Minggu, 12 Oktober 2025

Senja di Jendela Bekas Kita


Aku tidak pernah membenci apapun sekuat aku membenci senja. Dulu, ia adalah palet warna favorit kita, tempat kita mengukir janji, berpelukan di bangku kayu ini. Sekarang, ia adalah cermin yang memantulkan semua yang hilang.

Sore ini, Senja datang lagi. Tidak dengan kelembutan, tapi dengan keangkuhan jingga yang terasa mengejek. Aku duduk di bangku yang sama, di teras ini, tempat kau selalu memintaku untuk tidak beranjak sebelum warna terakhir di langit menghilang. Kau bilang, "Senja itu jujur, ia tahu kapan harus pergi."

Ironis, karena kau sendiri tidak seberani senja.

Senja mulai memamerkan lukisannya di barat. Semburat oranye, merah marun, dan ungu berbaur sempurna, sama seperti hari itu. Hari di mana kita bertengkar hebat, dan kau pergi sambil membanting pintu—satu-satunya hal yang berhasil kau lakukan dengan berani.

Aku ingat sekali, aku mengejar hingga ke ambang pintu. Langit sedang terbakar oleh senja terindah yang pernah kulihat. Aku berharap keindahannya akan menahanmu, membuatmu menoleh dan melihat betapa indahnya hal-hal yang akan kau tinggalkan.

Tapi kau tidak menoleh.

Jingga itu membingkai punggungmu yang menjauh. Ia menyinari debu yang terangkat dari sepatu kulitmu. Dan saat kau menghilang di balik tikungan, warna merah marun itu terasa seperti darah, mewarnai janji-janji kita yang luruh.

Setiap lapisan warna senja sore ini terasa seperti lapisan luka yang kembali dikupas.

Kuning keemasan: Mengingatkanku pada tawa renyah kita, saat semua terasa ringan dan tak ada beban. Terlalu terang, terlalu menyilaukan.

Oranye menyala: Membakar kembali memori ciuman pertama kita di bawah langit yang sama. Hangat, tapi kini hanya menyisakan bara.

Merah marun pekat: Inilah yang paling menyakitkan. Warna ini adalah bayanganmu yang terakhir kulihat, berdiri di atas puing-puing hati yang kau jatuhkan. Ia adalah akhir yang tidak pernah kita bicarakan.

Senja, yang seharusnya damai, kini menjelma menjadi pengkhianat. Ia bersekongkol dengan waktu, datang setiap hari hanya untuk menunjukkan padaku bahwa sekali lagi, aku sendiri di tempat yang dulu adalah "kita".

Aku tahu, sebentar lagi ia akan memudar, menyerahkan panggung pada malam yang gelap dan dingin. Dan di situlah letak pelajaran yang paling pahit: Senja selalu pergi, dan ia mengajarkanku bahwa orang yang paling kita cintai pun bisa pergi tanpa mau berbalik, meninggalkan kita sendirian dengan keindahan yang sudah ternoda.

Ketika warna terakhir benar-benar hilang, hanya menyisakan kegelapan yang menenangkan, aku berbisik pada angin, "Selamat tinggal, dan jangan datang lagi dengan membawa wajahnya."

Senja tak menjawab. Ia hanya meninggalkan dingin yang menggigil, dan rasa sakit yang terasa abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar