Budaya Organisasi Sekolah dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Kabupaten Simeulue

Budaya Organisasi Sekolah

dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

di Kabupaten Simeulue

 

1.        Latar Belakang Masalah

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia masih dirasakan di oleh semua pihak, baik penyelenggara pendidikan itu sendiri maupun khalayak masyarakat. Hal ini sesuai dengan laporan Human Development Index (HDI) UNDP tahun 2007/2008 yang menunjukkan bahwa Indonesia berada pada ranking 107 dari 177 negara yang diteliti. Implikasi dari laporan UNDP tersebut adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan pada sekolah-sekolah di Indonesia selama ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan.

Dalam perspektif administrasi pendidikan, keberhasilan organisasi sekolah dalam implementasi proses dan hasil pendidikan yang bermutu, tidak hanya ditentukan oleh fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan (P4) saja, tetapi juga ditentukan oleh implementasi fungsi-fungsi manajemen tersebut dalam bentuk tindakan nyata yaitu perilaku organisasi sekolah. Keberhasilan implementasi manajerial di sekolah dapat di lihat dari dua dimensi perilaku organisasi yakni; Pertama, dimensi hard, berupa struktur organisasi, kebijakan, keuangan, sarana prasarana sekolah dan lain sebagainya. Kedua, dimensi soft, yakni budaya organisasi sekolah. Menurut para pakar administrasi pendidikan kontemporer, dimensi yang kedua yaitu dimensi budaya organisasi lebih besar pengaruhnya dalam menunjang keberhasilan sekolah.

Budaya organisasi merupakan pintu masuk dalam keberhasilan implementasi fungsi-fungsi manajemen. Budaya organisasi di pelajari oleh organisasi sebagai solusi dari berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaan tugas-tugas. Setiap organisasi memecahkan masalah anggota, identitas, tujuan bersama, mekanisme kerja, dan mengelola organisasi sekolah baik agresi maupun keintiman. Struktur budaya dan dinamika sosial budaya berfungsi dalam pembentukan hubungan antaranggota sehari-hari. Interaksi anggota merekonstruksi bagaimana norma-norma tingkah laku muncul melalui apa yang dilakukan atau tidak dilakukan anggota organisasi ketika kejadian penting  terjadi.  Kekuatan-kekuatan yang beroperasi di sekolah berasal dari semua anggota organisasi seperti apa organisasi mengatur sendiri, untuk menyelesaikan tugas dan untuk menciptakan inovasi untuk dirinya sendiri yang layak dan nyaman dalam organisasi.

Dalam nuansa desentralisasi pendidikan, budaya organisasi sekolah memiliki peranan penting untuk mewujudkan sekolah yang bermutu. Pendekatan budaya organisasi sekolah mangikat anggota organisasi untuk mengacu satu tujuan yakni tujuan sekolah.  Desentralisasi pengelolaan pendidikan di daerah-daerah yang diberikan otonomi membawah dampak kepada pembentukan budaya baru bagi organisasi sekolah yang lebih sesuai dengan konteks kewilayahan.  Pimpinan daerah, dinas pendidikan, pengawas, dan pemimpin pendidikan di sekolah memiliki paranan penting untuk mempengaruhi terbetuknya budaya baru di sekolah tersebut. Peranan yang dilakonkan oleh para pemimpin terkait tersebut di anut oleh anggota organisasi sekolah menjadi budaya organisasi sebagai cara untuk melakukan tindakan. Budaya organisasi  yang di anut tersebut asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, simbol-simbol organisasi yang dituangkan dalam visi sekolah, misi, strategi, aturan-aturan dan lain sebagainya yang kemudian ditaati dan dijadikan pedoman dalam melakukan tindakan.  

Secara teoretik budaya organisasi sekolah mempengaruhi dua hal terhadap perkembangan organisasi sekolah. Pertama budaya organisasi yang dapat mendukung kemajuan sekolah, dan yang kedua sebaliknya, budaya organisasi dapat menghambat kemajuan sekolah. Budaya organisasi yang mendukung dapat terlihat pada bagaimana sebuah organisasi tersebut menampilkan kinerja yang baik seperti inovasi baru program-program sekolah, kreativitas guru dalam melakukan pembelajaran siswa, dan norma dan nilai-nilai positif yang diperaktikkan dan dikembangkan oleh organisasi sekolah. Sedangkan budaya organisasi yang menghambat kemajuan merupakan sikap yang ditunjukan oleh organisasi yang tidak produktif seperti kaku (tidak kreatif), kurangnya inovasi, rendahnya kerja sama dalam organisasi, tidak ambisi untuk meningkatkan mutu kinerja organisasi, dan lain sebagainya yang kesemuanya menghambat keberhasilan sekolah. 

Pengamatan empirik penulis menunjukkan bahwa budaya sekolah pada umumnya masih terdapat budaya yang kurang produktif dan sedikit adanya sekolah mengembangkan budaya organisasi yang produktif. Budaya organisasi yang kurang baik pada akhirnya menjadi penghambat kemajuan proses implementasi manajemen sekolah.  

‘banyak guru tidak berani tegas dalam menuntut peserta didik belajar lebih keras karena takut tidak disukai dan dipukuli peserta didiknya. Beberapa guru mau di sogok uang oleh peserta didiknya agar mendapat nilai baik. Guru menerima karena terpaksa supaya dapat bertahan hidup. Guru takut di nilai mahal nilainya oleh kepala sekolah dan koleganya karena itu guru mengatrol nilai. Sekolah secara keseluruhan termasuk kepala sekolahnya tidak berani menentukan kriteria kenaikan kelas dan kelulusan Suparto (Usman, 2009:195)’.

 

Budaya organisasi sekolah selama ini telah dipengaruhi oleh budaya lingukungan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Kekuasaan orde baru telah meninggalkan suatu warisan yang tidak sesuai lagi diterapkan di era reformasi saat sekarang ini.  Tidak dapat di pungkiri bahwa kondisi tersebut turut merambah dunia pendidikan hingga kini, yaitu pola-pola yang justru menghambat percepatan pembangunan pendidikan yang bermutu.

“keadaan ini tampak pula di dunia pendidikan. Misalnya ketika hendak diadakan penilaian kinerja sekolah, sekolah tiba-tiba di sulap menjadi serba baik. Apapun caranya, semua guru harus memiliki perangkat mengajar yang lengkap dan baik. Absen guru harus nihil. Kalau tidak harus masuk surat izin sakit. Tidak boleh ada sampah berserakan di sekolah. Administrasi dan keuangan sekolah harus tampak tertib dan lancar. Keadaan yang sama juga berlaku ketika sekolah hendak di akreditasi. ..... bila semua selesai, keadaan sekolah kembali seperti biasa (Usman, 2009:194)”.

 

Permasahalan budaya organisasi sekolah yang terabaikan merupakan permasalahan organisasi persekolahan, permasalahan administrasi pendidikan, permasalahan masyarakat dan merupakan bagian dari permasalahan bangsa. Permasalahan tersebut tentunya harus tangani secara serius oleh semua pihak yang memimiki kepedulian terhadap pendidikan. Ketika budaya organisasi yang kurang bermutu tersebut dibiarkan tanpa penanganan serius maka hasrat untuk membangun pendidikan yang bermutu  di sekolah sulit untuk direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Budaya organisasi yang bermutu sebagai pendukung keberhasilan kinerja organisasi sekolah lebih terbentuk melalui manajemen berbasi sekolah, terutama dalam upaya perbaikan-perbaikan pengelolaan sekolah yang lebih efektif dan efisien, serta produktif. Hal ini didukung oleh otoritas sekolah yang lebih besar terhadap tugas-tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan.

Sejatinya, sekolah mengembangkan budaya organisasi yang bermutu dan meminimalkan budaya organisasi yang kurang bermutu. Budaya organisasi bermutu menjadi penentu keberhasilan sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah. Budaya organisasi sekolah yang bermutu menjadi pedoman melakukan tindakan dalam setiap kegiatan baik kegiatan individu maupun kegiatan organisasi.

Budaya organisasi meningkatkan pemahaman kepada warga sekolah tentang hakekat tugas fungsi sekolah dalam masyarakat, stategi yang di yakini sebagai asumsi  dasar, dan nilai-nilai yang ditanaman pada setiap anggota dalam organisasi sehingga setiap anggota organisasi tersebut memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi terhadap organisasi. Budaya organisasi merupakan jati diri sekolah, sehingga ketika orang luar melihat kinerja sekolah, sepintas dapat terlihat dari sikap dan tindakan organisasi dalam memecahkan suatu masalah.

Atas dasar pemikiran dan permasalahan di atas maka fokus penelitian ini adalah : “ Budaya Organisasi Sekolah dalam Implementasi Manajemen Barbasis Sekolah di Kabupaten Simeulue”.   

2.        Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana budaya organisasi sekolah dalam implementasi berbasis sekolah di kabupaten Simeulue.

 

3.        Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi dan analisis tentang bagaimana budaya organisasi sekolah dalam implementasi berbasis sekolah di kabupaten Simeulue. Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jabawan atas permasalahan yang diajukan melalui proses mengungkapkan, mendeskripsikan, dan menganalisis permasalahan, antara lain :

1.  Untuk mengetahui gambaran empirik budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue

2.  Untuk mengetahui asumsi dasar, nilai-nilai, dan artifak organisasi sekolah dalam implementasi manajamen berbasis sekolah

3.  Untuk mengetahui peran budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah   

4.  Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen barbasis sekolah

 

 

 

4.     Pertanyaan Penelitian

1.    Bagaimanakah gambaran empirik budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue ?

2.    Bagaimanakah  asumsi dasar, nilai-nilai, dan artifak organisasi sekolah dalam implementasi manajamen berbasis sekolah ?

3.    Apa peran budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah ?

4.    Faktor-faktor apa yang mempengaruhi budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen barbasis sekolah ?

 

5.    Manfaat Penelitian

A.  Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan, terutama perkembangan bidang budaya organisasi dalam lingkup ilmu administrasi pendidikan.

B.  Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1.    Pemerintah pusat maupun daerah dalam proses pengambilan keputusan strategis berkaitan dengan budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah.

2.    Stakeholders baik internal (warga sekolah) maupun external (masyarakat pengguna pendidikan) untuk lebih memberikan perhatian terutama terkait dengan budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah.

                                 

6.    Landasan Teoretis

A.   Konsep Budaya Organisasi

1.      Pengertian Budaya Organisasi

          Menurut Sopiah (2008:138) budaya organisasi adalah “sekumpulan nilai dan pola perilaku yang dipelajari, dimiliki bersama oleh semua anggota organisasi dan diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya. Menurut Hofstede (Rampersad, 2006:349) budaya organisasi merupakan ‘pemerograman mental bersama dari semua pihak yang berkepentingan dalam perusahaan’. Sedangkan menurut Schein (2004:17) budaya organisasi adalah :

a pattern of shared basic assumptions that was learned by a group as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems”.

 

Dari pengertian di atas, terdapat kata kunci untuk memahami konsep budaya organisasi. Kata kunci tersebut adalah asumsi dasar (basic assumptions), dan nilai-nilai (values).  Dalam sebuah organisasi asumsi dasar dan nilai-nilai yang di anut oleh anggota organisasi tidak tampak oleh masyarakat luar organisasi. Namun demikian, asumsi dasar dan nilai-nilai tersebut terwujud dalam bentuk artifak sebagai lapisan luar budaya organisasi. 

Asumsi dasar merupakan inti dari budaya organisasi yang tidak tampak kepermukakaan. Budaya organisasi banyak dipengaruhi oleh asumsi dasar. Menurut Ndraha (1997:104) “asumsi dasar dan kepercayaan (keyakinan) dasar merupakan pondasi budaya, baik budaya pribadi, budaya kelompok, maupun budaya organiasi”. Sedangkan menurut Sagala (2008:113) “asumsi dasar yang terdapat di antara anggota organisasi adalah budaya organisasi merupakan suatu sistem pengertian yang di terima secara bersama, dimana praktik-praktik yang telah berkembang dan menjadi identitas sejak beberapa lama dalam organisasi”.

Asumsi dasar mengalami proses panjang yang secara terus menerus mengalami perubahan karena benturan kepentingan yang seringkali tidak dapat dihindarkan. Setiap kali ada proses perubahan maka setiap kali pula terdapat pembenahan seiring dengan pengalaman dan perkembangan sejarah kehidupan organisasi.  Berkaitan dengan hal itu Chatab (2009:278) mengemukakan bahwa “kepedulian budaya pada tingkat yang paling dalam ini adalah pra anggapan dasar di bawah sadar dan sekaligus keadaan yang diterima tentang bagaimana persoalan keorganisasian (organizational) seharusnya dipecahkan”. 

Nilai mengandung unsur pertimbangan dalam arti nilai mengemban gagasan-gagasan seorang individu mengenai apa yang benar, baik, atau diinginkan.  Nilai adalah prinsip, tujuan, atau standar sosial yang dipertahankan oleh individu atau organisasi karena secara intrinsik mengandung makna. Menurut Rivai (2004:245) nilai adalah “keyakinan yang meresap didalam prakarsa individual”.  Sedangkan Sobirin (2007:165) mengemukakan bahwa nilai adalah “sebuah konsep yang abstrak yang hanya bisa dipahami jika dikaitkan dengan benda, barang atau hal-hal tertentu“.

Nilai-nilai organisasi dijadikan sebagai cara pandang organisasi terhadap lingkungan yang menentukan apa yang di anggap benar dan apa yang di anggap keliru. Cara pandang mempengarahui cara berpikir (ways of thinking) orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut.  Nilai-nilai yang anut dapat dijadikan sebagai akar pemotivasian (motivational roots) orang-orang untuk digerakkan kepada sasaran-sasaran program organisasi. Akar motivasi (motivational roots) adalah akar yang menghubungkan tujuan dan motivasi masing-masing individu di dalam organisasi dengan organisasi secara keseluruhan. Menurut Chatab (2009:278) “nilai  merupakan keyakinan dasar yang berperan sebagai sumber inspirasi kekuatan, motivasi dan pendorong sesorang dalam mengambil sikap, tindakan dan keputusan, serta bahkan dalam menggerakkan dan mengendalikan perilaku seseorang dalam upaya pembentukan corperate culture”.

            Budaya tingkat pertama adalah artifak yang merupakan budaya organisasi yang tampak sebagai lapisan pertama budaya organisasi dalam bentuk simbol, bahasa, atau  pola perilaku.  Chatab (2009:279) mengemukakan “artifak merupakan wujud kongkrit seperti system, procedures, sistem kerja, peraturan struktur, dan aspek fisik organisasi”.

Artifak merupakan alat komunikasi organisasi dengan pihak eksternal. Artifak menjadi jembatan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat stakeholders organisasi. Bagaimana organisasi memperkenalkan dirinya melalui artifak yang dimunculkan. Artefak sebagaimana dikemukakan Sobirin (2007:173) adalah “unsur budaya yang kasat mata yang mudah di obesrvasi oleh seseorang atau sekelompok orang, baik orang dalam maupun orang luar organisasi”.  Sedangkan Usman (2009:189) menyatakan bahwa “artifak adalah hasil kecerdasan manusia”.   

 

2.         Karakteristik Budaya Organisasi

Karakteristik budaya organisasi merupakan tampilan yang tampak sebagai hasil dari keyakinan dan nilai-nilai yang di anut oleh organisasi. Dalam suatu organisasi, Schein (2002:14) mengemukakan bahwa terdapat sepuluh karakteristik budaya organisasi sebagai berikut :

(1) Observe behavior: language, customs, traditions; (2) Groups norms: standards and values; (3) Espoused values: published, publicly announced values; (4) Formal philosophy: mission; (5) Rules of the game: rules to all in organization; (6) Climate: climate of group in interaction; (7) Embedded skills; (8) Habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization;  (9) Shared meanings of the group; (10) Metaphors or symbols”.

 

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa asumsi dasar, nilai-nilai merupakan lapisan budaya yang tidak tampak. Asumsi dasar dan nilai-nilai tersebut ditunjukkan dalam bentuk artifak-artifak organisasi. Artifak yang tampak merupakan cerminan dari asumsi dasar dan nilai-nilai yang di anut organisasi. Karena itu karakteristik budaya diwakili oleh artifak yang ada. Untuk menilai organisasi berdasarkan karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari suatu budaya organisasi. Gambaran menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku (Robbins,1996:289).

3.                                 Dimensi Budaya Organisasi

Budaya organisasi terdapat dimensi-dimensi sebagai proses suatu organisasi mencapai keinginan dari asumsi dan nilai-nilai yang telah diyakini. Lunenburg & Ornstein (Usman, 2009:186) mengemukakan bahwa “dimensi budaya organisasi merupakan sebagai sistem yang terdiri atas input, proses, dan output”.

Inputnya adalah sumber daya organisasi seperti siswa, uang, kurikulum, fasilitas, dan tenaga manusia yang di proses sehingga melahirkan output dalam bentuk materi manusia yang dikirim kepada lingkungan yang kemudian lingkungan tersebut memberikan umpan balik. Proses merupakan layanan yang diberikan dalam mengola input dalam bentuk kepemimpinan, pengambilan keputusan, komunikasi, dan perubahan organisasi yang dipengaruhi budaya organisasi.

Recardo & Jolly (Sopiah, 2008:134) mengemukakan bahwa terdapat delapan dimensi untuk menilai budaya suatu organisasi, yaitu :

(a) communication (komunikasi); (b) training and development (pelatihan dan pengembangan), (c) reward (imbalan); (d) decision making (membuat keputusan); (e) risk taking (pengambilan resiko); (f) planning (perencanaan); (g) team work (kerja sama) (h) management practice (praktik manajemen).

 

Dimensi budaya organisasi pada kenyataannya ditentukan oleh peran pimpinan dan anggota organisasi. Kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu organisasi mencerminkan tipe perilaku dari seorang pemimpin dalam kebijakannya terhadap sumber daya organisasi. Harison (Sobirin, 2007:198) mengemukakan bahwa tipe budaya organisasi terdapat empat macam : “(a) orientasi kepada kekuasaan (power orientation), (b) orientasi pada peran masing-masing pejabat (role orientation), (c) orientasi pada tugas (task orientation), dan (d) orientasi kepada orang (people orientation)”. Sedangkan Reynolds (Sobirin, 2007:190-193) dimensi budaya organisasi terdapat beberapa bentuk, antara lain :

(a) berorientasi external versus berorientasi internal; (b) berorientasi pada tugas versus berorientasi pada aspek sosial; (c) menekankan pada pentingnya safety versus berani menanggung resiko; (d) menekankan pada pentingnya comformity versus individuality; (e) pemberian reward  berdasarkan kinerja individu versus kinerja kelompok; (f) pengambilan keputusan secara individual versus keputusan kelompok; (g) pengambilan keputusan secara terpusat (centralized) versus pengembilan keputusan decentralized; (h) menekankan pada pentingya perencanaan versus ad hoc; (i) menekankan pada pentingnya stabilitas organisasi versus inovasi organisasi; (j) menekankan karyawannya untuk berkooperatif versus berkompetisi; (k) menekankan pada pentingnya organisasi yang sederhana versus organisasi yang kompleks; (l) prosudur organisasi bersifat formal versus informal; (m) menurut karyawan sangat loyal kepada organisasi versus tidak mementingkan loyalitas karyawan; (n) ignorance versus knowledge

 

Disamping itu, dalam memainkan perannya, pemimpin memainkan budaya organisasi dengan pendekatan yang dianggapnya sesuai dalam melakukan pemimpinan. Hal ini ditegaskan oleh Usman (2009:189-190) adalah  : (a) budaya birokratik, (b) marga (clan), (c) entrepreneur, dan (d) pasar (market).

Pertama, birokratik menekankan pada aturan, kebijakan, prosudur, rantai komando, pengambilan keputusan sentralistik dengan kultur birokratiknya. Budaya birokratik mempunyai bentuk perhatian terhadap internal organisasi dengan orientasi kontrol formal untuk mendapatkan kestabilan. Kedua, marga (clan) bekerja dengan mengutakan keluarga, suku, ras, agama, asal daerah, tradisional, dan ritual. Ketiga, entrepreneur lebih menekankan pada inovasi, kreasi, resiko, dan agresif dalam mencari peluang. Entrepreneur mempunyai bentuk perhatian terhadap eksternal organisasi dengan orientasi kontrol formal untuk mendapatkan keluwesan. Tipe budaya entrepreneurship ini mertolak belakang dengan tipe clan diatas. Pada prinsipnya tipe entrepreneur mengedepankan manajemen yang profesional dengan memperhatikan karyawan atau pegawai. Keempat, pasar (market) lebih menekankan pada pertumbuhan penjualan, meningkatkan kepedulian pasar, stabilitas keuangan, dan keuntungan. Budaya pasar mempunyai bentuk perhatian terhadap eksternal organisasi dengan kontrol formal untuk mendapatkan kestabilan.

 

 

4.                            Proses Pembentukan Budaya Organisasi

Budaya organisasi terbentuk sejak organisasi itu didirikan oleh para pendiri atau pemimpin organisasi. Budaya organisasi yang dibentuk oleh pemimpin organisasi berdasarkan keyakinan, nilai, dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh pemimpin tersebut.  Hal ini ditegaskan oleh  Schein (2004:226) yang mengemukakan bahwa budaya organisasi bersumber : “(1) the beliefs, values, and assumptions of founders of organizations; (2) the learning experiences of group members as their organization evolves; and (3) new beliefs, values, and assumptions brought in by new members and leaders”.

            Menurut Sagala (2008:113) “budaya organisasi dibangun oleh para anggota organisasi dengan mengacu kepada nilai dan sistem nilai yang berkembang dalam organisasi, dan pemberian hak kepada anggota dan pimpinan, dan dipengaruhi oleh struktur yang berlaku dalam organisasi tersebut”.

Menurut Wahab (2008:221) mengemukakan “proses terbentuknya budaya dari budaya sebagai input (BSI) menjadi budaya sebagai output (BSO) dalam sebuah organisasi”.

Dalam proses pembentukan budaya suatu organisasi yang panjang tersebut membutuhkan langkah-langkah dan tahapan-tahapan. Sobirin (2007:220) mengemukakan bahwa alur proses pembentukan budaya adalah sebagai berikut :

(1)  Para pendiri dan pimpinan lainnya membawah serta satu set asumsi dasar, nilai, pespektif, artefak kedalam organisasi dan menanamkannya kepada para karyawan; (2) Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni masalah integrasi internal dan adaptasi internal; dan (3) Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi menjadi seorang pencipta budaya baru (culture creator) dengan mengembangkan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan individual seperti persoalan identitas diri, kontrol, dan pemenuhan kebutuhan serta bagaimana agar bisa diterima oleh lingkungan organisasi yang diajarkan kepada generasi penerus.

 

Budaya organisasi yang telah terbentuk di bina oleh anggota organisasi melalui sistem yang digerakkan oleh pemimpin organisasi.  Menurut Sopiah  (2008:136) pembinaan budaya perusahaan dapat dilakukan dengan serangkaian langkah sosialisasi sebagai berikut :

“ (a) Seleksi pegawai yang objektif, (b) Penempatan orang dalam pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, “the right man on the right place at the right time”, (c) Perolehan dan peningkatan kemahiran melalui pengalaman, (d) Pengukuran prestasi dan pemberian imbalan yang sesuai, (e) Penghayatan akan nilai-nilai kerja atau hal lain yang penting, (f) Criteria-criteria dan faktor organisasi yang menumbuhkan semangat dan kebanggaan, dan (g) Pengakuan dan promosi bagi karyawan yang berprestasi”.

 

Pembentukan karakter anggota organisasi menjadi budaya baru memerlukan analisis melalui pola kebijakan dan kepemimpinan suatu organisasi. Sejak rekrutmen telah diberikan pemahaman terhadap pekerjaan, hal ini dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan anggota organisasi tersebut. Karakter anggota yang telah menjadi budaya yang di anut dan diaplikasikan dalam bentuk tindakan menjadi budaya organisasi yang kohesif. Usman (2009:187) menyatakan bahwa “untuk menciptakan budaya organisasi yang kohesif, dilakukan proses yang disingkat dengan kata HOME (history, oneness, membership, dan exchange)”.

History adalah mengembangkan perasaan bersejarah dengan metode elaborasi terhadap sejarah dan mengkomunikasikan “pahlawan-pahlawan” dan lain-lain. Oneness ialah menciptakan rasa keutuhan dengan metode kepemimpinan dan pemodelan peran, mengkomunikasikan norma-norma dan nilai-nilai. Membership ialah meningkatkan rasa keanggotaan, yakni dengan sistem ganjaran, manajemen karier dan keamanan kerja, rekrutmen dan penyusunan staff, sosialisasi kepada anggota baru, pengembangan dan pelatihan. Exchange adalah meningkatkan pertukaran antaranggota, partisipasi dalam pengambilan keputusan, koordinasi dalam kelompok, dan pertukaran personal.

 

 

 

 

 

 

B.       Peran dan Fungsi Budaya organisasi

 

Budaya organisasi digunakan sebagai perekat anggota dalam organisasi. Budaya organisasi merupakan esensi dari kelangsungan hidup suatu organisasi yang ditunjukkan bahwa oragnisasi memiliki berbagai asumsi, nilai, norma, dan simbol, yang kemudian membuat organisasi tersebut menjadi unik.

 

“Budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektivitas kinerja organisasi...sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, menagarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasi sumber daya dan mengelola sumber daya organisasional, dan juga sebagai alat untuk mengahadapi masalah dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal (Wahab, 2008:213)”.

 

Budaya organisasi yang spesifik yang membedakan antara sekolah satu dengan sekolah lainnya. Budaya organisasi memiliki hubungan yang erat dengan kegiatan manajemen. Untuk melihat bagaimana budaya sebuah organasasi dilakukan dengan menganalisis asumsi dasar dan nilai-nilai yang di anut oleh organisasi.

Robbins (1996:294), mengemukakan fungsi budaya organisasi sebagai berikut :

(a) budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain, (b) membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi, (c) mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang, (d) merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan, (e) sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

                     

Menurut Rivai (2004:432) budaya melakukan sejumlah fungsi didalam sebuah organisasi, antara lain :

(a) budaya mempunyai sejumlah peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain; (b) budaya memberi identitas bagi anggota organisasi; (c) budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dan pada kepentingan individu; (d) budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial; dan (e) budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku karyawan.

 

Dari pendapat diatas, jelaslah bahwa fungsi budaya organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi yang dianut anggota organisasi merupakan cara yang digerakkan menjadi alat untuk mencapai tujuan yang telah dipahami. 

Sopiah (2008:39) mengemukakan bahwa “organisasi yang memiliki budaya yang kondusif memacu karyawan untuk berkinerja maksimal, misalnya disiplin, kreatif, inovatif, tepat waktu, dll”. Sagala (2008:120) mengemukakan bahwa budaya yang kuat adalah :

“budaya dimana nilai-nilai di anut dengan kuat, di tata dengan jelas, dan dirasakan bersama-sama secara luas yang dapat meningkatkan konsistensi perilaku. Dengan adanya budaya organisasi yang diyakini sebagai nilai-nilai, tenaga pendidik dan kependidikan seperti kepala sekolah, guru, pustakawan, laboran, teknisi, cleaning service, dan bodyguard diikat oleh seperangkat aturan main tentang tugas dan tanggung jawabnya masing-masing”.

 

C.      Faktor-faktor yang mempengaruhi Budaya Organisasi

Pembentukan budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor baik pengaruh internal dan ekternal organisasi : (1) Pengaruh umum dari luar yang luas. Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi. (2) Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat. Keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan. (3) Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi. Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.

Budaya organisasi mengalami proses perubahan-perubahan. Perubahan tersebut ketika nilai-nilai dalam organisasi tidak lagi kuat. Menurut Sobirin (2007:227) kemungkinan proses penyimpangan budaya terjadi hal-hal sebagai berikut :

“(a) para pimpinan organisasi yang bertindak sebagai penjaga nilai-nilai organisasi tidak mampu lagi memonitor dan menjaga keutuhan nilai-nilai organisasi; (b) pada saat yang sama komunikasi dan internalisasi nilai-nilai organisasi tidak berjalan efektif sebagaimana mestinya; dan (c) para anggota organisasi merasa bahwa mereka bukan sekedar objek tetapi juga menjadi subjek dalam proses pembentukan budaya”.

 

Dalam praktik manajemen kontemporer prilaku kepemimpinan dalam upaya pencapaian tujuan organisasi terdapat bermacam-macam model. Kadang kalah model yang diterapkan oleh pengambil kebijakan dalam organisasi tersebut berhasil sesuai dengan situasi dan kondisi. Chatab (2009:280) mengemukakan bahwa  “tanpa perubahan tingkah laku para anggota organisasi terutama para pengambil keputusannya, proses perubahan budaya organisasi tidak akan terjadi”.

Perubahan kebiasaan atau perubahan budaya, pada akhirnya tergantung pada implementasi perilaku dari para individu yang menguatkan dan konsisten dengan tata nilai budaya baru. Kunci perubahan budaya sangat ditentukan oleh perubahan perilaku individu dan tema perubahannya, sedangkan perubahan sangat dipengaruhi oleh kompetensi manajerialnya. Dengan demikian kompetensi individu merupakan faktor yang banyak menentukan peningkatan kualitas budaya dalam suatu organisasi.  

 

7.    Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode diskriptif.  Sukardi (2008:157) mengemukakan “penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek”.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengkaji permasalahan dan memperoleh makna secara mendalam tentang budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue. Lofland dan Lofland (Moleong, 2005:157) mengemukakan bahwa “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”.

Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama di catat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio tapes, pengambilan foto, atau film.   

Pendekatan kualitatif digunakan peneliti berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain: Pertama; Peneliti akan melihat secara keseluruhan dari potret empirik  budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue. Penelitian yang dilakukan terhadap orang yang diteliti dan mendeskripsikannya secara induktif.  Peneliti bermaksud mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman dari pola yang terdapat dalam budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue.  Kedua; peneliti bermaksud untuk menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala, dan peristiwa yang berkaitan dengan peran budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue dalam kondisi serta situasi apa adanya. Ketiga; bidang kajian penelitian ini berkenaan dengan identifikasi faktor budaya organisasi sekolah yang dapat mendukung dan menghambat implementasi manajemen berbasis sekolah. Keempat, bidang kajian ini peneliti bermaksud untuk mengetahui upaya mengembangkan budaya organisasi sekolah yang mendukung dan menghilangkan budaya organisasi yang menghambat dalam implementasi manajemen berbasis sekolah.

Studi diskriptif diarahkan untuk mengidentifikasi situasi ketika proses penyelidikan dilakukan, menggambarkan variabel atau kondisi lapangan apa adanya dalam situasi apapun. Metode diskriptif bersifat menjabarkan, menguraikan, dan menafsirkan kondisi, peristiwa, proses yang sedang terjadi dalam konteks pemasalahan.

 

8.        Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di pada sekolah seluruh jenjang pendidikan yang ada di kabupaten Semeulue yakni terdiri dari tingkat SMA, SMP, dan SD. Peneliti  mengambil beberapa sekolah sebagai sampel penelitian yaitu 1 sekolah tingkat SMA, 1 tingkat SMP dan 1 tingkat SD.

Subjek penelitian ini adalah orang-orang yang terdapat dalam organisasi sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, pengawas, dan komite sekolah di kabupaten Simeulue. Moleong (2002:165-166) mengemukakan bahwa ciri-ciri sampel penelitian kualitatif adalah :

( a) sampel tidak dapat ditentukan atau di tarik lebih dahulu, (b) pemilihan sampel secara berurutan untuk memperoleh informasi yang telah lebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan atau ada kesenjangan informasi, dan (c) penyesuaian berkelanjutan dari sampel. Pada awalnya sampel di anggap sama, kemudian informasi mengembang ternyata semakin luas, sehingga sampel akan berakhir jika sudah mulai terjadi pengulangan informasi, sudah terjadi ketuntasan atau kejenuhan karena tidak diproleh tambahan informasi yang berarti.

 

Fokus yang diteliti adalah budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah. Peneliti menganggap bahwa dalam organisasi sekolah terdapat individu-individu yang berfungsi sebagai kepala sekolah, guru, komite sekolah dan pengawas yang merupakan orang yang malaksanakan kegiatan manajemen berbasis sekolah. Sekolah memiliki struktur organisasi dimana terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling beriteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas menurut fungsinya. Peneliti perlu mengkaji bagaimana kepala sekolah, guru, pengwas, dan komite yang terlibat dalam organisasi tersebut menampilkan budaya dalam konteks organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian orang-orang dalam organisasi sekolah tersebut dijadikan sebagai subjek penelitian ini.

 

9.        Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penilitian kualitatif seperti “bola salju (snow ball) kecil di kutub utara, yang menggelinding di dinding pegunungan yang terjal, akan semakin membesar dan menjadi bola salju raksasa Sentana (2006:125)”.  Dari istilah tersebut berarti peneliti terus mencari informasi sesuai dengan fokus sasaran yang diinginkan sampai terjadi pengulangan data dan sampai timbul kejenuhan.

Supaya data dan informasi dapat dipergunakan dalam penalaran, data dan informasi itu harus merupakan fakta.  Gorys Keraf (Patilima, 2005:68) mengemukakan bahwa “dalam kedudukannya yang pasti sebagai fakta, bahan-bahan itu siap digunakan sebagai eviden”.

Dari pendapat diatas, peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, adalah sebagai berikut:

1.    Observasi

Observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap objek yang sedang diteliti yakni budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue.  Menurut Moleong (2005:157) “pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya”. 

Dalam pelaksanaan observasi, kegiatan yang utama dilakukan adalah berkenaan dengan budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah yang ada di kabupaten Simeulue.

2.    Wawancara

Wawancara sama halnya dengan observasi, yang merupakan sumber data utama. Wawancara dilakukan dengan tanya jawab, tatap muka langsung dengan kepala sekolah, guru, pengawas, dan komite sekolah yang ada di kabupaten Simeulue, dengan mengiformasikan kepada subjek penelitian dengan menggunakan pedoman wawacara, yaitu dengan melalui angket. Wawancara itu bertujuan untuk menggali data dan informasi dari subjek penelitian dengan segala permasalahannya.

3.    Studi dokumentasi

 Menurut Moleong (2005:159) “walaupun dikatakan bahwa sumber di luar kata dan tindakan merupakan sumber kedua, jelas hal itu tidak bisa diabaikan”.

Studi dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti yaitu berupa pengkajian tentang budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah seperti budaya organisasi sekolah dalam perencanaan sekolah, pengorganisasian sumber daya sekolah, pemimpinan sumber daya sekolah, dan pengawasan sumber daya sekolah. Studi dokumentasi bertujuan untuk mempelajari dan menelusuri data yang bersumber pada dokumen mengenai catatan dan brosur dengan dapat mengecek kesesuaian informasi yang berkaitan dengan program sekolah dalam kaitannya dengan budaya organisasi sekolah. Pengumpulan data dilakukan secara cermat, selektif dan lengkap digunakan alat pengumpul data, yaitu pedoman observasi, pedoman wawancara, dan studi dokumentasi, serta peralatan rekaman baik dalam bentuk gambar ataupun rekaman suara.

 

10.    Teknik Analisis Data

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa data yang dikumpulkan melalui penelitian adalah data kualitatif. Secara keseluruhan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur atau langkah-langkah seperti pendapat berikut. Nasution (1998:129-130) yaitu “reduksi data, display data, dan mengambil kesimpulan dan verifikasi”. Menurut Mattew dan Michael (Patilima, 2005:98) analisis data “dapat di bagi ke dalam tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan”.

Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara terus-menerus dari awal hingga akhir, baik di lapangan maupun di luar lapangan. Analisis data di lapangan meliputi pencatatan, pemberian kode, dan penafsiran sementara terhadap berbagai informasi yang diperoleh pada setiap langkah kegiatan penelitian.  Analisis data di luar lapangan merupakan kelanjutan dari analisis data yang terkumpul, baik melalui observasi, wawancara, maupun studi dokumentasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Reduksi data, yaitu membuat abstraksi-abstraksi dari seluruh data yang diperoleh dari seluruh data catatan lapangan.

2.    Pengorganisasian dan pengolahan data sesuai dengan tujuan penelitian, yakni budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue, baik yang berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, pengawasan maupun hasil.

3.    Penafsiran data sesuai dengan tujuan penelitian, yakni menyusun dan merakit unsur-unsur data penelitian serta memberi makna berdasarkan pandangan peneliti untuk mencapai suatu kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan karena pada hakekatnya keseluruhan data dalam penelitian ini saling menunjang dan saling melengkapi satu sama lain.

Verifikasi data dilakukan untuk memeriksa apakah kesimpulan yang di ambil sudah tepat atau belum dan apakah sudah mencapai tujuan penelitian. Seluruh kegiatan analisis data tersebut dilakukan secara terus-menerus dan saling berhubungan dari awal sampai akhir tujuan. Pengolahan data menggunakan pendekatan kualitatif yaitu : menarik kesimpulan (conclusion) dari fakta yang tidak di proses melalui perhitungan statistik dan tidak di olah dengan angka-angka.

Data yang diperoleh peneliti, perlu diadakan pengecekan atau pemeriksaan ulang untuk memperoleh keabsahan data. Menurut Moleong (2005:324) data absah dalam kualitatif apabila memenuhi empat kriteria : “ (a) derajat kepercayaan (credibility), (b) keteralihan (transferability), (c) kebergantungan (dependibility), dan (d) kepastian (confirmability).

Derajat kepercayaan (kredibel) diperoleh peneliti dengan membuktikan kenyataan-kenyataan ganda yang sedang diteliti. Keteralihan (transferability) yakni peneliti mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks. Kepastian (confirmability) data diperoleh atas kesepakatan atau persetujuan dari banyak orang. Sedangkan kebergantungan (dependibility) data didapatkan dengan mengadakan dengan replikasi setudi atau pengecekan ulang, “pengecekan atau pemeriksaan ulang data dapat dilakukan dengan ketekunan pengamatan dan triangulasi Patton (Moleong, 2002:98)”.  

Analisis data dalam penelitian ini digunakan metode alir. Metode alir ini, peneliti melakukan ketiga kegiatan analisis secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

11.    Rancangan Kegiatan Penelitian

     Rancangan penelitian di susun oleh peneliti sebagai panduan dalam melaksanakan penelitian di lapangan. Menurut Moleong (2005:127) rancangan kegiatan penelitian melalui tiga tahapan yaitu “tahap pra-lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data”.

Tahap pralapangan, peneliti melakukan enam tahap yakni membuat rancangan, memilih lapangan, mengurus izin, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, dan menyiapkan perlengkapan. Selain itu, dalam kegiatan pralapangan peneliti melakukan dengan memperhatikan etika penelitian.

Tahapan pekerjaan lapangan adalah tahapan mulainya pengumpulan data. Tahap pekerjaan lapangan di bagi atas tiga bagian, yaitu : (1) memahami latar penelitian dan persiapan diri, (2) memasuki lapangan, dan (3) berperanserta sambil mengumpulkan data. Latar merupakan merupakan suatu kondisi dimana data tersebut diambil sehingga ada latar yang terbuka dan ada pula latar yang tertutup. Menurut Lofland dan Lofland (Moleong, 2005:137) “latar terbuka terdapat di lapangan umum seperti tempat berpidato, orang berkumpul di taman, toko, bioskop, dan ruang tunggu rumah sakit. Sedangkan latar tertutup terdapat di tempat tertutup”.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kedua dari latar penelitian tersebut yakni latar terbuka dan latar tertutup. Pada latar terbuka peneliti melakukan pengamatan sedangkan pada latar tertutup peneliti lebih menekankan pada wawancara secara mendalam. Untuk mendapatkan informasi dari subjek peneliti menajalin hubungan yang akrab dengan subjek. Peneliti tidak harus mempelajari bahasa yang digunakan subjek karena bahasa yang digunakan tersebut telah peneliti kuasai terlebih dahulu. Selain itu, peneliti berperan aktif dalam mengungkapkan informasi, dan jika kondisi menuntut, peneliti ikut terjun berperanserta pada kegiatan subjek.

Tahapan yang terakhir dalam penelitian ini adalah tahap analisis data. Bogdan dan Biklen (Moleong, 2005:248) mengemukakan analisis data kualitatif adalah :

“upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat di kelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memusatkan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”. 

 

Peneliti sebagaimana telah dijelaskan pada bagian teknik analisis data, bahwa analisis data dilakukan mulai dari awal sampai akhir penelitian.           

 

12.    Instrumen Penelitian

Peneliti sendiri merupakan instrumen dalam penelitian, karena dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif peneliti merupakan instrumen utama.  Menurut Nasution (1998:55-56) indikasi manusia sebagai peneliti adalah :

(1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakan bermakna; (2) Peneliti sebagai alat dapat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka data sekaligus. (3) Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. (4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia tidak dapat dengan pengetahuan semata-mata. Untuk memahami, kita perlu merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita. (5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh dan menafsirkannya. (6) Hanya manusia sebagai instrumen yang dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera mengunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan dan penolakan.

 

Mulai memasuki lapangan hingga akhir penelitian, peneliti menggali data sesuai dengan tujuan penelitian dengan memahami, merasakan, menyelami dalam waktu, situasi dan kondisi apapun. Peneliti menganalisis semua lingkungan dalam dan luar, mamahami makna tersembunyi dibalik pembicaraan, mengkait-kaitkan satu item dengan item lain, dan menganalis dokumen apa saja yang berkaitan dengan data yang akan di cari.

 

13.    Jadwal Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, yaitu sejak persiapan proposal penelitian, seminar proposal penelitian, pengumpulan data, analisis data, penulisan laporan, sampai sidang hasil penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No

Agenda Kegiatan

Bulan/Thn 2010

Maret

April

Mei

Juni

1

Persiapan penelitian

ü   

 

 

 

a. Observasi awal

ü   

 

 

 

b. Penyusunan laporan

ü   

 

 

 

c. Seminar proposal

ü   

 

 

 

2

Pengumpulan data lapangan

 

ü   

 

 

3

Pengolahan dan analisis data

 

ü   

 

 

4

Penulisan laporan

 

 

X

 

5

Seminar/sidang  hasil penelitian

 

 

X

 

6

Revisi dan percetakan hasil penelitian

 

 

 

X

 

Daftar Pustaka

 

Chatab, Nevizond (2009). Mengawal Rancangan Pilihan Organisasi (Organization Theory, Design & Structured Networks). Bandung : Alfabeta

Moleong, Lexy J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

______________ (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Nasution, S. (1998). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.  Bandung : Tarsito

Ndraha, Taliziduhu (1997). Budaya Organisasi.Jakarta : Rineka Cipta

Patilima, Hamid. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Rampersad, Hubert K. (2006). Total Performance Scorecard, Konsep Manajemen Baru : Mencapai Kinerja Dengan Integritas. Ali Bahasa Edy Sukarno dan Vinsensius Djemadu. Jakarta : Gramedia

Rivai, Viethzal (2004). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta : RajaGrafindo Persada

Robbins, Stephen  (1996).  Perilaku Organisasi Konsep – Kontroversi – Aplikasi. Jilid II. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Prenhallindo

Sagala, Syaiful (2008). Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan : Pemberdayaan Organisasi Pendidikan ke arah yang lebih Profesional, dan Dinamis di Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Satua Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Schein, Edgar H. (2004). Organizational Culture and Leadership. (third ed.). San Francisco : Jossey-Boss

_____________ (2002). Organizational Culture and Leadership. (second ed.). San Francisco : Jossey-Bass

Sentana, Aso (2006). Excellent Service & Custumer Satisfaction, Ajang Wacana dan Kiat-kiat Penting bagi Keberhasilan Pebisnis. Jakarta : Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia

Sobirin, Achmad (2007). Budaya Organisasi : Pengertian, Makna dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Organisasi. Yogyakarta : UPP-STIM YKPN

Sopiah (2008). Perilaku Organisasional. Yogyakarta : Andi

Sukardi (2008). Metodologi Peneltian Pendidikan : Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta : Bumi Aksara

United Nation Development Program (2008). Human Development Index. Report (Online). [Tersedia] http : www.hdr.undp.or (16 Oktober 2009)

Usman, Husaini (2009).  Manajemen : Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. (third ed.). Jakarta : Bumi Aksara

Wahab, Abdul Aziz (2008). Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan (Telaah Terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan). Bandung : Alfabeta  

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Herzberg dan Teori Maslow

Makalah Aves

PERENCANAAN SUMBER DAYA PENDIDIKAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN