Dari
beberapa sumber dapat kite temukan bahwa kurikulum dapat dimaknai dalam tiga
konteks, yaitu kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran, kurikulum sebagai
pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai perencanaan program belajar.Pengertian
kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta
didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai seat ini banyak mewarnai
teori-teori dan praktik pendidikan (Saylor, Alexander, Lewis, 1981). Kurikulum
sebagai sejumlah mata pelajaran sering dihubungkan dengan usaha untuk
memperoleh ijazah; sedangkan ijazah itu sendiri menggambarkan. kemampuan. Oleh
karena itu, hanya orang yang telah memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu
yang akan memperoleh ijazah. Pengertian kurikulum sebagai mata dan isi
pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang dikemukakan oleh Robert M.
Hutchins (1936) yang menyatakan: “The
curriculum should include grammar, reading, thetoric and logic, and mathematic,
and addition at the scondary level introduce the great-, kooks of the western
world”. Sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, dalam
proses perencanaannya kurikulum memiliki ketentuan sebagai berikut:
- Perencanaan
kurikulum biasanya menggunakan judgment
ahli bidang studi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan
faktor pendidikan, ahli tersebut menentukan mata pelajaran apa yang harus
diajarkan pada siswa.
-
2
- Perencanaan
dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan
strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi
pelajaran, semacam menggunakan pendekatan ekspositori.
Pengertian
kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah
seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal
kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud
dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstra
kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab
dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak mengerjakan
pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara,
dan lain sebagainya, itu merupakan hagian dari kurikulum, karena memang
pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah. Banyak tokoh
yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, (Ii antaranya adalah Hollis L.
Caswell dan Doak S. Campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah:
"All of the experiences children
have under the guidance of teacher".
Lebih
jelas lagi dikemukakan oleh H.H. Giles. ST, McCutchen, dan A.N. Zechiel:
"The curriculum... the total experience with which the school deals in
educating young people".
Pendapat-pendapat
di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti Romine
(1945) yang mengatakan:
"Curriculum is interpreted to mean all of the
organized courses, activities, and experiences which pupils have under
direction of the school, whether in the classroom or not".
Pendapat
yang hampir sama diberikan oleh Harold Alberty (1965). Bagi dia kurikulum itu
adalah:
"All of the activities that are provided for the
students by the school".
Demikian
juga Saylor dan Alexander (1956) yang menyatakan:
"The curriculum is the sum total of school's efforts
to influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of
school ".
Bagi
mereka, kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata pelajaran yang harus
dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh usaha sekolah untuk memengaruhi
siswa belajar baik di dalam maupun di luar kelas atau bahkan di luar sekolah.
Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa,
maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen
kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses
pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi
keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target
pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai
seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai
produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa
sebagai pedoman belajar.
Kurikulum
sebagai rencana atau program belajar, dikemukakan oleh Hilda Taba (1962). Taba
mengatakan:
"A curriculum is a plan for learning: therefore, what
is known about the learning process and the development of the individual has
bearing on the shaping of a curriculum ".
Konsep
kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya diikuti
pula oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B.
Othanel Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum
pada dasarnya adala sebuah perencanaan atau program pengalaman siswa yang
diarahkan sekolah.
Sebagai
suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan
tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus t I itempuh beserta alat evaluasi
untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan; di samping itu tentu saja
berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap
pencapaian tujuan. Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan
dengan i i musan kurikulum menurut undang-undang pendidikan kita yang dijadikan
sebagai acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan, yaitu Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, mengartikan kurikulum sebagai
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
iintuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003, Bab 1 Pasal 1
Ayat 19).
Namun
demikian, apalah artinya sebuah perangkat perencanaan tanpa implementasi di
lapangan. Apakah artinya rencana atau program tanpa diimplementasikan dalam
tindakan nyata? Apakah sebuah rencana dapat menghasilkan sesuatu tanpa
implementasi? Tentu tidak, sebuah rencana akan memiliki makna, manakala ada
tindakan sesuai dengan rencana itu. Oleh karena itu, dalam konteks perencanaan
itu sebenarnya terkadung makna implementasi, artinya apa yang dilakukan siswa
semestinya tidak keluar dari program yang telah direncanakan. Sebab, pendidikan
sebagai suatu proses yang bertujuan, maka harus didesain agar implementasinya
tidak melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam
dokumen kurikulum 2004 dirumuskan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan
perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang
harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan
pemberdayaan sumber daya pendidikan (Depdiknas 2002).
Dari
rumusan di atas, tampak jelas bahwa konsep KBK bertumpu pada konsep seperti
yang dikemukakan Hilda Taba, yaitu kurikulum sebagai suatu rencana. Ini berarti
dalam KBK yang lebih ditekankan adalah kompetensi atau kemampuan apa yang harus
dimiliki oleh setiap siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran
tertentu; sedangkan masalah bagaimana cara mencapainya, secara operasional
diserahkan kepada guru di lapangan. Dalam KBK tidak secara khusus dijelaskan
apa yang harus dilakukan guru untuk mencapai kompetensi tertentu. KBK hanya
memberikan petunjuk-petunjuk secara umum bagaimana seharusnya pola pembelajaran
diterapkan oleh setiap guru.
Yang
jadi masalah selanjutnya adalah, apa yang dimaksud dengan kompetensi dan hasil
belajar itu?
McAshan (1981:45) mengemukakan
bahwa kompetensi itu adalah:
"...A konwledge, skills, and abilities or capabilities
that a person achieves, which became part of his or her being to the exent he
or she can satisfatorily perform particular cognitive, afective, and psychomotor
behaviors".
Menurut
McAshan, kompetensi itu adalah suatu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
atau kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya
sehingga mewarnai perilaku kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
Dari
pendapat di atas, maka jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan,
sikap, dan apresiasi. Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul
suatu kompetensi tertentu.
Sejalan dengan pendapat tersebut,
Gordon (1988) menjelaskan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi
sebagai berikut:
- Pengetahuan
(knowledge), yaitu pengetahuan
untuk melakukan sesuatu, misalnya dapat melakukan proses berpikir ilmiah untuk
memecahkan suatu persoalan manakala ia memiliki pengetahuan yang memadai
tentang langkah-langkah berpikir ilmiah.
- Pemahaman
(understanding), yaitu kedalaman
kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu. Misalnya siswa hanya
mungkin dapat memecahkan masalah ekonorni manakala ia memahami konsepkonsep
ekonomi.
- Keterampilan
(skill), adalah sesuatu yang
dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan. Misalnya
siswa hanya mungkin dapat melakukan pengamatan tentang mikroorganisme
manakala ia memiliki keterampilan bagaimana cara menggunakan microscope sebagai alat.
- Nilai
(value), adalah suatu standar
perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menjadi bagian
dari dirinya, sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya. Misalnya
standar perilaku siswa dalam melaksanakan proses berpikir seperti
keterbukaan, kejujuran, demokratis, kasih sayang, dan lain sebagainya.
- Sikap
(attitude), yaitu perasaan atau
reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar, misalnya perasaan
senang atau tidak senang terhadap munculnya aturan barn; reaksi terhadap
diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi; dan lain sebagainya.
- Minat
(interest), yaitu kecenderungan
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan. Misalnya minat
untuk mempelajari dan memperdalam materi pelajaran.
Dari
uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan
tetapi sebuah kompetensi harus tergambarkan dalam pola perilaku. Artinya
seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, apabila ia bukan hanya
sekadar tabu tentang sesuatu itu, akan tetapi bagaimana implikasi dan
implementasi pengetahuan itu dalam pola perilaku atau tindakan yang ia lakukan.
Dengan demikian, maka kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak.
Dari
pengertian kompetensi seperti yang telah dijelaskan di atas, maka dapat kita
simpulkan bahwa dalam KBK bukan hanya sekadar agar siswa memahami materi
pelajaran untuk mengembangkan kemampuan intelektual, saja, akan tetapi
bagaimana pengetahuan yang dipahaminya itu dapat mewarnai perilaku yang
ditampilkan dalam kehidupannya.
Sekarang
kompetensi apa yang harus dicapai oleh KBK terdapat 4 kompetensi dasar yang
harus dimiliki sesuai dengan tuntutan KBK:
- Kompetensi
akademik, artinya peserta didik harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam mengatasi tantangan dan persoalan hidup secara
independent.
- Kompetensi
okupasional, artinya peserta didik harus memiliki kesiapan dan mampu
beradaptasi terhadap dunia kerja.
- Kompetensi
kultural, artinya peserta didik harus mampu menempatkan diri
sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai masyarakat yang
pluralistik.
- Kompetensi
temporal, artinya peserta didik tetap eksis dalam menjalani kehidupannya,
serta mampu memanfaatkan ketiga kemampuan dasar yang telah dimiliki sesuai
dengan perkembangan zaman.
LATAR BELAKANG MUNCULNYA KBK
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK), dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi
kurikulum. Kemunculan KBK wiring dengan munculnya semangat reformasi
pendidikan, diawali dengan munculnya kebijakan pemerintah di antaranya lahirnya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang No.
25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom; serta lahirnya Tap MPR No. IV/MPR/ 1999 tentang Arah Kebijakan
Pendidikan di Masa Depan.
Pemberlakuan
undang-undang tersebut menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan
demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang diikuti oleh kebijakan
perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke
desentralistik. Bila sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang
pusat, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangan untuk mengelola
berada pada pemerintahan daerah kota/kabupaten. Kelahiran berbagai perangkat
kebijakan pemerintah seperti di atas, didorong oleh perubahan dan tuntutan
kebutuhan masyarakat dalam dimensi global. Dalam perspektif global, yang
ditandai dengan semakin "mengecilnya" dunia sebagai akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terjadinya fenomena
perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Berbagai macam tantangan muncul
kepermukaan. Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan sekarang menjadi kenyataan.
Dapat dipastikan, hanya individu yang mampu bersaing yang akan dapat berbicara
dalam era globalisasi ini. Untuk immipu bersaing itu setiap individu harus
memiliki kompetensi yang handal dalam berbagai bidang sesuai dengan minat,
bakat, dan kemampuan.
Di
samping itu, rendahnya kualitas pendidikan merupakan faktor pendorong lain
perlunya perubahan kurikulum dalam konteks reformasi pendidikan. Misalkan hasil
laporan Bank Dunia (1992) berdasarkan studi IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement)
di beberapa negara Asia, menunjukkan keterampilan membaca siswa kelas IV SD
kita, berada pada peringkat terendah. Anak-anak SD kita ternyata hanya mampu
menguasai 30% dari materi bacaan. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD
adalah Hong Kong 75,5, Singapura 74,0, Thailand 65,1, Filipina 52,6, dan
Indonesia 51,7. Demikian juga dalam pelajaran matematika dan IPA pada tingkat
SUP, Indonesia hanya mampu berada diurutan 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika
dari 38 negara peserta.
Ditinjau
dari proses pembelajaran, mungkin Anda setuju, bahwa kurikulum yang lebih
mengedepankan sisi akademik, seperti yang berlaku sekarang ternyata kurang
memerhatikan perkembangan sikap dan moral siswa. Semua mata pelajaran
menekankan kepada penguasaan materi pembelajaran tanpa membedakan hakikat mata
pelajaran itu sendiri. Mata pelajaran Agama dan PMP misalnya yang semestinya
menekankan aspek nilai dan sikap, ternyata lebih banyak memberikan pengetahuan
akademik yang harus dihafal siswa. Atas dasar hal tersebut di atas, dalam
rangka melaksanakan otonomi daerah, mengantisipasi perubahan-perubahan global
pada era persaingan bebas, serta tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya teknologi informasi, maka sistem pendidikan perlu diarahkan
pada pendidikan yang demokratis yang mampu melayani setiap perbedaan dan
kebutuhan individu (berdiversifikasi) serta mampu membekali siswa dengan
sejumlah kemampuan (kompetensi) yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan.
Melalui
iklim yang demikian, pendidikan diharapkan mampu melahirkan generasi yang
mandiri, kritis, rasional, cerdas, kreatif serta memiliki kesabaran dan mampu
bersaing, siap menghadapi berbagai macam tantangan. Untuk kepentingan tersebut
diperlukan perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yang
dipandang sudah tidak efektif dan tidak mampu lagi mempersiapkan anak didik
untuk dapat bersaing dengan bangsa lain di dunia. Salah satu perubahan tersebut
berkaitan dengan perubahan kurikulum sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar