Senin, 18 Juli 2022

Budaya Organisasi Sekolah dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Kabupaten Simeulue

Budaya Organisasi Sekolah

dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

di Kabupaten Simeulue

 

1.        Latar Belakang Masalah

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia masih dirasakan di oleh semua pihak, baik penyelenggara pendidikan itu sendiri maupun khalayak masyarakat. Hal ini sesuai dengan laporan Human Development Index (HDI) UNDP tahun 2007/2008 yang menunjukkan bahwa Indonesia berada pada ranking 107 dari 177 negara yang diteliti. Implikasi dari laporan UNDP tersebut adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan pada sekolah-sekolah di Indonesia selama ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan.

Dalam perspektif administrasi pendidikan, keberhasilan organisasi sekolah dalam implementasi proses dan hasil pendidikan yang bermutu, tidak hanya ditentukan oleh fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan (P4) saja, tetapi juga ditentukan oleh implementasi fungsi-fungsi manajemen tersebut dalam bentuk tindakan nyata yaitu perilaku organisasi sekolah. Keberhasilan implementasi manajerial di sekolah dapat di lihat dari dua dimensi perilaku organisasi yakni; Pertama, dimensi hard, berupa struktur organisasi, kebijakan, keuangan, sarana prasarana sekolah dan lain sebagainya. Kedua, dimensi soft, yakni budaya organisasi sekolah. Menurut para pakar administrasi pendidikan kontemporer, dimensi yang kedua yaitu dimensi budaya organisasi lebih besar pengaruhnya dalam menunjang keberhasilan sekolah.

Budaya organisasi merupakan pintu masuk dalam keberhasilan implementasi fungsi-fungsi manajemen. Budaya organisasi di pelajari oleh organisasi sebagai solusi dari berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaan tugas-tugas. Setiap organisasi memecahkan masalah anggota, identitas, tujuan bersama, mekanisme kerja, dan mengelola organisasi sekolah baik agresi maupun keintiman. Struktur budaya dan dinamika sosial budaya berfungsi dalam pembentukan hubungan antaranggota sehari-hari. Interaksi anggota merekonstruksi bagaimana norma-norma tingkah laku muncul melalui apa yang dilakukan atau tidak dilakukan anggota organisasi ketika kejadian penting  terjadi.  Kekuatan-kekuatan yang beroperasi di sekolah berasal dari semua anggota organisasi seperti apa organisasi mengatur sendiri, untuk menyelesaikan tugas dan untuk menciptakan inovasi untuk dirinya sendiri yang layak dan nyaman dalam organisasi.

Dalam nuansa desentralisasi pendidikan, budaya organisasi sekolah memiliki peranan penting untuk mewujudkan sekolah yang bermutu. Pendekatan budaya organisasi sekolah mangikat anggota organisasi untuk mengacu satu tujuan yakni tujuan sekolah.  Desentralisasi pengelolaan pendidikan di daerah-daerah yang diberikan otonomi membawah dampak kepada pembentukan budaya baru bagi organisasi sekolah yang lebih sesuai dengan konteks kewilayahan.  Pimpinan daerah, dinas pendidikan, pengawas, dan pemimpin pendidikan di sekolah memiliki paranan penting untuk mempengaruhi terbetuknya budaya baru di sekolah tersebut. Peranan yang dilakonkan oleh para pemimpin terkait tersebut di anut oleh anggota organisasi sekolah menjadi budaya organisasi sebagai cara untuk melakukan tindakan. Budaya organisasi  yang di anut tersebut asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, simbol-simbol organisasi yang dituangkan dalam visi sekolah, misi, strategi, aturan-aturan dan lain sebagainya yang kemudian ditaati dan dijadikan pedoman dalam melakukan tindakan.  

Secara teoretik budaya organisasi sekolah mempengaruhi dua hal terhadap perkembangan organisasi sekolah. Pertama budaya organisasi yang dapat mendukung kemajuan sekolah, dan yang kedua sebaliknya, budaya organisasi dapat menghambat kemajuan sekolah. Budaya organisasi yang mendukung dapat terlihat pada bagaimana sebuah organisasi tersebut menampilkan kinerja yang baik seperti inovasi baru program-program sekolah, kreativitas guru dalam melakukan pembelajaran siswa, dan norma dan nilai-nilai positif yang diperaktikkan dan dikembangkan oleh organisasi sekolah. Sedangkan budaya organisasi yang menghambat kemajuan merupakan sikap yang ditunjukan oleh organisasi yang tidak produktif seperti kaku (tidak kreatif), kurangnya inovasi, rendahnya kerja sama dalam organisasi, tidak ambisi untuk meningkatkan mutu kinerja organisasi, dan lain sebagainya yang kesemuanya menghambat keberhasilan sekolah. 

Pengamatan empirik penulis menunjukkan bahwa budaya sekolah pada umumnya masih terdapat budaya yang kurang produktif dan sedikit adanya sekolah mengembangkan budaya organisasi yang produktif. Budaya organisasi yang kurang baik pada akhirnya menjadi penghambat kemajuan proses implementasi manajemen sekolah.  

‘banyak guru tidak berani tegas dalam menuntut peserta didik belajar lebih keras karena takut tidak disukai dan dipukuli peserta didiknya. Beberapa guru mau di sogok uang oleh peserta didiknya agar mendapat nilai baik. Guru menerima karena terpaksa supaya dapat bertahan hidup. Guru takut di nilai mahal nilainya oleh kepala sekolah dan koleganya karena itu guru mengatrol nilai. Sekolah secara keseluruhan termasuk kepala sekolahnya tidak berani menentukan kriteria kenaikan kelas dan kelulusan Suparto (Usman, 2009:195)’.

 

Budaya organisasi sekolah selama ini telah dipengaruhi oleh budaya lingukungan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Kekuasaan orde baru telah meninggalkan suatu warisan yang tidak sesuai lagi diterapkan di era reformasi saat sekarang ini.  Tidak dapat di pungkiri bahwa kondisi tersebut turut merambah dunia pendidikan hingga kini, yaitu pola-pola yang justru menghambat percepatan pembangunan pendidikan yang bermutu.

“keadaan ini tampak pula di dunia pendidikan. Misalnya ketika hendak diadakan penilaian kinerja sekolah, sekolah tiba-tiba di sulap menjadi serba baik. Apapun caranya, semua guru harus memiliki perangkat mengajar yang lengkap dan baik. Absen guru harus nihil. Kalau tidak harus masuk surat izin sakit. Tidak boleh ada sampah berserakan di sekolah. Administrasi dan keuangan sekolah harus tampak tertib dan lancar. Keadaan yang sama juga berlaku ketika sekolah hendak di akreditasi. ..... bila semua selesai, keadaan sekolah kembali seperti biasa (Usman, 2009:194)”.

 

Permasahalan budaya organisasi sekolah yang terabaikan merupakan permasalahan organisasi persekolahan, permasalahan administrasi pendidikan, permasalahan masyarakat dan merupakan bagian dari permasalahan bangsa. Permasalahan tersebut tentunya harus tangani secara serius oleh semua pihak yang memimiki kepedulian terhadap pendidikan. Ketika budaya organisasi yang kurang bermutu tersebut dibiarkan tanpa penanganan serius maka hasrat untuk membangun pendidikan yang bermutu  di sekolah sulit untuk direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Budaya organisasi yang bermutu sebagai pendukung keberhasilan kinerja organisasi sekolah lebih terbentuk melalui manajemen berbasi sekolah, terutama dalam upaya perbaikan-perbaikan pengelolaan sekolah yang lebih efektif dan efisien, serta produktif. Hal ini didukung oleh otoritas sekolah yang lebih besar terhadap tugas-tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan.

Sejatinya, sekolah mengembangkan budaya organisasi yang bermutu dan meminimalkan budaya organisasi yang kurang bermutu. Budaya organisasi bermutu menjadi penentu keberhasilan sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah. Budaya organisasi sekolah yang bermutu menjadi pedoman melakukan tindakan dalam setiap kegiatan baik kegiatan individu maupun kegiatan organisasi.

Budaya organisasi meningkatkan pemahaman kepada warga sekolah tentang hakekat tugas fungsi sekolah dalam masyarakat, stategi yang di yakini sebagai asumsi  dasar, dan nilai-nilai yang ditanaman pada setiap anggota dalam organisasi sehingga setiap anggota organisasi tersebut memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi terhadap organisasi. Budaya organisasi merupakan jati diri sekolah, sehingga ketika orang luar melihat kinerja sekolah, sepintas dapat terlihat dari sikap dan tindakan organisasi dalam memecahkan suatu masalah.

Atas dasar pemikiran dan permasalahan di atas maka fokus penelitian ini adalah : “ Budaya Organisasi Sekolah dalam Implementasi Manajemen Barbasis Sekolah di Kabupaten Simeulue”.   

2.        Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana budaya organisasi sekolah dalam implementasi berbasis sekolah di kabupaten Simeulue.

 

3.        Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi dan analisis tentang bagaimana budaya organisasi sekolah dalam implementasi berbasis sekolah di kabupaten Simeulue. Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jabawan atas permasalahan yang diajukan melalui proses mengungkapkan, mendeskripsikan, dan menganalisis permasalahan, antara lain :

1.  Untuk mengetahui gambaran empirik budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue

2.  Untuk mengetahui asumsi dasar, nilai-nilai, dan artifak organisasi sekolah dalam implementasi manajamen berbasis sekolah

3.  Untuk mengetahui peran budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah   

4.  Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen barbasis sekolah

 

 

 

4.     Pertanyaan Penelitian

1.    Bagaimanakah gambaran empirik budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue ?

2.    Bagaimanakah  asumsi dasar, nilai-nilai, dan artifak organisasi sekolah dalam implementasi manajamen berbasis sekolah ?

3.    Apa peran budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah ?

4.    Faktor-faktor apa yang mempengaruhi budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen barbasis sekolah ?

 

5.    Manfaat Penelitian

A.  Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan, terutama perkembangan bidang budaya organisasi dalam lingkup ilmu administrasi pendidikan.

B.  Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1.    Pemerintah pusat maupun daerah dalam proses pengambilan keputusan strategis berkaitan dengan budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah.

2.    Stakeholders baik internal (warga sekolah) maupun external (masyarakat pengguna pendidikan) untuk lebih memberikan perhatian terutama terkait dengan budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah.

                                 

6.    Landasan Teoretis

A.   Konsep Budaya Organisasi

1.      Pengertian Budaya Organisasi

          Menurut Sopiah (2008:138) budaya organisasi adalah “sekumpulan nilai dan pola perilaku yang dipelajari, dimiliki bersama oleh semua anggota organisasi dan diwariskan dari generasi ke genarasi berikutnya. Menurut Hofstede (Rampersad, 2006:349) budaya organisasi merupakan ‘pemerograman mental bersama dari semua pihak yang berkepentingan dalam perusahaan’. Sedangkan menurut Schein (2004:17) budaya organisasi adalah :

a pattern of shared basic assumptions that was learned by a group as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems”.

 

Dari pengertian di atas, terdapat kata kunci untuk memahami konsep budaya organisasi. Kata kunci tersebut adalah asumsi dasar (basic assumptions), dan nilai-nilai (values).  Dalam sebuah organisasi asumsi dasar dan nilai-nilai yang di anut oleh anggota organisasi tidak tampak oleh masyarakat luar organisasi. Namun demikian, asumsi dasar dan nilai-nilai tersebut terwujud dalam bentuk artifak sebagai lapisan luar budaya organisasi. 

Asumsi dasar merupakan inti dari budaya organisasi yang tidak tampak kepermukakaan. Budaya organisasi banyak dipengaruhi oleh asumsi dasar. Menurut Ndraha (1997:104) “asumsi dasar dan kepercayaan (keyakinan) dasar merupakan pondasi budaya, baik budaya pribadi, budaya kelompok, maupun budaya organiasi”. Sedangkan menurut Sagala (2008:113) “asumsi dasar yang terdapat di antara anggota organisasi adalah budaya organisasi merupakan suatu sistem pengertian yang di terima secara bersama, dimana praktik-praktik yang telah berkembang dan menjadi identitas sejak beberapa lama dalam organisasi”.

Asumsi dasar mengalami proses panjang yang secara terus menerus mengalami perubahan karena benturan kepentingan yang seringkali tidak dapat dihindarkan. Setiap kali ada proses perubahan maka setiap kali pula terdapat pembenahan seiring dengan pengalaman dan perkembangan sejarah kehidupan organisasi.  Berkaitan dengan hal itu Chatab (2009:278) mengemukakan bahwa “kepedulian budaya pada tingkat yang paling dalam ini adalah pra anggapan dasar di bawah sadar dan sekaligus keadaan yang diterima tentang bagaimana persoalan keorganisasian (organizational) seharusnya dipecahkan”. 

Nilai mengandung unsur pertimbangan dalam arti nilai mengemban gagasan-gagasan seorang individu mengenai apa yang benar, baik, atau diinginkan.  Nilai adalah prinsip, tujuan, atau standar sosial yang dipertahankan oleh individu atau organisasi karena secara intrinsik mengandung makna. Menurut Rivai (2004:245) nilai adalah “keyakinan yang meresap didalam prakarsa individual”.  Sedangkan Sobirin (2007:165) mengemukakan bahwa nilai adalah “sebuah konsep yang abstrak yang hanya bisa dipahami jika dikaitkan dengan benda, barang atau hal-hal tertentu“.

Nilai-nilai organisasi dijadikan sebagai cara pandang organisasi terhadap lingkungan yang menentukan apa yang di anggap benar dan apa yang di anggap keliru. Cara pandang mempengarahui cara berpikir (ways of thinking) orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut.  Nilai-nilai yang anut dapat dijadikan sebagai akar pemotivasian (motivational roots) orang-orang untuk digerakkan kepada sasaran-sasaran program organisasi. Akar motivasi (motivational roots) adalah akar yang menghubungkan tujuan dan motivasi masing-masing individu di dalam organisasi dengan organisasi secara keseluruhan. Menurut Chatab (2009:278) “nilai  merupakan keyakinan dasar yang berperan sebagai sumber inspirasi kekuatan, motivasi dan pendorong sesorang dalam mengambil sikap, tindakan dan keputusan, serta bahkan dalam menggerakkan dan mengendalikan perilaku seseorang dalam upaya pembentukan corperate culture”.

            Budaya tingkat pertama adalah artifak yang merupakan budaya organisasi yang tampak sebagai lapisan pertama budaya organisasi dalam bentuk simbol, bahasa, atau  pola perilaku.  Chatab (2009:279) mengemukakan “artifak merupakan wujud kongkrit seperti system, procedures, sistem kerja, peraturan struktur, dan aspek fisik organisasi”.

Artifak merupakan alat komunikasi organisasi dengan pihak eksternal. Artifak menjadi jembatan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat stakeholders organisasi. Bagaimana organisasi memperkenalkan dirinya melalui artifak yang dimunculkan. Artefak sebagaimana dikemukakan Sobirin (2007:173) adalah “unsur budaya yang kasat mata yang mudah di obesrvasi oleh seseorang atau sekelompok orang, baik orang dalam maupun orang luar organisasi”.  Sedangkan Usman (2009:189) menyatakan bahwa “artifak adalah hasil kecerdasan manusia”.   

 

2.         Karakteristik Budaya Organisasi

Karakteristik budaya organisasi merupakan tampilan yang tampak sebagai hasil dari keyakinan dan nilai-nilai yang di anut oleh organisasi. Dalam suatu organisasi, Schein (2002:14) mengemukakan bahwa terdapat sepuluh karakteristik budaya organisasi sebagai berikut :

(1) Observe behavior: language, customs, traditions; (2) Groups norms: standards and values; (3) Espoused values: published, publicly announced values; (4) Formal philosophy: mission; (5) Rules of the game: rules to all in organization; (6) Climate: climate of group in interaction; (7) Embedded skills; (8) Habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization;  (9) Shared meanings of the group; (10) Metaphors or symbols”.

 

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa asumsi dasar, nilai-nilai merupakan lapisan budaya yang tidak tampak. Asumsi dasar dan nilai-nilai tersebut ditunjukkan dalam bentuk artifak-artifak organisasi. Artifak yang tampak merupakan cerminan dari asumsi dasar dan nilai-nilai yang di anut organisasi. Karena itu karakteristik budaya diwakili oleh artifak yang ada. Untuk menilai organisasi berdasarkan karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari suatu budaya organisasi. Gambaran menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku (Robbins,1996:289).

3.                                 Dimensi Budaya Organisasi

Budaya organisasi terdapat dimensi-dimensi sebagai proses suatu organisasi mencapai keinginan dari asumsi dan nilai-nilai yang telah diyakini. Lunenburg & Ornstein (Usman, 2009:186) mengemukakan bahwa “dimensi budaya organisasi merupakan sebagai sistem yang terdiri atas input, proses, dan output”.

Inputnya adalah sumber daya organisasi seperti siswa, uang, kurikulum, fasilitas, dan tenaga manusia yang di proses sehingga melahirkan output dalam bentuk materi manusia yang dikirim kepada lingkungan yang kemudian lingkungan tersebut memberikan umpan balik. Proses merupakan layanan yang diberikan dalam mengola input dalam bentuk kepemimpinan, pengambilan keputusan, komunikasi, dan perubahan organisasi yang dipengaruhi budaya organisasi.

Recardo & Jolly (Sopiah, 2008:134) mengemukakan bahwa terdapat delapan dimensi untuk menilai budaya suatu organisasi, yaitu :

(a) communication (komunikasi); (b) training and development (pelatihan dan pengembangan), (c) reward (imbalan); (d) decision making (membuat keputusan); (e) risk taking (pengambilan resiko); (f) planning (perencanaan); (g) team work (kerja sama) (h) management practice (praktik manajemen).

 

Dimensi budaya organisasi pada kenyataannya ditentukan oleh peran pimpinan dan anggota organisasi. Kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu organisasi mencerminkan tipe perilaku dari seorang pemimpin dalam kebijakannya terhadap sumber daya organisasi. Harison (Sobirin, 2007:198) mengemukakan bahwa tipe budaya organisasi terdapat empat macam : “(a) orientasi kepada kekuasaan (power orientation), (b) orientasi pada peran masing-masing pejabat (role orientation), (c) orientasi pada tugas (task orientation), dan (d) orientasi kepada orang (people orientation)”. Sedangkan Reynolds (Sobirin, 2007:190-193) dimensi budaya organisasi terdapat beberapa bentuk, antara lain :

(a) berorientasi external versus berorientasi internal; (b) berorientasi pada tugas versus berorientasi pada aspek sosial; (c) menekankan pada pentingnya safety versus berani menanggung resiko; (d) menekankan pada pentingnya comformity versus individuality; (e) pemberian reward  berdasarkan kinerja individu versus kinerja kelompok; (f) pengambilan keputusan secara individual versus keputusan kelompok; (g) pengambilan keputusan secara terpusat (centralized) versus pengembilan keputusan decentralized; (h) menekankan pada pentingya perencanaan versus ad hoc; (i) menekankan pada pentingnya stabilitas organisasi versus inovasi organisasi; (j) menekankan karyawannya untuk berkooperatif versus berkompetisi; (k) menekankan pada pentingnya organisasi yang sederhana versus organisasi yang kompleks; (l) prosudur organisasi bersifat formal versus informal; (m) menurut karyawan sangat loyal kepada organisasi versus tidak mementingkan loyalitas karyawan; (n) ignorance versus knowledge

 

Disamping itu, dalam memainkan perannya, pemimpin memainkan budaya organisasi dengan pendekatan yang dianggapnya sesuai dalam melakukan pemimpinan. Hal ini ditegaskan oleh Usman (2009:189-190) adalah  : (a) budaya birokratik, (b) marga (clan), (c) entrepreneur, dan (d) pasar (market).

Pertama, birokratik menekankan pada aturan, kebijakan, prosudur, rantai komando, pengambilan keputusan sentralistik dengan kultur birokratiknya. Budaya birokratik mempunyai bentuk perhatian terhadap internal organisasi dengan orientasi kontrol formal untuk mendapatkan kestabilan. Kedua, marga (clan) bekerja dengan mengutakan keluarga, suku, ras, agama, asal daerah, tradisional, dan ritual. Ketiga, entrepreneur lebih menekankan pada inovasi, kreasi, resiko, dan agresif dalam mencari peluang. Entrepreneur mempunyai bentuk perhatian terhadap eksternal organisasi dengan orientasi kontrol formal untuk mendapatkan keluwesan. Tipe budaya entrepreneurship ini mertolak belakang dengan tipe clan diatas. Pada prinsipnya tipe entrepreneur mengedepankan manajemen yang profesional dengan memperhatikan karyawan atau pegawai. Keempat, pasar (market) lebih menekankan pada pertumbuhan penjualan, meningkatkan kepedulian pasar, stabilitas keuangan, dan keuntungan. Budaya pasar mempunyai bentuk perhatian terhadap eksternal organisasi dengan kontrol formal untuk mendapatkan kestabilan.

 

 

4.                            Proses Pembentukan Budaya Organisasi

Budaya organisasi terbentuk sejak organisasi itu didirikan oleh para pendiri atau pemimpin organisasi. Budaya organisasi yang dibentuk oleh pemimpin organisasi berdasarkan keyakinan, nilai, dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh pemimpin tersebut.  Hal ini ditegaskan oleh  Schein (2004:226) yang mengemukakan bahwa budaya organisasi bersumber : “(1) the beliefs, values, and assumptions of founders of organizations; (2) the learning experiences of group members as their organization evolves; and (3) new beliefs, values, and assumptions brought in by new members and leaders”.

            Menurut Sagala (2008:113) “budaya organisasi dibangun oleh para anggota organisasi dengan mengacu kepada nilai dan sistem nilai yang berkembang dalam organisasi, dan pemberian hak kepada anggota dan pimpinan, dan dipengaruhi oleh struktur yang berlaku dalam organisasi tersebut”.

Menurut Wahab (2008:221) mengemukakan “proses terbentuknya budaya dari budaya sebagai input (BSI) menjadi budaya sebagai output (BSO) dalam sebuah organisasi”.

Dalam proses pembentukan budaya suatu organisasi yang panjang tersebut membutuhkan langkah-langkah dan tahapan-tahapan. Sobirin (2007:220) mengemukakan bahwa alur proses pembentukan budaya adalah sebagai berikut :

(1)  Para pendiri dan pimpinan lainnya membawah serta satu set asumsi dasar, nilai, pespektif, artefak kedalam organisasi dan menanamkannya kepada para karyawan; (2) Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni masalah integrasi internal dan adaptasi internal; dan (3) Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi menjadi seorang pencipta budaya baru (culture creator) dengan mengembangkan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan individual seperti persoalan identitas diri, kontrol, dan pemenuhan kebutuhan serta bagaimana agar bisa diterima oleh lingkungan organisasi yang diajarkan kepada generasi penerus.

 

Budaya organisasi yang telah terbentuk di bina oleh anggota organisasi melalui sistem yang digerakkan oleh pemimpin organisasi.  Menurut Sopiah  (2008:136) pembinaan budaya perusahaan dapat dilakukan dengan serangkaian langkah sosialisasi sebagai berikut :

“ (a) Seleksi pegawai yang objektif, (b) Penempatan orang dalam pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, “the right man on the right place at the right time”, (c) Perolehan dan peningkatan kemahiran melalui pengalaman, (d) Pengukuran prestasi dan pemberian imbalan yang sesuai, (e) Penghayatan akan nilai-nilai kerja atau hal lain yang penting, (f) Criteria-criteria dan faktor organisasi yang menumbuhkan semangat dan kebanggaan, dan (g) Pengakuan dan promosi bagi karyawan yang berprestasi”.

 

Pembentukan karakter anggota organisasi menjadi budaya baru memerlukan analisis melalui pola kebijakan dan kepemimpinan suatu organisasi. Sejak rekrutmen telah diberikan pemahaman terhadap pekerjaan, hal ini dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan anggota organisasi tersebut. Karakter anggota yang telah menjadi budaya yang di anut dan diaplikasikan dalam bentuk tindakan menjadi budaya organisasi yang kohesif. Usman (2009:187) menyatakan bahwa “untuk menciptakan budaya organisasi yang kohesif, dilakukan proses yang disingkat dengan kata HOME (history, oneness, membership, dan exchange)”.

History adalah mengembangkan perasaan bersejarah dengan metode elaborasi terhadap sejarah dan mengkomunikasikan “pahlawan-pahlawan” dan lain-lain. Oneness ialah menciptakan rasa keutuhan dengan metode kepemimpinan dan pemodelan peran, mengkomunikasikan norma-norma dan nilai-nilai. Membership ialah meningkatkan rasa keanggotaan, yakni dengan sistem ganjaran, manajemen karier dan keamanan kerja, rekrutmen dan penyusunan staff, sosialisasi kepada anggota baru, pengembangan dan pelatihan. Exchange adalah meningkatkan pertukaran antaranggota, partisipasi dalam pengambilan keputusan, koordinasi dalam kelompok, dan pertukaran personal.

 

 

 

 

 

 

B.       Peran dan Fungsi Budaya organisasi

 

Budaya organisasi digunakan sebagai perekat anggota dalam organisasi. Budaya organisasi merupakan esensi dari kelangsungan hidup suatu organisasi yang ditunjukkan bahwa oragnisasi memiliki berbagai asumsi, nilai, norma, dan simbol, yang kemudian membuat organisasi tersebut menjadi unik.

 

“Budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektivitas kinerja organisasi...sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, menagarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasi sumber daya dan mengelola sumber daya organisasional, dan juga sebagai alat untuk mengahadapi masalah dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal (Wahab, 2008:213)”.

 

Budaya organisasi yang spesifik yang membedakan antara sekolah satu dengan sekolah lainnya. Budaya organisasi memiliki hubungan yang erat dengan kegiatan manajemen. Untuk melihat bagaimana budaya sebuah organasasi dilakukan dengan menganalisis asumsi dasar dan nilai-nilai yang di anut oleh organisasi.

Robbins (1996:294), mengemukakan fungsi budaya organisasi sebagai berikut :

(a) budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain, (b) membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi, (c) mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang, (d) merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan, (e) sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

                     

Menurut Rivai (2004:432) budaya melakukan sejumlah fungsi didalam sebuah organisasi, antara lain :

(a) budaya mempunyai sejumlah peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain; (b) budaya memberi identitas bagi anggota organisasi; (c) budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dan pada kepentingan individu; (d) budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial; dan (e) budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku karyawan.

 

Dari pendapat diatas, jelaslah bahwa fungsi budaya organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi yang dianut anggota organisasi merupakan cara yang digerakkan menjadi alat untuk mencapai tujuan yang telah dipahami. 

Sopiah (2008:39) mengemukakan bahwa “organisasi yang memiliki budaya yang kondusif memacu karyawan untuk berkinerja maksimal, misalnya disiplin, kreatif, inovatif, tepat waktu, dll”. Sagala (2008:120) mengemukakan bahwa budaya yang kuat adalah :

“budaya dimana nilai-nilai di anut dengan kuat, di tata dengan jelas, dan dirasakan bersama-sama secara luas yang dapat meningkatkan konsistensi perilaku. Dengan adanya budaya organisasi yang diyakini sebagai nilai-nilai, tenaga pendidik dan kependidikan seperti kepala sekolah, guru, pustakawan, laboran, teknisi, cleaning service, dan bodyguard diikat oleh seperangkat aturan main tentang tugas dan tanggung jawabnya masing-masing”.

 

C.      Faktor-faktor yang mempengaruhi Budaya Organisasi

Pembentukan budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor baik pengaruh internal dan ekternal organisasi : (1) Pengaruh umum dari luar yang luas. Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi. (2) Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat. Keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan. (3) Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi. Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.

Budaya organisasi mengalami proses perubahan-perubahan. Perubahan tersebut ketika nilai-nilai dalam organisasi tidak lagi kuat. Menurut Sobirin (2007:227) kemungkinan proses penyimpangan budaya terjadi hal-hal sebagai berikut :

“(a) para pimpinan organisasi yang bertindak sebagai penjaga nilai-nilai organisasi tidak mampu lagi memonitor dan menjaga keutuhan nilai-nilai organisasi; (b) pada saat yang sama komunikasi dan internalisasi nilai-nilai organisasi tidak berjalan efektif sebagaimana mestinya; dan (c) para anggota organisasi merasa bahwa mereka bukan sekedar objek tetapi juga menjadi subjek dalam proses pembentukan budaya”.

 

Dalam praktik manajemen kontemporer prilaku kepemimpinan dalam upaya pencapaian tujuan organisasi terdapat bermacam-macam model. Kadang kalah model yang diterapkan oleh pengambil kebijakan dalam organisasi tersebut berhasil sesuai dengan situasi dan kondisi. Chatab (2009:280) mengemukakan bahwa  “tanpa perubahan tingkah laku para anggota organisasi terutama para pengambil keputusannya, proses perubahan budaya organisasi tidak akan terjadi”.

Perubahan kebiasaan atau perubahan budaya, pada akhirnya tergantung pada implementasi perilaku dari para individu yang menguatkan dan konsisten dengan tata nilai budaya baru. Kunci perubahan budaya sangat ditentukan oleh perubahan perilaku individu dan tema perubahannya, sedangkan perubahan sangat dipengaruhi oleh kompetensi manajerialnya. Dengan demikian kompetensi individu merupakan faktor yang banyak menentukan peningkatan kualitas budaya dalam suatu organisasi.  

 

7.    Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode diskriptif.  Sukardi (2008:157) mengemukakan “penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek”.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengkaji permasalahan dan memperoleh makna secara mendalam tentang budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue. Lofland dan Lofland (Moleong, 2005:157) mengemukakan bahwa “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”.

Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama di catat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio tapes, pengambilan foto, atau film.   

Pendekatan kualitatif digunakan peneliti berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain: Pertama; Peneliti akan melihat secara keseluruhan dari potret empirik  budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue. Penelitian yang dilakukan terhadap orang yang diteliti dan mendeskripsikannya secara induktif.  Peneliti bermaksud mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman dari pola yang terdapat dalam budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue.  Kedua; peneliti bermaksud untuk menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala, dan peristiwa yang berkaitan dengan peran budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue dalam kondisi serta situasi apa adanya. Ketiga; bidang kajian penelitian ini berkenaan dengan identifikasi faktor budaya organisasi sekolah yang dapat mendukung dan menghambat implementasi manajemen berbasis sekolah. Keempat, bidang kajian ini peneliti bermaksud untuk mengetahui upaya mengembangkan budaya organisasi sekolah yang mendukung dan menghilangkan budaya organisasi yang menghambat dalam implementasi manajemen berbasis sekolah.

Studi diskriptif diarahkan untuk mengidentifikasi situasi ketika proses penyelidikan dilakukan, menggambarkan variabel atau kondisi lapangan apa adanya dalam situasi apapun. Metode diskriptif bersifat menjabarkan, menguraikan, dan menafsirkan kondisi, peristiwa, proses yang sedang terjadi dalam konteks pemasalahan.

 

8.        Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di pada sekolah seluruh jenjang pendidikan yang ada di kabupaten Semeulue yakni terdiri dari tingkat SMA, SMP, dan SD. Peneliti  mengambil beberapa sekolah sebagai sampel penelitian yaitu 1 sekolah tingkat SMA, 1 tingkat SMP dan 1 tingkat SD.

Subjek penelitian ini adalah orang-orang yang terdapat dalam organisasi sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, pengawas, dan komite sekolah di kabupaten Simeulue. Moleong (2002:165-166) mengemukakan bahwa ciri-ciri sampel penelitian kualitatif adalah :

( a) sampel tidak dapat ditentukan atau di tarik lebih dahulu, (b) pemilihan sampel secara berurutan untuk memperoleh informasi yang telah lebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan atau ada kesenjangan informasi, dan (c) penyesuaian berkelanjutan dari sampel. Pada awalnya sampel di anggap sama, kemudian informasi mengembang ternyata semakin luas, sehingga sampel akan berakhir jika sudah mulai terjadi pengulangan informasi, sudah terjadi ketuntasan atau kejenuhan karena tidak diproleh tambahan informasi yang berarti.

 

Fokus yang diteliti adalah budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah. Peneliti menganggap bahwa dalam organisasi sekolah terdapat individu-individu yang berfungsi sebagai kepala sekolah, guru, komite sekolah dan pengawas yang merupakan orang yang malaksanakan kegiatan manajemen berbasis sekolah. Sekolah memiliki struktur organisasi dimana terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling beriteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas menurut fungsinya. Peneliti perlu mengkaji bagaimana kepala sekolah, guru, pengwas, dan komite yang terlibat dalam organisasi tersebut menampilkan budaya dalam konteks organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian orang-orang dalam organisasi sekolah tersebut dijadikan sebagai subjek penelitian ini.

 

9.        Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penilitian kualitatif seperti “bola salju (snow ball) kecil di kutub utara, yang menggelinding di dinding pegunungan yang terjal, akan semakin membesar dan menjadi bola salju raksasa Sentana (2006:125)”.  Dari istilah tersebut berarti peneliti terus mencari informasi sesuai dengan fokus sasaran yang diinginkan sampai terjadi pengulangan data dan sampai timbul kejenuhan.

Supaya data dan informasi dapat dipergunakan dalam penalaran, data dan informasi itu harus merupakan fakta.  Gorys Keraf (Patilima, 2005:68) mengemukakan bahwa “dalam kedudukannya yang pasti sebagai fakta, bahan-bahan itu siap digunakan sebagai eviden”.

Dari pendapat diatas, peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, adalah sebagai berikut:

1.    Observasi

Observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap objek yang sedang diteliti yakni budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue.  Menurut Moleong (2005:157) “pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya”. 

Dalam pelaksanaan observasi, kegiatan yang utama dilakukan adalah berkenaan dengan budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah yang ada di kabupaten Simeulue.

2.    Wawancara

Wawancara sama halnya dengan observasi, yang merupakan sumber data utama. Wawancara dilakukan dengan tanya jawab, tatap muka langsung dengan kepala sekolah, guru, pengawas, dan komite sekolah yang ada di kabupaten Simeulue, dengan mengiformasikan kepada subjek penelitian dengan menggunakan pedoman wawacara, yaitu dengan melalui angket. Wawancara itu bertujuan untuk menggali data dan informasi dari subjek penelitian dengan segala permasalahannya.

3.    Studi dokumentasi

 Menurut Moleong (2005:159) “walaupun dikatakan bahwa sumber di luar kata dan tindakan merupakan sumber kedua, jelas hal itu tidak bisa diabaikan”.

Studi dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti yaitu berupa pengkajian tentang budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah seperti budaya organisasi sekolah dalam perencanaan sekolah, pengorganisasian sumber daya sekolah, pemimpinan sumber daya sekolah, dan pengawasan sumber daya sekolah. Studi dokumentasi bertujuan untuk mempelajari dan menelusuri data yang bersumber pada dokumen mengenai catatan dan brosur dengan dapat mengecek kesesuaian informasi yang berkaitan dengan program sekolah dalam kaitannya dengan budaya organisasi sekolah. Pengumpulan data dilakukan secara cermat, selektif dan lengkap digunakan alat pengumpul data, yaitu pedoman observasi, pedoman wawancara, dan studi dokumentasi, serta peralatan rekaman baik dalam bentuk gambar ataupun rekaman suara.

 

10.    Teknik Analisis Data

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa data yang dikumpulkan melalui penelitian adalah data kualitatif. Secara keseluruhan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur atau langkah-langkah seperti pendapat berikut. Nasution (1998:129-130) yaitu “reduksi data, display data, dan mengambil kesimpulan dan verifikasi”. Menurut Mattew dan Michael (Patilima, 2005:98) analisis data “dapat di bagi ke dalam tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan”.

Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara terus-menerus dari awal hingga akhir, baik di lapangan maupun di luar lapangan. Analisis data di lapangan meliputi pencatatan, pemberian kode, dan penafsiran sementara terhadap berbagai informasi yang diperoleh pada setiap langkah kegiatan penelitian.  Analisis data di luar lapangan merupakan kelanjutan dari analisis data yang terkumpul, baik melalui observasi, wawancara, maupun studi dokumentasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Reduksi data, yaitu membuat abstraksi-abstraksi dari seluruh data yang diperoleh dari seluruh data catatan lapangan.

2.    Pengorganisasian dan pengolahan data sesuai dengan tujuan penelitian, yakni budaya organisasi sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah di kabupaten Simeulue, baik yang berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, pengawasan maupun hasil.

3.    Penafsiran data sesuai dengan tujuan penelitian, yakni menyusun dan merakit unsur-unsur data penelitian serta memberi makna berdasarkan pandangan peneliti untuk mencapai suatu kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan karena pada hakekatnya keseluruhan data dalam penelitian ini saling menunjang dan saling melengkapi satu sama lain.

Verifikasi data dilakukan untuk memeriksa apakah kesimpulan yang di ambil sudah tepat atau belum dan apakah sudah mencapai tujuan penelitian. Seluruh kegiatan analisis data tersebut dilakukan secara terus-menerus dan saling berhubungan dari awal sampai akhir tujuan. Pengolahan data menggunakan pendekatan kualitatif yaitu : menarik kesimpulan (conclusion) dari fakta yang tidak di proses melalui perhitungan statistik dan tidak di olah dengan angka-angka.

Data yang diperoleh peneliti, perlu diadakan pengecekan atau pemeriksaan ulang untuk memperoleh keabsahan data. Menurut Moleong (2005:324) data absah dalam kualitatif apabila memenuhi empat kriteria : “ (a) derajat kepercayaan (credibility), (b) keteralihan (transferability), (c) kebergantungan (dependibility), dan (d) kepastian (confirmability).

Derajat kepercayaan (kredibel) diperoleh peneliti dengan membuktikan kenyataan-kenyataan ganda yang sedang diteliti. Keteralihan (transferability) yakni peneliti mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks. Kepastian (confirmability) data diperoleh atas kesepakatan atau persetujuan dari banyak orang. Sedangkan kebergantungan (dependibility) data didapatkan dengan mengadakan dengan replikasi setudi atau pengecekan ulang, “pengecekan atau pemeriksaan ulang data dapat dilakukan dengan ketekunan pengamatan dan triangulasi Patton (Moleong, 2002:98)”.  

Analisis data dalam penelitian ini digunakan metode alir. Metode alir ini, peneliti melakukan ketiga kegiatan analisis secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

11.    Rancangan Kegiatan Penelitian

     Rancangan penelitian di susun oleh peneliti sebagai panduan dalam melaksanakan penelitian di lapangan. Menurut Moleong (2005:127) rancangan kegiatan penelitian melalui tiga tahapan yaitu “tahap pra-lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data”.

Tahap pralapangan, peneliti melakukan enam tahap yakni membuat rancangan, memilih lapangan, mengurus izin, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, dan menyiapkan perlengkapan. Selain itu, dalam kegiatan pralapangan peneliti melakukan dengan memperhatikan etika penelitian.

Tahapan pekerjaan lapangan adalah tahapan mulainya pengumpulan data. Tahap pekerjaan lapangan di bagi atas tiga bagian, yaitu : (1) memahami latar penelitian dan persiapan diri, (2) memasuki lapangan, dan (3) berperanserta sambil mengumpulkan data. Latar merupakan merupakan suatu kondisi dimana data tersebut diambil sehingga ada latar yang terbuka dan ada pula latar yang tertutup. Menurut Lofland dan Lofland (Moleong, 2005:137) “latar terbuka terdapat di lapangan umum seperti tempat berpidato, orang berkumpul di taman, toko, bioskop, dan ruang tunggu rumah sakit. Sedangkan latar tertutup terdapat di tempat tertutup”.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kedua dari latar penelitian tersebut yakni latar terbuka dan latar tertutup. Pada latar terbuka peneliti melakukan pengamatan sedangkan pada latar tertutup peneliti lebih menekankan pada wawancara secara mendalam. Untuk mendapatkan informasi dari subjek peneliti menajalin hubungan yang akrab dengan subjek. Peneliti tidak harus mempelajari bahasa yang digunakan subjek karena bahasa yang digunakan tersebut telah peneliti kuasai terlebih dahulu. Selain itu, peneliti berperan aktif dalam mengungkapkan informasi, dan jika kondisi menuntut, peneliti ikut terjun berperanserta pada kegiatan subjek.

Tahapan yang terakhir dalam penelitian ini adalah tahap analisis data. Bogdan dan Biklen (Moleong, 2005:248) mengemukakan analisis data kualitatif adalah :

“upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat di kelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memusatkan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”. 

 

Peneliti sebagaimana telah dijelaskan pada bagian teknik analisis data, bahwa analisis data dilakukan mulai dari awal sampai akhir penelitian.           

 

12.    Instrumen Penelitian

Peneliti sendiri merupakan instrumen dalam penelitian, karena dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif peneliti merupakan instrumen utama.  Menurut Nasution (1998:55-56) indikasi manusia sebagai peneliti adalah :

(1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakan bermakna; (2) Peneliti sebagai alat dapat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka data sekaligus. (3) Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. (4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia tidak dapat dengan pengetahuan semata-mata. Untuk memahami, kita perlu merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita. (5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh dan menafsirkannya. (6) Hanya manusia sebagai instrumen yang dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera mengunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan dan penolakan.

 

Mulai memasuki lapangan hingga akhir penelitian, peneliti menggali data sesuai dengan tujuan penelitian dengan memahami, merasakan, menyelami dalam waktu, situasi dan kondisi apapun. Peneliti menganalisis semua lingkungan dalam dan luar, mamahami makna tersembunyi dibalik pembicaraan, mengkait-kaitkan satu item dengan item lain, dan menganalis dokumen apa saja yang berkaitan dengan data yang akan di cari.

 

13.    Jadwal Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, yaitu sejak persiapan proposal penelitian, seminar proposal penelitian, pengumpulan data, analisis data, penulisan laporan, sampai sidang hasil penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No

Agenda Kegiatan

Bulan/Thn 2010

Maret

April

Mei

Juni

1

Persiapan penelitian

ü   

 

 

 

a. Observasi awal

ü   

 

 

 

b. Penyusunan laporan

ü   

 

 

 

c. Seminar proposal

ü   

 

 

 

2

Pengumpulan data lapangan

 

ü   

 

 

3

Pengolahan dan analisis data

 

ü   

 

 

4

Penulisan laporan

 

 

X

 

5

Seminar/sidang  hasil penelitian

 

 

X

 

6

Revisi dan percetakan hasil penelitian

 

 

 

X

 

Daftar Pustaka

 

Chatab, Nevizond (2009). Mengawal Rancangan Pilihan Organisasi (Organization Theory, Design & Structured Networks). Bandung : Alfabeta

Moleong, Lexy J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

______________ (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Nasution, S. (1998). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.  Bandung : Tarsito

Ndraha, Taliziduhu (1997). Budaya Organisasi.Jakarta : Rineka Cipta

Patilima, Hamid. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Rampersad, Hubert K. (2006). Total Performance Scorecard, Konsep Manajemen Baru : Mencapai Kinerja Dengan Integritas. Ali Bahasa Edy Sukarno dan Vinsensius Djemadu. Jakarta : Gramedia

Rivai, Viethzal (2004). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta : RajaGrafindo Persada

Robbins, Stephen  (1996).  Perilaku Organisasi Konsep – Kontroversi – Aplikasi. Jilid II. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Prenhallindo

Sagala, Syaiful (2008). Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan : Pemberdayaan Organisasi Pendidikan ke arah yang lebih Profesional, dan Dinamis di Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Satua Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Schein, Edgar H. (2004). Organizational Culture and Leadership. (third ed.). San Francisco : Jossey-Boss

_____________ (2002). Organizational Culture and Leadership. (second ed.). San Francisco : Jossey-Bass

Sentana, Aso (2006). Excellent Service & Custumer Satisfaction, Ajang Wacana dan Kiat-kiat Penting bagi Keberhasilan Pebisnis. Jakarta : Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia

Sobirin, Achmad (2007). Budaya Organisasi : Pengertian, Makna dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Organisasi. Yogyakarta : UPP-STIM YKPN

Sopiah (2008). Perilaku Organisasional. Yogyakarta : Andi

Sukardi (2008). Metodologi Peneltian Pendidikan : Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta : Bumi Aksara

United Nation Development Program (2008). Human Development Index. Report (Online). [Tersedia] http : www.hdr.undp.or (16 Oktober 2009)

Usman, Husaini (2009).  Manajemen : Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. (third ed.). Jakarta : Bumi Aksara

Wahab, Abdul Aziz (2008). Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan (Telaah Terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan). Bandung : Alfabeta  

 


PENGALAMAN TERBAIK MENJADI GURU DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Guru dewasa ini berkembang sesuai dengan fungsinya, membina untuk mencapai tujuan pendidikan. Lebih-lebih dalam sistem sekolah sekarang ini, masalah pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan tenaga pengajar perlu mendapat perhatian yang serius. Bagaimanapun baiknya kurikulum, administrasi, dan fasilitas perlengkapan, kalau tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas guru-gurunya tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untukk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para siswa agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru. Peran guru ini antara lain meliputi guru sebagai pendidik pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu, model dan teladan, pribadi dan guru sebagai peneliti dan masih banyak lagi. Untuk lebih memahami masing-masing peran tersebut kami menjelaskan beberapa peran guru dalam makalah ini yaitu guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu, model dan teladan, pribadi dan guru sebagai peneliti. BAB II PEMBAHASAN A. Guru Sebagai Pendidik Mendidik berarti mentransfer nilai-nilai kepada siswanya. Nilai-nilai tersebut harus diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Mendidik dapat diartikan pula dengan mengantarkan anak didik agar menemukan dirinya, menemukan kemanusiaannya. Selain itu mendidik dapat berarti memanusiakan manusia. Dengan demikian secara esensial dalam proses pendidikan, guru itu bukan hanya berperan sebagai pengajar yang transfer of knowledge tetapi juga pendidik yang transfer of values. Ia bukan hanya pembawa ilmu pengetahuan akan tetapi juga menjadi contoh seorang pribadi manusia. Guru sebagai pendidik adalah seorang yang berjasa besar terhadap masyarakat dan bangsa. Tinggi rendahnya kebudayaan masyarakat, maju atau mundurnya tingkat kebudayaan suatu masyarakat dan negara sebagian besar bergantung pada pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru. Pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang mulia, baik ditinjau dari sudut masyarakat dan negara maupun dari keagamaan. Tugas seorang guru tidak hanya mendidik. Oleh karena itu, untuk melaksanakan tugas sebagai guru tidak sembarang orang dapat menjalankannya. Sebagai guru yang baik harus memenuhi syarat, yang ada dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia, yaitu: (1) Berijazah, (2) Sehat jasmani dan rohani, (3) Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik, (4) Bertanggung jawab, dan (5) Berjiwa nasional. Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus memiliki standar kualitas pribadi teretentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Berkaitan dengan tanggung jawab, guru harus mengetahui, serta memahami nilai, moral dan social serta berusaha dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Seorang guru yang berwibawa adalah guru yang memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, social dan intelektual dalam pribadinya. Seorang guru yang mandiri adalah guru yang mampu mengambil keputusan secara mandiri, terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi, serta bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik dan lingkungan. Sedangkan guru yang disiplin adalah guru yang mematuhi peraturan dan tata tertib secara konsisten, atas kesadaran professional.( Mulyasa, 2008: 37) Seorang guru dikatakan sebagai guru tidak cukup “ tahu” sesuatu materi yang akan diajarkan, tetapi pertama kali ia harus merupakan seseorang yang memang memiliki “ kepribadian guru” dengan segala cirri tingkat kedewasaannya. Dengan kata lain bahwa untuk menjadi pendidik atau guru, seseorang harus berpribadi. Tugas pendidik adalah sebagai teladan bagi siswa. Sukses tidaknya seorang pendidik adalah dilihat dari hasil didikan seorang pendidik. Pendidik yang sukses akan mengikat peserta didik dengan nilai-nilai universal dan menjauhkan peserta didik dari pengaruh budaya dan pemikiran yang merusak. Sebagai seorang guru yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan kepribadian, guru dituntut memiliki kepribadian ideal yang patut untuk dicontoh. Peserta didik tidak akan mudah untuk tergugah hati dan pikiran atas ajaran pendidik, bila tidak melihat bukti aktualisasinya pada diri pendidik. Sebagai contoh siswa tidak akan disiplin dalam mengikuti pelajaran guru yang sering terlambat masuk dan memulai pelajaran. Guru memang seorang pendidik sebab dalam pekerjaannya ia tidak hanya mengajar seseorang agar tahu beberapa hal, tetapi guru juga melatihkan beberapa keterampilan dan terutama sikap mental anak didik. Mendidik sikap mental seseorang tidak cukup hanya mengajarkan sesuatu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan itu harus dididikkan, dengan guru sebagai idolanya. Dengan mendidikkan dan menanamkan nilai-nilai yang terkandung pada berbagai pengetahuan yang dibarengi dengan contoh-contoh teladan dari sikap dan tingkah laku gurunya, diharapkan anak didik atau siswa dapat menghayati dan kemudian menjadikan miliknya sehingga dapat menumbuhkan sikap mental. Sebagai seorang pendidik, guru harus memenuhi syarat khusus. Untuk mengajar ia dibekali dengan berbagai ilmu keguruan sebagai dasar, disertai pula seprangkat latihan keterampilan keguruan, dan pada kondisi itu pula, ia belajar mempersonalisasikan beberapa sikap keguruan yang diperlukan. Semuanya itu akan menyatu dalam diri seorang berpribadi khusus, yakni ramuan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan keguruan serta penguasaan beberapa ilmu pengetahuan yang akan ia trnsforrmasikan pada anak didik atau siswanya, sehingga mampu membawa perubahan di dalam tingkah laku siswa itu. Tugas utama pendidik adalah membantu mendewasakan anak. Dewasa secara psikologis, social dan moral. Dewasa secara psikologis berarti individu telah bisa berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, juga telah mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, mampu bersikap objektif. Dewasa secara social berarti telah mampu menjalin hubungan social dan kerja sama dengan orang dewasa lainnya, telah mampu melaksanakan peran-peran social. Dewasa secara moral yaitu telah memiliki seperangkat nilai yang ia akui kebenarannya, ia pegang teguh dan mampu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pegangannya. (Sukmadinata, 2004 : 252) Seorang guru memiliki psikologi dan karakter yang berbeda. Ada yang bersifat penyayang, pemarah, diktaktor dan lain-lain. Terkadang guru memiliki masalah baik pribadi atau pun dengan lingkungan sehingga secara tidak langsung terkadang masalah tersebut dapat terbawa didalam kelas. Seorang guru yang memiliki sifat pemarah akan lebih mudah membawa masalah pribadinya didalam kelas sehingga secara tidak langsung akan berdampak pada siswanya. Sebagai seorang guru haruslah memiliki sikap profesionalisme sehingga guru dapat mengontrol emosinya dan tidak mencampuradukan urusan diluar kelas dan didalam kelas. B. Guru Sebagai Pengajar Sejak adanya kehidupan, sejak itu pula guru telah melaksanakan pembelajaran, dan memang hal tersebut merupakan tugas dan tanggung jawabnya yang pertama dan utama. Guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempeljari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi dan memahami materi standar yang dipelajari. Perkembangan teknologi mengubah peran guru dari pengajar yang bertugas menyampaikan materi pembelajaran menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar. (Mulyasa, 2008: 38) Guru sebagai pengajar atau penyampai ilmu pengetahuan masih cenderung menonjol. Hal ini berarti bahwa guru pada umumya akan memberikan criteria keberhasilan anak didiknya melalui nilai-nilai pelajaran yang diajarkan setiap harinya, serta kurang memperhatikan sikap dan tingkah laku anak sehari-harinya. Dalam kaitan ini berarti guru disifati sebagai seorang yang hanya lebih dan tinggi soal ilmu pengetahuan saja Lebih dalam lagi keberhasilan siswa dalam pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Sebagai seorang pengajar guru harus mampu membina hubungan yang baik dengan peserta didik dan keterampilan guru saat berkomunikasi di dalam kelas pun merupakan sifat seorang yang harus dimiliki guru sebagai pengajar. Dengan terpenuhinya factor-faktor diatas maka peserta didik dapat belajar dengan baik. (Mulyasa, 2008: 39) Sebagai pengajar guru harus memiliki tujuan yang jelas, membuat keputusan secara rasional agar peserta didik memahami keterampilan yang dituntut oleh pembelajaran. Untuk kepentingan tersebut perlu dibina hubungan yang positif antara guru dengan peserta didik. Hubungan ini menyangkut bagaimana guru merasakan apa yang dirasakan peserta didiknya dalam pembelajaran, serta bagaimana peserta didik merasakan apa yang dirasakan gurunya. Sebaiknya guru mengetahui bagaimana peserta didik memandangnya karena hal tersebut sangat penting dalam pembelajaran, baik di sekolah maupun luar sekolah.( Mulyasa, 2008: 40) Sebagai pengajar profesional mengajar yang baik bukan sekedar persoalan teknik-teknik dan metedologi belajar siswa. Salah satu tugas guru yang harus dilaksanakan di sekolah adalah memberikan layanan kepada siswa adalah agar mereka menjadi anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Guru harus memberikan ilmu yang dimilikinya kepada peserta didik dengan rasa tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi. Terdapat beberapa hal yang dapat / perlu dilakukan guru dalam pembelajaran yakni: 1.Membuat ilustrasi 2.Medefinisikan 3.Menganalisis 4.Mensintesis 5.Bertanya 6.Merespon 7.Mendengar 8.Menciptakan kepercayaan 9.Memberikan pandangan yang bervariasi 10.Menyesuaikan metode pembelajaran dengan situasi dan keadaan kelas 11.Mengevaluasi hasil belajar siswa. Tugas utama guru sebagai pengajar adalah membantu perkembangan intelektual, afektif dan psikomotor, melalui menyampaikan pengetahuan, pemecahan masalah, latihan-latihan afektif dan keterampilan. Pada waktu menyampaikan pengetahuan tidak mungkin terlepas dari upaya mendewasakan anak, dan upaya mendewasakan anak tidak mungkin dilepaskan dari mengajar( menyampaikan pengetahuan dll). Dengan demikian peran guru sebagai pendidik dan pengajar tidak mungkin dipisahkan(sukmadinata, 2004 : 253 ) Peran guru merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan peserta didik dalam melakukan tranformasi ilmu serta internalisasi etika dan moral. Seorang guru yang profesional harus mampu memiliki persyarakatan minimal antara lain, memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuni, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan anak didiknya, memiliki jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen yang tinggi terhadap profesinya dan melakukan pengembangan diri secara terus menerus ( Continous improvemen ) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar ( Sidi. 2002: 39 ). Dengan demikian tugas guru bukan lagi sebagai knowledge base tetapi sebagai competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai- nilai etika dan moral . Dengan profesionalisasi guru, saat ini guru bukan lagi sebagai pengajar tetapi tugas guru beralih menjadi Coach, Conselor dan learning manager. Sebagai coach, seorang guru harus mampu mendorong siswanya untuk menguasai konsep-konsep keilmuan, memotivasi untuk mencapai prestasi siswa setinggi-tingginya serta membantu untuk menghargai nilai-nilai dan konsep-konsep keilmuan. Sebagai conselor, guru berperan sebagai sahabat dan teladan dalam pribadi siswa serta mengundang rasa hormat dan keakraban pada diri siswa. Sebagai manager, guru membimbing siswanya untuk belajar, mengambil prakarsa dan mengekspresikan ide-ide baik yang dimilikinya. Dengan demikian, diharapkan siswa mampu mengembangkan kreativitas dan mendorong adanya penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga siswa mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia. C. Guru Sebagai Pembimbing Guru berusaha membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif. Siswa adalah individu yang unik. Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan sebagainya. Di samping itu setiap individu juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentu tidaklah sama juga. Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing. Bimbingan dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan menuntun anak didik dalam perkembangannya dengan jalan memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sebagai guru harus membimbing dalam arti menuntun sesuai dengan kaidah yang baik dan mengarahkan perkembangan anak didik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, termasuk dalam hal ini, yang penting ikut memecahkan persoalan-persoalan atau kesulitan yang dihadapi anak didik. Dengan demikian diharapkan dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik pada diri siswa, baik perkembangan fisik maupun mental. Hubungan guru dan siswa seperti halnya seorang petani dengan tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanamannya cepat berbuah dengan menarik batang atau daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk berbuah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu tumbuh dengan sempurna, tidak terkena hama penyakit yang dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak tumbuh dengan sehat, yaitu dengan cara menyemai, menyiram, memberi pupuk dan memberi obat pembasmi hama. Demikian juga halnya dengan seorang guru. Guru tidak dapat memaksa agar siswanya jadi ”itu” atau jadi ”ini”. Siswa akan tumbuh dan berkembang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Inilah makna peran sebagai pembimbing. Jadi, inti dari peran guru sebagai pembimbing adalah terletak pada kekuatan intensitas hubungan interpersonal antara guru dengan siswa yang dibimbingnya Agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai pembimbing, berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1. Guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Misalnya pemahaman tentang gaya dan kebiasaan belajar serta pemahaman tentang potensi dan bakat yang dimiliki anak, dan latar belakang kehidupannya. Pemahaman ini sangat penting, sebab akan menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harus diberikan kepada mereka. 2. Guru dapat memperlakukan siswa sebagai individu yang unik dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan keunikan yang dimilikinya. 3. Guru seyogyanya dapat menjalin hubungan yang akrab, penuh kehangatan dan saling percaya, termasuk di dalamnya berusaha menjaga kerahasiaan data siswa yang dibimbingnya, apabila data itu bersifat pribadi. 4. Guru senantiasa memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mengkonsultasikan berbagi kesulitan yang dihadapi siswanya, baik ketika sedang berada di kelas maupun di luar kelas. 5. Guru sebaiknya dapat memahami prinsip-prinsup umum konseling dan menguasai teknik-tenik dasar konseling untuk kepentingan pembimbingan siswanya, khususnya ketika siswa mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam belajarnya. Guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pembimbing, minimal ada 2 fungsi yaitu fungsi moral dan fungsi kedinasan. Tinjauan secara umum, guru dengan segala peranannya akan kelihatan lebih menonjol fungsi moralnya, sebab walaupun dalam situasi kedinasan pun guru tidak dapat melepaskan fungsi moralnya. Oleh karena itu guru sebagai pendidik dan pembimbing juga diwarnai oleh fungsi moral itu, yakni dengan wujud bekerja secara sukarela tanpa pamrih dan semata-mata demi panggilan hati nurani. (Sadirman,1990) Sebagai pembimbing, guru perlu memiliki pemahaman yang seksama tentang para siswanya, memahami segala potensi dan kelemahannya, masalah dan kesulitan-kesulitannya, dengan segala latar belakangnya. (Sadirman,1990) Abin Syamsuddin (2003) menyebutkan bahwa guru sebagai pembimbing dituntut untuk mampu mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching). Berkenaan dengan upaya membantu mengatasi kesulitan atau masalah siswa, peran guru tentu berbeda dengan peran yang dijalankan oleh konselor profesional. Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah siswa yang mungkin bisa dibimbing oleh guru yaitu masalah yang termasuk kategori ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Sehubungan dengan peranannya sebagai pembimbing, seorang guru harus : 1. Mengumpulkan data tentang siswa 2. Mengamati tingkah laku siswa dalam situasi sehari-hari 3. Mengenal para siswa yang memerlukan bantuan khusus 4. Mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orangtua siswa baik secara individu maupun secara kelompok untuk memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak 5. Bekerja sama dengan masyarakat dan lembaga lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa 6. Membuat catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baiK 7. Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu 8. Bekerja sama dengan petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa 9. Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan lainnya 10. Meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah. Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa peran guru baik sebagai pengajar maupun sebagai pembimbing pada hakekatnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, kedua peran tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus merupakan keterpaduan. D. Guru Sebagai Pelatih Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar sesuai dengan potensi masing-masing peserta didik. Latihan yang dilakukan selain harus memperhatikan kompetensi dasar atau materi standar, juga harus memperhatikan perbedaan kecerdasan individu peserta didik. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa latihan seorang pesrta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar. Dalam hal ini guru dituntut harus banyak tahu, meskipun tidak mencakup semua hal, dan tidak setiap hal secara sempurna, karena hal itu tidaklah mungkin. Benar bahwa guru tidak dapat mengetahui sebanyak yang harus diketahui, tetapi dibanding orang yang belajar bersamanya dalam bidang tertentu yang menjadi tanggung jawabnya, guru harus lebih banyak tahu. Meskipun demikian, tidak mustahil kalau suatu ketika menghadapi kenyataan bahwa guru tidak tahu sesuatu yang seharusnya tahu. Dalam keadaan demikian, guru harus berani berkata jujur, dan berkata “ saya tidak tahu”, kebenaran adalah sesuatu yang amat mulia, namun jika guru terlalu banyak berkata “ saya tidak tahu” maka bukanlah guru yang profesional. Untuk itu guru harus selalu belajar, belajar sepanjang hayat, dan belajar adalah sesuatu yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Guru berperan sebagai pelatih bertugas untuk melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar, sesuai dengan potensi masing-masing. Pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, berintelektual maupun motorik sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih.(Mulyasa,2005;42) Pelaksanaan fugsi ini tidak harus mengalahkan fungsi lain, guru tetap sadar walaupun tahu, tidak harus memberitahukan semua yang diketahinya. Secara didaktis, guru menciptakan situasi agar peserta didik berusaha menemukan sendiri apa yang seharusnya diketahui. Guru harus menahan emosinya untuk menjawab semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya, sehingga kewenangan yang dimiliki tidak membunuh kreativitas peserta didik. Guru sebagai pelatih juga berperan dalam melatih siswa untuk memiliki kedisiplinan yang tinggi, keterampilan yang bermanfaaat, mandiri, berpikif kritis, dan lain-lain. E. Guru Sebagai Penasehat Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. (Mulyasa,2005;43.). Banyak guru cenderung menganggap bahwa konseling terlalu banyak membicarakan klien, seakan-akan berusaha mengatur kehidupan orang, dan oleh karenanya mereka tidak senang melaksanakan fungsi ini. Padahal menjadi guru pada tingkat manapun berarti menjadi penasehat dan menjadi orang kepercayaan, kegiatan pembelajaran pun meletakkan pada posisi tersebut. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental. Peserta didik akan menemukan sendiri dan secara mengherankan, bahkan mungkin menyalahkan apa yang ditemukannya, serta akan mengadu kepada guru sebagai orang kepercayaannya. Semakin efektif guru menangani setiap permasalahan, semakin banyak kemungkinan peserta didik berpaling kepadanya untuk mendapatkan nasehat dan kepercayaan diri. Menjadi guru berarti menjadi penasehat dan menjadi orang kepercayaaan bagi peserta didiknya. Setiap saat peserta didik selalu dihadapkan dengan masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan penguasaan kompetensi. Untuk menjadi orang kepercyaan peserta didik, guru harus menjadi pendengar yang baik (Saondi dan Suherman,2010;150). Carl Rogers, seorang pakar di bidang psikologi pernah berkata bahwa penghalang terbesar untuk melakukan komunikasi pribadi adalah ketidaksanggupan seseorang untuk mendengarkan dengan baik, penuh pengertian dan perhatian kepada orang lain. Jika guru diberi tugas untuk membimbing dan melatih seseorang maka hal ini merupakan satu hal terpenting yang harus diingat. Ketika guru sedang berbicara dengan siswanya, jagalah agar guru tidak terlalu banyak bicara, melainkan lebih banyak mendengarkan keluhan dan masukan dari siswa anda. Kesediaan untuk mendengar, akan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan keinginan dan pendapatnya. Dengan mendengar, berarti memperhatikannya, seorang guru mempunyai suatu perhatian yang konstruktif mengenai masalah yang dihadapi siswanya, dimana seorang guru mempunyai alternatif solusi yang dibutuhkan siswa tersebut. Dengan demikian akan tercipta rasa aman dan nyaman, sehingga siswa akan terbuka untuk menerima saran-saran yang diberikan oleh gurunya. Selain itu, mendengarkan siswa yang sedang berbicara tentang dirinya merupakan jalan terbaik untuk mengenal lebih jauh siapa dan bagaimana siswa kita tersebut. Meskipun demikian, mendengarkan tidak selalu berarti bahwa guru percaya terhadap segala sesuatu yang diceritakan oleh siswa. Untuk menjadi pendengar yang baik dibutuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Peran guru sebagia penasehat erat hubungannya dengan istilah bimbingan. Istilah bimbingan sering dirangkai dengan konseling. Menurut Robinson (M.Suryo dan Rochman N. ,1986:25) Konseling adalah semua bentuk hubungan yang berkesinambungan antara dua orang, di mana yang seorang, yaitu klien dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut Bimo Walgito (1982;11) dalam buku Profesi Keguruan, menyatakan bahwa konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupannya dengan wawancara, dengan cara-cara yang sesuai dengan individu yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Bimbingan yang diberikan kepada peserta didik bersifat sistematis dan berencana yang terarah kepada pencapaian tujuan. Tujuan bimbingan adalah membantu siswa menjadi lebih matang dan lebih mengaktualisasikan dirinya, membantu siswa maju dengan cara yang lebih positif, membantu dalam sosialisasi siswa dengan memanfaatkan sumber-sumber dan potensi dirinya sendiri. Disisi lain peserta didik adalah sosok yang senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan. Selain itu juga kadang ada peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Peserta didik yang mengalami kesulitan belajar kadang-kadang ada yang mengerti bahwa dia mempunyai masalah tetapi tidak tahu bagaimana mengatasinya, dan ada juga yang tidak mengerti kepada siapa ia harus meminta bantuan dalam menyelesaikan masalahnya itu (Soetjipto dan Raflis Kosas,2009;67). Kondisi ini membuat peserta didik menjadi bingung, terombang ambing, bahkan dapat berbuat tidak wajar yang akhirnya dapat merugikan peserta didik itu sendiri. Kondisi seperti inilah dibutuhkan peran guru sebagai penasehat kepercayaan dalam pembelajaran. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan, dan penasehat secara lebih mendalam, guru harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental. Selain itu juga menurut Ondi Saondi dan Aris Suherman (2010;151), seorang guru harus mengenali siswanya. Sebagai guru, kita harus mengetahui kesanggupan dan bakat-bakat siswa serta menolong mereka untuk menggunakan kemampuannya untuk disalurkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga dituntut untuk mendorong usaha-usaha perbaikan diri siswa, mengerti kebutuhan dan keinginan mereka. Sebagai contoh, guru harus dapat membedakan apakah siswa kita tertarik pada tantangan. Jika guru dapat mengidentifikasi hal ini, maka akan lebih mudah bagi guru untuk mengarahkan dan memotivasi siswa. Beberapa guru merasa takut untuk mengenal lebih dekat siswanya karena dengan kedekatannya itu maka guru akan menjadi terlalu lunak dan salah menilai prestasi siswanya. Pendapat semacam itu sebenarnya merupakan sustu kekeliruan karena mengenali seseorang dan menghargai kepribadian serta keunikan yang dimilikinya tidaklah berarti bahwa guru tidak menuntut siswanya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan aturan yang berlaku. Di antara makhluk hidup di planet ini, manusia merupakan makhluk yang unik, dan sifat-sifatnya pun berkembang secara unik pula. Menjadi apa dia, sangat dipengaruhi pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Untuk menjadi manusia dewasa, manusia harus belajar dari lingkungan selama hidup dengan menggunakan kekuatan dan kelemahannya. Pendekatan psikologi dan mental yang sehat akan banyak menolong guru dalam menjalankan fungsinya sebagai penasehat, yang telah banyak dikenal bahwa guru banyak membantu peserta didik untuk dapat membuat keputusan sendiri. Dalam aktivitas pembelajaran selalu saja ada kejadian-kejadian khusus yang dapat dijadikan bahan atau contoh untuk membangun semangat belajar siswa. Gunakan keberhasilan ataupun kegagalan tersebut sebagai bahan pembelajaran. Dalam menyikapi kegagalan, carilah alternatif solusi bersama-sama, usahakan banyak ide yang banyak diutarakan dan jangan sekali-kali mematahkan semangat siswa karena apabila semangatnya patah, maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Sebagai guru, guru harus jeli memanfaatkan peristiwa yang ada untuk mengarahkan siswa dalam memahami dan menghadapi realitas kehidupan. Sebagai penasehat, guru juga harus mempunyai batasan-batasannya. Guru tidak dapat mengubah semua hal sesuai dengan keinginan dirinya. Guru harus menyadari bahwa dirinya bukanlah dokter bedah otak yang dapat mengoperasi setiap orang sesuka hatinya. Guru juga bukanlah pendeta bagi siswanya dan juga bukan ahli psikologi yang dapat menyembuhkan berbagai masalah psikologi siswanya. Ingatlah bahwasanya ada tiga jalan yang fundamental untuk mengubah seseorang, yaitu tobat keagamaan, psikoterapi dan operasi otak. BAB III PENUTUP A. kesimpulan Guru adalah figur pemimpin yang dalam batas-batas tertentu dapat mengendalikan para muridnya. Guru adalah penentu keberhasilan siswanya. Guru memiliki peluang menentukan untuk membangun sikap hidup atau kepribadian anak didiknya sehingga dapat berguna bagi dirinya dan keluarganya kelak. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, diantaranya : 1. Guru sebagai pendidik adalah ia tidak hanya mengajar seseorang agar tahu beberapa hal, tetapi guru juga melatihkan beberapa keterampilan dan terutama sikap mental anak didik. 2. Guru sebagai pengajar adalah guru membantu perkembangan intelektual, afektif dan psikomotor, melalui menyampaikan pengetahuan, pemecahan masalah, latihan-latihan afektif dan keterampilan. 3. Guru sebagai pembimbing adalah guru membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif. 4. Guru sebagai pelatih. Peran guru sebagai pelatih bertugas untuk melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar, sesuai dengan potensi masing-masing. 5. Guru sebagai penasehat. Menjadi guru berarti menjadi penasehat dan menjadi orang kepercayaaan bagi peserta didiknya. Setiap saat peserta didik selalu dihadapkan dengan masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan penguasaan kompetensi. DAFTAR PUSTAKA Aqip, Zainal.2003. Karya tulis ilmiah bagi guru pengembangan Profesi Guru. Bandung: Irama Widya Djohar. 1996. Pendidikan Sains. FPMIPA IKIP Yogyakarta Pidarta, Made. 2004. Managemen Pendidikan Indonesia . Jakarta: Reneka cipta E.Mulyasa,. Mejadi guru professional, (bandung:pt remaja rosdakarya,2008) Mergana, Purba, Supriadi., 2012. Negeri Tanda Tanya. Jakarta-Indonesia.Kesaint blanc., http://regional.kompasiana.com/2013/01/23/globalisasi-perilaku-moralitas-para-remaja-jaman-sekarang-522167.html Duska, Ronald; M. Whelan (1982). Perkembangan Moral: Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg, Terjemahan Dwija Atmaka. Yogyakarta: Kanisius. http://my.opera.com/lareompong/blog/2011/05/11/pola-fikir-dan-moralitas-remaja-di-era-globalisasi Sidi, Indrajati. 2003. menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina Soekarto, Karti. 1995. Teknologi Pembelajaran. SIC IKIP Surabaya Supeno, Hadi. 1997. Potret Guru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Supriadi, Dedi. 1998. mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa Usman, Muh uzer. 1995. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

MANAGEMENT OF EFFECTIVENESS PAUD BLANG BINTANG UPTD III INGIN JAYA TO DISTRICT ACEH BESAR

The globalization is advancement of science and technology has led to competition in various fields, which require people of Indonesia to establish itself in the improvement of the quality and superior human resources, capable of highly competitive, master of science, technology, and have a high work ethic. Quality of human embodiment is the responsibility of education, especially in preparing students to be the subject of an increasingly instrumental, featuring advantages tough, creative, independent, and professional in their respective fields. In Indonesia, early childhood / kindergarten must carry out their duties and functions of his sincerity to achieve national objectives as stated in the Law of the Republic of Indonesia Number 20 Year 2003 on National Education System and an explanation in Chapter II, Article 3 that: Education serves to develop skills and form character and civilization of a dignified nation in the context of the intellectual life of the nation, aimed at developing students' potentials in order to be a man who is faithful and devoted to God Almighty, noble, healthy, independent and become citizens of a democratic and accountable. Functionally, education is basically aimed at preparing people for the future that is more prosperous lives, both as individuals and collectively as a community, nation or community of nations. For believers, the future of life in the world and includes a view of a happy life days later. Today, the hot issue in education is about the implementation of Early Childhood Education (ECD). With the enactment of Law No. 29 Year 2003, the system of education in Indonesia now consists of early childhood education, elementary education, secondary education, and higher education, all of which constitute a systemic unity. ECD held before primary education. Early education is one key to overcome the adversity of the nation, especially in the preliminary reliable human resource later. Various studies in neurology shows, if the child is stimulated from an early age, it will be found genius (potential best / superior) in him. Every child has the unlimited ability to learn (limitless capacity to learn) that interen (existing) in him to think creatively and productively. Therefore, children need educational programs that can unlock the hidden capacity (unlocking the capacity) through meaningful learning as early as possible. If the potential in children was never realized, then it means that the child has lost opportunities and momentum is important in life, and in turn, the State will lose the best human resources. According Sudradjat (Setiyani, 2009: 22) "It should be understood that the child has such potential can only thrive when given a stimulus, guidance, assistance and treatment in accordance with the rate of growth and development". For it is wise if we as adults are parents, teachers or other adults (counselors / caregivers) who were around the child can do and treat children not as "miniature adults", but can treat it as a small creature that is believed to have the potential to develop. The average age at least early age range 1-6 years. In early childhood, children's learning opportunities and curriculum age-appropriate learning every level. Intended that all early childhood programs early childhood (ages 0-6 years), both men and women have the opportunity to grow and develop optimally according to its potential, according to the stages of development or their age level. Early childhood education is also a preparation to attend primary school education. More specifically, the program aims to improve access to and quality of education services through formal channels such as Kindergarten (TK), Raudhatul RA (RA) and other equivalent forms, as well as non-formal education pathways shaped Playgroup (KB), TPA (TPA) or other equivalent forms, and informal channels form a family education or training organized by the environment. Guidance to early childhood education units will require the existence of a framework curriculum management and early childhood competency standards that apply nationally. The basic framework and curriculum management competency standards are the guidelines referenced in the running for a management education curriculum. The goal is to enhance copyright child and raced to learn about an assortment of science through tact value approach, religious, social, emotional, physical / motor, cognitive, language, art, and independence. All are designed in order to develop the intellect and the role of the child in his life. All learning is packaged in a model of learning while playing. Based on a variety of reality which has been described above, the writer would like to see direct services and activities that include early childhood curriculum management program run by each ECD in Cluster III Want UPTD Blang Bintang Jaya Aceh Besar district in order to reach the target and obtain optimal results and will impact members positive for improving the quality of which is located in the rural areas. METHOD A. Research approach This study used a qualitative approach using descriptive methods. This approach is used to study the problems and gain in-depth meaning of the effectiveness of management ECD Force III UPTD Blang Bintang Jaya Want Aceh Besar district. Bogdan and Taylor (Moleong, 2007: 3) says that "The methodology is qualitative research procedures which produce descriptive data in the form of words written and spoken of the people and observed behavior". While Sukardi (2008: 157) says that "descriptive research is generally done with the main objective to systematically describe the facts and characteristics of the object or subject". Qualitative research conducted in the state of nature and nature discovery. In qualitative research, the researcher is the key instrument. Therefore, researchers should have the provision theory and insight so you can ask, analyze, and construct the object studied to become clearer. This study emphasizes the meaning and value attached. Qualitative research is used if the problem is not clear, to find the hidden meaning, to understand social interactions, to develop a theory, to ensure accuracy of data, and examine the historical development. RESULTS AND DISCUSSION Management is an aspect that humans use to assess efforts to integrate people to cooperate in efforts to achieve a better life. Management can be applied in all activities. Management is universal and is a systematic knowledge framework, which raised about the rules, principles and concepts of management. Here the authors describe the results of the interview head TK Babussa'adah to plan in advance planning of teaching and learning in class as follows: "One of the strategic planning process of teaching and learning in class, planning to head kindergarten teacher Babussa'adah surrogate for Learning Program Plan (RPP) as one measure of the impact of maturity plan learning in class." Based on the interview with the head of the kindergarten Babussa'adah can be concluded that the Learning Programme Plan (RPP) is one bentukterwujudnya Babussa'adah management planning in kindergarten. There is guidance and communication in Learning Programme Plan (RPP) between Kindergarten head teacher Babussa'adah and surrogate can see and understand the feelings, attitudes, and needs of teachers in the learning process. After the planning stage are conducted, the next step is organizing, organizations are composing and arranging various elements of resource and environmental organizations so they can achieve maximum results. In this case we need to avoid stringing two or more substances are conflicting or contradictory so will weaken each other. It is precisely what we were looking for and bundle are elements that can support each other and support, so the results will further strengthen these elements together, or commonly referred to as "synergistic". Here the authors describe the results of an interview with one of the kindergarten teachers Al Munawwarah in achieving good organization, allowing an increase in the quality of education in early childhood / kindergarten as follows: The main prerequisite to improve the quality of education is the availability of educators / teachers are creative and innovative, especially in the era of globalization into full competition. An educator should be able to create a conducive learning climate for students, he worked with the mood loving, sincere and patient, which in turn will produce students who love to learn actively compliant. Based on the interview with one of the early childhood teachers Atthahirah Al Islami can be concluded that the background in early childhood teacher education in Blang star cluster varies. Educational background is from the SPGTK, DII PGTK, and Bachelor. In recruiting teachers is done by giving announcements and generally a lot of candidates who come in person to apply. Leadership early childhood teachers will select a suitable and qualified for early childhood educators. Of course it will also be seen from the background of prospective teachers, early childhood educators because the candidate must have knowledge of the child's development, have compassion for children, patience and not arrogant or conceited. Implementation of education on Cluster III Want UPTD Blang Bintang Jaya Aceh Besar district made based on the program of activities that have been arranged so that all the conditioning and basic skills can be developed dapa children well. However oriented learning child development, would be good if their physical needs are met and meresa psychologically safe and secure. Oriented to the needs of early childhood is children who are in need of educational efforts to achieve the optimization of all aspects of the development of both physical and psychological development. Playing while learning or learning while playing. Playing is learning approaches in conducting both the kindergarten and child play group. As for being one of the chief obstacles in the implementation of the management of early childhood / kindergarten in fostering kindergarten teacher Al Munawwarah, Al Islami Atthahirah early childhood and kindergarten Babussa'adah can be seen from the results of interviews with some of the chief authors Cluster Region III Want UPTD Blang Bintang Jaya Aceh Besar district as follows: Barriers experienced heads early childhood / kindergarten teacher education qualification is built, there are still teachers in Region III UPTD Force Blang Bintang Jaya Want Aceh Besar district has not certified S-1. This will increase the burden for the head of early childhood / kindergarten teachers with limited disruption to the teaching and learning process because science has grown exponentially in accordance with the times, especially in Aceh. Based on the interview with the head in the Region III UPTD Force Blang Bintang Jaya Want Aceh Besar district can be said that the obstacles faced by the principal is the educational qualification of teachers in Region III UPTD Force Blang Bintang Jaya Want Aceh Besar district levels are still minimal S-1 . Head early childhood / kindergarten has sought to encourage and motivate teachers binaanya order to continue their education to a higher level. In the thinking of teachers of teachers in Region III UPTD Force Blang Bintang Jaya Want Aceh Besar district who have a certain level no longer wish to continue their education to a higher level due to lack of funding, age teacher and master of science and technology that is increasingly growing . Early childhood education is an educational program geared towards teaching children according to age and be able to explore the potential of kids, so it can be packed in a life in the future. The aim is to stimulate and support the growth and development of the physical and spiritual so that children have the readiness to enter further education. Developing potential and creativity of children in accordance with the characteristics of the development to be able to adjust to the environment. Here the authors describe the results of an interview with the head of the kindergarten Babussa'adah in the assessment of child development is the final stage of the implementation of the early childhood learning management. Activities and aspects of the assessment conducted in kindergarten Babussa'adah are as follows: a. Behavior (prayer before and after meals, carry out activities in an orderly marching, singing songs such as greetings keagaamaan, bismillah, etc.). b. Cognitive (clumsiness an image, cutting out images, classifying the type or size of objects, etc.). c. Physical motor (take care of themselves without help, such as taking care of books, a cake, feed themselves, tidy up equipment etc.). d. Islamic Education (read the prayer before and after meals, hijaiyah literate, familiar with Al-Fatiha, short prayers and others). e. Language (imitating animal sounds, mentioning the five senses, and others) f. Art (drawing and coloring others. Based on the interview with the head of the kindergarten Babussa'adah can be concluded that education at an early age requires a conditioning environment encourages creativity. Environment must be created to make it more fun and give comfort to a child's learning. The process of learning in early childhood must integrate the various aspects of learning, by the use of interesting themes and to develop student interest and contextual. CONCLUSION Based on the results obtained from observation, interviews and documentary study and the results of the discussion of the effectiveness of early childhood education in the Territory Management Cluster at Blang Bintang Jaya UPTD III Want Aceh Besar district then as the closing of this research report, following the author presents some conclusions, implications and suggestions as follows: 1. Lack of lesson planning is done by the head of the kindergarten / early childhood on Cluster III Want UPTD Blang Bintang Jaya Aceh Besar district consists of manufacturing activities and the implementation plan learning syllabus included a number of aspects of the reference to learning, including behavioral, cognitive, physical motor skills, language and art. Planning the curriculum was implemented at the beginning of the semester and apply one semester. 2. The lack of coordination in early childhood education teaching force in UPTD III Blang Bintang Jaya Want Aceh Besar district conducted by the head of the kindergarten / early childhood education and lack of knowledge of teachers in the kindergarten / early childhood in Cluster III Want UPTD Blang Bintang Jaya Aceh Besar district. 3. Lack of interest in conducting innovative principals that guided CTL activity program that had been developed, but are still not touching the cognitive, affective, and psychomotor. The lack of equipment and lack of educational games education teachers can interfere with the learning process of the implementation of the Cluster Blang Bintang Jaya UPTD III Want Aceh Besar district. 4. Assessment of learning in clusters on UPTD III Blang Bintang Jaya Want Aceh Besar district is not done gradually by the head of the early childhood / kindergarten teachers to target, the lack of supervision of the supervisor to the chief kindergarten / early childhood have an impact on the implementation of learning in kindergarten / early childhood education at Blang Bintang Force III UPTD want Jaya Aceh Besar district. REFERENCES Adallila, S. 2010. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini. [online]. Tersedia http://pendidikananak2.blogspot.com/2012/04/makalah-pendidikan-anak-usia-dini.html [17 Mei 2011]. Arikunto, Suharsimi. (2010). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. (2008). Evaluasi program pendidikan: Pedoman teoretis praktis bagi mahasiswa dan praktisi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Hasan, M. (2009). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Diva Press. Yogyakarta Moleong, Lexy. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 13 Tahun 2007. Tentang Kepala Sekolah/Madrasah. Jakarta: BNSP. Setiyani, Ika. (2009). Manajemen Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (Studi Kasus Pengelolaan Materi dan Penggunaan Metode Pembelajaran pada Kelompok B di TKIT Al Ausath Pabelan, Kartasura, Sukoharjo Tahun Pelajaran 2008/2009). Skripsi pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. [online] Tersedia http://etd.eprints.ums.ac.id/3214/1/G000050020.pdf [2 September 2012]. Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Atmodiwirio, Soebagio, (2008). Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Ardazya Jaya. Sagala, Syaiful, (2006). Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta. Nimas Multima. Sukmadinat, Nana Syaodah. (2012). Pendidikan Anak Usia Dini. [online] Tersedia http://pendidikananak2.blogspot.com/2012/04/makalah-pendidikan-anak-usia-dini.html [15 Juni 2012 Purwanto, Ngalim. (2007). Administrasi Pendidikan dan Supervise Pendidikan. Bandung. Remaja Rosda Karya. Usman, Husaini. (2008). Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Usman, Nasir. (2007). Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Bandung: Mutiara Ilmu. Wibowo. (2007). Manajemen Kinerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.