

"Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not".

 

Pendapat yang hampir sama diberikan oleh Harold Alberty (1965). Bagi dia kurikulum itu adalah:

"All of the activities that are provided for the students by the school".

Demikian juga Saylor dan Alexander (1956) yang menyatakan:

"The curriculum is the sum total of school's efforts to influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of school ".

Bagi mereka, kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata pelajaran yang harus dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh usaha sekolah untuk memengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar kelas atau bahkan di luar sekolah. Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pedoman belajar.

Kurikulum sebagai rencana atau program belajar, dikemukakan oleh Hilda Taba (1962). Taba mengatakan:

"A curriculum is a plan for learning: therefore, what is known about the learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of a curriculum ".

Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pem­belajaran, tampaknya diikuti pula oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adala sebuah perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.

Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus t I itempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan; di samping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan. Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan i i musan kurikulum menurut undang-undang pendidikan kita yang dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, mengartikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran iintuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003, Bab 1 Pasal 1 Ayat 19).

Namun demikian, apalah artinya sebuah perangkat perencanaan tanpa implementasi di lapangan. Apakah artinya rencana atau program tanpa diimplementasikan dalam tindakan nyata? Apakah sebuah rencana dapat menghasilkan sesuatu tanpa implementasi? Tentu tidak, sebuah rencana akan memiliki makna, manakala ada tindakan sesuai dengan rencana itu. Oleh karena itu, dalam konteks perencanaan itu sebenarnya terkadung makna implementasi, artinya apa yang dilakukan siswa semestinya tidak keluar dari program yang telah direncanakan. Sebab, pendidikan sebagai suatu proses yang bertujuan, maka harus didesain agar implementasinya tidak melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam dokumen kurikulum 2004 dirumuskan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan (Depdiknas 2002).

Dari rumusan di atas, tampak jelas bahwa konsep KBK bertumpu pada konsep seperti yang dikemukakan Hilda Taba, yaitu kurikulum sebagai suatu rencana. Ini berarti dalam KBK yang lebih ditekankan adalah kompetensi atau kemampuan apa yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu; sedangkan masalah bagaimana cara mencapainya, secara operasional diserahkan kepada guru di lapangan. Dalam KBK tidak secara khusus dijelaskan apa yang harus dilakukan guru untuk mencapai kompetensi tertentu. KBK hanya memberikan petunjuk-petunjuk secara umum bagaimana seharusnya pola pembelajaran diterapkan oleh setiap guru.

Yang jadi masalah selanjutnya adalah, apa yang dimaksud dengan kompetensi dan hasil belajar itu?

McAshan (1981:45) mengemukakan bahwa kompetensi itu adalah:

"...A konwledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which became part of his or her being to the exent he or she can satisfatorily perform particular cognitive, afective, and psycho­motor behaviors".

Menurut McAshan, kompetensi itu adalah suatu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai perilaku kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.

Dari pendapat di atas, maka jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan apresiasi. Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Gordon (1988) menjelaskan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi sebagai berikut:

  1. Pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan untuk melakukan sesuatu, misalnya dapat melakukan proses berpikir ilmiah untuk memecahkan suatu persoalan manakala ia memiliki pengetahuan yang memadai tentang langkah-langkah berpikir ilmiah.
  2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu. Misalnya siswa hanya mungkin dapat memecahkan masalah ekonorni manakala ia memahami konsep­konsep ekonomi.
  3. Keterampilan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan. Misalnya siswa hanya mungkin dapat melakukan pengamatan tentang mikroorganisme manakala ia memiliki keterampilan bagaimana cara menggunakan microscope sebagai alat.
  4. Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya. Misalnya standar perilaku siswa dalam melaksanakan proses berpikir seperti keterbukaan, kejujuran, demokratis, kasih sayang, dan lain sebagainya.
  5. Sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar, misalnya perasaan senang atau tidak senang terhadap munculnya aturan barn; reaksi terhadap diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi; dan lain sebagainya.
  6. Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan. Misalnya minat untuk mempelajari dan memperdalam materi pelajaran.

