Kamis, 16 Oktober 2025

Jejak yang Patah

 


Jalan setapak itu masih sama. Dilingkupi lumut dan diapit pohon pinus yang menjulang, menjanjikan ketenangan yang dulu pernah kudapatkan bersamamu. Namun, kali ini, udara terasa lebih dingin, dan setiap langkahku di atas kerikil becek terasa membawa beban yang terlalu berat.

Aku kembali ke tempat ini, ke hutan pinus di kaki bukit yang menjadi saksi bisu setiap tawa, setiap janji, dan setiap rencana masa depan yang kita ukir. Kita menyebutnya, “Tempat di mana mimpi kita tidak akan pernah mati.”

Aku berhenti di sebuah batu datar besar, tempat kita sering duduk untuk melihat matahari terbit. Aku menyentuh permukaannya yang dingin. Seharusnya ada jejak. Jejak sepatu kita yang sengaja kita cetak dalam lumpur di samping batu ini—sebagai tanda, sebagai pengingat, bahwa kita pernah ada dan akan selalu kembali.

Aku mencari. Menyingkirkan ranting-ranting kecil, mengorek sedikit tanah. Dan di sanalah ia. Bukan sepasang, tapi hanya satu. Jejak sepatuku.

Jejakmu, yang dulu berada tepat di sampingnya, kini telah hilang. Terhapus, tertutup rapat oleh lapisan tanah yang baru, oleh dedaunan yang gugur, dan oleh waktu yang terus berjalan tanpa menoleh.

"Kau berjanji tidak akan pernah pergi, Senja," bisikku pada udara kosong, suaraku serak.

Aku ingat hari itu. Hari ketika kau memilih jalan lain, jalan yang berbelok tajam ke arah kota, menjauh dari kesunyian pinus yang selalu kau cintai. Kau bilang, "Mimpi di kota lebih besar, Aksa. Kau bisa menyusulku."

Aku memilih tinggal. Aku memilih menjaga jejak itu. Bagiku, jejak itu bukan sekadar cetakan sepatu; itu adalah jembatan yang menghubungkan jiwaku dengan jiwamu, janji yang terbuat dari lumpur dan waktu. Setiap pagi, aku akan melihatnya, memastikan lumpur di sekitarnya tidak mengering, tidak retak. Aku merawatnya.

Tapi aku tidak tahu, rupanya, di saat aku sibuk merawat jejak di sini, kau sedang sibuk menciptakan jejak-jejak baru di jalanan aspal kota yang bising. Jejak yang semakin jauh, semakin cepat, hingga akhirnya melupakan jalan setapak ini.

"Kau menghapusnya, bukan?" tanyaku lagi, kali ini lebih keras, nyaris seperti ratapan.

Mungkin kau tidak sengaja. Mungkin, kau hanya lupa bahwa ada satu jejak kaki yang tertinggal dan menunggumu di sini. Tapi bagi orang yang mencintai dengan sepenuh hati, melupakan adalah bentuk penghapusan yang paling kejam.

Aku duduk di atas batu dingin itu. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencium aroma sisa-sisa dirimu yang mungkin masih tersangkut di antara pepohonan. Yang kudapatkan hanyalah aroma tanah basah dan kesepian.

Aku menyadari satu hal. Jejakku, yang tersisa utuh, kini terlihat konyol dan menyedihkan. Ia adalah jejak yang patah, kehilangan pasangannya. Ia tidak lagi menjadi lambang persatuan, melainkan simbol kebodohanku yang percaya pada keabadian.

Aku memejamkan mata. Sudah waktunya.

Dengan tangan gemetar, aku mengambil segenggam kerikil. Perlahan, sangat perlahan, aku menaburkan kerikil itu di atas jejakku sendiri, di atas satu-satunya jejak yang tersisa.

Satu per satu, butiran kerikil itu jatuh, menutupi lekuk sepatu, menghapus bentuk, dan menghilangkan bekas.

Ketika aku membuka mata, tidak ada lagi jejak di sana. Hanya batu datar, tanah rata, dan kesunyian yang sempurna.

"Sekarang, tidak ada yang tersisa," bisikku, dan anehnya, kata-kata itu terasa begitu membebaskan.

Aku berdiri, membalikkan badan, dan mulai berjalan menuruni bukit. Langkahku kali ini terasa ringan, tanpa beban janji yang harus dijaga. Aku tidak lagi berjalan di atas jejak yang patah. Aku menciptakan jalan baru. Dan di jalan itu, aku belajar bahwa terkadang, satu-satunya cara untuk menyembuhkan patah hati adalah dengan berani menghapus sisa-sisa terakhir dari kenangan.

Jejak yang hilang tidak akan pernah kembali. Tapi langkah yang baru, selalu menanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar