Selasa, 10 Desember 2024

Hubungan Intervensi Terapi Wicara Dengan Kemampuan Bahasa Anak Gangguan Pendengaran


Terapi wicara adalah tindakan yang dilakukan oleh terapis wicara untuk membantu seseorang yang mengalami gangguan bahasa bicara dan menelan, tindakan terapi wicara untuk membantu anak dengan gangguan pendengaran disebut dengan intervensi, intervensi adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan atau mengubah

gangguan tertentu, aspek perkembangan anak prasekolah yang harus tercapai salah

satunya adalah perkembangan kemampuan bahasa yang salah satunya bahasa

reseptif. Oleh karena itu penting bagi anak gangguan pendengaran untuk memahami

bahasa reseptif, bahasa reseptif berguna untuk memahami situasi dan kondisi sekitar.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memberi gambaran tentang

Hubungan Intervensi Terapi Wicara Dengan Kemampuan Bahasa Anak Gangguan

Pendengaran. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan

menggunakan desain penelitian ini adalah cross sectional. Teknik pengambilan sampel

dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan menggunakan sampel sebanyak 30 responden anak usia 4 tahun dan 4 tahun 11 bulan di Komunitas Difabel Dengar . Hasil: Pada hasil uji spearman rank diperoleh hasil nilai ρ sebesar 0.000 atau nilai ρ < 0.05, memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0.724 yang berada pada kategori kuat dan memiliki arah korelasi yang searah atau semakin meningkat. Kesimpulan: Adanya Hubungan antara intervensi terapi wicara dengan kemampuan bahasa reseptif anak gangguan pendengaran usia 4 tahun sampai 4 tahun 11 bulan, sering mendapatkan intervensi terapi wicara maka akan semakin bagus kemampuan bahasa reseptif anak dengan gangguan pendengaran.


Terapi Anak Terlambat Bicara


Terapi wicara adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gangguan bahasa, wicara dan suara yang bertujuan untuk digu- nakan sebagai landasan membuat diagnosis dan penanganan. Dalam perkembangannya terapi wicara memiliki cakupan penger- tian yang lebih luas dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan proses berbicara, termasuk di dalamnya adalah proses menelan, gangguan irama/kelancaran dan gangguan neuromotor organ artikulasi (articulation) lainnya.

Terapis wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan terapi wicara baik di dalam maupun luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Terapis wicara memiliki tugas, tanggung jawab, kewenangan serta memi- liki hak secara penuh untuk melaksanakan pelayanan terapi wicara secara profesional di sarana pelayanan kesehatan.

Prosedur kerja terapi wicara secara lebih terperinci diuraikan sebagai berikut: 1) Asesmen, bertujuan untuk mendapatkan data awal sebagai bahan yang harus dikaji dan dianalisa untuk mem- buat program selanjutnya. Asesmen ini meliputi tiga cara, yaitu melalui anamnesa, observasi, dan melakukan tes, di samping itu juga diperlukan data penunjang lainnya seperti hasil pemeriksaan dari ahli lain. 2) Diagnosis dan prognosis, setelah terkumpul data, selanjutnya data tersebut digunakan sebagai bahan untuk mene- tapkan diagnosis dan jenis gangguan/gangguan untuk membuat prognosis tentang sejauh mana kemajuan optimal yang bisa dicapai oleh penderita. 3) Perencanaan terapi wicara, perenca- naan terapi wicara ini secara umum terdiri dari: (a) Tujuan dan program (jangka panjang, jangka pendek dan harian), (b) Peren- canaan metode, teknik, frekuensi dan durasi, (c) Perencanaan penggunaan alat, (d) Perencanaan rujukan (jika diperlukan), (e) Perencanaan evaluasi. 4) Pelaksanaan terapi wicara, pelaksanaan terapi harus mengacu pada tujuan, teknik/metode yang digunakan serta alat dan fasilitas yang digunakan. 5) Evaluasi, kegiatan ini terapis wicara menilai kembali kondisi pasien dengan memban- dingkan kondisi, setelah diberikan terapi dengan data sebelum diberikan terapi. 



 

Teori Malthus

Thomas Maltus mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Essay on the principle of population” merumuskan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi sebagai konsep pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing return). Malthus melukiskan jumlah populasi di suatu negara meningkat sebagai deret ukur. Sedangkan untuk persediaan pangan meningkat menurut deret hitung. Sehingga terjadi ketidakseimbangan laju pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan pangan. Laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan migrasi (perpindahan penduduk). Teori Malthus memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan begitu besarnya dampak sosial dan teknologi dalam mengimbangi laju pertumbuhan penduduk (Thomas Malthus, 1789 dalam Situmorang, 2010). Di negara-negara berkembang pertumbuhan penduduk sangat pesat khususnya di daerah perkotaan yang merupakan pusat kegiatan ekonomi. Tingginya pertumbuhan penduduk tersebut disebabkan adanya urbanisasi dari pedesaan menuju perkotaan. Urbanisasi di daerah perkotaan disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk dan menurunnya angka kematian serta adanya kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih fokus tertuju ke kota. Tingginya angka urbanisasi ke kota menyebabkan tidak meratanya distribusi penduduk (Todaro, 2000 dikutip dari Situmorang, 2010). 

Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan bagi Generasi Muda sebagai Agent of Change

 

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu konsep pendidikan yang berfungsi
untuk membentuk generasi muda sebagai warga negara yang mempunyai karakter.
Keterkaitan pendidikan kewarganegaraan terhadap pengembangan karakter memiliki
dimensi-dimensi yang tidak bisa dilepaskan dari aspek pembentukan karakter dan moralitas
publik warga negara. Generasi muda sebagai agent of change atau agen perubahan perlu
mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan tujuannya adalah agar generasi muda dapat
berfikir kritis mengenai isu nasional dan internasional yang bisa membawa perubahan
menuju indonesia lebih baik. Tujuan penelitian ini untuk menunjukkan bahwa dengan adanya
Pendidikan kewarganegaraan bisa mencetak generasi muda yang memiliki semangat
kebangsaan, cinta terhadap tanah air, memiliki toleransi yang tinggi. Karena generasi muda
sebagai aset bangsa yang menentukan harapan dan masa depan bangsa. Bagaimanakah
pendidikan kewarganegaraan berperan dalam pembangunan dan pengembangan karakter
dalam diri generasi muda, tentu dapat terjawab jika kontribusi yang diberikan pendidikan
kewarganegaraan berhasil mengarahkan generasi muda saat ini untuk berpartisipasi
mengusung karakter bangsa. Dalam hal ini pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu
alat pasif untuk membangun dan memajukan sistem demokrasi suatu bangsa.

BELAJAR BERMAKNA AUSUBEL

 

I. Pendahuluan
Menurut Ausubel (Burhanuddin, 1996:116) faktor utama yang
mempengaruhi belajar bermakna adalah struktur kognitif yang
telah ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam sutu bidang
studi dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif
menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul pada
waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu,
demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Ausubel menolak
pendapat bahwa semua kegiatan belajar dengan menemukan adalah
bermakna, sedangkan kegiatan dengan ceramah adalah kurang
bermakna. Belajar ini perlu bila seseorang memperoleh informasi
baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan
dengan apa yang telah ia ketahui.
Menurut Ausubel dan Novak (Burhanuddin, 1996: 115) ada
tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu:
1) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat
2) Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep
relevan sebelumnya dapat meningkatkan konsep yang telah
dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar
mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip
3) Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai
sebelumnya masih meninggalkan bekas sehingga memudahkan
proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip
walaupun telah lupa.
II. Pembahasan
A. Teori Belajar Bermakna Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang
terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningfull). Ausubel
membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima.
Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal
menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep
ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja.
Menurut Ausubel (Burhanuddin, 1996 : 112) pembelajaran
bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada
konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Struktur kognitif meliputi fakta-fakta, konsep-konsep,
dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat
siswa.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna
menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan
kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada
waktu tertentu. Pembelajaran bermakna terjadi apabila seseorang
belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam struktur
pengetahuan mereka. Dalam proses belajar seseorang
mengkonstruksi apa yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan
pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam struktur
pengetahuan mereka.

B. Tipe Belajar Menurut Ausubel
Ada beberapa tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang
dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan
pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan
baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran
yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi
pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada
siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia
peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
C. Kebaikan Belajar Bermakna
Menurut Ausubel dan Novak (Burhanuddin, 1996 : 115) ada
tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu :
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
2. Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep
relevan sebelumnya dapat meningkatkan konsep yang telah
dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar
mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai
sebelumnya masih meninggalkan bekas sehingga memudahkan
proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip
walaupun telah lupa.
Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna menurut
Ausubel, yaitu:
1. Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila
siswa memiliki strategi belajar bermakna,
2. Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai
dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
3. Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap
perkembangan intelektual siswa.

D. Hubungan Teori Belajar Bermakna dan Konstruktivisme
Teori Belajar Bermakna Ausubel sangat dekat dengan
Konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru
kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam
konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya
mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat
mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar
yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel
beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang
berada di tingkat pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau mereka
banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa
pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan
menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih
efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep,
demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
E. Langkah-langkah Belajar Bermakna Menurut Ausubel
Cara Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta
Konsep :
1) Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran.
2) Tentukan konsep-konsep yang relevan.
3) Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling
tidak inklusif atau contoh-contoh.
4) Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep
yang paling inklusif di puncak konsep ke konsep yang tidak
inklusif di bawah.
5) Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung
sehingga menjadi sebuah peta konsep.
6) Langkah-langkah yang dilakukan guru untuk menerapkan
belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance
organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation,
dan consolidation.

Advance organizer merupakan pola interaksi siswa dengan guru
di dalam kelas yang menyengkut strategi, pendekatan, metode,
dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar di kelas (Suherman, 2001: 8). Model
pembelajaran disusun untuk mengarahkan belajar, dimana guru
membantu siswa untuk memperoleh informasi, ide
keterampilan, nilai, cara berpikir dan mengekspresikan dirinya
(Joyce et.al dalam Budiningsih, 2003 : 11).
Langkah-langkah Belajar Bermakna Menurut Ausubel :
1) Menentukan tujuan pembelajaran.
2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal,
motivasi, gaya belajar, dan sebagainya).
3) Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan
mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti.
4) Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk
advance organizer yang akan dipelajari siswa.
5) Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya
dalam bentuk nyata/konkret.
6) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.