Dari uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambarkan dalam pola perilaku. Artinya seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, apabila ia bukan hanya sekadar tabu tentang sesuatu itu, akan tetapi bagaimana implikasi dan implementasi pengetahuan itu dalam pola perilaku atau tindakan yang ia lakukan. Dengan demikian, maka kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Dari pengertian kompetensi seperti yang telah dijelaskan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa dalam KBK bukan hanya sekadar agar siswa memahami materi pelajaran untuk mengembangkan kemampuan intelektual, saja, akan tetapi bagaimana pengetahuan yang dipahaminya itu dapat mewarnai perilaku yang ditampilkan dalam kehidupannya.

Sekarang kompetensi apa yang harus dicapai oleh KBK terdapat 4 kompetensi dasar yang harus dimiliki sesuai dengan tuntutan KBK:

  1. Kompetensi akademik, artinya peserta didik harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi tantangan dan persoalan hidup secara independent.
  2. Kompetensi okupasional, artinya peserta didik harus memiliki kesiapan dan mampu beradaptasi terhadap dunia kerja.
  3. Kompetensi kultural, artinya peserta didik harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai masyarakat yang pluralistik.
  4. Kompetensi temporal, artinya peserta didik tetap eksis dalam menjalani kehidupannya, serta mampu memanfaatkan ketiga kemampuan dasar yang telah dimiliki sesuai dengan perkembangan zaman.

 

LATAR BELAKANG MUNCULNYA KBK

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi kurikulum. Kemunculan KBK wiring dengan munculnya semangat reformasi pendidikan, diawali dengan munculnya kebijakan pemerintah di antaranya lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; serta lahirnya Tap MPR No. IV/MPR/ 1999 tentang Arah Kebijakan Pendidikan di Masa Depan.

Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang diikuti oleh kebijakan perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke desentralistik. Bila sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangan untuk mengelola berada pada pemerintahan daerah kota/kabupaten. Kelahiran berbagai perangkat kebijakan pemerintah seperti di atas, didorong oleh perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam dimensi global. Dalam perspektif global, yang ditandai dengan semakin "mengecilnya" dunia sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terjadinya fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Berbagai macam tantangan muncul kepermukaan. Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan sekarang menjadi kenyataan. Dapat dipastikan, hanya individu yang mampu bersaing yang akan dapat berbicara dalam era globalisasi ini. Untuk immipu bersaing itu setiap individu harus memiliki kompetensi yang handal dalam berbagai bidang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan.

Di samping itu, rendahnya kualitas pendidikan merupakan faktor pendorong lain perlunya perubahan kurikulum dalam konteks reformasi pendidikan. Misalkan hasil laporan Bank Dunia (1992) berdasarkan studi IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di beberapa negara Asia, menunjukkan keterampilan membaca siswa kelas IV SD kita, berada pada peringkat terendah. Anak-anak SD kita ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD adalah Hong Kong 75,5, Singapura 74,0, Thailand 65,1, Filipina 52,6, dan Indonesia 51,7. Demikian juga dalam pelajaran matematika dan IPA pada tingkat SUP, Indonesia hanya mampu berada diurutan 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika dari 38 negara peserta.

Ditinjau dari proses pembelajaran, mungkin Anda setuju, bahwa kurikulum yang lebih mengedepankan sisi akademik, seperti yang berlaku sekarang ternyata kurang memerhatikan perkembangan sikap dan moral siswa. Semua mata pelajaran menekankan kepada penguasaan materi pembelajaran tanpa membedakan hakikat mata pelajaran itu sendiri. Mata pelajaran Agama dan PMP misalnya yang semestinya menekankan aspek nilai dan sikap, ternyata lebih banyak memberikan pengetahuan akademik yang harus dihafal siswa. Atas dasar hal tersebut di atas, dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, mengantisipasi perubahan-perubahan global pada era persaingan bebas, serta tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, maka sistem pendidikan perlu diarahkan pada pendidikan yang demokratis yang mampu melayani setiap perbedaan dan kebutuhan individu (berdiversifikasi) serta mampu membekali siswa dengan sejumlah kemampuan (kompetensi) yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan.

Melalui iklim yang demikian, pendidikan diharapkan mampu melahirkan generasi yang mandiri, kritis, rasional, cerdas, kreatif serta memiliki kesabaran dan mampu bersaing, siap menghadapi berbagai macam tantangan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yang dipandang sudah tidak efektif dan tidak mampu lagi mempersiapkan anak didik untuk dapat bersaing dengan bangsa lain di dunia. Salah satu perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan kurikulum sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar