Di sepertiga malam, wajahku adalah peta datar, Tidak ada sungai yang tumpah dari kelopak mata. Hanya sepasang senyum yang kupahat terlalu lebar, Menipu cermin bahwa semua baik-baik saja.
Namun, di lipatan bibir yang pura-pura gembira, Ada kata-kata yang mati, membeku jadi es. Di sorot mata yang dipaksa tenang dan biasa, Ada badai yang diam, sebuah epilog tanpa jeda nafas.
Air mata yang tersirat, bukan kristal bening yang jatuh, Ia adalah beban sunyi yang menekan ulu hati. Ia adalah denyut yang terlalu cepat, atau napas yang rapuh, Isyarat kecil yang tak terbaca oleh mata yang alpa meneliti.
Ia bersembunyi di balik lelah yang tak terkatakan, Pada bahu yang terlalu sering menopang langit sendiri. Pada sapaan ramah yang tak lagi punya getaran, Dan pada tawa yang nadanya terlalu tinggi, terlalu sepi.
Kau takkan menemukannya di genangan pipi, Sebab ia mengalir ke dalam, membanjiri relung jiwa. Ia adalah doa yang dipanjatkan tanpa bunyi, Kesedihan yang memilih untuk menjadi rahasia.
Dan aku, sang pemegang rahasia ini, Hanya mampu mengukir luka dalam setiap tarikan napas. Menanti fajar datang, berharap matahari Membakar habis air mata yang tersirat tanpa bekas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar