Kamis, 26 Oktober 2023

Modul Kuliah Kewarganegaraan

 

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… i
Kata Pengantar ......…………………………………………………………………….. iii
Rencana Pembelajaran dan Metode Pembelajaran ..………………………………... iv
BAB I. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI MATA KULIAH
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN ...................…………………………………… 1
A. Pendahuluan ……………………………………………………………………. 1
B. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ….…………………… 7
C. Pancasila sebagai Nilai Dasar Pkn untuk Berkarya bagi Lulusan PT …….. 8
BAB II. IDENTITAS NASIONAL ……………………………………………….…… 11
A. Pengertian Identitas Nasional…………………………………………………. 11
B. Identitas Nasional Sebagai Karakter Bangsa………………………………… 14
C. Proses Berbangsa dan Bernegara……………………………………………… 18
D. Politik Identitas…………………………………………………………………. 22
BAB III. NEGARA DAN KONSTITUSI …………………………………………….. 25
A. Negara ………………………………………………………………………….. 25
B. Konstitusi ………………………………………………………………………. 38
C. Peranan Konstitusi dalam Kehidupan Bernegara …………………………… 46
BAB IV. HUBUNGAN NEGARA DAN WARGA NEGARA ……………………… 48
A. Pengertian Hak dan Kewajiban ………………………………………………. 48
B. Hak dan Kewajiban Warga Negara Menurut UUD 1945 …………………… 52
C. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara
di Negara Pancasila ……………………………………………………….……. 63
BAB V. DEMOKRASI INDONESIA …………………………………………………. 66
A. Konsep Dasar Demokrasi ……………………………………………………… 68
B. Prinsip-Prinsip dan Indikator Demokrasi ……………………………………. 78
C. Perjalanan Demokrasi di Indonesia …………………………………………… 94
D. Pendidikan Demokrasi …………………………………………………………. 106
BAB VI. NEGARA HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA ………………………. 109
A. Pengertian dan Ciri Negara Hukum ………………………………………….. 109
B. Makna Indonesia sebagai Negara Hukum ……………………………………. 112
C. Negara Hukum dan Hak Azasi Manusia ……………………………………… 113
BAB VII. WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA … 114

ii
A. Wilayah Sebagai Ruang Hidup ………………………………………………… 114
B. Wawasan Nusantara (Penerapan Geopolitik Indonesia) …………………….. 112
C. Unsur-Unsur Dasar Wawasan Nusantara ……………………………………… 138
D. Penerapan Wawasan Nusantara dan Tantangan Implementasinya ………… 143
BAB VIII. KETAHANAN NASIONAL INDONESIA ……………………………….. 152
A. Pengertian dan Sejarah Ketahanan Nasional Indonesia …………………….. 153
B. Unsur-Unsur Ketahanan Nasional …………………………………………….. 159
C. Pendekatan Asta Gatra dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional ………… 166
D. Globalisasi dan Ketahanan Nasional ………………………………………….. 168
BAB IX. INTEGRASI NASIONAL ……………………………………………………. 177
A. Integrasi Nasional dan Pluraritas Masyarakat Indonesia …………………… 178
B. Strategi Integrasi ……………………………………………………………….. 190
C. Integrasi Nasional Indonesia …………………………………………………… 192
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 199

iii
KATA PENGANTAR
Tahun 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan merubah kurikulum mulai
dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Sesuai dengan Undang-Undang No 12 tahun
2012, bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi dalam penyusunan kurikulum, namun pada
pelaksanaannya diperlukan rambu-rambu yang sama agar dapat mencapai hasil yang optimal.
Disamping itu, peserta didik di perguruan tinggi merupakan insan dewasa , sehingga dianggap
sudah memiliki kesadaran dalam mengembangkan potensi diri untuk menjadi intelektual,
ilmuwan, praktisi, dan atau professional. Sehubungan dengan itu, maka perubahan pada proses
pembelajaran menjadi penting dan akan menciptakan iklim akademik yang akan meningkatkan
kompetensi mahasiswa baik
hardskills maupun softskills. Hal ini sesuai dengan tujuan
Pendidikan Tinggi dalam UU No 12 tahun 12 yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, seluruh mahasiswa harus mengikuti
pembelajaran mata kuliah dasar umum yang dikenal dengan MKDU (general education).
Sebagian dari MKDU telah dinyatakan dalam UU No 12 tahun 2012 sebagai mata kuliah wajib,
yaitu Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Dalam rangka
menyempurnakan capaian pembelajaran, maka MKDU ditambah dengan bahasa Inggris,
Kewirausahaan, dan mata kuliah yang mendorong pada pengembangan karakter lainnya, baik
yang terintegrasi maupun individu.
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pelajaran yang menyelenggarakan
pendidikan kebangsaan, demokrasi, hukum, multikultural dan kewarganegaraan bagi mahasiswa
guna mendukung terwujudnya warga Negara yang sadar akan hak dan kewajiban, serta cerdas,
terampil dan berkarakter sehingga dapat diandalkan untuk membangun bangsa dan Negara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sesuai bidang keilmuan dan profesinya. Pada tahun ini
dihasilkan rencana pembelajaran secara rinci, beserta bahan ajar berupa e-book dan digital asset
yang kami berharap dapat digunakan oleh kalangan dosen pengampu di perguruan tinggi.
Penyusunan rencana pembelajaran dan bahan ajar ini didanai oleh Satker Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti tahun 2012. Bahan ini akan diunggah di web
Dikti agar menjadi sumber belajar terbuka bagi semua.
Kepada tim penulis kami mengucapkan terima kasih atas dedikasi, waktu dan curahan
pemikirannya untuk menuangkan buah pemikiran untuk memantapkan Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi. Penyempurnaan secara periodik akan tetap dilakukan,
untuk ini kami mohon kepada para pengguna dapat memberikan masukan secara tertulis, baik
langsung kepada penulis maupun kepada Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen
Dikti.
Semoga bahan ajar ini bermanfaat dan dapat digunakan sebaik-baiknya,
Jakarta 10 Januari 2012
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Djoko Santoso

iv
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DIREKTORAT PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN
RENCANA PEMBELAJARAN DAN METODE PEMBELAJARAN
SERTA MODEL EVALUASI HASIL PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN - KURIKULUM PERGURUAN TINGGI
BERBASIS KOMPETENSI
A. Pengantar
Meskipun reformasi telah bergulir, namun hingga saat ini bangsa dan negara
Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan yang serius. Di dalam negeri, persoalan
rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah, lemahnya penegakan hukum, meningkatnya
potensi disintegrasi oleh meningkatnya semangat primordialisme, perselisihan ideologi,
politik, agama, dekadensi moral, kemiskinan dan pengangguran, serta makin rusaknya
lingkungan hidup, semakin mengancam kelanggengan persatuan bangsa Indonesia. Dari
luar negeri berupa tantangan globalisme bagi negara kebangsaan.
Mencermati situasi kehidupan kebangsaan yang demikian, bagi dunia pendidikan
tidak ada pilihan lain kecuali melakukan upaya pro-aktif pembinaan nasionalisme untuk
menggugah semangat kebangsaan dan kecintaan pada tanah air para peserta didik
sebagai generasi muda penerus bangsa. Dengan pembinaan nasionalisme atau
kebangsaan melalui proses dan metode pembelajaran PKn yang efektif diharapkan
peserta didik memperoleh wawasan kebangsaan yang luas, sehingga mampu memahami
dan menyikapi dinamika persoalan kebangsaan yang terus berkembang, serta
menumbuhkan jiwa kemandirian dan rasa kecintaan pada tanah air.

v
Pendidikan Kewarganegaraan menjadi sangat urgen di tengah situasi kehidupan
bangsa dan negara Indonesia saat ini. Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman,
perlu dikembangkan substansi kajian dan model pembelajaran serta sistem evaluasi
yang memungkinkan pelaksanaan perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di
perguruan tinggi berjalan efektif.
Pendidikan tinggi melalui Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen
Dikti perlu melakukan langkah – langkah strategis, yaitu standarisasi kurikulum, dan
pemetaan objek kajian, metode pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang berbasis kompetensi. Langkah ini bertujuan memberikan ramburambu atau acuan capaian kompetensi dan substansi kajian pembelajaran PKn serta
metode pembelajarannya bagi dosen-dosen PKn perguruan tinggi di seluruh Indonesia..
Program pengembangan keefektifan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
ke depan perlu didukung pengembangan
electronic learning system. Meskipun
penggunaan media ICT dalam PKn hanya sebagai alat bantu saja, tidak dapat
menggantikan peran dosen. Di samping itu diperlukan program : (a) rekruitmen dan
peningkatan peofesionalisme melalui pelatihan dosen PKn ,misalnya :TOT dan Internship
Dosen PKn.
B. Fungsi dan Capaian Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
1. Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai kelompok Matakuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) di perguruan tinggi berfungsi sebagai orientasi mahasiswa dalam
memantapkan wawasan dan semangat kebangsaan, cinta tanah air, demokrasi, kesadaran
hukum, penghargaan atas keragamaan dan partisipasinya membangun bangsa berdasar
Pancasila.
Sesuai dengan fungsinya, Pendidikan Kewarganegaraan menyelenggarakan pendidikan
kebangsaan, demokrasi, hukum, multikulural dan kewarganegaraan bagi mahasiswa
guna mendukung terwujudnya warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban, serta
cerdas, terampil dan berkarakter sehingga dapat diandalkan untuk membangun bangsa

vi
dan negara berdasar Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan bidang keilmuan dan
profesinya.
2.
Capaian Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
a.
Mampu menganalisis masalah kontekstual PKn, mengembangkan sikap positif dan
menampilkan perilaku yang mendukung semangat kebangsaan dan cinta tanah air
b. Mampu menganalisis masalah kontekstual PKn, mengembangkan sikap positif dan
menampilkan perilaku yang mendukung demokrasi berkeadaban
c. Mampu menganalisis masalah kontekstual PKn, mengembangkan sikap positif dan
menampilkan perilaku yang mendukung kesadaran hukum dan keragaman
C. Substansi Kajian Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
No Kompetensi Dasar Substansi
/Pokok Kajian
Sub Pokok
Kajian
Tatap
muka
1 a. Menjelaskan secara kritis dan
objektif latar belakang dan
tujuan pembelajaran PKn di
PT
b. Meyakini nilai –nilai Pancasila
sebagai orientasi PKn agar
menjadi pedoman berkarya
lulusan PT
PKn sebagai
MPK
a) latar belakang dan
tujuan pembelajaran
PKn di PT
b) Nilai –nilai Pancasila
sebagai orientasi (
core
value
) PKn
1
2 a. Mendeskripsikan identitas
nasional dan sejarah kelahiran
faham nasionalisme Indonesia
b. Memiliki karakter sebagai
identitas kebangsaan
Identitas
Nasional
a. Pengertian identitas
nasional
b. Sejarah kelahiran
faham nasionalisme
Indonesia
c. Identitas nasional
sebagai karakter bangsa
d. Proses berbangsa dan
bernegara
1
3 a. Mengemukakan pentingnya
konstitusi bagi negara
b. Menerima secara kritis UUD
1945 sebagai konstitusi negara
Indonesia
c. Menampilkan perilaku
Negara dan
Konstitusi
a) Pentingnya konstitusi
bagi negara
b) UUD 1945 sebagai
konstitusi negara
Indonesia
c) Perilaku konstitusional
2

vii
konstitusional dalam hidup
bernegara
4 a. Menganalisis hubungan
negara dan warga negara
b. Menilai pelaksanaan hak dan
kewajiban warga negara
c. Melaksanakan hak dan
kewajiban warga negara
secara seimbang
Hak dan
Kewajiban
Warga Negara
a. Pengertian hak dan
kewajiban warga
negara
b. Konsep hak dan
kewajiban warga
negara dalam UUD
1945
c. Konsep hubungan
bangsa, negara, dan
warga negara (status,
asas, syarat
kewarganegaraan)
2
5 a. Menganalisis makna
demokrasi dan prinsip
prinsipnya
b. Mengemukakan hakekat
demokrasi Indonesia
(demokrasi Pancasila)
c. Menilai pelaksanaan
demokrasi di Indonesia
d. Mendukung pendidikan
demokrasi di perguruan
tinggi
Demokrasi
Indonesia
a. makna demokrasi dan
prinsip-prinsipnya
b. demokrasi Indonesia
(demokrasi Pancasila)
c. pelaksanaan demokrasi
di Indonesia
d. pendidikan demokrasi
2
6 a. Menguraikan makna
Indonesia sebagai negara
hukum
b. Mendeskripsikan hubungan
negara hukum dengan HAM
c. Menerapkan prinsip negara
hukum dalam kehidupannya
sebagai warga negara
d. Mendukung penegakkan
HAM di Indonesia
Negara Hukum
dan HAM
a) makna Indonesia
sebagai negara hukum
dan prinsip-prinsipnya
b) hubungan negara
hukum dengan HAM
c) penegakan HAM di
Indonesia
2
7 a. Menjelaskan pentingnya
wilayah sebagai ruang hidup
bangsa
b. Menjelaskan konsepsi
wawasan nusantara sebagai
pandangan geopolitik bangsa
Indonesia
Geopolitik
/Wawasan
Nusantara
a. Konsepsi Geopolitik
b. Teori-teori geopolitik
negara besar
c. Wawasan nusantara
(geopolitik Indonesia)
d. Implementasi
Wawasannusantara di
2

viii
c. Memberi contoh
implementasi wawasan
nusantara di era global
era global
8 a. Mengemukakan unsur-unsur
ketahanan nasional Indonesia
b. Menerapkan pendekatan
astagatra dalam pemecahan
masalah
c. Menganalisis potensi
ancaman bagi ketahanan
bangsa di era global
Geostrategi
Indonesia /
Ketahanan
nasional
a) unsur-unsur ketahanan
nasional Indonesia
b) pendekatan astagatra
dalam pemecahan
masalah
c) potensi ancaman bagi
ketahanan bangsa di era
global
1
9 a. Mengemukakan pentingnya
integrasi dalam masyarakat
Indonesia yang plural
b. Memilih strategi integrasi
yang tepat untuk masyarakat
Indonesia
c. Mendukung integrasi di
Indonesia melalui semboyan
Bhinneka Tunggal Ika
Integrasi
Nasional
a. Pluralitas
masyarakat
Indonesia
b. Strategi integrasi
(asimilasi,
akulturasi,
pluralisme,)
c. Strategi integrasi
Indonesia (
Bhinneka Tunggal
Ika )
1
UTS 1
UAS 1
D. Hubungan antara Capaian Pembelajaran dengan Subtansi Materi
Capaian
Pembelajaran
Subs
1
Subs
2
Subs
3
Subs
4
Subs
5
Subs
6
Subs
7
Subs
8
Subs
9
No.1 V V V
No.2 V V
No.3 V V V
E. Proses Pembelajaran
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis kompetensi menggunakan
pendekatan
Student Centered Learning (SCL) sehingga memungkinkan mahasiswa lebih
banyak melakukan eksplorasi daripada secara pasif menerima informasi yang disampaikan

ix
oleh pengajar. Melalui metode ini mahasiswa tidak hanya memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang berkaitan dengan bidang keahliannya saja, tetapi juga berkembang
keterampilan komunikasi, bekerja dalam kelompok, insiatif, berbagi informasi, dan
penghargaan terhadap orang lain. Metode pendekatan
Student Centered Learning ini meliputi
antara lain: Studi Kasus, Diskusi, Seminar, Debat, Kerja Lapangan, Bermain Peran,
Simulasi, Tugas Kelompok, Permainan,
Collaborative Learning (CL), Problem-Based
Learning (PBL), Bola Salju Menggelinding, dan lain-lain. Pilihan metode tergantung dari
kebutuhan, kesiapan staf pengajar, sarana, dan prasarana yang ada pada masing-masing
perguruan tinggi.
F. Penilaian
a. Penilaian hasil belajar mahasiswa dilakukan berdasarkan data yang diperoleh melalui
penugasan individual atau kelompok, ujian tengah semester, ujian akhir semester,
penilaian diri
(self assessment), penilaian sejawat (peer assessment), penilaian sikap (tata
karma) dan observasi kinerja mahasiswa melalui tampilan lisan atau tertulis.
b. Kriteria penilaian disesuaikan dengan macamnya dan pembobotannya disesuaikan
dengan waktu yang digunakan untuk membahas suatu kajian dan sumbangan suatu
kemampuan terhadap kompetensi
c. Sistem penilaian perlu dijelaskan kepada mahasiswa pada awal perkuliahan.
G. Kualifikasi Dosen PKn
a. Memiliki semangat dan jiwa nasionalisme yang kuat
b. Berkualifikasi jenjang pendidikan S2
c. Diutamakan berlatar belakang ilmu-ilmu sosial dan humaniora
d. Memiliki integritas moral dan sosial yang baik
e. Memiliki komitmen kuat melaksanakan pembelajaran PKn
f. Berkepribadian baik berdasarkan pada penilaian atasan dan teman sejawat.
H. Kelembagaan dan Sarana Prasarana
a. Kelembagaan
x
Penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Tenis MKU/MPK, Fakultas maupun Jurusan.
dapat
b. Sarana dan prasarana
1) Ruang kuliah yang memadai.
2) Media pembelajaran (Papan Tulis, OHP, LCD, dll sesuai dengan kondisi masingmasing perguruan tinggi)
3) Perangkat Pembelajaran, seperti : Rencana Pembelajaran/ Silabus, SAP (Satuan
Acara Pembelajaran), Modul Pembelajaran , dan Lembar Tugas untuk mahasiswa
4) Literatur pendukung

xi
RENCANA PEMBELAJARAN KBK
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan Smt : 1/2 Kode : ...................................
Jurusan : Umum (Semua Jurusan) SKS/TM : 2/ 16 TM (Tatap Muka)
Kompetensi Standar Mata Kuliah :
Mampu menganalisis masalah kontekstual PKn, mengembangkan sikap positif, dan menampilkan perilaku mendukung yang
berkaitan dengan semangat kebangsaan, cinta tanah air, demokrasi berkeadaban dan kesadaran hukum.
MGGU
KE
CAPAIAN
PEMBELAJARAN/
KOMPETENSI DASAR
BAHAN
AJAR/SUBSTANSI
KAJIAN
MODEL PEMBELAJARANMODEL EVALUASI
DAN
KRITERIA
PENILAIAN
BOBOT
NILAI
1 a.Menjelaskan secara
kritis dan objektif
latar belakang dan
tujuan pembelajaran
PKn di PT
b.Meyakini nilai –nilai
Pancasila sebagai
orientasi PKn agar
menjadi pedoman
berkarya lulusan PT
PKn sebagai MPK
a.Latar belakang dan
tujuan pembelajaran
PKn di PT
b.Nilai –nilai Pancasila
sebagai orientasi (
core
value
) PKn
Pembelajaran tentang pentingnya PKn
sebagai MPK dapat dilakukan melalui model
pembelajaran
Critical Incident (pengalaman
penting)
yakni dengan mengingatkan
kembali pengalaman penting belajar PKn
ketika masih di jenjang sekolah.
Adapun langkah-langkahnya
1. Menyampaikan isi PKn sebagai MPK
2. Memberi kesempatan mahasiswa untuk
mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman penting ketika belajar PKn
di sekolah diikuti dengan penyampaian
materi
3. Membantu mengindentifikasi nilai-nilai
penting apa yang didapatkan dari
belajar PKn
4. Mengkonfirmasi manfaat dan arti
penting PKn sebagai MPK di PT
Dapat dilakukan
dengan non tes yakni
penilaian diri. Misal
menulis tentang
pentingnya PKn bagi
diri mahasiswa
Kriteria : kebenaran
tulisan, ide yang
muncul
10%

xii
2 a.Mendeskripsikan
identitas nasional dan
sejarah kelahiran
faham nasionalisme
Indonesia
b.Memiliki karakter
sebagai identitas
kebangsaan
Identitas Nasional
a.Sejarah kelahiran
faham nasionalisme
Indonesia
b.Karakter bangsa
sebagai identitas
nasional
Pembelajaran tentang identitas nasional dapat
diawali dengan
kajian literatur yakni memberi
kesempatan mahasiswa membaca berbagai
sumber tentang idenitas dan faham
nasionalisme di Indonesia, memberi
pertanyaan kunci, mencatat kata-kata penting
dan mengungkapkan kembali dengan kata-kata
sendiri
Pembelajaran selanjutnya dapat dilakukan
dengan
diskusi isu aktual perihal identitas,
misal identitas budaya Indonesia diklaim oleh
bangsa lain. Selanjutnya meminta mahasiswa
memposisikan diri, apa sikap dan apa yang
perlu dilakukan?
Pada bagian akhir pembelajaran dapat
dikonfirmasi tentang pentingnya bangsa
memiliki identitas
Penilaian dapat
dilakukan dengan tes
yakni soal-soal yang
berkaitan dengan
materi identitas, dan
non tes, yakni dengan
dalam diskusi
10%
3-4 a.Mengemukakan
pentingnya konstitusi
bagi negara
b.Menerima secara
kritis UUD 1945
sebagai konstitusi
negara Indonesia
c.Menampilkan perilaku
konstitusional dalam
hidup bernegara
Negara danKonstitusi
a. Pentingnya konstitusi
bagi negara
b.UUD 1945 sebagai
konstitusi negara
Indonesia
c.Perilaku konstitusional
Konsep kunci dalam pembelajaran ini adalah
pentingnta konstitusi bagi negara Indonesia
dan perilaku yang konstitusionalis.
Kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan
model
resume kelompok dari materi yang ada
, dilanjutkan dengan presentasi dan tanya
jawab dengan kelompok lain.
Pembelajaran selanjutnya dapat dilakukan
dengan
pelacakan kasus dari media, misal
contoh perilaku pejabat negara yang
konstitusional dan yang tidak konstitusional,
memberi tanggapan dan memposisikan diri
Memberi konfirmasi tentang pentingnya
perilaku konstitusional dalam hidup bernegara
Penilaian dapat
dilakukan dengan tes
yakni soal-soal yang
berkaitan dengan
materi identitas, dan
non tes, yakni dengan
tes
Penampilan
Kelengkapan tugas
10%
lembar observasi
dalam diskusi
Kriteria :
Kebenaran jawaban
tes
Tingkat partisipasi
lembar observasi
dalam diskusi dan
presentasi dan lembar
penilaian proyek
Kriteria :
Kebenaran jawaban

xiii
5-6 a.Menganalisis
hubungan negara dan
warga negara
b.Menilai pelaksanaan
hak dan kewajiban
warga negara
c.Melaksanakan hak dan
kewajiban warga
negara secara
seimbang
Hubungan antara
Negara dan Warga
Negara
a. Hak dan kewajiban
warga negara
b.Pelaksanaan hak dan
kewajiban warga
negara
Pembelajaran dapat dilakukan dengan kajian
konstitusionalitas
terhadap UUD 1945 yang
mengatur perihal hak dan kewajiban dan
contoh undang-undang yang berisi
pengaturan akan hak dan kewajiban warga
negara
Melalukan
bursa gagasan untuk menilai
pelaksanaan hak dan kewajiban baik dari
negara maupun warga negara
Membuat dan mempresentasikan laporan
hasil wawancara
dengan beberapa orang
tentang pelaksanaan dari hak dan
kewajibannya selama ini, memberi komentar
dan memposisikan dirinya
Penilaian dapat
dilakukan dengan tes
yakni soal-soal yang
berkaitan dengan
materi identitas, dan
non tes, yakni dengan
lembar penilaian
proyek
Kriteria :
Kebenaran jawaban
tes
Kreatifitas ide
Kelengkapan tugas
Kebenaran isi laporan
10%
7-8 a.Menganalisis makna
demokrasi dan
prinsip-prinsipnya
b.Mengemukakan
hakekat demokrasi
Indonesia (demokrasi
Pancasila)
c.Menilai pelaksanaan
demokrasi di
Indonesia
d.Mendukung
pendidikan demokrasi
di perguruan tinggi
Demokrasi Indonesia
a.Makna demokrasi dan
prinsip-prinsipnya
b.Demokrasi Indonesia
(demokrasi Pancasila)
c.Pelaksanaan
demokrasi di
Indonesia
d.Pendidikan demokrasi
Pembelajaran tentang demokrasi dapat
diawali dengan melakukan
kajian literatur
diikuti dengan pertanyaan-pertanyaa kunci,
menemukan kata-kata penting dan
mengungkapkan kembali dengan bahasa
sendiri
Dilanjutkan dengan
diskusi kelompok untuk
menilai pelaksanaan demokrasi di Indonesia
lalu dipresentasikan
Berbicara di depan publik dengan topik
“pentingnya pendidikan demokrasi bagi
kawula muda”
Kriteria :
Kebenaran jawaban
tes
Keaktifan diskusi
Komunikatif
10%
Penilaian dapat
dilakukan dengan tes
yakni soal-soal yang
berkaitan dengan
materi identitas, dan
non tes, yakni dengan
lembar observasi
dalam diskusi dan
lembar penilaian
pidato

xiv
9 UTS
10-11 a.Menguraikan makna
Indonesia sebagai
negara hukum
b.Mendeskripsikan
hubungan negara
hukum dengan HAM
c.Menerapkan prinsip
negara hukum dalam
kehidupannya
sebagai warga negara
d.Mendukung
penegakkan HAM di
Indonesia
Negara Hukum dan
HAM
a.Makna Indonesia
sebagai negara hukum
dan prinsip-prinsipnya
b.Hubungan negara
hukum dengan HAM
c.Penegakan HAM di
Indonesia
Pembelajaran tentang negara hukum dan
HAM dapat dilakukan dengan
Bursa gagasan dengan topik bilamana negara
tidak berdasar atas hukum
T
elaah kasus pelanggaran HAM, misal dengan
media koran atau film. Mahasiswa memberi
komentar, penilaian dan memposisikan diri
atas kasus tersebut.
Mengkonfirmasi tentang pentingnya negara
berdasar atas hukum dan jaminan akan HAM
Penilaian dapat
dilakukan dengan tes
yakni soal-soal yang
berkaitan dengan
materi identitas, dan
non tes, yakni dengan
lembar penilaian
kinerja
Kriteria :
Kebenaran jawaban
tes
Ketajaman analisis
komunikatif
10%
12-13 a.Menjelaskan
pentingnya wilayah
sebagai ruang hidup
bangsa
b.Menjelaskan konsepsi
wawasan nusantara
sebagai pandangan
geopolitik bangsa
Indonesia
c.Memberi contoh
implementasi
wawasan nusantara
Geopolitik
/Wawasan Nusantara
a. Wilayah sebagai
ruang hidup bangsa
b.Wawasan nusantara
sebagai pandangan
geopolitik bangsa
Indonesia
c.Implementasi
wawasan nusantara
Pembelajaran dapat dilakukan dengan diskusi
kelompok
. Dalam diskusi kelompok ini
mahasiswa dapat menjelaskan pentingnya
memiliki wawasan nusantara dalam berbagai
bidang. Mahasiswa akan salin bertukar
pengetahuannya tentang wawasan nusantara
Adapun langkah-langkah pembelajarannya
meliputi:
1. Siswa dikelompokkan ke dalam = 4 anggota
tim
2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi
yang berbeda
3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi
yang ditugaskan , yakni wawasan nusantara
dalam bidang
ideologi politik, ekonomi,
sosial budaya dan pertahanan keamanan
4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah
mempelajari bagian/sub bab yang sama
Penilaian dapat
dilakukan dengan tes
yakni soal-soal yang
berkaitan dengan
materi identitas, dan
non tes, yakni dengan
tes
Kerjasama
Komunikatif
10%
lembar penilaian
diskusi
Kriteria:
Kebenaran jawaban

xv
bertemu dalam kelompok baru (kelompok
ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap
anggota kembali ke kelompok asal dan
bergantian mengajar teman satu tim
mereka tentang sub bab yang mereka
kuasai dan tiap anggota lainnya
mendengarkan dengan sungguh-sungguh
6. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil
diskusi
14 a.Mengemukakan
unsur-unsur
ketahanan nasional
Indonesia
b.Menerapkan
pendekatan astagatra
dalam pemecahan
masalah
c.Menganalisis potensi
ancaman bagi
ketahanan bangsa di
era global
Geostrategi Indonesia
/ Ketahanan Nasional
a.Unsur-unsur
ketahanan nasional
Indonesia
b.Pendekatan astagatra
dalam pemecahan
masalah
c.Potensi ancaman bagi
ketahanan bangsa di
era global
Pembelajaran dapat diawali dengan kajian
literatur
diikuti dengan pertanyaan
pertanyaa kunci, menemukan kata-kata
penting dan mengungkapkan kembali
dengan bahasa sendiri
Membuat dan mempresentasikan laporan
kelompok
tentang kondisi suatu ketahanan
di suatu wilayah
Melakukan
bursa gagasan tentang ragam
potensi ancaman yang dihadapi Indonesia di
era global
Penilaian dapat
dilakukan dengan tes
yakni soal-soal yang
berkaitan dengan
materi identitas, dan
non tes, yakni dengan
lembar penilaian
proyek
Kriteria :
Kebenaran jawaban
tes
Komunikatif
Kelengkapan
Ketajaman analisis
10%
15 a.Mengemukakan
pentingnya integrasi
dalam masyarakat
Indonesia yang plural
b.Memilih strategi
integrasi yang tepat
untuk masyarakat
Indonesia
Integrasi Nasional
a. Integrasi dalam
masyarakat
b. Strategi integrasi
c. Integrasi di
Indonesia
Pembelajaran dapat dilakukan melalui
Pelacakan Isu Dalam Media Massa, yaitu
mahasiswa secara berkelompok ditugasi untuk
melacak berita yang berisi masalah disintegrasi
di Indonesia , memberi komentar tentang latar
belakang terjadinya kasus tersebut dan
memberi ide tentang solusi apa yang tepat
Penilaian dapat
dilakukan dengan tes
yakni soal-soal yang
berkaitan dengan
materi identitas, dan
non tes, yakni dengan
lembar penilaian
sikap dan laporan
20&

xvi
c.Mendukung integrasi
di Indonesia melalui
semboyan Bhinneka
Tunggal Ika
untuk mengatasinyaKriteria :
Kebenaran jawaban
tes
Kelengkapan laporan
Ketajaman analisis
Sikap menghargai
keragaman
16 UAS
Rencana Pembelajaran Berbasis Kompetensi ini selanjutnya dapat dikembangkan lagi dengan menyusun Format Rancangan Tugas
untuk tiap Substansi Kajian. Format Rancangan Tugas pada dasarnya berisi uraian tugas tentang apa yang dikerjakan dan apa yang
akan dihasilkan mahasiswa dalam mempelajari substansi kajian yang ada
Berikut ini contoh Format Rancangan Tugas untuk substansi kajian mengenai Integrasi Nasional

xvii
FORMAT RANCANGAN TUGAS
MATA KULIAH
Tugas Kajian
: Pendidikan Kewarganegaraan
: Integrasi Nasional
JURUSAN/SEMESTER : 1/2
MINGGU KE
TUGAS KE
1. Tujuan Tugas
: 15
: 9
:
Mampu menganalisis suatu kasus disintegrasi di Indonesia serta memberi alternatif solusi pemecahannya
2. Uraian Tugas
a. Obyek garapan :
Sebuah kasus disintegrasi yang tengah terjadi di Indonesia
b. Yang harus dikerjakan dan batasannya :
Menganalisis kasus tersebut dengan memberi jawab atas 5 W 1 H dari kasus lalu memberi alternatif solusi
c. Metode/cara pengerjaannya :
1) Mencari, mengumpulkan dan mengidentifikasi dari berbagai sumber media kasus disintegrasi
2) Memilih satu kasus disintegrasi yang dianggap penting oleh kelompok secara musyawarah
3) Mendeskripsikan kembali dengan kalimat sendiri mencakup pertanyaan 5 W 1 H
4) Memberi alternatif solusi atas kasus tersebut melalui diskusi kelompok
5) Melaporkan secara tertulis hasil kelompok
d). Luaran yang dihasilkan :
Gagasan tertulis tentang solusi penyelesaian suatu kasus disiintegrasi di Indonesia
3. Kriteria Penilaian
a. Pemilihan kasus yang terkini, intensitas konflik tinggi 20%
b. Kelengkapan deskripsi atas kasus 30%
c. Alternatif solusi yang diberikan 50%

1
BAB I
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI MATA KULIAH
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
A. PENDAHULUAN
Keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) ditetapkan melalui: (1) Kepmendiknas
No. 232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, menetapkan bahwa
Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib
diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi. (2)
Kepmendiknas No.045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi
menetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok Mata Kuliah
Pegembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap
program studi/kelmpok program studi. (3) Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas
No. 43/Dikti/Kep/2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan pembelajaran
kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi,
menetapkan status dan beban studi kelompok mata kuliah Pengembangan
Kepribadian. Bahwasannya beban studi untuk Mata Kuliah Pendidikan
Agama, Kewarganegaraan dan Bahasa masing-masing sebanyak 3 sks.
Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai MPK karena PKn merupakan bagian kelompok
MPK. Pertanyaan yang muncul di sini yaitu mengapa Pendidikan
Kewarganegaraan diposisikan sebagai MPK ? Apa urgensi Pendidikan
Kewarganegaraan sebagi MPK?
MPK adalah suatu program pendidikan nilai yang dilaksanakan
melalui proses pembelajaran di Perguruan Tinggi dan berfungsi sebagai
model pengembangan jati diri dan kepribadian para mahasiswa, bertujuan

2
membangun manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri, serta
mempunyai rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Iriyanto
Ws, 2005:2 ).
Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian termasuk
Pendidikan Kewarganegaraan yang termuat dalam Kurikulum Pendidikan
Tinggi tahun akademik 2002-2003 dirancang berbasis kompetensi. Secara
umum Kurikulum Berbasis Kompetensi selalu menekankan kejelasan hasil
didik sebagai seorang yang memiliki kemampuan dalam hal; (1) Menguasai
ilmu dan ketrampilan tertentu; (2) Menguasai penerapan ilmu dan
ketrampilan dalam bentuk kekaryaan; (3) Menguasai sikap berkarya secara
profesional; (4) Menguasai hakikat dan kemampuan dalam berkehidupan
bermasyarakat
Keempat kompetensi program pembelajaran KBK tersebut di atas
dikembangkan dengan menempatkan MPK sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu, yaitu sebagai pedoman dan dasar kekaryaan. Seorang lulusan
pendidikan tinggi diharapkan mampu menerapkan bekal pendidikannya
sebagai cara-cara penemuan, pisau analisis
(a method of inquiry) dalam
memerankan dirinya sebagai pencerah masyarakat, kehidupan berbangsa dan
bernegara (Hamdan Mansoer, 2004: 5).
1. Latar Belakang Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
a. Perubahan Pendidikan ke Masa Depan
Dalam Konferensi Menteri Pendidikan Negara-negar berpenduduk
besar di New Delhi tahun 1996, menyepakati bahwa pendidikan Abad
XXI harus berperan aktif dalam hal; (1) Mempersiapkan pribadi sebagai
warga negara dan anggota masyarakat yang bertanggung jawab; (2)
Menanamkan dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) bagi kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan
hidup; (3) Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada

3
penguasaan, pengembangan, dan penyebaran ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni demi kepentingan kemanusiaan.
Kemudian dalam konferensi internasioanl tentang pendidikan
tinggi yang diselenggarakan UNESCO di Paris tahun 1998 menyepakati
bahwa perubahan pendidikan tinggi masa depan bertolak dari pandangan
bahwa tanggungjawab pendidikan adalah; (1) Tidak hanya meneruskan
nilai-nilai, mentransfer ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, tetapi
juga melahirkan warganegara yang berkesadaran tinggi tentang bangsa
dan kemanusiaan; (2) Mempersiapkan tenaga kerja masa depan yang
produktif dalam konteks yang dinamis; (3) Mengubah cara berfikir,
sikap hidup, dan perilaku berkarya individu maupun kelompok
masyarakat dalam rangka memprakarsai perubahan sosial yang
diperlukan serta mendorong perubahan ke arah kemajuan yang adil dan
bebas
Agar bangsa Indonesia tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain
maka Pendidikan nasional Indonesia perlu dikembangkan searah dengan
perubahan pendidikan ke masa depan. Pendidikan nasional memiliki
fungsi sangat strategis yaitu “mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” Tujuan Pendidikan nasional “
berkembangnya potensi peserta anak didik agar menjadi manusia
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”
Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education) di perguruan
tinggi sebagai kelompok MPK diharapkan dapat mengemban misi
fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut. Melalui pengasuhan
Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi yang substansi kajian
dan materi instruksionalnya menunjang dan relevan dengan
pembangunan masyarakat demokratik berkeadaban, diharapkan
mahasiswa akan tumbuh menjadi ilmuwan atau profesional, berdaya

4
saing secara internasionasional, warganegara Indonesia yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
b.Dinamika Internal Bangsa Indonesia
Dalam kurun dasa warsa terakhir ini, Indonesia mengalami
percepatan perubahan yang luar biasa. Misalnya, loncatan demokratisasi,
transparansi yang hampir membuat tak ada lagi batas kerahasiaan di
negara kita, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya dirahasiakan.
Liberalisasi bersamaan dengan demokratisasi di bidang politik,
melahirkan sistem multi partai yang cenderung tidak efektif, pemilihan
presiden – wakil presiden secara langsung yang belum diimbangi
kesiapan infrastruktur sosial berupa kesiapan mental elit politik dan
masyarakat yang kondusif bagi terciptanya demokrasi yang bermartabat.
Kekuasaan DPR-DPRD yang sangat kuat seringkali disalahgunakan
sebagai ajang manuver kekuatan politik yang berdampak timbulnya
ketegangan-ketegangan suasana politik nasional, dan hubungan eksekutif
dan legeslatif. Pengembangan otonomi daerah berekses pada semakin
bermunculan daerah otonomi khusus, pemekaran wilayah yang kadang
tidak dilandasi asas-asas kepentingan nasional sehingga sistem
ketatanegaraan dan sistem pemerintahan terkesan menjadi
”chaos”
(Siswono Yudohusodo, 2004:5).
Situasi lain yang saat ini muncul yaitu melemahnya komitmen
masyarakat terhadap nilai-nilai dasar yang telah lama menjadi prinsip
dan bahkan sebagai pandangan hidup, mengakibatkan sistem filosofi
bangsa Indonesia menjadi rapuh. Ada dua faktor penyebabnya, yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, berupa pengaruh
globalisasi yang di semangati liberalisme mendorong lahirnya sistem
kapitalisme di bidang ekonomi dan demokrasi liberal di bidang politik.
Dalam praktiknya sistem kapitalisme dan demokrasi liberal yang
disponsori oleh negara-negara maju seperti Amerika, mampu menggeser
tatanan dunia lama yang lokal regional menjadi tatanan dunia baru yang

5
bersifat global mondial. Bahkan mampu menyusup dan mempengaruhi
tatanan nilai kehidupan internal setiap bangsa di dunia. Tarik ulur yang
memicu ketegangan saat ini sedang terjadi dalam internal setiap bangsa,
antara keinginan untuk mempertahankan sistem nilai sendiri yang
menjadi identitas bangsa, dengan adanya kekuatan nilai-nilai asing yang
telah dikemas melalui teknologinya (Iriyanto Widisuseno, 2004: 4).
Sejauh mana kekuatan setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia untuk
mengadaptasi nilai-nilai asing tersebut. Bagi negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia sangat rentan terkooptasi nilai-nilai asing
yang cenderung berorientasi praktis dan pragmatis dapat menggeser
nilai-nilai dasar kehidupan. Kecenderungan munculnya situasi semacam
ini sudah mulai menggejala di kalangan masyarakat dan bangsa
Indonesia saat ini. Seperti nampak pada sebagian masyarakat dan bahkan
para elit yang sudah semakin melupakan peran nilai-nilai dasar yang
wujud kristalisasinya berupa Pancasila dalam perbincangan lingkup
ketatanegaraan atau bahkan kehidupan sehari-hari. Pancasila sudah
semakin tergeser dari perannya dalam praktik ketatanegaraan dan produk
kebijakan-kebijakan pembangunan. Praktik penyelenggaraan
ketatanegaraan dan pembangunan sudah menjauh dan terlepas dari
konsep filosofis yang seutuhnya. Eksistensi Pancasila nampak hanya
dalam status formalnya yaitu sebagai dasar negara, tetapi sebagai sistem
filosofi bangsa sudah tidak memiliki daya spirit bagi kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Sistem filosofi Pancasila sudah
rapuh. Masyarakat dan bangsa Indonesia kehilangan dasar, pegangan
dan arah pembangunan.
Faktor internal, yaitu bersumber dari internal bangsa Indonesia
sendiri. Kenyataan seperti ini muncul dari kesalahan sebagian
masyarakat dalam memahami Pancasila. Banyak kalangan masyarakat
memandang Pancasila tidak dapat mengatasi masalah krisis. Sebagian
lagi masyarakat menganggap bahwa Pancasila merupakan alat legitimasi
kekuasaan Orde Baru. Segala titik kelemahan pada Orde Baru linier

6
dengan Pancasila. Akibat yang timbul dari kesalahan pemahaman
tentang Pancasila ini sebagian masyarakat menyalahkan Pancasila,
bahkan anti Pancasila. Kenyataan semacam ini sekarang sedang
menggejala pada sebagian masyarakat Indonesia. Kesalahan pemahaman
(epistemologis) ini menjadikan masyarakat telah
kehilangan sumber
dan sarana orientasi nilai
.
Disorientasi nilai dan distorsi nasionalisme di kalangan masyarakat
Indonesia dewasa ini.
Disorientasi nilai terjadi saat masyarakat
menghadapi masa transisi dan transformasi. Dalam masa transisi
terdapat peralihan dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat
perkotaan, masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari
tipologi masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dari mayarakat
paternalistik ke arah masyarakat demokratis, dari masyarakat feodal ke
masyarakat egaliter, dari makhluk sosial ke makhluk ekonomi. Dalam
proses transisi ini menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia
mengalami
kegoyahan konseptual tentang prinsip-prinsip kehidupan
yang telah lama menjadi pegangan hidup, sehingga timbul kekaburan
dan ketidakpastian landasan pijak untuk mengenali dan menyikapi
berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi.
Dalam masa transformasi, terjadi pergeseran tata nilai kehidupan
sebagian masyarakat Indonesia sebagai dampak dari proses transisi,
misal beralihnya dari kebiasaan cara pandang masyarakat yang
mengapresiasi nilai-nilai tradisional ke arah nilai-nilai modern yang
cenderung rasional dan pragmatis, dari kebiasaan hidup dalam tata
pergaulan masyarakat yang konformistik bergeser ke arah tata pergaulan
masyarakat yang dilandasi cara pandang individualistik.
Distorsi nasionalisme, suatu fenomena sosial pada sebagian
masyarakat Indeonesia yang menggambarkan semakin pudar rasa
kesediaan mereka untuk hidup eksis bersama, menipisnya rasa dan
kesadaran akan adanya jiwa dan prinsip spiritual yang berakar pada
kepahlawanan masa silam yang tumbuh karena kesamaan penderitaan

7
dan kemuliaan di masa lalu. Hilangnya rasa saling percaya (trust) antar
sesama baik horizontal maupun vertikal. Fenomena yang kini
berkembang adalah rasa saling curiga, dan menjatuhkan sesama. Inilah
tanda-tanda melemahnya
kohesivitas sosial kemasyarakatan di antara
kita sekarang ini.
B. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan dilakukan oleh hampir seluruh bangsa
di dunia, dengan menggunakan nama seperti: civic education, citizenship
education, democracy education. PKn memiliki peran strategis dalam
mempersiapkan warganegara yang cerdas, bertanggungjawab jawab dan
beerkeadaban. Menurut rumusan Civic International (1995) bahwa
“pendidikan demokrasi penting bagi pertumbuhan “civic culture” untuk
keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan, inilah satu
tujuan penting pendidikan “civic” maupun citizenship” untuk mengatasi
political apatism demokrasi (Azyumadi Azra, 2002 : 12 ). Semua negara yang
formal menganut demokrasi menerapkan Pendidikan Kewarganegaraan
dengan muatan, demokrasi, rule of law, HAM, dan perdamaian, dan selalu
mengaitkan dengan kondisi situasional negara dan bangsa masing-masing
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia semestinya menjadi
tanggungjawab semua pihak atau komponen bangsa, pemerintah, lembaga
masyarakat, lembaga keagamaan dan msyarakat industri (Hamdan Mansoer,
2004: 4)
Searah dengan perubahan pendidikan ke masa depan dan dinamika
internal bangsa Indonesia, program pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus mampu mencapai tujuan:
a. Mengembangkan sikap dan perilaku kewarganegaraan yang
mengapresiasi nilai-nilai moral-etika dan religius.
b. Menjadi warganegara yang cerdas berkarakter, menjunjung tinggi
nilai kemanusiaan

8
c. Menumbuhkembangkan jiwa dan semangat nasionalisme, dan rasa
cinta pada tanah air.
d. Mengembangkan sikap demokratik berkeadaban dan
bertanggungjawab, serta mengembangkan kemampuan kompetitif
bangsa di era globalisasi.
e. Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan
C. Pancasila sebagai Nilai Dasar PKn untuk Berkarya Bagi Lulusan PT
Program pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
sebagai pendidikan nilai di Perguruan Tinggi memiliki fungsi meletakkan
dasar nilai sebagai pedoman berkarya bagi lulusan perguruan tinggi.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai MPK diarahkan mampu mengemban
misi tersebut. Konsekuensi PKn sebagai MPK, keseluruhan materi program
pembelajaran PKn disirati nilai-nilai Pancasila.
Pengertian nilai dasar harus difahami bahwa nilai-nilai Pancasila
harus dijadikan sebagai pedoman dan sumber orientasi pengembangan
kekaryaan setiap lulusan PT. Peran nilai-nilai dalam setiap Sila Pancasila
adalah sebagai berikut.
1. Nilai Ketuhanan dalam Sila Ketuhanan YME : melengkapi ilmu
pengetahuan menciptakan perimbangan antara yang rasional dan
irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan manusia dalam
alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya. Faham nilai ketuhanan
dalam Sila Ketuhanan YME, tidak memberikan ruang bagi faham
ateisme, fundamentalisme dan ekstrimisme keagamaan, sekularisme
keilmuan, antroposentrisme dan kosmosentrisme.
2. NIlai Kemanusiaan dalam Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab:
memberi arah dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Pengembangan
ilmu harus didasarkan pada tujuan awal ditemukan ilmu atau
fungsinya semula, yaitu untuk mencerdaskan, mensejahterakan, dan

9
memartabatkan manusia, ilmu tidak hanya untuk kelompok, lapisan
tertentu.
3. Nilai Persatuan dalam Sila Persatuan Indonesia:
mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain,
sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub sistem.
Solidaritas dalam subsistem sangat penting untuk kelangsungan
keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi. Nilai
Persatuan dalam Sila Persatuan Indonesia sesnsinya adalah pengakuan
kebhinnekaan dalam kesatuan: koeksistensi, kohesivitas, kesetaraan,
kekeluargaan, dan supremasi hukum.
4. Nilai Kerakyatan dalam Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, mengimbangi
otodinamika ilmu pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri
dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu
pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara
perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan masal.
Nilai Kerakyatan dalam Sila 4 ini esensinya adalah menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi yang berkeadaban. Tidak memberi ruang bagi
faham egoisme keilmuan ( puritanisme, otonomi keilmuan),
liberalisme dan individualsime dalam kontek kehidupan.
5. Nilai Keadilan dalam Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan
distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan
sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan
masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh
kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan yang
memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.
Kelima dasar nilai tersebut sebagai pedoman dan sumber orientasi
dalam penyusunan dan pengembangan substansi kajian Pendidikan

10
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
MPK mencerminkan pendidikan demokrasi, HAM dan persoalan
kewarganegaraan lainnya berperspektif Pancasila. Jadi, meskipun setiap
bangsa sama-sama menyebut Pendidikan Kewarganegaraan sebagai “civic
education, democracy education, civil education” dsb, tetapi arah
pengembangan kompetensi keilmuan PKn di perguruan tinggi Indonesia
memiliki karakter sendiri.

11
BAB II
IDENTITAS NASIONAL
A. Pengertian Ideintitas Nasional
Setiap bangsa memiliki karakter dan identitasnya masing-masing.
Apabila mendengar kata Barat, tergambar masyarakat yang individualis,
rasional, dan berteknologi maju. Mendengar kata Jepang tergambar
masyarakat yang berteknologi tinggi namun tetap melaksanakan tradisi
ketimurannya. Bagaimana dengan Indonesia? Orang asing yang datang ke
Indonesia biasanya akan terkesan dengan keramahan dan kekayaan budaya
kita.
Indonesia adalah negara yang memiliki keunikan di banding negara
yang lain. Indonesia adalah negara yang memiliki pulau terbanyak di dunia,
negara tropis yang hanya mengenal musim hujan dan panas, negara yang
memiliki suku, tradisi dan bahasa terbanyak di dunia. Itulah keadaan
Indonesia yang bisa menjadi ciri khas yang membedakan dengan bangsa yang
lain.
Salah satu cara untuk memahami identitas suatu bangsa adalah dengan
cara membandingkan bangsa satu dengan bangsa yang lain dengan cara
mencari sisi-sisi umum yang ada pada bangsa itu. Pendekatan demikian
dapat menghindarkan dari sikap kabalisme, yaitu penekanan yang terlampau
berlebihan pada keunikan serta ekslusivitas yang esoterik, karena tidak ada
satu bangsapun di dunia ini yang mutlak berbeda dengan bangsa lain
(Darmaputra, 1988: 1). Pada bab ini akan dibicarakan tentang pengertian
identitas nasional, identitas nasional sebagai karakter bangsa, proses
berbangsa dan bernegara dan politik identitas.
Identitas nasional (
national identity) adalah kepribadian nasional atau
jati diri nasional yang dimiliki suatu bangsa yang membedakan bangsa satu
dengan bangsa yang lain (Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan,
2011: 66). Ada beberapa faktor yang menjadikan setiap bangsa memiliki
identitas yang berbeda-beda. Faktor-faktor tersebut adalah: keadaan geografi,

12
ekologi, demografi, sejarah, kebudayaan, dan watak masyarakat. Watak
masyarakat di negara yang secara geografis mempunyai wilayah daratan akan
berbeda dengan negara kepulauan.Keadaan alam sangat mempengaruhi watak
masyarakatnya.
Bangsa Indonesia memiliki karakter khas dibanding bangsa lain yaitu
keramahan dan sopan santun. Keramahan tersebut tercermin dalam sikap
mudah menerima kehadiran orang lain. Orang yang datang dianggap sebagai
tamu yang harus dihormati. Sehingga banyak kalangan bangsa lain yang
datang ke Indonesia merasakan kenyamanan dan kehangatan tinggal di
Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa agraris. Sebagaian besar penduduk
Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Sistem kemasyarakatan secara
umum di sebagian besar suku-suku di Indonesia adalah sistem
Gemmeinschaaft (paguyuban/masyarakat sosial/bersama). Suatu sistem
kekerabatan dimana masyarakat mempunyai ikatan emosional yang kuat
dengan kelompoknya etnisnya. Masyarakat Indonesia mempunyai
kecenderungan membuat perkumpulan-perkumpulan apabila mereka berada
di luar daerah, misalnya: Persatuan Mahasiswa Sulawesi, Riau, Aceh,
Kalimantan, Papua dan lain-lain di Yoggjakarta . Ikatan kelompok ini akan
menjadi lebih luas jika masyarakat Indonesia di luar negeri. Ikatan emosional
yang terbentuk bukan lagi ikatan kesukuan, tetapi ikatan kebangsaan.
Masyarakat Indonesia jika berada di luar negeri biasanya mereka akan
membuat organisasi paguyuban Indonesia di mana mereka tinggal. Inilah ciri
khas Bangsa Indonesia yang bisa membangun identitas nasional. Nasional
dalam hal ini adalah dalam kontek bangsa (masyarakat), sedangkan dalam
konteks bernegara, identitas nasional bangsa Indonesia tercermin pada:
bahasa nasional, bendera, lagu kebangsaan, lambing negara gambar Garuda
Pancasila dan lain-lain.
Identitas Nasional dalam konteks bangsa (masyarakat Indonesia)
cenderung mengacu pada kebudayaan atau kharakter khas. Sedangkan
identitas nasional dalam konteks negara tercermin dalam sombol-simbol

13
kenegaraan. Kedua unsur identitas ini secara nyata terangkum dalam
Pancasila. Pancasila dengan demikian merupakan identitas nasional kita
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang religius,
humanis, menyukai persatuan/kekeluargaan, suka bermusyawarah dan lebih
mementingkan kepentingan bersama. Itulah watak dasar bangsa Indonesia.
Adapun apabila terjadi konflik sosial dan tawuran di kalangan masyarakat,
itu sesungguhnya tidak menggambarkan keseluruhan watak bangsa Indonesia.
Secara kuantitas, masyarakat yang rukun dan toleran jauh lebih banyak
daripada yang tidak rukun dan toleran. Kesadaran akan kenyataan bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk adalah sangat penting.
Apabila kesadaran tersebut tidak dimiliki, maka keragaman yang bisa
menjadi potensi untuk maju justru bisa menjadi masalah. Keragaman yang
ada pada bangsa Indonesia semestinya tidak dilihat dalam konteks perbedaan
namun dalam konteks kesatuan. Analogi kesatuan itu dapat digambarkan
seperti tubuh manusia yang terdiri atas kepala, badan, tangan dan kaki, yang
meskipun masing-masing organ tersebut berbeda satu sama lain, namun
keseluruhan organ tersebut merupakan kesatuan utuh tubuh manusia. Itulah
gambaran utuh kesatuan bangsa Indonesia yang diikat dengan semboyan
Bhinneka Tungkal Ika, meskipun berbeda-beda namun tetap satu, sebagai
dasar kehidupan bersama ditengah kemajemukan.
Selain faktor-faktor yang sudah menjadi bawaan sebagaimana disebut
di atas, identitas nasional Indonesia juga diikat atas dasar kesamaan nasib
karena sama-sama mengalami penderitaan yang sama ketika dijajah.
Kemajemukan diikat oleh kehendak yang sama untuk meraih tujuan yang
sama yaitu kemerdekaan. Dengan demikian ada dua faktor penting dalam
pembentukan identitas yaitu faktor primordial dan faktor kondisional. Faktor
primordial adalah faktor bawaan yang bersifat alamiah yang melekat pada
bangsa tersebut, seperti geografi, ekologi dan demografi, sedangan faktor
kondisional adalah keadaan yang mempengaruhi terbentuknya identitas

14
tersebut. Apabila bangsa Indonesia pada saat itu tidak dijajah oleh Portugis,
Belanda dan Jepang bisa jadi negara Indonesia tidak seperti yang ada saat ini.
Identitas nasional tidak bersifat statis namun dinamis. Selalu ada
kekuatan tarik menarik antara etnisitas dan globalitas. Etnisitas memiliki
watak statis, mempertahankan apa yang sudah ada secara turun temurun,
selalu ada upaya fundamentalisasi dan purifikasi, sedangkan globalitas
memiliki watak dinamis, selalu berubah dan membongkar hal-hal yang
mapan, oleh karena itu, perlu kearifan dalam melihat ini. Globalitas atau
globalisasi adalah kenyataan yang tidak mungkin dibendung, sehingga sikap
arif sangat diperlukan dalam hal ini. Globalisasi itu tidak selalu negatif. Kita
bisa menikmati HP, komputer, transportasi dan teknologi canggih lainnya
adalah karena globalisasi, bahkan kita mengenal dan menganut enam agama
(resmi pemerintah) adalah proses globalisasi juga. Sikap kritis dan evaluatif
diperlukan dalam menghadapi dua kekuatan itu. Baik etnis maupun
globalisasi mempunyai sisi positif dan negatif. Melalui proses dialog dan
dialektika diharapkan akan mengkonstruk ciri yang khas bagi identitas
nasional kita. Sebagai contoh adalah pandangan etnis seperti sikap (
nrimo,
Jawa) yang artinya menerima apa adanya. Sikap nrimo secara negatif bisa
dipahami sikap yang pasif, tidak responsif bahkan malas. Sikap
nrimo secara
positif bisa dipahami sebagai sikap yang tidak memburu nafsu, menerima
setiap hasil usaha keras yang sudah dilakukan. Sikap positif demikian sangat
bermanfaat untuk menjaga agar orang tidak stres karena keinginannya tidak
tercapai. Sikap
nrimo justru diperlukan dalam kehidupan yang konsumtif
kapitalistik ini.
B. Identitas Nasional Sebagai Karakter Bangsa
Setiap bangsa memiliki identitasnya. Dengan memahami identitas
bangsa diharapkan akan memahami jati diri bangsa sehingga menumbuhkan
kebanggaan sebagai bangsa. Dalam pembahasan ini tentu tidak bisa
mengabaikan pembahasan tentang keadaan masa lalu dan masa sekarang,
antara idealitas dan realitas dan antara
das Sollen dan das Seinnya.
15
Karakter berasal dari bahasa latin “kharakter, kharassein atau
kharax”, dalam bahasa Prancis “caractere” dalam bahasa Inggris “character.
Dalam arti luas karakter berarti sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti, tabiat,
watak yang membedakan seseorang dengan orang lain (Tim Nasional Dosen
Pendidikan Kewarganegaraan, 2011: 67). Sehingga karakter bangsa dapat
diartikan tabiat atau watak khas bangsa Indonesia yang membedakan bangsa
Indonesia dengan bangsa lain.
Menurut Max Weber (dikutip Darmaputra, 1988: 3) cara yang terbaik
untuk memahami suatu masyarakat adalah dengan memahami tingkah laku
anggotanya. Dan cara memahami tingkah laku anggota adalah dengan
memahami kebudayaan mereka yaitu sistem makna mereka. Manusia adalah
makhluk yang selalu mencari makna terus menerus atas semua tindakannya.
Makna selalu menjadi orientasi tindakan manusia baik disadari atau tidak.
Manusia juga mencari dan berusaha menjelaskan ‘logika’ dari tingkah laku
sosial masyarakat tertentu melalui kebudayaan mereka sendiri.
Dalam masyarakat berkembang atau masyarakat Dunia Ketiga, pada
umumnya menghadsapi tiga masalah pokok yaitu
nation-building, stabilitas
politik dan pembangunan ekonomi.
Nation-building adalah masalah yang
berhubungan dengan warsian masa lalu, bagaimana masyarakat yang beragam
berusaha membangun kesatuan bersama. Stabilitas politik merupakan
masalah yang terkait dengan realitas saat ini yaitu ancaman disintegrasi.
Sedangkan masalah pembangaunan ekonomi adalah masalah yang terkait
dengan masa depan yaitu (dalam konteks Indonesia) masyarakat adil dan
makmur (Darmaputra, 1988: 5).
Identitas dan modernitas juga seringkali mengalami tarik menarik.
Atas nama identitas seringkali menutup diri dari perubahan, ada kekhawatiran
identitas yang sudah dibangun oleh para pendahulu tercerabut dan hilang.
Sehingga identitas bukan sesuatu yang hanya dipertahankan namun juga
selalu berproses mengalami perkembangan. Pembentukan identitas Indonesia
juga mengalami hal demikian. Indonesia yang memiliki beribu etnis harus
menyatukan diri membentuk satu identitas yaitu Indonesia, suatu proses yang

16
sangat berat kalau tidak ada kelapangdadaan bangsa ini untuk bersatu. Bukan
hanya etnik yang beragam, Indonesia juga terdiri atas kerajaan-kerajaan yang
sudah
establish memiliki wilayah dan rajanya masing-masing dan bersedia
dipersatukan dengan sistem pemerintahan baru yang modern yaitu demokrasi
presidensial. Dalam konteks ini Soekarno pernah mengatakan:
“Saja berkata dengan penuh hormat kepada kita punja radja-radja
dahulu, saja berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung
Hanjokrosusumo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di
Padjajaran, saja berkata, bahwa keradjaannja bukan nationale staat,
Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtajasa, saja
berkata, bahwa keradjaannja di Banten, meskipun merdeka, bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoeddin
di Sulawesi, jang telah membentuk keradjaan Bugis, saja berkata,
bahwa tanah Bugis jang merdeka itu bukan nationale staat”. (Dewan
Pertimbangan Agung di kutip Darmaputra, 1988: 5).
Negara bangsa adalah negara yang lahir dari kumpulan bangsabangsa. Negara Indonesia sulit terwujud apabila para raja bersikukuh
dengan otoritas dirinya dan ingin mendirikan negaranya sendiri.
Keadaan demikian tentu mengindikasikan ada hal yang sangat kuat
yang mampu menyatukan beragam otoritas tersebut. Keadaan
geografis semata tentu tidak cukup mampu menyatukannya karena
secara geografis sulit membedakan kondisi wilayah geografis
Indonesia dengan Malaysia, Pilipina, Singapura dan Papua Nugini.
Akan tetapi perasaan yang sama karena mengalami nasib yang sama
kiranya menjadi faktor yang sangat kuat. Selain daripada itu apabila
menggunakan pendekatan Weber sebagaimana tersebut di atas, maka
kesatuan sistem makna juga menjadi salah satu faktor pemersatu.
Sistem makna cenderung bersifat langgeng dan tetap meskipun pola
perilaku dapat berbeda atau berubah. Sistem makna yang membangun

17
identitas Indonesia adalah nilai-nilai sebagaimana termaktub dalam
Pancasila. Nilai-nilai Pancasila mengandung nilai-nilai yang
merupakan sistem makna yang mampu menyatukan keragaman
bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut hidup dalam sendi kehidupan di
seluruh wilayah Indonesia. Tidak ada literatur yang menunjukkan
bahwa ada wilayah di Indonesia yang menganut paham ateis. Seluruh
masyarakat memahami adanya Realitas Tertinggi yang diwujudkan
dalam ritual-ritual peribadatan. Ada penyembahan bahkan
pengorbanan yang ditujukan kepada Zat yang Supranatural yaitu
Tuhan. Masyarakat tidak menolak ketika‘Ketuhanan’ dijadikan
sebagai dasar fundamental negara ini.
Dari penjelasan ini dapatlah dikatakan bahwa identitas bangsa
Indonesia adalah Pancasila itu sendiri, sehingga dapat pula dikatakan bahwa
Pancasila adalah karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut bersifat esoterik
(substansial), ketika terjadi proses komunikasi, relasi dan interaksi dengan
bangsa-bangsa lain realitas eksoterik juga mengalami perkembangan.
Pemahaman dan keyakinan agama berkembang sehingga terdapat paham baru
di luar keyakinan yang sebelumnya dianut. Pemahaman kemanusiaan juga
berkembang karena berkembangnya wacana tentang hak asasi manusia.
Kecintaan pada tanah air kerajaannya dileburkan dalam kecintaan pada
Indonesia. Pemerintahan yang monarkhi berubah menjadi demokrasi. Konsep
keadilan juga melintasi tembok etnik.
Para pendiri bangsa melalui sidang BPUPKI berusaha menggali nilainilai yang ada dan hidup dalam masyarakat, nilai-nilai yang
existing maupun
nilai-nilai yang menjadi harapan seluruh bangsa. Melalui pembahasan yang
didasari niat tulus merumuskan pondasi berdirinya negara ini maka
muncullah Pancasila. Dengan demikian karena Pancasila digali dari
pandangan hidup bangsa, maka Pancasila dapat dikatakan sebagai karakter
sesungguhnya bangsa Indonesia.

18
Pancasila dirumuskan melalui musyawarah bersama anggota BPUPKI
yang diwakili oleh berbagai wilayah dan penganut agama, bukan dipaksakan
oleh suatu kekuatan/rezim tertentu. Dengan demikian Pancasila betul-betul
merupakan nilai dasar sekaligus ideal untuk bangsa Indonesia. Nilai-nilai
yang merupakan identitas sekaligus karakter bangsa (Kaelan, 2007: 52).
Lima nilai dasar yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
dan keadilan adalah realitas yang hidup di Indonesia. Apabila kita tinggal di
luar negeri amatlah jarang kita mendengar suara lonceng gereja, adzan magrib
atau suara panggilan dari tempat ibadah agama. Suara itu di Indonesia sudah
amat biasa. Ada kesan nuansa religiusitas yang kental yang dalam kehidupan
bangsa kita, sebagai contoh masyarakat Bali setiap saat orang melakukan
upacara sebagai bentuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
suasana sakralitas religius amatlah terasa karena
Gotong royong sebagai bentuk perwujudan dari kemanusiaan dan
persatuan juga tampak kental di Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain.
Kerjabakti bersama dan ronda, misalnya, adalah salah satu contoh nyata karakter
yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain, bangsa yang komunal
tanpa kehilangan hak individualnya.
C. Proses berbangsa dan bernegara
Keberadaan bangsa Indonesia tidak lahir begitu saja, namun lewat
proses panjang dengan berbagai hambatan dan rintangan. Kepribadian, jati
diri serta identitas nasioanl Indonesia dapat dilacak dari sejarah terbentuknya
bangsa Indonesia dari zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya serta kerajaankerajaan lain sebelum kolonialisme dan imperialisme masuk ke Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila sudah ada pada zaman itu, tidak hanya pada era kolonial
atau pasca kolonial. Proses terbentuknya nasionalisme yang berakar pada
budaya ini menurut Mohammad Yamin diistilahkan sebagai fase
nasionalisme lama (Kaelan, 2007: 52).
Pembentukan nasionalisme modern menurut Yamin dirintis oleh para
tokoh pejuang kemerdekaan dimulai dari tahun 1908 berdirinya organisasi

19
pergerakan Budi Utomo, kemudian dicetuskannya Sumpah Pemuda pada
tahun 1928. Perjuangan terus bergulir hingga mencapai titik kulminasinya
pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tonggak berdirinya negara Republik
Indonesia (Kaelan, 2007: 53). Indonesia adalah negara yang terdiri atas
banyak pulau, suku, agama, budaya maupun bahasa, sehingga diperlukan satu
pengikat untuk menyatukan keragaman tersebut. Nasionalisme menjadi syarat
mutlak bagi pembentukan identitas bangsa
1. Peristiwa proses berbangsa
Salah satu perkataan Soekarno yang sangat terkenal adalah ‘jas
merah’ yang maknanya jangan sampai melupakan sejarah. Sejarah akan
membuat seseorang hati-hati dan bijaksana. Orang berati-hati untuk tidak
melakukan kesalahan yang dilakukan pada masa lalu. Orang menjadi
bijaksana karena mampu membuat perencanaan ke depan dengan seksama.
Dengan belajar sejarah kita juga mengerti posisi kita saat ini bahwa ada
perjalanan panjang sebelum keberadaan kita sekarang dan mengerti
sebenarnya siapa kita sebenarnya, siapa nenek moyang kita, bagaimana
karakter mereka, apa yang mereka cita-citakan selama ini. Sejarah adalah
ibarat spion kendaraan yang digunakan untuk mengerti keadaan di
belakang kita, namun demikian kita tidak boleh terpaku dalam melihat ke
belakang. Masa lalu yang tragis bisa jadi mengurangi semangat kita untuk
maju. Peristiwa tragis yang pernah dialami oleh bangsa ini adalah
penjajahan yang terjadi berabad-abad, sehingga menciptakan watak bangsa
yang
minder wardeh (kehilangan kepercayaan diri). Peristiwa tersebut
hendaknya menjadi pemicu untuk mengejar ketertinggalan dan berusaha
lebih maju dari negara yang dulu pernah menjajah kita. Proses berbangsa
dapat dilihat dari rangkaian peristiwa berikut:
a. Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno dan
berhuruf Pallawa, bertuliskan “
marvuat vanua Sriwijaya
siddhayatra subhiksa
, yang artinya kurang lebih adalah membentuk
negara Sriwijaya yang jaya, adil, makmur, sejahtera dan sentosa.
Prasasti ini berada di bukit Siguntang dekat dengan Palembang

20
yang bertarikh syaka 605 atau 683 Masehi. Kerajaan Sriwijaya
yang dipimpin oleh wangsa Syailendra ini merupakan kerajaan
maritim yang memiliki kekuatan laut yang handal dan disegani
pada zamannya. Bukan hanya kekuatan maritimnya yang terkenal,
Sriwijaya juga sudah mengembangkan pendidikan agama dengan
didirikannya Universitas Agama Budha yang terkenal di kawasan
Asia (Bakry, 2009: 88)
b. Kerajaan Majapahit (1293-1525). Kalau Sriwijaya sistem
pemerintahnnya dikenal dengan sistem ke-datu-an, maka Majapahit
dikenal dengan sistem keprabuan. Kerajaan ini berpusat di Jawa
Timur di bawah pimpinan dinasti Rajasa, dan raja yang paling
terkenal adalah Brawijaya. Majapahit mencapai keemasan pada
pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gadjah
Mada yang tekenal dengan sumpah Palapa. Sumpah tersebut dia
ucapkan dalam sidang Ratu dan Menteri-menteri di paseban
Keprabuan Majapahit pada tahun 1331 yang berbumyi: “Saya baru
akan berhenti berpuasa makan palapa, jikalau seluruh Nusantara
takluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram,
Tanjungpura, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan
Tumasik sudah dikalahkan” (Bakry, 2009: 89).
c. Berdirinya organisasi massa bernama Budi Utomo oleh Sutomo
pada tanggal 20 Mei 1908 yang menjadi pelopor berdirinya
organisasi-organisasi pergerakan nasional yang lain di belakang
hari. Di belakang Sutomo ada dr. Wahidin Sudirohusodo yang
selalu membangkitkan motivasi dan kesadaran berbangsa terutama
kepada para mahasiswa STOVIA (
School tot Opleiding van
Indische Artsen
). Budi Utomo adalah gerakan sosio kultural yang
merupakan awal pergerakan nasional yang merintis kebangkitan
nasional menuju cita-cita Indonesia merdeka (Bakry, 2009: 89)

21
d. Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh para pemuda pelopor
persatuan bangsa Indonesia dalam Kongres Pemuda di Jakarta pada
28 Oktober 1928. Ikrar tersebut berbunyi:
Pertama : Kami putra dan puteri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
: Kami putra dan puteri Indonesia mengaku
bertanah air yang satu, Tumpah Darah Indonesia.
: Kami putra dan puteri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Kedua
Ketiga
2. Peristiwa proses bernegara
Proses bernegara merupakan kehendak untuk melepaskan diri dari
penjajahan, mengandung upaya memiliki kemerdekaan untuk mengatur
negaranya sendiri secara berdaulat tidak dibawah cengkeraman dan
kendali bangsa lain. Dua peristiwa penting dalam proses bernegara adalah
sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI)
a. Pemerintah Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Janji itu
disampaikan oleh Perdana menteri Jepang Jenderal Kunaiki Koisu
(Pengganti Perdana Menteri Tojo) dalam Sidang Teikuku Gikoi
(Parlemen Jepang). Realisasi dari janji itu maka dibentuklah
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) pada 29 April 1945 dan dilantik pada 28 Mei 1945 yang
diketuai oleh Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat. Peristiwa inilah
yang menjadi tonggak pertama proses Indonesia menjadi negara.
Pada sidang ini mulai dirumuskan syarat-syarat yang diperlukan
untuk mendirikan negara yang merdeka (Bakry, 2009: 91).
b. Pembentukan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
setelah sebelumnya membubarkan BPUPKI pada 9 Agustus 1945.

22
Ketua PPKI adalah Ir. Soekarno dan wakil ketua adalah Drs. Moh.
Hatta. Badan yang mula-mula buatan Jepang untuk memersiapkan
kemerdekaan Indonesia, setelah Jepang takluk pada Sekutu dan
setelah diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, maka badan ini
mempunyai sifat ‘Badan Nasional’ yang mewakili seluruh bangsa
Indonesia. Dengan penyerahan Jepang pada sekutu maka janji
Jepang tidak terpenuhi, sehingga bangsa Indonesia dapat
memproklamirkan diri menjadi negara yang merdeka.
c. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan
penetapan Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Peristiwa
ini merupakan momentum yang paling penting dan bersejarah
karena merupakan titik balik dari negara yang terjajah menjadi
negara yang merdeka.
D. Politik Identitas
Politik identitas adalah nama untuk menjelaskan situasi yang ditandai
dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan untuk
represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah
menjadi politik identitas ketika menjadi basis perjuangan aspirasi kelompok
(Bagir, 2011: 18).
Identitas bukan hanya persoalan sosio-psikologis namun juga politis.
Ada politisasi atas identitas. Identitas yang dalam konteks kebangsaan
seharusnya digunakan untuk merangkum kebinekaan bangsa ini, namun
justru mulai tampak penguaan identitas-identitas sektarian baik dalam agama,
suku, daerah dan lain-lain.
Identitas yang menjadi salah satu dasar konsep kewarganegaraan
(
citizenship) adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warganegara.
Identitas sebagai warganegara ini menjadi bingkai politik untuk semua orang,
terlepas dari identitas lain apapun yang dimilikinya seperti identitas agama,
etnis, daerah dan lain-lain (Bagir, 2011: 17).

23
Pada era reformasi, kebebasan berpikir, berpendapat dan kebebasan
lain dibuka. Dalam perkembangannya kebebasan (yang berlebihan) ini telah
menghancurkan pondasi dan pilar-pilar yang pernah dibangun oleh
pemerintah sebelumnya. Masyarakat tidak lagi kritis dalam melihat apa yang
perlu diganti dan apa yang perlu dipertahankan. Ada
euphoria untuk
mengganti semua. Perkembangan lebih lanjut adalah menguatnya wacana hak
asasi manusia dan otonomi daerah yang memberikan warna baru bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara yang menunjukkan sisi positif dan
negatifnya.
Perjuangkan menuntut hak asasi menguat. Perjuangan tersebut muncul
dalam berbagai bidang dengan berbagai permasalahan seperti: kedaerahan,
agama dan partai politik. Mereka masing-masing ingin menunjukkan
identitasnya, sehingga tampak kesan ada ‘perang’ identitas. Munculnya istilah
‘putra daerah’, organisasi keagamaan baru, lahirnya partai-partai politik yang
begitu banyak, kalau tidak hati-hati dapat memunculkan ‘konflik identitas’.
Sebagai negara -bangsa, perbedaan-perbedaan tersebut harus dilihat
sebagai realitas yang wajar dan niscaya. Perlu dibangun jembatan-jembatan
relasi yang menghubungkan keragaman itu sebagai upaya membangun
konsep kesatuan dalam keragaman. Kelahiran Pancasila diniatkan untuk itu
yaitu sebagai alat pemersatu. Keragaman adalah mozaik yang mempercantik
gambaran tentang Indonesia secara keseluruhan. Idealnya dalam suatu
negara-bangsa, semua identitas dari kelompok yang berbeda-beda itu
dilampaui, idealitas terpenting adalah identitas nasional (Bagir, 2011: 18).
Politik identitas bisa bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif
berarti menjadi dorongan untuk mengakui dan mengakomodasi adanya
perbedaan, bahkan sampai pada tingkat mengakui predikat keistimewaan
suatu daerah terhadap daerah lain karena alasan yang dapat dipahami secara
historis dan logis. Bersifat negatif ketika terjadi diskriminasi antar kelompok
satu dengan yang lain, misalnya dominasi mayoritas atas minoritas.
Dominasi bisa lahir dari perjuangan kelompok tersebut, dan lebih berbahaya
apabila dilegitimasi oleh negara. Negara bersifat mengatasi setiap kelompok

24
dengan segala kebutuhan dan kepentingannya serta mengatur dan membuat
regulasi untuk menciptakan suatu harmoni (Bagir, 2011: 20).

25
BAB III
NEGARA DAN KONSTITUSI
Negara merupakan salah satu bentuk organisasi yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Pada prinsipnya setiap warga masyarakat menjadi
anggota dari suatu negara dan harus tunduk pada kekuasaan negara, karena
organisasi negara sifatnya mencakup semua orang yang ada di wilayahnya,
dan kekuasaan negara berlaku bagi orang-orang tersebut. Sebaliknya
negara juga memiliki kewajiban tertentu terhadap orang-orang yang
menjadi anggotanya. Melalui kehidupan bernegara dengan pemerintahan
yang ada di dalamnya, masyarakat ingin mewujudkan tujuan-tujuan
tertentu seperti terwujudnya ketenteraman, ketertiban, dan kesejahteraan
masyarakat. Tanpa melalui organisasi negara kondisi masyarakat yang
semacam itu sulit untuk diwujudkan, karena tidak ada pemerintahan yang
mengatur kehidupan mereka bersama.
Agar pemerintah suatu negara yang memiliki kekuasaan untuk
mengatur kehidupan masyarakat tidak bertindak seenaknya, maka ada
sistem aturan yang mengaturnya. Sistem aturan tersebut menggambarkan
suatu hierarkhi atau pertingkatan dari aturan yang paling tinggi
tingkatannya sampai pada aturan yang paling rendah. Aturan yang paling
tinggi tingkatannya dalam suatu negara dinamakan konstitusi atau sering
disebut dengan undang-undang dasar, dua sebutan yang sebenarnya tidak
persis sama artinya. Dengan konstitusi diharapkan organisasi negara
tertata dengan baik dan teratur, dan pemerintah yang ada di dalamnya
tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dalam tulisan ini
akan dipaparkan tentang organisasi negara dan konstitusi yang mengatur
kehidupan negara tersebut.
A. Negara
1. Pengertian Bangsa dan Negara
Bangsa dan negara memiliki kaitan yang sangat erat satu sama
lain. Menurut Ernest Renan, seorang guru besar Universitas Sorbone

26
bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari orangorang yang saling merasa setia kawan dengan satu sama lain. Nation
adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual .... Ia adalah suatu kesatuan
solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah
dibuat di masa lampau dan oleh orang-orang yang bersangkutan bersedia
dibuat di masa depan. Nation mempunyai masa lampau, tetapi ia
melanjutkan dirinya pada masa kini melalui suatu kenyataan yang jelas:
yaitu kesepakatan, keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus
hidup bersama. Oleh sebab itu suatu nasion tidak tergantung pada
kesamaan asal ras, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, atau hal-hal lain
yang sejenis. Akan tetapi kehadiran suatu nasion adalah seolah-olah suatu
kesepakatan bersama yang terjadi setiap hari (Bachtiar, 1987: 23).
Benedict Anderson merumuskan bangsa secara unik. Menurut
pengamatannya, bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan
(
Imagined Political Community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan
berdaulat. Dikatakan sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena
bangsa yang paling kecil sekalipun para anggotanya tidak kenal satu sama
lain. Dibayangkan secara terbatas karena bangsa yang paling besar
sekalipun yang penduduknya ratusan juta mempunyai batas wilayah yang
jelas. Dibayangkan berdaulat karena bangsa ini berada di bawah suatu
negara mempunyai kekuasaan atas seluruh wilayah dan bangsa tersebut.
Akhirnya bangsa disebut sebagai komunitas yang dibayangkan karena
terlepas adanya kesenjangan, para anggota bangsa itu selalu memandang
satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Perasaan
sebangsa inilah yang menyebabkan berjuta-juta orang bersedia mati bagi
komunitas yang dibayangkan itu (Surbakti, 1992: 42).
Merujuk pendapat Anderson di atas, penciptaan solidaritas nasional
digambarkan sebagai proses pengembangan imaginasi di kalangan anggota
masyarakat tentang komunitas mereka, sehingga orang Aceh yang tidak
pernah berkunjung ke Jawa Tengah dan tidak pernah bertemu dengan

27
orang Jawa Tengah bisa mengembangkan kesetiakawanan terhadap
sesama anggota komunitas Indonesia itu.
Pengertian bangsa mengandung elemen pokok berupa jiwa,
kehendak, perasaan, pikiran, semangat, yang bersama-sama membentuk
kesatuan, kebulatan dan ketunggalan serta semuanya itu yang dimaksud
adalah aspek kerohaniannya. Bangsa, bukanlah kenyataan yang bersifat
lahiriah, melainkan bercorak rohaniah, yang adanya hanya dapat
disimpulkan berdasarkan pernyataan senasib sepenangungan dan kemauan
membentuk kolektivitas.
Munculnya negara tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
manusia sebagai makhluk sosial, di mana sebagai makhluk sosial manusia
memiliki dorongan untuk hidup bersama dengan manusia lain,
berkelompok dan bekerjasama. Karena itulah dalam masyarakat dijumpai
berbagai-bagai macam organisasi, dari organisasi politilik, organisasi
sosial, organisasi profesi, organisasi keagamaan, dan sebagainya. Salah
satu bentuk organisasi dalam kehidupan masyarakat adalah organisasi
yang dinamakan negara. Namun perlu dinyatakan bahwa organisasi yang
dinamakan negara ini memiliki karakteristik atau sifat-sifat yang khusus
yang membedakan dengan organisasi-organisasi lainnya.
Menurut O. Hood Phillips, dkk. Negara atau
state adalah “An
independent political society occupying a defined territory, the member of
which are united together for the purpose of resisting external force and
the preservation of internal order”
(Asshiddiqie, 2010: 9). Dengan
ungkapan lain dapat dinyatakan bahwa negara adalah masyarakat politik
independen yang menempati wilayah tertentu, dan yang anggotanya
bersatu dengan tujuan untuk menghadapi tantangan atau kekuatan dari luar
dan mempertahankan tatanan internal. (terjemahan penulis). Dalam tataran
yang lebih filosofis Hans Kelsen (Asshiddiqie, 2010: 10) dalam bukunya
General Theory of Law and State memandang negara sebagai entitas
yuridis (
state as a juristik entity) dan negara sebagai masyarakat yang
terorganisasikan secara politis (
politically organized society).
28
Menurut Wirjono Prodjodikoro (1983:2), negara adalah suatu
organisasi di antara kelompok atau beberapa kelompok manusia yang
bersama-sama mendiami suatu wilayah (
territoir) tertentu dengan
mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan
keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi.
Pendapat lain dikemukakan oleh O. Notohamidjojo, yang
menyatakan bahwa negara adalah organisasi masyarakat yang bertujuan
mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaannya.
Sedangkan menurut Soenarko negara adalah organisasi masyarakat yang
mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya
sebagai souverein. (Lubis, 1982: 26).
Dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik
pemahaman bahwa negara adalah organisasi masyarakat yang memiliki
wilayah tertentu dan berada di bawah pemerintahan yang berdaulat yang
mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Negara merupakan konstruksi
yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur pola hubungan antar manusia
dalam kehidupan masyarakat.
2. Unsur-unsur Negara
Dengan memperhatikan pengertian negara sebagaimana dikemukakan
oleh beberapa pemikir kenegaraan di atas, dapat dikatakan bahwa negara
memiliki 3 (tiga) unsur yaitu:
a. Rakyat
Rakyat suatu negara dapat dibedakan antara penduduk dan bukan
penduduk. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal menetap
atau berdomisili di suatu negara. Kalau seseorang dikatakan bertempat
tinggal menetap di suatu negara berarti sulit untuk dikatakan sampai kapan
tempat tinggal itu. Sedangkan yang bukan penduduk adalah orang-orang
yang bertempat tinggal di suatu negara hanya untuk sementara waktu, dan
bukan dalam maksud untuk menetap. Penduduk yang merupakan anggota
yang sah dan resmi dari suatu negara dan dapat diatur sepenuhnya oleh

29
pemerintah negara yang bersangkutan dinamakan warga negara.
Sedangkan di luar itu semua dinamakan orang asing atau warga negara
asing. Warga negara yang lebih erat hubungannya dengan bangsa di
negara itu disebut warga negara asli, yang dibedakan pengertiannya
dengan warga negara keturunan.
Pembedaan rakyat negara sebagaimana dikemukakan di atas, secara
skematis dapat disajikan sebagai berikut:
Perbedaan antara penduduk dan bukan penduduk, warga negara dan bukan
warga negara terkait dengan perbedaan hak dan kewajiban di antara orangorang yang berada di wilayah negara. Di antara status orang-orang dalam
negara tentunya status yang kuat dan memiliki hubungan yang erat dengan
pemerintah negara yang bersangkutan adalah status warga negara.
Status kewarganegaraan suatu negara akan berimplikasi sebagai
berikut (Samekto dan Kridalaksana, 2008:59):
a) Hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri merupakan hak
kewarganegaraan. Suatu negara berhak melindungi warganya di luar
negeri;
BUKAN
PENDUDUK
PENDUDUK
RAKYAT
WARGA NEGARA
ORANG ASING
(WNA)
WARGA NEGARA
ASLI
WARGA NEGARA
KETURUNAN

30
b) Kewarganegaraan menuntut kesetiaan, dan salah satu bentuk kesetiaan
tersebut adalah kewajiban melaksanakan wajib militer;
c) Suatu negara berhak untuk menolak mengekstradisi warga negaranya
kepada negara lain;
d) Berdasarkan praktek, secara garis besar kewarganegaraan seseorang
dapat diperoleh:
1) Berdasarkan kewarganegaraan orang tua (
Ius Sanguinis);
2) Berdasarkan tempat kelahiran (
Ius Soli);
3) Berdasarkan asas
Ius Sanguinis dan Ius Soli.
4) Melalui naturalisasi (melalui perkawinan, misalnya seorang istri
yang mengambil kewarganegaraan suami, atau dengan
permohonan yang diajukan kepada negara).
b. Wilayah dengan Batas-batas Tertentu
Wilayah suatu negara pada umumnya meliputi wilayah darat,
wilayah laut, dan wilayah udara. Walaupun ada negara tertentu yang karena
letaknya di tengah benua sehingga tidak memiliki wilayah laut, seperti
Afganistan, Mongolia, Austria, Hungaria, Zambia, Bolivia, dan sebagainya.
Di samping wilayah darat, laut, dan udara dengan batas-batas tertentu, ada
juga wilayah yang disebut
ekstra teritorial. Yang termasuk wilayah ekstra
teritorial
adalah kapal di bawah bendera suatu negara dan kantor
perwakilan diplomatik suatu negara di negara lain.
Batas wilayah negara Indonesia ditetapkan dalam perjanjian dengan
negara lain yang berbatasan. Batas wilayah negara Indonesia ditentukan
dalam beberapa perjanjian internasional yang dulu diadakan oleh pemerintah
Belanda dengan beberapa negara lain. Berdasarkan pasal 5 Persetujuan
perpindahan yang ditetapkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB),
perjanjian-perjanjian internasional itu sekarang berlaku juga bagi negara
Indonesia. Perjanjian-perjanjian tersebut adalah Konvensi London 1814 di
mana Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda kepada

31
Kerajaan Belanda, dan beberapa traktat lainnya berkenaan dengan wilayah
negara (Utrecht, 1966: 308).
Berkenaan dengan wilayah perairan ada 3 (tiga) batas wilayah laut
Indonesia. Batas- batas tersebut adalah:
a) Batas Laut Teritorial
Laut teritorial adalah laut yang merupakan bagian wilayah suatu
negara dan berada di bawah kedaulatan negara yang bersangkutan. Batas
laut teritorial tersebut semula diumumkan melalui Deklarasi Djuanda 13
Desember 1957. Sesuai pengumuman tersebut, batas laut teritorial
Indonesia adalah 12 mil yang dihitung dari garis dasar, yaitu garis yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia, di
mana jarak dari satu titik ke titik lain yang dihubungkan tidak boleh lebih
dari 200 mil. Pokok-pokok azas negara kepulauan sebagaimana termuat
dalam deklarasi diakui dan dicantumkan dalam
United Nation Convention
on The Law of The Sea (UNCLOS)
tahun 1982. Indonesia meratifikasi
UNCLOS 1982 melalui UU. No. 17 tahun 1985 pada tanggal 31 Desember
1985.
b) Batas Landas Kontinen
Landas kontinen (continental shelf) adalah dasar lautan, baik dari
segi geologi maupun segi morfologi merupakan kelanjutan dari kontinen
atau benuanya. Pada tahun 1969 pemerintah Indonesia mengeluarkan
pengumuman tentang Landas Kontinen Indonesia sampai kedalaman laut
200 meter, yang memuat pokok-pokok sebagai berikut:
1) Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam kontinen
Indonesia adalah milik eksklusif negara Republik Indonesia;
2) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan garis batas landas
kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan;
3) Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen
Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara
pulau terluar Indonesia dan titik terluar wilayah negara tetangga;

32
4) Tuntutan (claim) di atas tidak mempengaruhi sifat dan status perairan
di atas landas kontinen serta udara di atas perairan itu.
Batas landas kontinen dari garis dasar tidak tentu jaraknya, tetapi
paling jauh 200 mil. Kalau ada dua negara atau lebih menguasai lautan di
atas landas kontinen, maka batas landas kontinen negara-negara itu ditarik
sama jauhnya dari garis dasar masing-masing. Sebagai contoh adalah batas
landas kontinen Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka sebelah selatan.
Kewenangan atau hak suatu negara dalam landas kontinen adalah
kewenangan atau hak untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat
di dalam dan di bawah wilayah landas kontinen tersebut.
c) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Pada tanggal 21 Maret 1980 pemerintah Indonesia mengumumkan
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengumuman pemerintah ini kemudian
disahkan dengan Undang-undang No. 5 tahun 1983. Batas ZEE adalah
200 mil dari garis dasar ke arah laut bebas. Kewenangan negara di wilayah
ZEE adalah kewenangan memenfaatkan sumber daya, baik di laut
maupun di bawah dasar laut. Dalam Konperensi Hukum laut tercapai
kesepakatan bahwa di ZEE ini negara tidak memiliki kedaulatan penuh
tetapi memiliki hak dan yurisdiksi terbatas pada bidang-bidang tertentu.
Dalam pasal 56 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 ditentukan bahwa
negara pantai memiliki hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam hayati dan non hayati, dan
kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
tersebut seperti pembuatan energi arus dan angin.
Sedangkan kewajiban negara di kawasan ZEE merupakan
kewajiban yang berkaitan dengan status ZEE sebagai perairan laut lepas,
di mana negara pantai tidak boleh menghalangi kebebasan berlayar,
penerbangan di atas ZEE, dan pemasangan kabel-kabel di bawah laut.

33
Negara pantai juga berkewajiban melakukan konservasi kekayaan laut,
yaitu menjaga keseimbangan hidup sumber daya yang ada di laut.
Sedangkan wilayah udara suatu negara meliputi wilayah udara
yang berada di atas wilayah laut dan wilayah perairan negara yang
bersangkutan. Berkaitan dengan pemanfaatan ruang udara khususnya
penerbangan, oleh masyarakat internasional telah disusun perjanjian
internasional utama yaitu
Convention on International Civil Aviation 1944
atau secara singkat dikenal sebagai Konvensi Chicago 1944. Perjanjian
internasional yang diprakarsai Amerika Serikat ini bersifat publik dan
mengatur kepentingan umum yang merupakan tanggungjawab pemerintah
dalam kegiatan penerbangan sipil internasional.
c. Pemerintah yang Berdaulat
Kata “kedaulatan” artinya adalah kekuasaan tertinggi. Dengan
demikian pemerintah yang berdaulat artinya pemerintah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi, kekuasaan yang tidak berada di bawah kekuasaan
lainnya. Kedaulatan negara dapat diartikan sebagai kedaulatan ke dalam
dan kedaulatan ke luar. Kedaulatan ke dalam adalah kekuasaan tertinggi
untuk mengatur rakyatnya sendiri. Sedangkan kedaulatan ke luar adalah
kekuasaan tertinggi yang harus dihormati oleh negara-negara lain. Dengan
kedaulatannya pemerintah berhak mengatur negaranya sendiri tanpa
campur tangan dari negara lain.
Menurut Jean Bodin (Samekto dan Kridalaksana, 2008: 33)
kedaulatan sebagai atribut negara merupakan ciri khusus dari sebuah
negara. Kedaulatan merupakan kekuasaan yang mutlak dan abadi, tidak
terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Menurutnya tidak ada kekuasaan lain
yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaan negara. Kedaulatan
membawakan sifat-sifat:
1) Asli, dalam arti tidak diturunkan dari kekuasaan yang lain;
2) Tertinggi, dalam arti tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi
yang dapat membatasi kedaulatan;

34
3) Abadi atau kekal, dalam arti keberadaannya tetap;
4) Tidak dapat dibagi, dalam arti hanya ada satu kekuasaan
teringgi saja dalam negara.
Dengan ungkapan lain ada yang menyatakan bahwa kedaulatan itu
membawakan sifat
permanen, asli, tidak dapat dibagi-bagi, dan tidak
terbatas
.
3. Sifat-sifat Negara
Umumnya sepakat untuk mengatakan bahwa negara memiliki sifat
memaksa, monopoli, dan mencakup semua. Untuk lebih jelasnya berikut
ini akan diuraikan sifat-sifat tersebut.
a.Sifat Memaksa
Negara memiliki sifat memaksa artinya bahwa negara memiliki hak
atau kewenangan untuk memaksakan berbagai peraturan yang dibuatnya
untuk ditaati oleh seluruh warganya. Untuk memaksakan berbagai
peraturan yang dibuatnya pemerintah negara memiliki sarana seperti
tentara, polisi, hakim, jaksa, dan sebagainya. Negara berhak menentukan
sanksi bagi pelanggaran atas aturan yang dibuatnya, dari sanksi yang
ringan sampai sanksi yang sangat berat yaitu berupa pidana, bahkan
hukuman mati.
Berkenaan dengan sifat memaksa ini, dalam masyarakat yang telah
tertanam konsensus nasional yang kuat mengenai tujuan bersama yang
hendak dicapai, biasanya sifat memaksa ini tidak tampak begitu menonjol.
Sebaliknya di negara-negara yang baru di mana konsensus nasional
tentang tujuan bersama itu belum begitu kuat, maka sifat paksaan ini lebih
tampak. Di negara-negara yang lebih demokratis, diupayakan pemakaian
kekerasan seminimal mungkin dan sedapat-dapatnya dikedepankan caracara yang persuasif untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.
(Budiardjo, 2010:50).

35
b. Sifat Monopoli
Negara juga membawakan sifat monopoli, yaitu sifat
yangmenunjukkan adanya hak atau kewenangan negara untuk mengelola
atau menentukan sesuatu tindakan tanpa adanya hak atau kewenangan
yang sama di pihak lain. Sifat monopoli yang dimiliki oleh negara
menyangkut beberapa hal. Negara memiliki hak monopoli untuk
menentukan tujuan dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat dalam
negara yang bersangkutan. Di Indonesia misalnya tujuan masyarakat itu
adalah sebagaimana dirumuskan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Sebagai konsekuensinya negara berhak untuk melarang berkembangnya
faham atau aliran yang dianggap mengganggu pencapaian tujuan yang
dimaksudkan. Negara juga memiliki hak monopoli pengelolaan sumber
daya alam yang menguasai hajat hidup masyarakat. Hak monopoli yang
lain adalah monopoli pengelolaan sarana kekerasan untuk kepentingan
negara. Negara memiliki satuan tentara dan polisi yang dilengkapi dengan
sistem persenjataan seperti senjata api, tank, pesawat tempur, kapal
perang dan sebagainya, adalah merupakan perwujudan dari hak monopoli
tersebut.
c.Sifat Mencakup Semua
Dengan sifat ini maksudnya bahwa kekuasaan negara berlaku bagi
semua orang di wilayah negara yang bersangkutan. Tidak ada warga
masyarakat yang dapat mengecualikan dirinya dari pengaruh kekuasaan
negara. Berkenaan dengan itu bahwa peraturan yang dibuat oleh negara
pada prinsipnya berlaku bagi setiap orang di wilayah negara itu tanpa
kecuali. Ketika peraturan sudah dibuat atau ditetapkan, semua orang
dianggap tahu dan harus mentaatinya. Siapapun yang melakukan
pelanggaran akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Menjadi warga negara bukanlah sesuatu yang berdasarkan pada kemauan
sendiri (
involuntary membership), dan di sinilah letak perbedaan antara
36
keanggotaan suatu negara dengan keanggotaan pada asosiasi atau
organisasi lain yang sifatnya sukarela. (Budiardjo, 2010:50).
4. Tujuan dan Fungsi Negara
Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan setiap negara adalah
mewujudkan kebahagiaan bagi rakyatnya. Walaupun kenyataan juga
menunjukkan adanya pemerintah yang bertindak sewenang-wenang
terhadap rakyatnya sendiri. Di sinilah perlunya dibedakan antara negara
sebagai sebuah organisasi yang lebih netral pengertiannya, dengan
pemerintah sebagai penyelenggara organisasi negara. Pemerintah sebagai
penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya tidak lepas dari
berbagai kepentingan, seperti kepentingan golongan, kepentingan
kelompok, bahkan juga kepentingan pribadi, di samping kepentingan
bangsa dan negara yang semestinya diutamakan.
Menurut Roger H. Soltau, tujuan negara adalah memungkinkan
rakyatnya “berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas
mungkin” (
the freest possible development and creative self-expression of
its member).
Sedangkan menurut Harold J. Laski tujuan negara adalah
“menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat mencapai keinginankeinginan secara maksimal”
(creation of those conditions under which the
members of the state may attain the maximum satisfaction of their desires)
(Budiardjo, 2010:54).
Tujuan negara Indonesia sesuai dengan Alinea IV Pembukaan
UUD 1945, adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan
negara tersebut hendak diwujudkan di atas landasan Ketuhanan yang Maha
Esa; kemanusiaan yang adil dan beradab; persatuan Indonesia; kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

37
permusyawaratan/perwakilan; serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Namun setiap negara, apapun ideologi yang dianutnya
menyelenggarakan fungsi minimum yang mutlak sifatnya, yaitu
(Budiardjo, 2010:55) :
a. Melaksanakan penertiban (
law and order). Untuk mencapai tujuan
bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat,
negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa
negara bertindak sebagai stabilisator.
b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi
ini dianggap sangat penting, terutama bagi negara-negara baru di
mana tingkat kesejahteraan masyarakat masih sangat membutuhkan
perhatian dari pemerintah;
c. Pertahanan. Fungsi ini untuk mempertahankan negara dari
kemungkinan serangan dari luar, sehingga negara harus dilengkapi
dengan alat-alat pertahanan;
d. Menegakkan keadilan. Untuk mewujudkan keadilan negara
memiliki badan-badan peradilan.
Sedangkan menurut Charles E. Meriam, fungsi yang harus
dijalankan oleh negara meliputi:
a. Fungsi keamanan ekstern;
b. Fungsi ketertiban intern;
c. Fungsi keadilan;
d. Fungsi kesejahteraan umum;
e.
Fungsi kebebasan.
Atas dasar pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa secara garis
besar fungsi yang harus dijalankan oleh negara meliputi:
a. Mengupayakan kesejahteraan warganya agar dapat menikmati
kehidupan yang layak;
b. Meningkatkan kecerdasan dan membina budi pekerti warganya;

38
c. Menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat;
d. Mempertahankan negara dari gangguan eksternal; serta
e. Mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
Fungsi-fungsi tersebut harus diselenggarakan oleh negara yang
dalam hal ini adalah pemerintah negara yang bersangkutan agar tujuan
negara tersebut dapat diwujudkan.
B. Konstitusi
1. Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Kata ‘konstitusi” yang berarti pembentukan, berasal dari kata
constituer” (Perancis) yang berarti membentuk. Sedangkan istilah
“undang-undang dasar” merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
grondwet”. “Grond” berarti dasar, dan “wet” berarti undang-undang. Jadi
Grondwet sama dengan undang-undang dasar. Namun dalam kepustakaan
Belanda dikenal pula istilah “
constitutie” yang artinya juga undangundang dasar. Dalam kepustakaan hukum di Indonesia juga dijumpai
istilah “hukum dasar”. Hukum memiliki pengertian yang lebih luas
dibandingkan dengan undang-undang. Kaidah hukum bisa tertulis dan
bisa tidak tertulis, sedangkan undang-undang menunjuk pada aturan
hukum yang tertulis.
Atas dasar pemahaman tersebut, konstitusi disamakan
pengertiannya dengan hukum dasar, yang berarti sifatnya bisa tertulis dan
tidak tertulis. Sedangkan undang-undang dasar adalah hukum dasar yang
tertulis atau yang tertuang dalam suatu naskah/dokumen. Dengan demikian
undang-undang dasar merupakan bagian dari konstitusi. Sedangkan di
samping undang-undang masih ada bagian lain dari hukum dasar yakni
yang sifatnya tidak tertulis, dan biasa disebut dengan konvensi atau
kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi ini merupakan aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara
walaupun tidak tertulis.

39
Berikut ini pengertian yang menggambarkan perbedaan antara
undang-undang dasar dan konstitusi. Bahwa undang-undang dasar adalah
suatu kitab atau dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan
ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar yang
sifatnya tertulis, yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan
suatu negara.
Sedangkan konstitusi adalah dokumen yang memuat
aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok
atau dasar-dasar, yang sifatnya tertulis maupun tidak tertulis, yang
menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara.
(Soehino,
1985:182).
Menurut James Bryce, konstitusi adalah suatu kerangka masyarakat
politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. (Stong,
2008:15). Dengan demikian konstitusi merupakan kerangka kehidupan
negara yang diatur dengan ketentuan hukum.
Pendapat lainnya menyatakan bahwa konstitusi memiliki 2 (dua)
pengertian, yaitu pengertian yang luas dan pengertian yang sempit.
Namun hampir semua negara di dunia memberi arti konstitusi dalam
pengertian yang sempit, kecuali di Inggris. (Martosoewignjo, 1981:62).
Dalam pengertian yang sempit konstitusi hanya mengacu pada
ketentuan-ketentuan dasar yang tertuang dalam dokumen tertulis yaitu
undang-undang dasar, sehingga muncul sebutan seperti, Konstitusi
Amerika Serikat, Konstitusi Perancis, Konstitusi Swiss, dan sebagainya.
Sedangkan dalam pengertian yang luas, konstitusi juga mencakup
kebiasaan ketatanegaraan sebagai suatu kaidah yang sifatnya tidak tertulis.
Jadi ketika istilah “konstitusi” disamakan pengertiannya dengan
“undang-undang dasar”, istilah tersebut hendaknya dipahami dalam
pengertian yang sempit.
2. Unsur-unsur yang Terdapat dalam Konstitusi
Undang-undang dasar atau konstitusi negara tidak hanya
berfungsi membatasi kekuasaan pemerintah, akan tetapi juga

40
menggambarkan struktur pemerintahan suatu negara. Menurut Savornin
Lohman ada 3 (tiga) unsur yang terdapat dalam konstitusi yaitu:
a. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat
(kontrak sosial), sehingga menurut pengertian ini, konstitusikonstitusi yang ada merupakan hasil atau konklusi dari
persepakatan masyarakat untuk membina negara dan pemerintahan
yang akan mengatur mereka.
b. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia,
berarti perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan warga
negara yang sekaligus penentuan batas-batas hak dan kewajiban
baik warganya maupun alat-alat pemerintahannya.
c. Konstitusi sebagai
forma regimenis, yaitu kerangka bangunan
pemerintahan. (Lubis, 1982:48)
Pendapat lain dikemukakan oleh Sri Sumantri, yang menyatakan
bahwa materi muatan konstitusi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga
negara,
b. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang
mendasar,
c. Pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga
mendasar. (Chaidir, 2007:38).
Menurut CF. Strong, konstitusi memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Cara pengaturan berbagai jenis institusi;
b. Jenis kekuasaan yang diberikan kepada institusi-institusi tersebut;
c. Dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan. (Stong,
2008:16).

41
Dari beberapa pendapat sebagaimana di atas, dapat dekemukakan
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam konstitusi modern meliputi
ketentuan tentang:
a. Struktur organisasi negara dengan lembaga-lembaga negara di
dalamnya;
b. Tugas/wewenang masing-masing lembaga negara dan hubungan
tatakerja antara satu lembaga dengan lembaga lainnya;
c. Jaminan hak asasi manusia dan warga negara.
3. Perubahan Konstitusi
Betapapun sempurnanya sebuah konstitusi, pada suatu saat
konstitusi itu bisa ketinggalan jaman atau tidak sesuai lagi dengan
dinamika dan perkembangan masyarakat. Karena itulah perubahan atau
amandemen konstitusi merupakan sesuatu hal yang wajar dan tidak perlu
dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Yang penting bahwa perubahan
itu didasarkan pada kepentingan negara dan bangsa dalam arti yang
sebenarnya, dan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat dari
golongan atau kelompok tertentu.
Secara teoritik perubahan undang-undang dasar dapat terjadi
melalui berbagai cara. CF. Strong menyebutkan 4 (empat) macam cara
perubahan terhadap undang-undang dasar, yaitu:
a. oleh kekuasaan legislatif tetapi dengan pembatasan-pembatasan
tertentu,
b. oleh rakyat melalui referendum,
c. oleh sejumlah negara bagian- khususnya untuk negara serikat,
d. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara
yang khusus dibentuk untuk keperluan perubahan.
Sedangkan KC. Wheare (2010) mengemukakan bahwa
perubahan konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara, yaitu:
a. perubahan resmi,
b. penafsiran hakim,

42
c. kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.
Tentang perubahan terhadap UUD 1945, sesuai pasal 37 ketentuan
tentang perubahan itu adalah sebagai berikut:
a. Usul perubahan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar dapat
diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan
secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan
untuk diubah beserta alasannya.
c. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
d. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh
persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
e. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perubahan.
Sejak memasuki era reformasi muncul arus pemikiran tentang
keberadaan UUD 1945, yang sangat berbeda dengan pemikiran yang ada
sebelumnya. Secara garis besar arus pemikiran tersebut dapat
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
Pertama, bahwa UUD 1945 mengandung rumusan pasal yang
membuka peluang timbulnya penafsiran ganda.
Kedua, bahwa UUD 1945 membawakan sifat executive heavy,
yakni memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif, sehingga kekuasaan yang lain yaitu

43
legislative dan yudikatif seakan-akan tersubordinasi oleh kekuasaan
eksekutif.
Ketiga, sistem pemerintahan menurut UUD 1945 yang tidak tegas
di antara sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan
parlementer, sehingga ada yang menyebutnya sebagai sistem
quasi
presidensiil
.
Keempat, perlunya memberikan kekuasaan yang luas kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri, agar daerah dapat mengembangkan diri sesuai dengan
potensinya masing-masing.
Kelima, rumusan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang ada
dalam UUD 1945 dirasa kurang memadai lagi untuk mewadahi tuntutan
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan warga negara seiring dengan
perkembangan global.
Arus pemikian sebagaimana dikemukakan di atas kemudian
mewarnai perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Dengan
demikian amandemen terhadap UUD 1945 pada prinsipnya mengarah pada
perubahan untuk menjawab persoalan-persoalan sebagaimana
dikemukakan di atas.
Dengan adanya ketentuan pasal UUD 1945 yang dapat
menimbulkan penafsiran ganda, telah dilakukan amandemen dengan
menetapkan rumusan baru yang lebih jelas dan eksplisit. Misalnya masa
jabatan presiden, sebelum amandemen dinyatakan bahwa “Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali”. Dalam ketentuan tidak menyebutkan secara tegas
dipilih kembali untuk berapa kali masa jabatan. Dengan demikian
dimaknai bahwa seseorang dapat dipilih menjadi Presiden atau Wakil
Presiden untuk beberapa kali masa jabatan tanpa batas. Dalam
amandemen UUD 1945 dirumuskan secara tegas bahwa presiden hanya
dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan, yang berarti bahwa

44
orang yang sama akan dapat memegang jabatan sebagai presiden
maksimal dua kali masa jabatan.
Terkait dengan sifat
executive heavy yang dibawakan oleh UUD
1945, pada amandemen pertama telah dilakukan perubahan dan
penambahan atas pasal 5 (1), pasal 7, pasal 9, pasal 13 (2), pasal 14,
pasal 15, pasal 17 (2) (3), pasal 20, dan pasal 21, yang pada intinya
mengatur pembatasan jabatan presiden, mengubah kewenangan legislative
yang semula di tangan presiden menjadi kewenangan DPR, serta
menambah beberapa substansi yang membatasi kewenangan prseiden.
(Hidayat, 2002:1). Kewenangan-kewenangan tertentu yang sebelumnya
dapat dilakukan sendiri oleh presiden, setelah amandemen harus
dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga yang lain,
seperti mengangkat duta dan konsul harus dengan pertimbangan DPR,
memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung,
dan memberikan amnesti serta abolisi harus dengan pertimbangan DPR.
Hal itu jelas merupakan pengurangan terhadap kekwenangan presiden.
Berkaitan dengan ketentuan sistem pemerintahan yang tidak tegas
antara presidential dan parlementer, melalui amandemen UUD 1945
ditegaskan system pemerintahan presidential dengan munculnya
ketentuan bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. (pasal 6A
(1)). Dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat, kosekuensinya bahwa
presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR. MPR hanya dapat
memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya setelah adanya
keputusan melanggar hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi, yakni berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat menduduki jabatannya. Presiden juga tidak bertanggungjawab
kepada DPR baik langsung maupun tidak langsung, sehingga Presiden
dan DPR tidak dapat saling menjatuhkan. Semua itu merupakan indikasi
sistem pemerintahan presidential.

45
Menyangkut perlunya kesempatan yang lebih luas bagi daerah
untuk mengatur urusan daerahnya sendiri telah dilakukan amandemen
terhadap pasal 18 UUD 1945 dengan menambahkan beberapa ayat serta
menambahkan pasal 18 A dan pasal 18 B. Dengan amandemen tersebut
pemerintah daerah diberi kesempatan untuk nenjalankan otonomi seluasluasnya, adanya penghargaan dari pemerintah pusat atas keragaman daerah
dan kekhususan yang terdapat pada daerah-daerah tertentu, serta
pembagian kekuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Sedangkan yang berkait dengan masalah hak asasi manusia
sangat jelas tampak bahwa amandemen terhadap UUD 1945 telah
memasukkan cukup banyak rumusan-rumusan baru tentang hak asasi
manusia dan warga negara dengan menambahkan pasal 28 A sampai
dengan pasal 28 J.
Selanjutnya perubahan terhadap UUD dapat ditelaah dari
beberapa segi yaitu menyangkut sistem perubahan dan
prosedur/mekanisme perubahannya, bentuk hukum perubahannya, serta
substansi materi yang diubah. (Hidayat, 2002: 4).
Tentang sistem perubahan dan prosedur perubahannya,
amandemen terhadap UUD 1945 menggunakan landasan sistem dan
prosedur yang ditentukan pasal 37 UUD 1945. Mengenai bentuk
hukumnya, secara teoritis dan praktek ketatanegaraan dikenal adanya
pola perubahan yang secara langsung dituangkan dalam teks UUD yang
lama dengan melakukan perubahan terhadap naskah aslinya (model Eropa
Kontinental). Di samping itu ada pola
addendum dimana substansi
perubahannya dituangkan dalam suatu naskah yang terpisah dari naskah
aslinya, sedangkan naskah asli itu sendiri dibiarkan tetap dengan
rumusan aslinya (model Amerika Serikat). Dilihat dari aspek itu
amandemen terhadap UUD 1945 dapat dikatakan mengikuti model
Amerika Serikat.

46
C. Peranan Konstitusi dalam Kehidupan Bernegara
Secara umum dapat dikatakan bahwa konstitusi disusun sebagai
pedoman dasar dalam penyelenggaraan kehidupan negara agar negara
berjalan tertib, teratur, dan tidak terjadi tindakan yang sewenang-wenang dari
pemerintah terhadap rakyatnya. Untuk itu maka dalam konstitusi ditentukan
kerangka bangunan suatu negara, kewenangan pemerintah sebagai pihak yang
berkuasa, serta hak-hak asasi warga negara.
Menurut CF. Strong (2008:16), tujuan konstitusi adalah membatasi
tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang
diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Dengan
konstitusi tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dapat dicegah karena
kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah telah ditentukan dalam konstitusi
dan pemerintah tidak dapat melakukan tindakan semaunya di luar apa yang
telah ditentukan dalam konstitusi tersebut. Di pihak lain, hak-hak rakyat yang
diperintah mendapatkan perlindungan dengan dituangkannya jaminan hak
asasi dalam pasal-pasal konstitusi.
Sedangkan menurut Lord Bryce, motif yang mendasari pembentukan
konstitusi adalah sebagai berikut (Chaidir, 2007:30):
a. The desire of the citizens to secure their own rights when threatened,
and to restrain the action of the ruler;
b. The desire on the part either of the ruled, or of the ruler wishing to
please his people, to set out of the form of the existing system in
government, hither to in an indenifite form, in positive terms in order
that in future there shall be no possibility of arbitrary action.
c. The desire of those creating a new political community to secure the
method of government in a form which shall have permanence and be
comprehensible to the subjects.
d. The desire to secure effective joint action by hither to separate
communities, which at the same time wish to retain certain rights and
interest to themselves separately.

47
Atas dasar pendapat di atas dapatlah dinyatakan bahwa peranan
konstitusi bagi kehidupan negara adalah untuk memberikan landasan dan
pedoman dasar bagi penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara,
membatasi tindakan pemerintah agar tidak bertindak sewenang-wenang, dan
memberikan jaminan atas hak asasi bagi warga negara.

48
BAB IV
HUBUNGAN NEGARA DAN WARGA NEGARA
Pembicaraan hubungan negara dan warga negara sebenarnya merupakan
pembicaraan yang amat tua. Thomas Hobbes, tokoh yang mencetuskan istilah
terkenal
Homo homini lupus (manusia pemangsa sesamanya), mengatakan bahwa
fungsi negara adalah menertibkan kekacauan atau
chaos dalam masyarakat.
Walaupun negara adalah bentukan masyarakat, namun kedudukan negara adalah
penyelenggara ketertiban dalam masyarakat agar tidak terjadi konflik, pencurian
dan lain-lain. (Wibowo, 2000: 8).
Persoalan yang paling mendasar hubungan antara negara dan warga negara
adalah masalah hak dan kewajiban. Negara demikian pula warga negara samasama memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Sesungguhnya dua hal ini
saling terkait, karena berbicara hak negara itu berarti berbicara tentang kewajiban
warga negara, demikian pula sebaliknya berbicara kewajiban negara adalah
berbicara tentang hak warga negara.
Kesadaran akan hak dan kewajiban sangatlah penting, seseorang yang
semestinya memiliki hak namun ia tidak menyadarinya, maka akan membuka
peluang bagi pihak lain untuk menyimpangkannya. Demikian pula ketidaksadaran
seseorang akan kewajibannya akan membuat hak yang semestinya didapatkan
orang lain menjadi dilanggar atau diabaikan. Pada bab ini akan dibahas pengertian
hak dan kewajiban, hak dan kewajiban negara dan warga negara menurut UUD
1945, serta pelaksanaan hak dan kewajiban negara dan warga negara di negara
Pancasila
A. PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN
Banyak literatur yang mendefinisikan hak asasi sebagai hak-hak dasar
yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Definisi itu kurang tepat sebab muncul pertanyaan penting. Apakah
sebelum lahir, janin yang ada di dalam perut tidak memiliki hak asasi?
Pemahaman yang kurang tepat seperti itu bisa memunculkan fenomena

49
seperti di Belanda terkait dengan kode etik dokter kandungan. Manakala ada
pasien yang secara medis dinyatakan hamil, maka dokter harus memastikan
dengan bertanya sampai tiga kali apakah ibu yang mengandung tersebut
bahagia dengan kehamilan itu. Kalau memang ibu tidak bahagia atau tidak
menghendaki kehamilan tersebut, dokter dapat melakukan aborsi terhadap
janin tersebut. Aborsi adalah tindakan yang dilegalkan oleh pemerintah
Belanda. Alasan diperbolehkan aborsi adalah bahwa setiap ibu punya hak
untuk hamil atau tidak hamil. Tidak dipikirkan tentang hak janin untuk hidup.
Inilah problem mendasar ketika hak asasi manusia dipandang hanya melekat
pada manusia sejak lahir.
Akan lebih tepat dikatakan bahwa hak asasi melekat pada diri manusia
sejak proses terjadinya manusia. Janin punya hak hidup meskipun belum
dapat berbicara apalagi menuntut hak. Aborsi tidak dapat dibenarkan hanya
karena orang tua tidak menginginkan kehamilan, namun tentu bisa
dibenarkan manakala ada alasan-alasan khusus misal secara medis kehamilan
tersebut membahayakan sang ibu. Oleh karena itu tepat kiranya mengacu
pada pengertian hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 yang
menyebutkan: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintahan, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Adapun kewajiban asasi adalah kewajiban dasar yang harus
dijalankan oleh seseorang dalam kaitannya dengan kepentingan dirinya
sendiri, alam semesta, masyarakat, bangsa, negara maupun kedudukannya
sebagai makhluk Tuhan. Ini adalah kewajiban dalam arti yang luas, yang
tentu tidak akan dibahas semua dalam bab ini. Kewajiban terhadap diri
banyak dibicarakan dalam ilmu ilmu terkait dengan kepribadian dan
kesehatan, kewajiban terhadap alam dibicarakan dalam etika lingkungan,
kewajiban sebagai makhluk Tuhan dibicarakan dalam agama, sedangkan

50
dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan berbicara masalah
kewajiban terkait dengan hubungan antar warganegara maupun antara warga
negara dengan negara.
Antara hak dan kewajiban harus dipenuhi manusia secara seimbang.
Pada masyarakat Barat hak asasi lebih menjadi wacana yang dominan
daripada kewajiban asasi. Hal ini bisa dipahami dari pandangan hidup
masyarakat Barat yang individualis. Pada masyarakat individualis segala
sesuatu dimulai dari diriku (aku). Meskipun mereka tidak melupakan hak
orang lain, karena pada masyarakat yang individualismenya sudah matang
justru kesadaran akan hakku didasari pula oleh pemahaman bahwa setiap
orang juga ingin dihargai haknya. Sehingga yang terjadi masing-masing
individu saling menghargai individu yang lain. Berangkat dari hakku inilah
kemudian lahir kewajiban-kewajiban agar hak-hak individu tersebut dapat
terpenuhi.
Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai
masyarakat Timur. Karakter masyarakat Timur lebih menekankan hak orang
lain daripada hak dirinya sendiri. Hak diri seringkali dileburkan dalam hak
kolektif/sosial. Seseorang jarang ingin menonjol secara pribadi namun
cenderung lebih menonjolkan sisi kolektifnya. Hal ini banyak dilihat dari
karya-karya sebenarnya karya individu namun tidak diketahui identitas
penciptanya, seperti banyak lagu-lagu daerah yang tidak dikenal siapa
penciptnya. Sang pencipta seringkali menyembunyikan diri dalam kolektifitas
sehingga karya tersebut dikenal sebagai karya bersama. Misal lagu Gundulgundul Pacul dari Jawa, lagu O Ina Ni Keke dari Sulawesi Utara, tanpa kita
mengetahui siapa pengarang sesungguhnya.
Dalam kondisi masyarakat demikian kewajiban lebih menonjol
daripada hak, karena orang lebih cenderung berbuat untuk orang lain daripada
diri sendiri. Ketika seseorang berbuat untuk orang lain yang itu dipahami
sebagai kewajibannya, maka otomatis orang lain akan mendapatkan haknya,
demikian pula ketika orang lain menjalankan kewajibannya maka kita juga
mendapatkan hak kita. Perdebatan hak dulu atau kewajiban dulu bisa didekati

51
dengan pendekatan yang lebih sosio-kultural dari masyarakatnya, sehingga
kita lebih bijaksana dalam melihat persoalan hak dan kewajiban ini.
Kartasaputra (1986: 246) memberikan gambaran cakupan hak asasi
manusia dengan skema sebagai berikut:
1. HAK ASASI PRIBADI
- Kebebasan berpendapat
- Kebebasan beragama
- Kebebasan bergerak
- dll
2. HAK ASASI EKONOMI
- Hak memiliki
- Hak manfaat
- Hak membeli
- Hak menjual
- dll
3. HAK ASASI SOSIAL DAN
KEBUDAYAAN
- Mendapatkan pendidikan
- Mengembangkan Kebudayaan
- dll
4. HAK ASASI PROSEDURAL
- Mendapatkan Keadilan, peradilan,
perlindungan, dll
4. HAK ASASI POLITIK
- Memilih
- Dipilih
- Brorganisasi
- dll
6. HAK ASASI DALAM
PERLAKUKAN YANG SAMA
- Hukum
- Pemerintahan
- dll

52
Pandangan Kartasaputra ini menunjukkan keluasan persoalan hak
asasi manusia yang akan terus berkembang seiring dengan perkembangan
pemikiran dan kebudayaan manusia. Hal yang penting dalam persoalan hak
asasi ini adalah apa yang menjadi titik tolak dari hak asasi tersebut, berpusat
pada manusia atau pada Tuhan. Hak asasi yang berpusat pada manusia akan
mengkonstruksi hak asasi tersebut beranjak dari kebebasan manusia. Oleh
karena manusia mempunyai kecenderungan memiliki kebebasan tanpa batas,
maka mereka menuntut formalisasi hak asasi atas kebebasan itu, misalnya
tuntutan legalisasi perkawinan sesama jenis, pornografi dan lain-lain. Hak
asasi yang berpusat pada manusia akan mengesampingkan nilai-nilai
ketuhanan. Sedangkan hak asasi yang berpusat pada Tuhan akan menjadikan
nilai dan kaidah ketuhanan sebagai dasar perumusan hak asasi. Kebabasan
manusia selalu ditempatkan pada kerangka kaidah ketuhanan.
B. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA MENURUT UUD 1945
Manusia oleh Tuhan Yang Maha Kuasa diberi kemampuan akal,
perasaan dan indera agar bisa membedakan benar dan salah, baik dan buruk,
indah dan jelek. Kemampuan-kemampuan tersebut akan mengarahkan dan
memimbing manusia dalam kehidupannya. Kemampuan tersebut juga
menjadikan manusia menjadi makhluk yang memiliki kebebasan untuk
menentukan pilihan tindakannya. Oleh karena kebebasan yang dimiliki oleh
manusia itulah maka muncul konsep tentang tanggung jawab.
Kebebasan yang bertanggung jawab itu juga merupakan bagian dari
hak asasi manusia yang secara kodrati merupakan anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa. Pengingkaran akan kebebasan berarti pengingkaran pada martabat
manusia. Oleh karena itu, semua orang termasuk negara, pemerintah dan
organisasi wajib kiranya mengakui hak asasi manusia. Hak asasi bisa menjadi
titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (Bakry, 2009: 228).

53
Sebelum berbicara tentang hak dan kewajiban negara dan warga
negara menurut UUD 1945 perlu kiranya meninjau sedikit perkembangan hak
asasi manusia di Indonesia. Bagir Manan (2001) banyak dikutip juga oleh
Bakry (2009) membagi perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dalam
dua periode yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode
setelah kemerdekaan (1945-sekarang). Periode sebelum kemerdedaan
dijumpai dalam organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan
Indonesia, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai
Nasional Indonesia, Pendidikan Nasional Indonesia dan Perdebatan dalam
BPUPKI. Adapun periode setelah kemerdekaan dibagi dalam periode 1945-
1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, 1998-sekarang.
Pada periode sebelum kemerdekaan (1908-1945), terlihat pada
kesadaran beserikat dan mengeluarkan pendapat yang digelorakan oleh Boedi
Oetomo melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial
Belanda. Perhimpunan Indonesia menitik beratkan pada hak untuk
menentukan nasib sendiri (
the right of self determination), Sarekat Islam
menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak
dan bebas dari penindasan dan deskriminasi, Partai Komunis Indonesia
menekankan pada hak sosial dan menyentuh isu-isu terkait dengan alat-alat
produksi, Indische Partij pada hak mendapatkan kemerdekaan serta
perlakukan yang sama, Partai Nasional Indonesia pada hak politik, yaitu hak
untuk menentukan nasib sendiri, mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan
berkumpul, hak persamaan dalam hukum dan hak turut dalam penyelengaraan
negara (Bakry, 2009: 243-244).
Dalam sidang BPUPKI juga terdapat perdebatan hak asasi manusia
antara Soekarno, Soepomo, Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin terkait
dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, pekerjaan dan
penghidupan yang layak, memeluk agama dan kepercayaan, berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. (Bakry, 2009:
245). Dengan demikian, dinamika perkembangan hak asasi manusia memiliki
akar sejarah yang kuat di Indonesia karena berhimpitan dengan realitas

54
konkrit yang dialami bangsa Indonesia dalam menghadapi kolonialisme dan
imperialisme.
Adapun setelah kemerdekaan, pada periode awal kemerdekaan (1945-
1950) hak asasi manusia sudah mendapatkan legitimasi yuridis dalam UUD
1945 meskipun pelaksanaannya masih belum optimal. Atas dasar hak
berserikat dan berkumpul memberikan keleluasaan bagi pendirian partaipartai politik sebagaimana termuat dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Akan tetapi terjadi perubahan mendasar terhadap sistem
pemerintahan Indonesia dari Presidensial menjadi parlementer berdasarkan
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 (Bakry, 2009: 245).
Pada periode 1950-1959 dalam situasi demokrasi parlementer dan
semangat demokrasi liberal, semakin tumbuh partai politik dengan beragam
ideologi, kebebasan pers, pemilihan umum yang bebas, adil dan demokratis.
Pemikiran tentang HAM juga memiliki ruang yang lebar hingga muncul
dalam perdebatan di Konstituante usulan bahwa keberadaan HAM
mendahului bab-bab UUD. Pada periode 1959-1966, atas dasar penolakan
Soekarno terhadap demokrasi parlementer, sistem pemerintahan berubah
menjadi sistem demokrasi terpimpin. Pada era ini terjadi pemasungan hak
asasi sipil dan politik seperti hak untuk beserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pikiran dengan tulisan (Bakry, 2009: 247).
Periode 1966-1998 muncul gagasan tentang perlunya pembentukan
pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah
Asia. Gagasan tersebut muncul dalam berbagai seminar tentang HAM yang
dilaksanakan tahun 1967. Pada awal 1970-an sampai akhir 1980-an persoalan
HAM mengalami kemunduran, terjadi penolakan terhadap HAM karena
dianggap berasal dari Barat dan bertentangan dengan paham kekeluargaan
yang dianut bangsa Indonesia. Menjelang tahun 1990 muncul sikap
akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM yaitu dengan
dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
berdasarkan KEPRES No 50 tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993 (Bakry, 2009:
249).

55
Periode 1998-sekarang, setelah jatuhnya rezim Orde Baru terjadi
perkembangan luar biasa pada HAM. Pada periode ini dilakukan pengkajian
terhadap kebijakan pemerintah Orba yang berlawanan dengan kemajuan dan
perlindungan HAM. Penyusunan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM berupa Amandemen UUD 1945,
peninjauan TAP MPR, UU dan ketentuan perundang-undangan yang lain.
MPR telah melakukan amandemen UUD 1945 yaitu pada tahun 1999, 2000,
2001 dan 2002, pasal-pasal yang terkait dengan HAM juga berkembang pada
tiap-tiap amandemennya. Berikut akan disampaikan tabel berkenaan dengan
hak dan kewajiban negara, dan hak dan kewajiban warga negara.
Hak negara
Kewajiban negara 1. Melindungi segenap bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
(Pembukaan UUD 1945, alinea IV)
2. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28I,
ayat 4).
3. menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamnya dan
kepercayaannya itu (Pasal 29, ayat 2)
4. Untuk pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama,
dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung (Pasal
30, ayat 2)

56
5. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara (Pasal 30, ayat
3).
6. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum (Pasal 30, ayat 4).
7. membiayai pendidikan dasar (Pasal 31, ayat 2)
8. mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
(Pasal 31, ayat 3)
9. memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional (Pasal 31, ayat 4).
10. memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
serta kesejahteraan umat manusia (Pasal 31,
ayat 5)
11. memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

57
mengembangkan nilai-nilai budayanya (Pasal
32, ayat 1).
12. menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional (Pasal 32,
ayat 2).
13. mempergunakan bumi dan air dan kekayaan
alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (Pasal 33, ayat 3).
14. memelihara fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar (Pasal 34, ayat 1)
15. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan (Pasal 34, ayat 2)
16. bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak (Pasal 34, ayat 3)
Hak warga negara 1. Pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal
27 ayat 2)
2. Berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28)
3. Membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal
28B ayat 1)
4. hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminsasi (Pasal 28 B ayat 2)
5. mengembangkan diri melelui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari IPTEK, seni dan
budaya (Pasal 28C ayat 1)

58
6. memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun
masyarkat, bangsa dan negaranya (Pasal 28C
ayat 2)
7. pengakuan, jaminan, pelindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum (Pasal 28D ayat
1)
8. bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja
(Pasal 28D ayat 2)
9. memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan (Pasal 28D ayat 3)
10. status kewarganegaraan (Pasal 28D ayat 3)
11. memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali (Pasal
28E ayat 1)
12. kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya
(Pasal 28E ayat 2)
13. kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat (Pasal 28E ayat 3)
14. berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak mencari memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F)

59
15. perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi. (Pasal 28G, ayat 1)
16. bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara
lain. (Pasal 28G, ayat 2)
17. hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan (Pasal 28H, ayat 1).
18. mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan (Pasal 28H, ayat 2)
19. jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat (Pasal 28H, ayat 3).
20. mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun (Pasal 28H,
ayat 4).
21. hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, beragama, tidak diperbudak, diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
(Pasal 28I, ayat 1).
22. bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif

60
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu (Pasal 28I, ayat 2)
23. identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban (Pasal 28I, ayat 3).
24. ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara (Pasal 30, ayat 1)
25. mendapat pendidikan (Pasal 31, ayat 1)
Kewajiban warga
negara
1. menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1)
2. menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara (Pasal 28J, ayat 1).
3. tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis (Pasal 28J, ayat 2)
4. ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara (Pasal 30, ayat 1).
5. Untuk pertahanan dan keamanan negara
melaksanakan sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta (Pasal 30, ayat 2).
6. mengikuti pendidikan dasar (Pasal 31, ayat 2)
Tabel di atas mencoba memilahkan hak dan kewajiban negara serta
hak dan kewajiban warganegara dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD

61
tahun 1945. Dari tabel di atas diketahui bahwa tidak ada pasal yang berbicara
khusus tentang hak negara, kewajiban negara berjumlah 16 ayat, hak warga
negara 25 ayat, dan kewajiban warga negara 6 ayat. Tabel di atas tidak
menunjukkan sisi yang implisit dari hak dan kewajiban, namun apa yang
tertulis secara eksplisit hak dan kewajiban dalam UUD 1945.
Di dalam UUD 1945 tidak menyebutkan hak negara, namun apakah
dalam kenyataannya memang demikian? Tentu saja tidak. Meminjam teori
keadilan Aristoteles, maka ada keadilan yang distilahkannya sebagai keadilan
legalis, yaitu keharusan warga negara untuk taat kepada negara. Keharusan
taat itulah yang menjadi hak negara. Dalam kehidupan sehari-hari keadilan
legalis ini selalu mengiringi setiap langkah wara negara, mulai dari kewajiban
membayar IMB, Listrik, PBB, memiliki SIM, Pajak Kendaraan bermotor,
mentaati aturan lalu lintas, dan lain-lain.
Marilah kita mencoba menganalisis tabel tersebut menggunakan
pandangan para pemikir tentang hubungan negara dan warga negara yang
digolongkan menjadi tiga yaitu Pluralis, Marxis, dan Sintesis dari keduanya.
Negara dan warga negara sebenarnya merupakan satu keping mata uang
bersisi dua. Negara tidak mungkin ada tanpa warga negara, demikian pula
tidak ada warga negara tanpa negara. Namun, persoalannya tidak sekedar
masalah ontologis keberadaan keduanya, namun hubungan yang lebih
relasional, misalnya apakah negara yang melayani warga negara atau
sebaliknya warga negara yang melayani negara. Hal ini terlihat ketika pejabat
akan mengunjungi suatu daerah, maka warga sibuk menyiapkan berbagai
macam untuk melayaninya. Pertanyaan lain, apakah negara mengontrol warga
negara atau warga negara mengontrol negara?
1. Pluralis
Kaum pluralis berpandangan bahwa negara itu bagaikan sebuah
arena tempat berbagai golongan dalam masyarakat berlaga. Masyarakat
berfungsi memberi arah pada kebijakan yang diambil negara. Pandangan
pluralis persis sebagaimana dikatakan Hobbes dan John Locke bahwa

62
masyarakat itu mendahului negara. Mayarakat yang menciptakan negara
dan bukan sebaliknya, sehingga secara normatif negara harus tunduk
kepada masyarakat (Wibowo, 2000: 11-12).
2. Marxis
Teori Marxis berpendapat bahwa negara adalah serangkaian
institusi yang dipakai kaum borjuis untuk menjalankan kekuasaannya. Dari
pandangan ini, sangat jelas perbedaannya dengan teori pluralis. Kalau teori
pluralis melihat dominasi kekuasan pada warga negara, sedangkan teori
Marxis pada negara. Seorang tokoh Marxis dari Italia, Antonio Gramsci,
yang memperkenalkan istilah ‘hegemoni’ untuk menjelaskan bagaimana
negara menjalankan penindasan tetapi tanpa menyebabkan perasaan
tertindas, bahkan negara dapat melakukan kontrol kepada masyarakat
(Wibowo, 2000: 15).
3. Sintesis
Pandangan yang menyatukan dua pandangan tersebut adalah teori
strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens. Ia melihat ada kata
kunci untuk dua teori di atas yaitu struktur untuk teori Marxis dan agensi
untuk Pluralis. Giddens berhasil mempertemukan dua kata kunci tersebut.
Ia berpandangan bahwa antara struktur dan agensi harus dipandang
sebagai dualitas (
duality) yang selalu berdialektik, saling mempengaruhi
dan berlangsung terus menerus. (Wibowo, 2000: 21).
Untuk menyederhanakan pandangan Giddens ini saya mencoba
mengganti istilah struktur sebagai negara dan agensi sebagai warga negara.
Negara mempengaruhi warga negara dalam dua arti, yaitu memampukan
(
enabling) dan menghambat (constraining). Bahasa digunakan oleh
Giddens sebagai contoh. Bahasa harus dipelajari dengan susah payah dari
aspek kosakata maupun gramatikanya. Keduanya merupakan
rules yang
benar-benar menghambat. Tetapi dengan menguasai bahasa ia dapat
berkomunikasi kepada lawan bicara tanpa batas apapun. Contoh yang lebih

63
konkrit adalah ketika kita mengurus KTP. Harus menyediakan waktu
khusus untuk menemui negara (RT, RW, Dukuh, Lurah dan Camat) ini
sangat menghambat, namun setelah mendapatkan KTP kita dapat melamar
pekerjaan, memiliki SIM bahkan Paspor untuk pergi ke luar negeri
(Wibowo, 2000, 21-22)
Namun sebaliknya, agensi (warga negara) juga dapat
mempengaruhi struktur, misalnya melalui demonstrasi, boikot, atau
mengabaikan aturan. Istilah yang digunakan Giddens adalah
dialectic
control.
Oleh karena itu dalam teori strukturasi yang menjadi pusat
perhatian bukan struktur, bukan pula agensi, melainkan
social practice
(Wibowo, 2000: 22).
Tiga teori ini kalau digunakan untuk melihat hubungan negara dan
warga negara dalam konteks hak dan kewajiban sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945, maka lebih dekat dengan teori strukturasi.
Meskipun dalam UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan hak
negara, namun secara implisit terdapat dalam pasal-pasal tentang
kewajiban warga negara. Negara memiliki hak untuk ditaati peraturannya
dan hal itu terlihat dalam
social practice-nya. Negara dan warga negara
masing-masing memiliki hak dan kewajiban sesuai porsinya. Negara
memiliki kewenangan untuk mengatur warga negaranya, namun warga
negara juga memiliki fungsi kontrol terhadap negara.
Contoh yang bisa menggambarkan situasi tersebut adalah
kebijakan pemerintah untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Beberapa kali pemerintah menaikkan BBM karena alasan pertimbangan
menyelamatkan APBN, namun pada kesempatan lain atas desakan kuat
dari masyarakat akhirnya kenaikan BBM dibatalkan.
C. PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DAN WARGA
NEGARA DI NEGARA PANCASILA
Dalam pelaksaannya hak asasi manusia di Indonesia mengalami
pasang surut. Wacana hak asasi manusia terus berkembang seiring dengan

64
berkembangnya pelanggaran-pelanggaran HAM yang semakin meningkat
intensitas maupun ragamnya. Pelanggaran itu dilakukan oleh negara maupun
warga negara, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Suatu hal tidak dapat dilaksanakan sebelum mengetahui benar apa
yang hendak dilaksanakan, untuk melaksanakannya diperlukan pedoman, dan
agar pelaksanaan bisa berjalan sesuai dengan harapan maka perlu ada institusi
yang mengawal pelaksanaan tersebut. Dengan demikian ada tiga hal penting
dalam pelaksanaan hak dan kewajiban ini.
Pertama, Pancasila perlu dimengerti secara tepat dan benar baik dari
pengertian, sejarah, konsep, prinsip dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Tanpa mengerti hal-hal yang mendasar ini amat sulit Pancasila
untuk diamalkan. Selain daripada itu, Pancasila akan cepat memudar dan
dilupakan kembali. Kekuatan akar pemahaman ini amat penting untuk
menopang batang, ranting, daun dan buah yang akan tumbuh di atasnya.
Banyak hal yang terjadi ketika semangat untuk mengamalkan Pancasila
sangat tinggi namun tidak didasari oleh pemahaman konsep dasar yang kuat,
bukan hanya mudah memudar, namun juga akan kehilangan arah, seakanakan sudah melaksanakan Pancasila padahal yang dilaksanakan bukan
Pancasila, bahkan bertentangan dengan Pancasila. Hal ini amat mudah dilihat
dalam praktek perekonomian dan perpolitikan Indonesia saat ini yang tanpa
sadar sudah mengekor pada sistem kapitalis-neoliberalis dan perpolitikan
yang bernapaskan individualis bukan kolektifis.
Kedua, pedoman pelaksanaan. Semestinya kita tidak perlu malu
mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang
berusaha membuat Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4).
Pedoman ini sangat diperlukan agar negara dan warganegara mengerti apa
yang musti dilakukan, apa tujuannya dan bagaimana strategi mencapai tujuan
tersebut. Manakala tidak ada pedoman pelaksanaan, maka setiap orang
berusaha membuat pedoman sendiri-sendiri sehingga terjadi
absurditas
(kebingungan). Banyaknya kelemahan yang terjadi pada pelaksanaan P4 perlu
dievaluasi untuk diperbaiki. Contoh kelemahan utama dalam pelaksanaan P4

65
adalah bahwa pedoman tersebut bersifat kaku, tertutup dan doktriner, hanya
pemerintah yang berhak menerjemahkan dan menafsirkan Pancasila, sehingga
tidak ada ruang yang cukup untuk diskusi dan terbukanya konsep-konsep
baru. Kelemahan tersebut harus diperbaiki tidak kemudian dibuang sama
sekali.
Ketiga, perlunya lembaga yang bertugas mengawal pelaksanaan
Pancasila. Lembaga ini bertugas antara lain memfasilitasi aktivitas-aktivitas
yang bertujuan untuk mensosialisasikan Pancasila. Membuka ruang-ruang
dialog agar tumbuh kesadaran ber-Pancasila baik di kalangan elit politik,
pers, anggota legislatif, eksekutif, yudikatif, dan masyarakat luas. Yang tak
kalah penting adalah ikut memberi masukan kepada lembaga-lembaga negara
dalam melaksanakan tugas dan membuat kebijakan serta ikut mengevaluasi
setiap kebijakan yang dilakukan agar terjamin tidak bertentangan dengan
Pancasila.
Dalam konteks pelaksanaan hak dan kewajiban, maka tiga hal penting
sebagaimana disebut di atas juga perlu ada, yaitu perlu mengerti prinsipprinsip dasar hak dan kewajiban negara dan warga negara, terdapat pedoman
pelaksanaannya dan ada lembaga yang mengawalnya. Tiga hal ini tentu tidak
berdiri sendiri khusus terkait dengan hak dan kewajiban negara dan warga
negara, namun merupakan kesatuan gerak besar revitalisasi Pancasila dalam
semua bidang kehidupan.
Pelaksanaan hak dan kewajiban negara dan warga negara dalam
negara Pancasila adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945
seperti tergambar dalam klasifikasi di atas. Namun demikian, selain melihat
klasifikasi tersebut perlu juga memahami konsep, prinsip dan nilai Pancasila
dalam pelaksanaan hak asasi manusia.
Penjelasan di bawah ini akan memberikan gambaran tentang konsep,
prinsip dan nilai Pancasila yang dikutip dari Pedoman Umum Implementasi
Pancasila dalam Kehidupan Bernegara yang ditulis oleh Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (2005: 93-94):

66
a. Manusia adalah makhluk Tuhan yang Maha Esa, berperan sebagai
pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam
keimanan dan ketakwaan. Dalam mengelola alam, manusia
berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin kelestarian eksistensi,
harkat dan martabat, memuliakan serta menjaga keharmonisannya
b. Pancasila memandang bahwa hak asasi dan kewajiban asasi manusia
bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, nilai budaya
bangsa serta pengamalan kehidupan politik nasional.
c. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak
berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan yang tidak boleh
dirampas atau diabaikan oleh siapapun.
d. Perumusan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dilandaskan oleh
pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari hubungan
dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan lingkungannya.
e. Bangsa Indonesia menyadari, mengakui, menghormati dan menjamin
hak asasi orang lain sebagai suatu kewajiban. Hak dan kewajiban asasi
terpadu dan melekat pada diri manusia sebagai pribadi, anggota
keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa, dan anggota
masyarakat bangsa-bangsa.
f. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai hak asasi yang
harus dihormati dan ditaati oleh setiap orang/warga negara.
g. Bangsa dan negara Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsabangsa mempuyai tanggung jawab dan kewajiban menghormati
ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dengan
semua instrumen yang terkait, sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila.

67
BAB V
DEMOKRASI INDONESIA
Dewasa ini, demokrasi dianggap sebagai suatu sistem politik yang
diyakini oleh banyak masyarakat dunia sebagai yang terbaik untuk mencapai
tujuan bernegara. Kecenderungan ini menguat terutama sesudah Perang Dunia II.
Menurut penelitian UNESCO tahun 1949 disimpulkan bahwa “… untuk pertama
kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan
wajar untuk semua organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh
pendukung-pendukung yang berpengaruh” (Mirriam Budiardjo, 2008: 105).
Demokrasi telah menggantikan beberapa sistem politik non demokrasi yang
dianggap gagal pada saat itu, seperti: totalitarian, otoritarian, monarki absolut,
rezim militer dan kediktatoran.
Sejalan dengan perkembangan waktu, demokrasi beserta prinsip-prinsip
yang menyertainya mengalami perkembangan, pembaharuan dan pengujian yang
terus-menerus. Demokrasi juga mengalami pasang surut, bahkan terdapat
perkembangan menarik, hampir semua negara jajahan yang merdeka setelah
Perang Dunia II bergeser dari sistem demokrasi menuju non-demokrasi (Samuel
Huntington, 1992: 80). Kriteria dan prinsip-prinsip demokrasi adalah suatu gejala
kontinum, dimana semakin banyak prinsip dijalankan maka semakin demokratis
negara tersebut; sebaliknya semakin banyak prinsip ditinggalkan maka semakin
tidak demokratis negara tersebut. Banyak negara yang mengupayakan sejauh
mungkin prinsip-prinsip itu ditegakkan agar dikatakan sebagai negara demokrasi.
Indonesia sebagai negara yang merdeka setelah Perang Dunia II juga tidak
terlepas dari pasang surutnya sistem demokrasi.
Pembahasan bab ini difokuskan tentang konsep dasar demokrasi, prinsipprinsip dan indikator demokrasi, perjalanan demokrasi di Indonesia, dan arti
pentingnya pendidikan demokrasi di negara yang menyatakan diri sebagai negara
demokrasi.

68
A. KONSEP DASAR DEMOKRASI
Istilah demokrasi (democracy) berasal dari penggalan kata bahasa
Yunani yakni
demos dan kratos/cratein. Demos berarti rakyat dan cratein
berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Salah satu
pendapat terkenal dikemukakan oleh Abraham Lincoln di tahun 1863 yang
mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat
(government of the people, by the people and for the people).
Lalu apa itu demokrasi? Demokrasi sebagai konsep sesungguhnya
memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang atau perspektif.
Berbagai pendapat para ahli banyak mengupas perihal demokrasi. Contoh
yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln di atas, hanyalah salah satu contoh
pengartian demokrasi. Robert Dahl sampai pada pernyataan bahwa
“ there is
no democratic theory, there are only democratic theories”.
Bahkan Harold
Laski mengutarakan bahwa demokrasi tidak dapat diberi batasan, kerena
rentang sejarahnya yang amat panjang dan telah berevolusi sebagai konsep
yang menentukan (Hendra Nurtjahjo, 2006: 71).
Berdasar banyak literatur yang ada, diyakini demokrasi berasal dari
pengalaman bernegara orang –orang Yunani Kuno, tepatnya di negara kota
(polis) Athena pada sekitar tahun 500 SM. Yunani sendiri pada waktu itu
terdiri dari beberapa negara kota (polis) seperti Athena, Makedonia dan
Sparta. Pada tahun 508 SM seorang warga Athena yaitu Kleistenes
mengadakan beberapa pembaharuan pemerintahan negara kota Athena
(Magnis Suseno, 1997:100). Kleistenes membagi para warga Yunani yang
pada waktu itu berjumlah sekitar 300.000 jiwa kedalam beberapa “suku”,
masing-masing terdiri atas beberapa demes dan demes mengirim wakilnya ke
dalam Majelis 500 orang wakil. Keanggotaan majelis 500 itu dibatas satu
tahun dan seseorang dibatasi hanya dua kali selama hidupnya untuk dapat
menjadi anggota. Majelis 500 mengambil keputusan mengenai semua
masalah yang menyangkut kehidupan kota Athena. Bentuk pemerintahan
baru ini disebut
demokratia. Istilah demokratia sendiri dikemukakan oleh
69
sejarawan Herodotus (490-420 SM) untuk menyebut sistem kenegaraan hasil
pembeharuan Kleistenes tersebut. Sistem demokratia Athena akhirnya
diambil alih oleh banyak polis lain di Yunani. Demokrasi di Athena ini
bertahan sampai dihancurkan oleh Iskandar Agung dari Romawi pada tahun
322 SM. Sejak saat itu demokrasi Yunani dianggap hilang dari muka bumi.
Selanjutnya Eropa memasuki abad kegelapan (
Dark Age).
Gagasan demokrasi mulai berkembang lagi di Eropa terutama setelah
kemunculan konsep
nation state pada abad 17. Gagasan ini disemai oleh
pemikir-pemikir seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-
1704), Montesqiueu (1689-1755), dan JJ Rousseau (1712-1778), yang
mendorong berkembangnya demokrasi dan konstitusionalisme di Eropa dan
Amerika Utara (Aidul Fitriciada Azhari, 2005: 2). Pada kurun waktu itu
berkembang ide sekulerisasi dan kedaulatan rakyat. Berdasar sejarah singkat
tersebut, kita bisa mengetahui adanya demokrasi yang berkembang di Yunani
yang disebut demokrasi kuno dan demokrasi yang berkembang selanjutnya di
Eropa Barat yang dikenal sebagai demokrasi modern.
Lalu apakah demokrasi itu sesungguhnya? Memang tidak ada
pengertian yang cukup yang mewakili konsep demokrasi. Istilah itu tumbuh
sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat Semakin tinggi
kompleksitas kehidupan suatu masyarakat semakin sulit dan tidak sederhana
demokrasi didefinisikan (Eep Saefulloh Fatah, 1994: 5). Berdasar berbagai
pengertian yang berkembang dalam sejarah pemikiran tentang demokrasi,
kita dapat mengkategorikan ada 3 (tiga) makna demokrasi yakni
demokrasi
sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi sebagai sistem politik
dan
demokrasi sebagai sikap hidup.
1. Demokrasi sebagai Bentuk Pemerintahan
Makna demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan merupakan
pengertian awal yang dikemukakan para ahli dan tokoh sejarah, misalnya
Plato dan Aristotoles. Plato dalam tulisannya
Republic menyatakan bahwa
bentuk pemerintahan yang baik itu ada tiga yakni monarki, aristokrasi, dan
demokrasi. Jadi demokrasi adalah satu satu dari tiga bentuk pemerintahan.

70
Ukuran yang digunakan untuk membedakan adalah kuantitas dalam arti
jumlah orang yang berkuasa dan kualitas yang berarti untuk siapa
kekuasaan itu dijalankan.
Menurutnya, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana
pemerintahan itu dipegang oleh rakyat dan dijalankan untuk kepentingan
rakyat banyak. Monarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh
seseorang sebagai pemimpin tertinggi dan dijalankan untuk kepentingan
rakyat banyak. Aristokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang
dipegang oleh sekelompok orang yang memimpin dan dijalankan untuk
kepentingan rakyat banyak. Ketiganya dapat berubah menjadi bentuk
pemerintahan yang buruk yakni tirani, oligarki dan mobokrasi atau
okhlokrasi.
Tirani adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh
seseorang sebagai pemimpin tertinggi dan dijalankan untuk kepentingan
pribadi. Oligarki adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh
sekelompok dan dijalankan untuk kelompok itu sendiri. Sedangkan
mobokrasi/okhlokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang
oleh rakyat, tetapi rakyat tidak tahu apa-apa, rakyat tidak berpendidikan,
dan rakyat tidak paham tentang pemerintahan. Akhirnya, pemerintahan
yang dijalankan tidak berhasil untuk kepentingan rakyat banyak.
Penyelenggaraan pemerintahan itu justru menimbulkan keonaran,
kerusuhan, kebebasan, dan kerusakan yang parah sehingga dapat
menimbulkan anarki. Mobokrasi adalah bentuk pemerintahan yang
chaos.
Sementara itu, Aristoteles dalam tulisannya Politics
mengemukakan adanya tiga macam bentuk pemerintahan yang baik yang
disebutnya
good constitution, meliputi: monarki, aristokrasi dan polity.
Sedangkan pemerintahan yang buruk atau
bad constitution meliputi tirani,
oligarki dan demokrasi. Jadi berbeda dengan Plato, demokrasi menurut
Aristoteles merupakan bentuk dari pemerintahan yang buruk, sedang yang
baik disebutnya
polity atau politeia.
71
Teori Aristoteles banyak dianut oleh para sarjana di masa lalu
diantaranya Pollybius. Hanya saja menurut Pollybius, bentuk
pemerintahan yang ideal bukan politeia, tetapi demokrasi yang bentuk
pemerosotannya adalah mobokrasi (pemerintahan yang
chaostic). Jadi
Pollybius lebih sejalan dengan pendapat Plato. Ia terkenal dengan
ajarannya yang dikenal dengan nama
Lingkaran Pollybius, bahwa bentuk
pemerintahan akan mengalami perputaran dari yang awalnya baik menjadi
buruk, menjadi baik kembali dan seterusnya. Dengan demikian teori
Pollybius telah mengubah wajah demokrasi sebagai bentuk pemerintahan
yang buruk menjadi sesuatu yang ideal atau baik dan diinginkan dalam
penyelenggaraan bernegara sesuai dengan kehendak rakyat.
Sampai saat itu pemaknaan demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan masih dianut beberapa ahli. Sidney Hook mengatakan
demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan keputusan
pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan
pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas kepada rakyat
dewasa (Tim ICE UIN, 2003: 110). Menurut
International Commission for
Jurist
, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara
melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab
kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas (Mirriam
Budiardjo, 2008: 116-117). Georg Sorensen (2003: 1) secara lugas
menyatakan demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat.
2. Demokrasi sebagai Sistem Politik
Perkembangan berikutnya, demokrasi tidak sekedar dipahami
sebagai bentuk pemerintahan, tetapi lebih luas yakni sebagai sistem
politik. Bentuk pemerintahan bukan lagi demokrasi , oligarki, monarki
atau yang lainnya. Bentuk pemerintahan, dewasa ini lebih banyak
menganut pendapatnya Nicollo Machiavelli (
1467-1527). Ia menyatakan
bahwa Negara (
Lo Stato) dalam hal ini merupakan hal yang pokok (genus)
72
sedang spsesiesnya adalah Republik (Respublica) dan Monarki
(
Principati). Monarki adalah bentuk pemerintahan yang bersifat kerajaan.
Pemimpin negara umumnya bergelar raja, ratu, kaisar, atau sultan.
Sedangkan Republik adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh
seorang presiden atau perdana menteri. Pembagian dua bentuk
pemerintahan tersebut didasarkan pada cara pengangkatan atau
penunjukkan pemimpin negara. Apabila penunjukkan pemimpin negara
berdasarkan keturunan atau pewarisan maka bentuk pemerintahannya
monarki. Sedangkan bila penunjukkan pemimpin negara berdasarkan
pemilihan maka bentuk pemerintahannya adalah republik.
Jika bentuk pemerintahan adalah republik atau monarki, maka
demokrasi berkembang sebagai suatu sistem politik dalam bernegara.
Sarjana yang mendefinikan demokrasi sebagai sistem, misalnya Henry B
Mayo (Mirriam Budiardjo, 2008: 117) yang menyatakan sistem politik
demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum
ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan
atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik.
Samuel Huntington (1997: 6-7) menyatakan bahwa sistem politik
di dunia ini ada dua yakni sistem politik demokrasi dan sistem politik non
demokrasi. Menurutnya, suatu sistem politik disebut demokrasi apabila
para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih
melalui pemilihan yang jurdil. Di dalam sistem itu, para calon bebas
bersaing untuk memperoleh suara dan semua penduduk berhak
memberikan suara. Sedangkan sistem politik non demokrasi meliputi
sistem totaliter, otoriter, absolut, rezim militer, sistem komunis, dan sistem
partai tunggal. Demokrasi sekarang ini merupakan lawan dari sistem
politik otoriter, absolut, dan totaliter.

73
Carter dan Herz dalam Ramlan Surbakti (1999: 221)
menggolongkan macam-macam sistem politik didasarkan pada kriteria
siapa yang memerintah dan ruang lingkup jangkauan kewenangan
pemerintah
. Berdasar ini maka ada sistem politik otoriter, sistem politik
demokrasi, sistem politik totaliter
dan sistem politik liberal. Apabila pihak
yang memerintah terdiri atas beberapa orang atau kelompok kecil orang
maka sistem politik ini disebut “pemerintahan dari atas” atau lebih tegas
lagi disebut
oligarki, otoriter, ataupun aristokrasi. Di lain pihak, apabila
pihak yang memerintah terdiri atas banyak orang, maka sistem politik ini
disebut
demokrasi. Kemudian apabila kewenangan pemerintah pada
prinsipnya mencakup segala sesuatu yang ada dalam masyarakat, maka
rezim ini disebut
totaliter. Sedangkan apabila pemerintah memiliki
kewenangan yang terbatas yang membiarkan beberapa atau sebagian besar
kehidupan masyarakat mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan dari
pemerintah dan apabila kehidupan masyarakat dijamin dengan tata hukum
yang disepakati bersama, maka rezim ini disebut
liberal.
Ramlan Surbakti (1999: 222-232) juga membedakan sistem politik
terdiri atas sistem politik otokrasi tradisional, sistem politik totaliter dan
sistem politik demokrasi. Selain tiga jenis tersebut dinyatakan pula adanya
sistem politik negara berkembang. Macam–macam sistem politik tersebut
dibedakan dengan lima kreteria yaitu kebaikan bersama, identitas bersama,
hubungan kekuasaan, legitimasi kewenangan dan hubungan ekonomi dan
politik. Sistem politik demokrasi, kesempatan politik yang sama bagi
individu. Individu menggunakan kesempatan politik tersebut dengan
menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi sukarela yang dapat
mempengaruhi keputusan pemerintah dan membuat kebijakan yang
menguntungkan mereka. Selain itu sistem ini menekankan pada persamaan
kesempatan ekonomi daripada pemerataan hasil dari pemerintah. Jadi
individu bebas mencari dan mendayagunakan kekayaan sepanjang dalam
batas-batas yang disepakati bersama. Sistem politik demokrasi
menekankan pemenuhan kebutuhan materiil kepada massa dan dalam

74
masyarakat, negara menerapkan individualisme. Hal ini menimbulkan
ketegangan antara tujuan-tujuan moril dan materiil, namun demikian
pemenuhan kebutuhan materiil yang tampaknya lebih menonjol.
Pendapat lain dikemukakan oleh Arief Budiman (1996: 38), bahwa
hanya ada dua kutub variasi sistem politik, yakni sistem politik yang
otoriter dan sistem politik yang demokratis. Sukarna dalam buku
Demokrasi Versus Kediktatoran (1981) juga membedakan adanya sistem
politik demokrasi dan kediktatoran. Pada intinya adalah demokrasi telah
dipahami sebagai sistem politik yang dilawankan dengan sistem politik
non demokrasi, sebagaimana pendapat Samuel Huntington di atas.
Ukuran yang membedakannya adalah prinsip-prinsip yang
digunakan dalam bernegara. Sukarna (1981: 4-5) mengemukakan adanya
beberapa prinsip dari demokrasi dan prinsip-prinsip dari otoritarian atau
kediktatoran. Adapun prinsip-prinsip dari sistem politik demokrasi adalah
sebagai berikut:
a. pembagian kekuasaan; kekuasaan eksekutif, legeslatif, yudikatif
berada pada badan yang berbeda
b. pemerintahan konstitusional
c. pemerintahan berdasarkan hukum
d. pemerintahan mayoritas
e. pemerintahan dengan diskusi
f. pemilihan umum yang bebas
g. partai politik lebih dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya
h. management yang terbuka
i. pers yang bebas
j. pengakuan terhadap hak hak minoritas
k. perlindungan terhadap hak asasi manusia
l. peradilan yang bebas dan tidak memihak
m. pengawasan terhadap administrasi negara
75
n. mekanisme politik yang berubah antara kehidupan politik
masyarakat dengan kehidupan politik pemerintah
o. kebijaksanaan pmerintah dibuat oleh badan perwakilan politik
tanpa paksaan dari lembaga manapun
p. penempatan pejabat pemerintahan dengan merit sistem bukan poil
sistem
q. penyelesaian secara damai bukan dengan kompromi
r. jaminan terhadap kebebasan individu dalam batas-batas tertentu.
s. konstitusi/ UUD yang demokratis
t. prinsip persetujuan
Kebalikan dari prinsip demokrasi adalah prinsip kediktatoran yang
berlaku pada sistem politik otoriter atau toteliter. Prinsip-prinsip ini bisa
disebut sebagai prinsip non demokrasi, yaitu sebagai berikut:
a. Pemusatan kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan yudikatif menjadi satu. Ketiga kekuasaan
itu dipegang dan dijalankan oleh satu lembaga saja.
b. Pemerintahan tidak berdasar konstitusional yaitu pemerintahan
dijalankan berdasarkan kekuasaan. Konstitusinya memberi
kekuasaan yang besar pada negara atau pemerintah.
c. Rule of power atau prinsip negara kekuasaan yang ditandai dengan
supremasi kekuasaan dan ketidaksamaan di depan hukum
d. Pembentukan pemerintahan tidak berdasar musyawarah tetapi
melalui dekrit
e. Pemilihan umum yang tidak demokratis. Pemilu dijalankan hanya
untuk memperkuat keabsahan penguasa atau pemerintah negara.
f. Terdapat satu partai politik yaitu partai pemerintah atau ada
beberapa partai tetapi ada sebuah partai yang memonopoli
kekuasaan.
g. Manajemen dan kepemimpinan yang tertutup dan tidak
bertanggung jawab

76
h. Menekan dan tidak mengakui hak hak minoritas warga negara
i. Tidak adanya kebebasan berpendapat, berbicara dan kebebasan
pers. Kalaupun ada pers maka pers tersebut sangat dibatasi.
j. Tidak ada perlindungan terhadap hak asasi manusia bahkan sering
terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia..
k. Badan peradilan yang tidak bebas dan bisa diintervensi oleh
penguasa.
l. Tidak ada kontrol atau pengendalian terhadap administrasi dan
birokrasi. Birokrasi pemerintah sangat besar dan menjangkau
keseluruh wilayah kehidupan bermasyarakat.
m. Mekanisme dalam kehidupan politik dan sosial tidak dapat berubah
dan bersifat sama
n. Penyelesaian perpecahan atau perbedaan dengan cara kekerasan
dan penggunaan paksaan
o. Tidak ada jaminan terhadap hak-hak dan kebebasan individu dalam
batas tertentu misalnya: kebebasan berbicara, kebebasan beragama,
bebas dari rasa takut.
p. Prinsip dogmatisme dan banyak berlaku doktrin.
3. Demokrasi sebagai Sikap Hidup
Perkembangan berikutnya, demokrasi tidak hanya dimaknai
sebagai bentuk pemerintahan dan atau sistem politik, tetapi demokrasi
dimaknai sebagai sikap hidup. Jika demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan atau sistem politik maka hal itu lebih banyak berjalan pada
tingkat pemerintahan atau kenegaraan. Demokrasi tidak cukup berjalan di
tingkat kenegaraan, tetapi demokrasi juga memerlukan sikap hidup
demokratis yang tumbuh dalam diri penyelenggara negara maupun warga
negara pada umumnya. Tim ICCE IUN (2003: 112) menyebut demokrasi
sebagai pandangan hidup. Bahwa demokrasi tidak datang dengan sendiri
dalam kehidupan bernegara. Ia memerlukan perangkat pendukungnya
yakni budaya yang kondusif sebagai
mind set dan setting sosial dan bentuk
77
konkrit dari manifestasi tersebut adalah dijadikannya demokrasi sebagai
pandangan hidup.
John Dewey (Zamroni, 2001: 31) menyatakan ide pokok demokrasi
adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi
dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang
mengatur kehidupan. Nurcholish Madjid (Tim ICCE UIN, 2003: 113)
menyatakan demokrasi sebagai proses berisikan norma-norma yang
menjadi pandangan hidup bersama. Menurut Padmo Wahyono (1991:
227)
, demokrasi adalah suatu pola kehidupan masyarakat yang sesuai
dengan keinginan ataupun pandangan hidup manusia yang berkelompok
tersebut. Demokrasi Indonesia dalam arti pandangan hidup adalah
demokrasi sebagai falsafah hidup
(democracy in philosophy) (Sri
Soemantri, 1974:
?).
Berdasar pendapat-pendapat di atas, demokrasi bukan sekedar
suatu bentuk pemerintahan ataupun sistem politik melainkan yang utama
adalah suatu bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Bentuk kehidupan yang demokratis akan kokoh
bila di kalangan masyarakat tumbuh nilai-nilai demokrasi. Demokrasi
sebagai sikap hidup didalamnya ada nilai-nilai demokrasi yang
dipraktikkan oleh masyarakatnya yang selanjutnya memunculkan budaya
demokrasi. Mohammad Hatta (1966: 9) juga pernah menyatakan bahwa
demokrasi memerlukan syarat-syarat hidupnya yakni rasa tanggung jawab
dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Tanggung jawab dan
toleransi merupakan nilai demokrasi yang akan mendukung sistem atau
pemerintahan demokrasi.
Jika demokrasi merupakan nilai-nilai yang dihayati dan
dibudayakan dalam kehidupan sehingga menjadi sikap dan perilaku hidup
demokratis, maka nilai-nilai demokrasi seperti apakah yang hendak
dikembangkan? Henry B Mayo (Mirriam Budiarjo, 2008: 118-119)
mengidentifikasi adanya 8 (delapan) nilai demokrasi, yaitu: 1)

78
penyelesaian pertikaian secara damai dan sukarela, 2) menjamin
perubahan secara damai dalam masyarakat dinamis, 3) pergantian
penguasa secara teratur, 4) penggunaan paksaan sedikit mungkin, 5)
pengakuan dan penghormatan terhadap keanekaragaman, 6) penegakan
keadilan, 7) memajukan ilmu pengetahuan, dan 8) pengakuan penghormatan atas kebebasan.
Rusli Karim (1996) menyebutkan perlunya kepribadian yang
demokratis, yang meliputi 1) inisiatif, 2) disposisi resiprositas, 3) toleransi,
4) kecintaan terhadap keterbukaan, 5) komitmen, 6) tanggung jawab, serta
7) kerja sama keterhubungan. Zamroni (2001:32) menyatakan bahwa
demokrasi akan tumbuh kokoh bila di kalangan masyarakat tumbuh kultur
dan nilai-nilai demokrasi, yaitu 1) toleransi, 2) kebebasan mengemukakan
dan menghormati perbedaan pendapat, 3) memahami keanekaragaman
dalam masyarakat, 4) terbuka dalam berkomunikasi, 5) menjunjung nilai
dan martabat kemanusiaan, 6) percaya diri atau tidak menggantungkan diri
pada orang lain, 7) saling menghargai, 8) mampu mengekang diri, 9)
kebersamaan dan 10) keseimbangan. Nurcholish Madjid (Tim ICCE UIN,
2003: 113) menyatakan demokrasi sebagai pandangan hidup paling tidak
memiliki 7 (tujuh) norma, yaitu: 1) pentingnya kesadaran akan pluralisme,
2) musyawarah, 3) pertimbangan moral, 4) permufakatan yang jujur dan
sehat, 5) pemenuhan segi segi ekonomi, 6) kerjasama antar warga
masyarakat dan sikap mempercayai iktikad masing-masing, dan 7)
pandangan hidup demokrasi harus menyatu dengan sistem pendidikan.
B. PRINSIP-PRINSIP DAN INDIKATOR DEMOKRASI
1. Prinsip-prisip Demokrasi
Prinsip-prinsip demokrasi telah banyak dikemukakan oleh para
ahli. Jika kita mengungkap kembali prinsip demokrasi sebagaimana
dinyatakan Sukarna (1981) di atas, menunjuk pada prinsip demokrasi

79
sebagai suatu sistem politik. Contoh lain, misalnya Robert Dahl (Zamroni,
2011: 15) yang menyatakan terdapat dua dimensi utama demokrasi, yakni:
1) kompetisi yang bebas diantara para kandidat, dan 2) partisipasi bagi
mereka yang telah dewasa memiliki hak politik. Berkaitan dengan dua
prinsip demokrasi tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa
demokrasi memiliki dua ciri utama yakni keadilan (
equality) dan
kebebasan (
freedom).
Franz Magnis Suseno (1997: 58), menyatakan bahwa dari berbagai
ciri dan prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh para pakar, ada 5 (lima)
ciri atau gugus hakiki negara demokrasi, yakni: negara hukum, pemerintah
berada dibawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan umum yang bebas,
prinsip mayoritas dan adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.
Hendra Nurtjahyo (2006: 74-75) merangkum sejumlah prinsip
demokrasi yang dikemukakan para ahli dengan menyatakan adanya nilainilai yang substansial dan nilai-nilai yang bersifat prosedural dari
demokrasi. Kedua ketegori nilai tersebut baik subtansial dan prosedural
sama pentingnya dalam demokrasi. Tanpa adanya nilai tersebut, demokrasi
tidak akan eksis, yang selanjutnya dikatakan sebagai prinsip eksistensial
dari demokrasi. Prinsip eksistensial demokrasi tersebut, yakni: 1)
kebebasan, 2) kesamaan dan 3) kedaulatan suara mayoritas (rakyat).
Pendapat yang sejenis dikemukakan oleh Maswadi Rauf (1997: 14)
bahwa demokrasi itu memiliki dua prinsip utama demokrasi yakni
kebebasan/persamaan (
freedom/equality) dan kedaulatan rakyat (people’s
sovereignty)
.
1.1 Kebebasan/persamaan (freedom/equality)
Kebebasan dan persamaan adalah fondasi demokrasi.
Kebebasan dianggap sebagai sarana mencapai kemajuan dengan
memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa adanya
pembatasan dari penguasa. Jadi bagian tak terpisahkan dari ide
kebebasan adalah pembatasan kekuasaan kekuasaan penguasa politik.

80
Demokrasi adalah sistem politik yang melindungi kebebasan
warganya sekaligus memberi tugas pemerintah untuk menjamin
kebebasan tersebut. Demokrasi pada dasarnya merupakan
pelembagaan dari kebebasan.
Persamaan merupakan sarana penting untuk kemajuan setiap
orang. Dengan prinsip persamaan, setiap orang dianggap sama, tanpa
dibeda-bedakan dan memperoleh akses dan kesempatan sama untuk
mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Demokrasi berasumsi
bahwa semua orang sama derajat dan hak-haknya sehingga harus
diperlakukan sama pula dalam pemerintahan.
1.2 Kedaulatan rakyat (people’s sovereignty)
Konsep kedaulatan rakyat pada hakekatnya kebijakan yang
dibuat adalah kehendak rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Mekanisme semacam ini akan mencapai dua hal. P
ertama, kecil
kemungkinan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan
kedua,
terjaminnya kepentingan rakyat dalam tugas tugas pemerintahan.
Perwujudan lain konsep kedaulatan adalah pengawasan oleh rakyat.
Pengawasan dilakukan karena demokrasi tidak mempercayai kebaikan
hati penguasa. Betapapun niat baik penguasa, jika mereka menafikan
kontrol/kendali rakyat maka ada dua kemungkinan buruk
pertama,
kebijakan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat dan, kedua,
yang lebih buruk kebijakan itu korup dan hanya melayani kepentingan
penguasa.
Sementara itu, APA (ASEAN People’s Assembly) mendaftar
sejumlah prinsip dasar demokrasi yangditerima sebagai seperangkat
aturan main bersama dalam upaya melakukan penilaian proses
demokratisasi di kawasan Asia Tenggara, terlepas dari banyak
perdebatan reotik antara demokrasi universal dan particular, antara
konsep “Barat” dan “Timur” atau “Cara Asia/ASEAN” dan berbagai

81
macam kata sifat yang tercantum di depan definisi demokrasi saat
digunakan untuk menggambarkan karakteristik demokratis sebuah
negara –seperti: semi-demokrasi, demokrasi liberal, demokrasi
elektoral, dan lain-lain.
Prinsip-prinsip demokrasi pada tabel 1 berikut ini: partisipasi,
inklusif, representasi, transparansi, akuntabilitas, responsif, kompetisi
yang bebas dan adil, dan solidaritas, dijadikan dasar dari
perkembangan institusional dan proses demokrasi (Chistine Sussane
Tjhin, 2005: 11, 18).
Tabel 1. Prinsip-prinsip Demokrasi
Nilai2 Terkandung DESKRIPSI
Partisipasi
(
Participation)
Demokrasi pada esensinya melibatkan aspirasi masyarakat
dlm menjalankan perannya secara aktif & menentukan dlm
proses politik. Partisipasi adalah elemen penting dlm
pemberdayaan.
Partisipasi tidak hanya berupa ‘mencoblos’ dlm pemilihan
umum/pemilihan kepala daerah yg dilaksanakan secara rutin.
Partisipasi menjamin keterlibatan dlm proses Kebijakan, baik
dengan melibatkan LSM, partai politik, maupun jalur-jalur
lain.
Tetapi, semua ini harus didasarkan pada asumsi bahwa hak
hak untuk berpartisipasi itu memang sudah eksis &
masyarakat/ warganegara memiliki kapasitas & sumber2 daya
yg layak utk berpartisipasi, & pemerintah telah menyediakan
jalur2 & institusi2 politk (di mana melalui semua itu
masyarakat bisa berpartisipasi).
Inklusivitas/
Pelibatan
Setiap individu dipandang setara secara politik. Dengan kata
lain setiap individu diperlakukan sebagai warganegara

82
(Inclusion) terlepas dari perbedaan latar belakang ras, etnis, kelas,
gender, agama, bahasa, maupun identitas lain. Demokrasi
mendorong pluralitas & keberagaman, juga mengelola
keberagaman tsb tanpa kekerasan.
Demokrasi tidak bisa eksis jika perolehan hak2 dasar dibatasi
secara diskriminatif. Demokrasi juga harus mengawal sektor2
masyarakat yg termarjinalisasi melalui pelaksanaan kebijakan
afirmatif utk bisa mencapai kesamaan status &
pemberdayaan.
Kebijakan afirmatif ini haruslah bebas dari
prasangka/stereotip.
Perwakilan/
Representasi
(
Representation)
Dengan mempertimbangkan bahwa partisipasi langsung dlm
setiap proses pemerintahan tidak bisa dilakukan secara
absolut mengingat keterbatasan waktu & ruang, jalur yg
paling rasional adalah dengan menyediakan perangkat utk
representasi/perwakilan.
Mereka yg telah mendapatkan mandat utk menjalankan
aspirasi populer harus mampu mewakili konstituensi mereka.
Institusi2 harus pula mencerminkan komposisi sosial dari
para pemilih – baik kelompok mayoritas maupun minoritas.
Terlebih lagi, mereka harus mewakili arus utama dari opini
publik.
Transparansi
(
Transparency)
Karena demokrasi berarti bahwa institusi2 publik
mendapatkan otoritas mereka dari masyarakat, maka harus
ada perangkat yg memungkinkan masyarakat utk mengawasi
& mengawal institusi2 publik tsb.
Masyarakat atau kelompok yg ditunjuk oleh masyarakat harus
diberikan kesempatan utk mempertanyakan kinerja & kerja
institusi2 publik tsb.
Terlebih lagi, segala informasi mengenai proses kerja &

83
kinerja mereka harus bisa dijangkau oleh publik & media
massa.
2. Indikator Demokrasi
Kerangka kerja penilaian demokratisasi di antaranya dirumuskan
APA yang diinspirasi konsep yang dikembangkan oleh David Beetham
dalam membuat indikator demokrasi. Beetham menerjemahkan
“kedaulatan rakyat” (
rule of the people) secara lebih spesifik menjadi
faktor kontrol popular (
popular control) dan faktor kesetaraan politik
(
political equality). Kontrol populer memanifestasikan hak-hak yang
dimiliki oleh masyarakat untuk mengontrol dan mempengaruhi kebijakan
publik dan para pembuat kebijakan. Perlakuan terhadap masyarakat harus
didasari pada keyakinan bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan
rasa hormat yang setara. Setiap orang memiliki kapasitas yang setara
dalam menentukan pilihan. Pilihan tersebut dapat mempengaruhi
keputusan kolektif dan semua kepentingan yang mendasari pilihan tersebut
harus diperhatikan (Christine Sussana Tjhin, 2005: 11-13, 19-21).
Kerangka kerja utama dibagi menjadi 3 komponen utama. Pertama,
Kerangka Kerka Hak-hak Warga Negara yang Kesetaraannya
Terjamin
(Guaranteed Framework of Equal Citizen Rights). Termasuk di
dalamnya adalah akses pada keadilan dan supremasi hokum, juga
kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul, dan hak-hak dasar yang
memungkinkan masyarakat untuk memperoleh/menjalankan hak-haknya
secara efektif. Komponen pertama ini terdiri dari 2 tema, yaitu: 1)
Kewarganegaraan yang Setara (
Common Citizenship), dan 2) Hak-hak
Sipil dan Politik (
Civil and Political Rights).
Komponen kedua,
Institusi-institusi Pemerintah yang
Representatif dan Akuntabel
(Institutions of Representative and
Accountable Government
). Tercakup di dalamnya adalah pemilu yang
bebas dan adil yang menyediakan perangkat agar pilihan dan control
populer atas pemerintah dapat dilaksanakan. Termasuk juga di dalamnya

84
adalah prosedur-prosedur yang menjamin akuntabilitas pejabat publik
(yang dipilih maupun tidak dipilih melalui pemilu). Komponen kedua
terdiri dari 6 tema, yaitu: 1) Pemilu yang Bebas dan Adil (
Free and Fair
Elections
), 2) Partai Politik yang Demokratis (Democratic Political
Parties
), 3) Hubungan Sipil-Militer (Civil-Military Relations), 4)
Transparansi dan Akuntabiltas Pemerintahan (
Governmental Transparency
and Accountability
), 5) Supremasi Hukum (Rule of Law), dan 6)
Desentralisasi (
Decentralization).
Komponen ketiga adalah
Masyarakat yang Demokratis atau
Sipil
(Civil or Democratic Society). Cakupan komponen ini meliputi
media komunikasi, asosiasi-asosiasi sipil, proses-proses konsultatif dan
forum-forum lainnya yang bebas dan pluralistik. Kebebasan dan
pluralisme tersebut harus menjamin partisipasi popular dalam setiap proses
politik dalam rangka mendorong sikap responsif pemerintah terhadap opini
publik dan terselenggaranya pelayanan public yang lebih efektif.
Komponen ketiga mencakup 2 tema, yaitu: 1) Media yang Independen dan
Bebas (
Independent and Free Media), dan 2) Partisipasi Populer (Popular
Participation
).
Setiap 10 tema tersebut berisikan seperangkat indicator penilaian
yang dikategorikan berdasarkan 3 dimensi, yaitu: dimensi legal,
institusional dan kinerja (
performance). Dimensi legal untuk
mengindentifikasi kahadiran payung hukum yang memberikan kepastian
hukum untuk tema terkait.
Dimensi institusional menggali ada atau
tidaknya perangkat institusi dan mekanisme yang mampu memberikan
jaminan implementasi perangkat hukum. Dimensi kinerja mengelaborasi
sejauh mana kinerja elemen-elemen dalam dua dimensi sebelumnya telah
berhasil membawa pengaruh aktual terhadap kemajuan proses
demokratisasi berdasarkan konteks tema terkait. Indikator-indikator dalam
setiap dimensi tersebut dihrapkan dapat menjadi semacam petunjukpetunjuk praktis dalam proses penilaian demokratisasi (lihat

85
Tabel 2. MATRIKS INDIKATOR
KERANGKA
KERJA
TEMA DIMENSI
LEGAL
DIMENSI
INSTITUSIONAL
DIMENSI
KINERJA
Hak-hak
Warganegara
yang
Kesetaraan
nya Terjamin
Kewarga
negaraan
yang
Setara
Jaminan atas
kewarganega
raan yg setara
& universal,
juga
masyarakat
yg plural
(sehubungan
dengan
perihal
etnisitas,
agama, ras,
gender, kelas,
status sosial,
dll).
Adanya
pengakuan
status
kelompok2
minoritas/
ter
marjinalisasi.
Jaminan
adanya upaya
Terbentuknya
institusi2 yg
relevan dan/
atau
mekanisme2
utkmenangani
permasalahan
kelompok2
minoritas/ ter
marjinal dlm
masyarakat yg
plural
(sehubungan dg
e/a/r/g/k/ss, dll).
Terbentuknya
mekanisme2
utkmenyelesaik
an konflik2
komunal.
Sejauh mana
konflik2
komunal &
kekerasan
terjadi &
diselesaikan.
Sejauh mana
diskriminasi
terjadi atas
kel2
minoritas/
termarjinal.
Sejauh mana
status khusus
diberikan utk
kasus2
khusus yg
berkaitan dg
kel2
minoritas/
termarjinal.

86
resolusi
damai utk
konflik2
komunal.
Hak-hak
Sipil &
Politik
Adanya
perlindungan
thd
warganegara
dari
kekerasan
politik &
pelanggaran
fisik atas
individu.
Jaminan atas
kebebasan
berekspresi.
Jaminan atas
kebebasan
berserikat &
berkumpul.
Ratifikasi
Konvensi
International
Hak2 Sipil &
Politik
(ICCPR).
Terbentuknya
Komisi HAM
independen.
Terbentuknya
kantor publik
pembela HAM.
Efektivitas
Komisi
HAM dlm
meng-awasi
perkembang
an
penghormata
n HAM.
Jumlah &
lingkup
pembunuhan
politik
(extra
judicial
killings).
Jumlah &
lingkup
kekerasan
aparat
keamanan.
Sejauh mana
sensor
terjadi.
Institusi2
Pemerintah yg
Pemilu yg
Bebas &
Jaminan atas
adanya
Terbentuknya
otoritas
Sejauh mana
terjadi

87
Represen-tatif
&
Akuntabel (1)
Adil pemilihan
umum/
kepala daerah
sebagai
mekanisme
utama utk
peralihan
kekuasan dari
warganegara
ke pemimpin.
Jaminan atas
hak utk
memilih bagi
warganegara
yg telah
dewasa scr
universal.
Jaminan atas
akses &
keterbukaan
dlm
pemilihan
umum/
kepala daerah
bagi
kekuatan2
politik yg
berbeda.
Jaminan atas
keterwakilan
elektoral
(KPU/D) yg
mengatur &
mengawasi
pelaksanaan
pemilihan yg
bebas & adil.
Imparsialitas dr
otoritas
elektoral thd
berbagai
kandidat &
partai2.
Integritas dr
proses
pemilihan yg
menjamin
keterwakilan &
transparansi.
protes2 atau
tuntutan atas
pemilihan.
Jumlah
pemilih yg
memilih
(voter
turnout).
Keberagama
n & lingkup
pilihan yg
tersedia
merefleksika
n perbedaan/
pertentangan
2 politik
(political
cleavages).
Sejauh mana
terjadi
kekerasan &
penipuan dlm
pemilihan.

88
dlm Parlemen
(berkaitan dg
e/a/r/g/k/ss,
dll).
Partai
Politik
(PP) yg
Demokra
tis
Jaminan atas
independensi
PP dr
intervensi &
control
negara.
Adanya
pendanaan
negara utk PP
Adanya
aturan2
hukum utk
PP agar tdpt
proses Intern
al yg
demokratis,
prosedur2
legal &
keterwakilan
dlm PP
(berkaitan dg
e/a/r/g/k/ss,
dll).
Adanya
aturan2
Terbentuknya
sistem partai yg
stabil &
representatif.
Kefektifan PP
dlm mewakili
konstituen
mereka.
Kapasitas utk
mengekspansi
fungsi &
konstituen
mereka.
Adanya
program2/
platform2 yg
jelas &
akuntabel.
Persentasi PP
yg layak dr
suara
nasional utk
eksekutif &
legislatif.
Perubahan
signifikan
dlm
pemerintahan
melalui
perubahan
komposisi
PP.

89
hukum ttg PP
yg memupuk
disiplin &
akuntabilitas
antara pejabat
partai &
anggota.
KERANGKA
KERJA
TEMA DIMENSI
LEGAL
DIMENSI
INSTITUSIONAL
DIMENSI
KINERJA
Institusi2
Pemerintah yg
Represen-tatif
& Akuntabel
(2)
Hubungan
Sipil
Militer
Jaminan atas
supremasi
sipil atas
militer.
Jaminan
adanya
insulasi
militer atas
birokrasi sipil.
Jaminan atas
akuntabilitas
militer utk
menghindari
kemungkinan
penyalahguna
an kekuasaan.
Kepemimpinan
sipil dlm
lembaga
pertahanan
dengan otoritas
atas kebijakan
pertahanan &
pembuatan
anggaran.
Kompetensi sipil
dlm menangani
perihal
keamanan &
pertahanan
nasional.
Keterwakilan
militer
dibandingkan dg
komposisi
Sejauh mana
t.erjadi
kudeta
militer.
Sejauh mana
personel
militer (aktif
& non-aktif)
ditunjuk dlm
birokrasi
sipil.
Sejauh mana
militer
terlibat dlm
memberikan
keamanan
internal.
Sejauh mana
militer telah

90
masyarakat luas. menjadi
profesional.
Transpa
ransi &
Akuntabili
-tas
Pemerin
tahan
Jaminan atas
akuntabilitas
pejabat
publik.
Jaminan atas
tersedianya
laporan
periodik atas
kekayaan &
aset yg
dimiliki
pejabat
publik.
Ada kode etik
dlm
pelaksanaan
pelayanan
publik.
Adanya
sanksi atas
kemungkinan
pelanggaran
atau
penyalahguna
an wewenang.
Jaminan atas
kebebasan
Terbentuknya
institusi
independen utk
akuntabilitas
(IIA).
Terjaminnya
kemandirian &
imparsialitas
lembaga IIA tsb.
Kecukupan
sumber daya utk
memenuhi
mandat IIA.
Kemauan &
kapasitas utk
menjalankan
pengawasan.
Tingkat
persepsi
publik atas
kurangnya
akuntabilitas
Sejauh mana
perkembanga
nkinerja IIA.
Jumlah &
lingkup
pejabat
publik yg
mdptk sanksi.

91
informasi
seputar
kinerja,
tindakan2, &
keputusan2
pemerintah.
Supremasi
Hukum
Jaminan atas
independensi
lembaga
judisial dari
kontrol
legislatif &
eksekutif.
Jaminan atas
kesetaraan &
keamanan
akses thd
keadilan.
Jaminan atas
bantuan
hukum bagi
warganegara
yg kurang
mampu.
Terbentuknya
sistem peradilan
kriminal.
Perlakuan yg
imparsial &
setara dlm sistem
pidana.
Kapasitas sistem
pidana utk
mengakomodasi
narapidana &
tahanan.
Status
kasus2
judisial yg
tercatat
(jumlah
kasus
tertunda &
waktu rata2
utk kasus2
yg
diselesaikan)
Kinerja
kantor
kejaksaan
agung.
Desentra
lisasi
Jaminan atas
transfer/dele
gasi
kekuasan &
fungsi dari
Sejauh mana
kontrol atas
sumber daya oleh
pemerintahan
daerah.
Sejauh mana
terdapat
batasan bagi
pemerintah
daerah dlm

92
pemerintah
pusat ke
daerah.
Jaminan atas
otonomi dr
pemerintahan
daerah utk
melakukan
perencanaan
& anggaran.
Jaminan atas
pemilihan
pemerintahan
lokal melalui
pemilihan
kompetitif
(baik
eksekutif
maupun
legislatif).
Adanya pelatihan
& pendidikan utk
unit
pemerintahan
daerah.
Terbentuknya
perangkat utk
keterwakilan &
partisipasi yg
lebih besar dari
berbagai
kepentingan di
daerah.
melaksanaka
n kekuasaan
&
fungsi2nya.
Sejauh mana
terdapat
kerja sama
antara
pemerintah
daerah
dengan
masyarakat
sekitar dlm
proses
formulasi &
implementas
i kebijakan.
KERANGKA
KERJA
TEMA DIMENSI
LEGAL
DIMENSI
INSTITUSIONAL
DIMENSI
KINERJA
Masyarakat yg
Demokratis
atau Sipil
Media yg
Indepen
den
& Bebas
Partisipasi
Populer
Jaminan atas
eksistensi
masyarakat
sipil/ “civil
society” atau
Adanya akses thd
media bagi
publik.
Kemampuan &
kemauan dr
Sejauh mana
terjadi
pelecehan &
kekerasan
thd media.

93
LSM,
maupun
institusi
kerelawanan
yg indepen
den dr
pemerintah.
Jaminan atas
partisipasi
masyarakat
sipil atau
LSM dlm
proses
kebijakan.
Jaminan atas
keterlibatan
aktif
masyarakat
sipil atau
LSM dengan
aktor2
negara.
media utk
merepresentasi
kan berbagai alur
opini &
perspektif.
Kemampuan &
kemauan utk
bertindak sebagai
pengawas/
“watchdog”
pemerintah.
Kemauan &
sejauh mana
partisipasi
warganegara dlm
LSM & lembaga
kerelawanan
lainnya.
Adanya kejelasan
mengenai
konstituen yg
diwakili oleh
LSM atau
lembaga
kerelawan lain.
Sejauh mana
terdapat
partisipasi dari
elemen2
Sejauh mana
terdapat
sensor
pemerintah
atas media.
Sejauh mana
terdapat
pembatas
atas
kebebasan
pers.
Kemampuan
LSM &
lembaga
kerelawanan
lainnya dlm
memberikan
kontribusi
berupa input
kritis dlm
proses
perumusan
kebijakan.
Sejauh mana
terdapat
prosedur
internal
LSM &
lembaga

94
masyarakat sipil
yg berbeda
(sehubungan dg
e/a/r/g/k/ss, dll).
kerelawanan
lainnya yg
demokratis.
Sejauh mana
terdapat
hambatan &
batasan dlm
partisipasi
masyarakat
sipil.
Sejauh mana
terdapat
keberagama
n sumber
pendanaan.
C. PERJALANAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Perlu dipahami bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia telah
menghasilkan sejumlah kemajuan berarti dari segi prosedural. Pemilu
legislatif, pemilu presiden, hingga Pilkada dapat berlangsung dengan bebas,
transparan, demokratis, dan paling penting dalam suasana damai.
Check and
balance
di antara lembaga-lembaga eksekutif dengan legislatif juga
berlaangsung sangat dinamis. Kebebasan berpendapat dan berserikat jauh
lebih baik dibanding masa Orde Baru. Hal paling mendasar adalah
dibenahinya beberapa kelemahan dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang
kemudian membuat wajah konstitusi kita tampil berbeda dibanding Batang
Tubuh UUD 1945 yang asli (As’ad Said Ali, 2009: 99).
Perubahan-perubahan penting dan mendasar tersebut membangkitkan
dan mendatangkan sejumlah harapan, seperti diuraikan As’ad Said Ali dalam

95
bukuya Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (2009).
Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kualitas demokrasi seiring
dengan kemajuan prosedur demokrasi. Masyarakat juga mengharapkan
pemerintahan yang dihasilkan melalui prosedur demokrasi mampu
menangkap dan mengartikulasikan kepentingan publik jauh lebih baik
dibandingkan masa sebelumnya serta menjauhkan diri dari kepentingankepentingan sempit kelompok atau golongan tertentu. Namun demikian,
dalam realitas, harapan-harapan tersebut belum terwujud secara optimal.
Muncul keluhan bahwa sistem demokrasi yang sekarang berjalan belum
banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi dan sosial lebih baik. Partisipasi
rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan nyaris seperti masa Orde
Baru, sementara sirkulasi elite nasional tidak banyak mengalami perubahan
perilaku mendasar.
Pada saat bersamaan muncul rasa khawatir terhadap berbagai masalah
yang cenderung mengguncang sendi-sendi pokok kehidupan berbangsa dan
bernegara. Gerakan separatisme sempat mencuat. Beberapa daerah
mengajukan tuntutan sangat keras kepeada pemerintah pusat, dan Jakarta
sering kali mengabaikan kepentingan pemerintah daerah. Isu-isu sensitif
dengan mengatas-namakan agama kembali meruyak. Hal lain yang cukup
mengguncangkan adalah maraknya korupsi pada era reformasi.
Deretan masalah masih bisa diperpanjang. Semua mengakumulasi
menjadi kekecewaan. Pertanyaan yang mengusik: Benarkah langkah kita
dalam proses demokratisasi sekarang ini? Cara terbaik agar tidak terjebak
dalam persoalan yang tidak kunjung usai ini, adalah dengan mempelajari
kembali pesan-pesan penting pendiri negara dan konstitusi untuk
diproyeksikan menjadi visi membangun kehidupan demokrasi.
1. Ide Demokrasi Pendiri Negara
Apakah ide atau gagasan demokrasi ada pada benak para pendiri
negara saat membicarakan dasar-dasar bernegara di sidang BPUPKI tahun
1945? Para pendiri negara (
The Founding Fathers) kita umumnya
96
menyetujui bahwa negara Indonesia yang akan didirikan hendaknya
negara demokrasi. Ada kesamaan pandangan dan konsensus politik dari
para pendiri negara bahwa kenegaraan Indonesia harus berdasar
kerakyatan/ kedaulatan rakyat atau demokrasi. Jadi cita cita atau ide
demokrasi itu ada pada para
the founding fathers bangsa ( Franz Magnis
Suseno, 1997: 9-10).
Menurut
Mohammad Hatta (1953:39-41), demokrasi telah berurat
akar dalam pergaulan hidup kita. Bangsa Indonesia sejak dahulu
sesungguhnya telah mempraktekkan ide tentang demokrasi meskipun
masih sederhana dan bukan dalam tingkat kenegaraan. Dikatakan bahwa
desa-desa di Indonesia sudah menjalankan demokrasi, misalnya dengan
pemilihan kepada desa dan adanya rembug desa. Itulah yang disebut
"demokrasi asli". Demokrasi asli itu memiliki 5 unsur atau anasir yaitu;
rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak
menyingkir dari kekuasaan raja absolut. Saat itu, Mohammad Hatta lebih
suka mengganakan istilah kerakyatan, untuk membedakannya dengan
demokrasi Barat yang cenderung individualistik.
Namun demikian, demokrasi desa tidak bisa dijadikan pola
demokrasi untuk Indonesia modern. Kelima unsur demokrasi desa tersebut
perlu dikembangkan dan diperbaharui menjadi konsep demokrasi
Indonesia yang modern. Demokrasi Indonesia modern, menurut
Mohammad Hatta harus meliputi 3 hal yaitu; demokrasi di bidang politik,
demokrasi di bidang ekonomi, demokrasi di bidang sosial. Demokrasi
Indonesia tidak berbeda dengan demokrasi di Barat dalam bidang politik.
Hanya saja demokrasi di Indonesia perlu mencakup demokrasi ekonomi
dan sosial, sesuatu yang tidak terdapat dalam masyarakat Barat.
Saat ini, ide demokrasi tersebut terungkap dalam sila keempat
Pancasila yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusywaratan perwakilan dan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yakni
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar 1945.

97
Oleh karena UUD 1945 merupakan derivasi dari Pancasila sebagai
dasar filsafat negara, maka secara normatif demokrasi Indonesia adalah
demokrasi yang bersumberkan nilai Pancasila khususnya sila keempat.
Oleh karena itu demokrasi Indonesia dikatakan
Demokrasi Pancasila,
dimana prinsip-prinsip demokrasi yang dijalankan berdasarkan pada nilainilai Pancasila.
Demokrasi Pancasila dapat diartikan secara luas maupun sempit,
sebagai berikut:
a. Secara luas demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pedoman
penyelenggaraan maupun sebagai cita-cita.
b. Secara sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
Demokrasi Pancasila dalam arti luas adalah kedaulatan atau
kekuasaan tertinggi ada pada rakyat yang dalam penyelenggaraannya
dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yaitu nilai
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan nilai keadilan sangat
mendukung demokrasi. Nilai-nilai Pancasila menentang sistem otoriter
atau kediktatoran.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila agar tegak dan berkembang
dipusatkan pada 10 (sepuluh) pilar demokrasi (Achmad Sanusi, 2006: 193-
205), yaitu:
a. Demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Para pemeran politik dan pemimpin negara dan semua warga
negara dalam menerapkan demokrasi tidak bertentangan dengan
nilai-nilai agama. Ia dituntut agar mempertanggungjawabkan
segala tindakannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

98
b. Demokrasi yang Menjunjung Hak Asasi manusia
Demokrasi mengharuskan adanya penghargaan terhadap harkat
dan martabat manusia dalam bentuk jaminan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia demi terwujudnya keadilan dalam
masyarakat.
c. Demokrasi yang mengutamakan Kedaulatan Rakyat
Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara
demokrasi. Pelaksanaan kedaulatan melalui sistem perwakilan.
Untuk mengisi lembaga perwakilan perlu dilaksanakan pemilu
secara periodik.
d. Demokrasi yang didukung kecerdasan
Warga negara yang cerdas dan terdidik secara politik
merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan demokrasi. Oleh
karena itu, pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan politik
amat penting dalam negara demokrasi untuk membekali warga
negara kesadaran hak dan kewajibannya.
e. Demokrasi yang menetapkan pembagian kekuasaan
Suatu negara yang demokratis harus ada pembagian
kekuasaan. Hal ini untuk menghindari terjadinya pemusatan
kekuasaan kepada satu orang. Dan memberikan kesempatan kepada
lembaga lain untuk melakukan pengawasan dan meminta
pertanggungjawaban jalannya pemerintahan.
f. Demokrasi yang menerapkan konsep Negara Hukum
Hukum melandasi pelaksanaan demokrasi. Untuk mengembangkan
kebebasan yang demokratis tidak bisa dengan meninggalkan
hukum. Tanpa hukum kebebasan akan mengarah perbuatan yang
anarkis. Pada akhirnya perbuatan itu meninggalkan nilai-nilai
demokrasi. Untuk mewujudkan demokrasi yang berdasarkan
hukum tidak dapat lepas dari perlidungan konstitusinal, badan
peradilan yang bebas, kebebasan berpendapat, berserikat, dan
kesadaran kewarganegaraan.

99
g. Demokrasi yang menjamin otonomi daerah
Pelaksanaan demokrasi harus tetap menjamin tegaknya persatuan
dan kesatuan bangsa. Dengan dilaksanakan otonomi daerah yang
semakin nyata dan bertanggung jawab mengindakasikan paham
demokrasi juga semakin berkembang. Sebagai wujud prinsip
demokrasi kekuasaan negara tidak dipusatkan pemerintah pusat
saja namun sebagian diserahkan kepada daerah menjadi urusan
rumah tangga daerah itu sendiri.
h. Demokrasi yang berkeadilan sosial
Pelaksanaan demokrasi diarahkan untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi bukan
hanya politik saja melainkan juga demokrasi sosial dan ekonomi.
Demokrasi sosial artinya demokrasi yang ditemukan dalam
hubungan antar warga masyarakat dan atau warga negara. Juga
harus dilandasi oleh penghormatan terhadap kemerdekaan,
persamaan dan solidaritas antar manusia.
i. Demokrasi dengan kesejahteraan rakyat
Demokrasi juga mencakup dalam bidang ekonomi. Demokrasi
ekonomi adalah sistem pengelolaan perekonomian negara
berdasarkan prinsip ekonomi. Perekonomian harus dijaga dari
persaingan bebas tanpa batas melalui peraturan perundangundangan. Negara juga mengambil peran yang cukup dalam usaha
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
j. Demokrasi dengan pengadilan yang merdeka
Sistem pengadilan yang merdeka memberi peluang seluas-luasnya
kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mencari dan
menemukan hukum yang seadil-adilnya. Pengadilan yang merdeka
dan otonom tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun, namun hakim
wajib mempertimbangkan keadilan yang berkembang di
masyarakat.

100
Demokrasi Pancasila dalam arti sempit adalah berdasar pada sila
keempat Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dengan demikian,
demokrasi Pancasila dalam arti sempit adalah masalah pengambilan
keputusan yaitu pengambilan keputusan yang dipimpin oleh hitmat
kebijaksanaan. Wujud dari pengambilan keputusan yang dipimpin oleh
hidmat kebijaksanaan adalah dengan musyawarah mufakat.
2. Praktik Demokrasi di Indonesia
Praktik demokrasi Indonesia berhubungan dengan periodisasi
demokrasi yang pernah dan berlaku dan sejarah Indonesia. Mirriam
Budiardjo (2008:127-128) menyatakan bahwa dipandang dari sudut
perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat
dibagi dalam
4 (empat) masa, yaitu:
a. Masa pertama Republik Indonesia (1945-1959) yang dinamakan
masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan
parlemen dan partai-partai dan karena itu dinamakan Demokrasi
Parlementer
b. Masa kedua Republik Indonesia (1959-1965) yaitu masa
Demokrasi Terpimpin yang banyak aspek menyimpang dari
demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasannya dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat
c. Masa ketiga Republik Indonesia (1965-1998) yaitu masa
demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional
yang menonjolkan sistem presidensiil
d. Masa keempat Republik Indonesia (1998-sekarang) yaitu masa
reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia
sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada
masa ketiga Republik Indonesia.

101
Afan Gaffar (1999: 10) membagi alur demokrasi Indonesia terdiri
atas:
a. periode masa revolusi kemerdekaan (1945-1949)
b. periode masa demokrasi parlementer (1950-1959)
c. periode masa demokrasi terpimpin (1960-1965)
d. periode pemerintahan Orde Baru/demokrasi Pancasila (1966-
1998).
Pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), implementasi
demokrasi baru terbatas pada interaksi politik di parlemen dan pers
berfungsi sebagai pendukung revolusi kemerdekaan. Elemen-elemen
demokrasi yang lain belum sepenuhnya terwujud, karena situasi dan
kondisi yang tidak memungkinkan. Pada masa itu pemerintah masih
disibukkan untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru
saja diproklamasikan.
Demokrasi parlementer (1950-1959) merupakan masa kejayaan
demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat
kita temukan dalam perwujudannya pada kehidupan politik di Indonesia
yang ditandai dengan karakter utama:
a. Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan
yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan
b. Akuntabilitas pemegang jabatan dan politisasi pada umumnya
sangat tinggi;
c. Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang
yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal. Hal
itu dibuktikan dengan sistem banyak partai (
multy party sistem)
sehingga pada saat itu ada sekitar 40 partai yang terbentuk
d. Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dengan prinsip demokrasi
e. Hak-hak dasar masyarakat umum terlindungi.

102
Masa demokrasi terpimpin (1960-1965) merupakan masa dimana
demokrasi dipahami dan dijalankan berdasar kebijakan pemimpin besar
revolusi dalam hal ini presiden Soekarno. Belajar dari kegagalan
demokrasi parlementer yang dianggap liberal maka presiden Soekarno
mengajukan gagasan demokrasi yang sesuai dengan kepribadian
bangsa. Ciri yang muncul pada masa itu antara lain:
a. Mengaburnya sistem kepartaian
b. Peranan DPR-GR sebagai lembaga legislatif dalam sistem
politik nasional menjadi sedemikian lemah
c.
Basic human right sangat lemah, dimana Soekarno dengan
mudah menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang tidak sesuai
dengan kebijaksanaannya atau yang mempunyai keberanian
untuk menentangnya
d. Masa puncak dari semangat anti kebebasan pers, dibuktikan
dengan pemberangusan harian Abdi dari Masyumi dan harian
Pedoman dari PSIN
e. Sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan
pemerintah pusat dan daerah.
Demokrasi masa pemerintahan presiden Soeharto (1966-1998)
dikenal dengan demokrasi Pancasila. Namun demikian pada masa itu,
pelaksanaan demokrasi memberi gejala-gejala antara lain:
a. Rotasi kekuasaan eksekutif tidak pernah ada kecuali di tingkat
daerah
b. Rekrutmen politik tertutup
c. Pemilu masih jauh dari semangat demokrasi
d.
Basic human right sangat lemah.
Pendapat lain menyebutkan, bahwa perkembangan demokrasi
terbagi dalam tiga periode sejalan dengan perkembangan politik di
Indonesia, yakni: (1) periode 1945-1959 adalah demokrasi liberal, periode
1959-1966 adalah demokrasi terpimpin dan (3) periode 1966-sekarang
adalah demokrasi Pancasila (Mahfud MD, 1999:
?).
103
Perkembangan akhir menunjukkan bahwa setelah berakhirnya
pemerintahan Soeharto atau masa Orde Baru, Indonesia memasuki Orde
Reformasi (sejak 1998 sampai sekarang). Gambaran mengenai
pelaksanaan demokrasi di masa Reformasi dapat kita ketahui dari naskah
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025. Dalam naskah
tersebut dinyatakan tentang kondisi pembangunan demokrasi, sebagai
berikut:
a. Perkembangan demokratisasi sejak tahun 1998 sampai dengan
proses penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 telah memberikan
peluang untuk mengakhiri masa transisi demokrasi menuju arah
proses konsolidasi demokrasi.
b. Adanya pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, pemilihan
langsung anggota DPR, DPD dan DPRD, serta pemilihan langsung
kepala daerah merupakan modal awal yang penting bagi lebih
berkembangnya demokrasi pada masa selanjutnya
c. Perkembangan demokrasi selama ini ditandai pula dengan
terumuskannya format hubungan pusat-daerah yang baru yaitu
penguatan desentralisasi dan otonomi daerah
d. Perkembangan demokrasi ditandai pula dengan adanya konsensus
mengenai format baru hubungan sipil-militer yang menjunjung
tinggi supremasi sipil dan hubungan Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait dengan
kewenangan dalam melaksanakan sistem pertahanan dan keamanan
e. Kemajuan demokrasi terlihat pula dengan telah berkembangnya
kesadaran-kesadaran terhadap hak-hak masyarakat dalam
kehidupan politik, yang dalam jangka panjang diharapkan mampu
menstimulasi masyarakat lebih jauh untuk makin aktif
berpartisipasi dalam mengambil inisiatif bagi pengelolaan urusanurusan publik.

104
Apabila kita menyimak kembali butir pertama dari gambaran
demokrasi Indonesia sebagaimana tertuang dalam RPJP 2005-2025 di atas,
maka proses demokrasi atau demokratisasi kita sekarang sedang berada
pada tahap tiga yakni tahap konsolidasi demokrasi. Sebagaimana kita
ketahui, tahapan demokratisasi meliputi:
a. Tahapan pertama adalah pergantian dari penguasa non demokratis
ke penguasa demokrasi
b. Tahapan kedua adalah pembentukan lembaga-lembaga dan tertib
politik demokrasi
c. Tahapan ketiga adalah konsolidasi demokrasi
d. Tahapan keempat adalah praktik demokrasi sebagai budaya politik
bernegara.
Refleksi: Bagaimana kehidupan demokrasi di Indonesia dewasa
ini? Apakah demokratis atau tidak? Pertanyaan demikian dapat dijawab
dengan menunjuk pada kriteria: Apakah prinsip-prinsip demokrasi
memang telah berjalan di Indonesia? Secara teoritik dapat dikatakan
bahwa semakin banyak prinsip demokrasi dijalankan, maka semakin
demokratis negara tersebut. Sebaliknya semakin banyak prinsip demokrasi
ditinggalkan, maka semakin jauh negara tersebut dari kriteria demokrasi.
Berikut ini kita cermati beberapa hasil penelitian tentang
pelaksanaan demokrasi di Indonesia, baik yang dilakukan oleh lembaga
nasional maupun regional.
Laporan
Program Penilaian Demokrasi di Asia Tenggara yang
dirilis ASEAN People’s Assembly sebuah jaringan
think-tank masyarakat
sipil di tataran ASEAN berdasarkan penelitian kasus Indonesia periode
akhir 2003 hingga Mei 2005 dengan titik berat penilaian terhadap tematema: Pemilu yang bebas dan adil, Partai Politik yang demokratis, dan
Hubungan Sipil-Militer, menyimpulkan bahwa proses demokratisasi di
Indonesia bergerak relatif maju (Chistine Sussana Tjhin, 2005: 14-15).
Namun kemajuan itu lebih banyak didorong oleh keteguhan sebagian dari

105
masyarakat sipil melalui Partisipasi Populer dan Media yang relatif
bebas tetapi tidak sepenuhnya independen
. Ancaman tersebar datang
dari
Partai Politik yang tidak demokratis, Pemerintahan yang tidak
transparan
dan akuntabel; juga Inferioritas Sipil dan Ambisi Militer.
Bentuk demokrasi procedural yang relatiuf cukup baik dapat dilihat selama
Pemilu 2004 (pengecualian pada kredibilitas KPU dan partai politik) dan
mencatat tantangan besar
Pilkada. Relatif tidak ada kemajuan berarti
untuk situasi seputar tema
Kewarganegaraan yang Setara. Namun
tampak kemunduran besar dalam konteks
Hak-hak Sipil dan Politik.
Proses-proses dalam Supremasi Hukum masih berjuang, tetapi tetap
terkontaminasi korupsi.
Desentralisasi sudah menjadi terhentikan dengan
hasil yang beragam di berbagai wilayah di Indonesia, meskipun tercatat
upaya-upaya resentralisasi.
Sementara itu, hasil penelitian Pusat Kajian Politik, Departemen
Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (PUSKAPOL) dan Center for
Democracy and Human Rights (DEMOS) tahun 2011 menyimpulkan
bahwa indeks demokrasi Indonesia diperoleh angka sebesar 4.9. Ini berarti
cenderung berada di tengah jika diukur dari skala 0 hingga 10 (hal 8).
Variabel atau indikator yang digunakan adalah 4 prinsip demokrasi,
yakni: otonomi, kompetisi, pluralisasi dan solidaritas. Jadi menurut
penelitian ini, indeks demokrasi Indonesia berada di bawah angka ‘ratarata’ (4.99) yang menggambarkan bahwa ‘demonopolisasi’ bahkan belum
setengah jalan (hal. 18). Angka indeks mengindikasikan adanya
perkembangan dan pencapaian yang timpang antara konsep penopang
demokrasi dalam proses transisi yang berlangsung hingga saat ini.
Demokrasi Indonesia ditopang oleh liberalisasi politik yang cukup tinggi,
namun secara kontras tidak dikuti oleh ekualisasi di area ekonomi yang
sangat rendah. Ekualisasi ekonomi adalah komponen nilai indeks yang
terendah dalam seluruh komponen nilai indeks. Sementara itu peranan
masyarakat sipil tergolong
mediocre (tanggung) dan kurang berperan
signifikan dalam mendinamisasi perubahan perubahan demokratik

106
terhadap setting sosial yang sebelumnya dipenuhi oleh monopoli kekuatankekuatan oligarkis. Liberalisasi dan ekualisasi di medan masyarakat sipil
tergolong rendah (hal. 20).
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa
untuk mengetahui tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia dapat
dilakukan dengan mengukur seberapa jauh variabel atau indikator yang
pada dasarnya merupakan prinsip demokrasi itu dijalankan di Indonesia.
Sudah barang tentu, prinsip yang tidak kalah penting adalah nilai-nilai
dasar Pancasila sebagai parameter demokratisasi di Indonesia.
D. PENDIDIKAN DEMOKRASI
Pada bagian awal telah dikemukakan bahwa demokrasi bukan sekedar
bentuk pemerintahan maupun sistem politik. Demokrasi adalah sikap hidup
yang harus tumbuh dan berkembang dalam diri warga negara, baik yang
sedang memerintah (penyelenggaran negara) maupun yang tidak sedang
memerintah (warga negara biasa). Sikap hidup demokrasi ini pada gilirannya
akan menghasilkan budaya demokrasi. Sikap hidup dan budaya demokrasi
diperlukan guna mendukung bentuk pemerintahan maupun sistem politik
demokrasi. Negara demokrasi tanpa adanya sikap hidup dan budaya
demokrasi hanya akan menghasilkan kekacauan dan anarki. Demokrasi paling
tidak mencakup dua hal, yaitu struktur dan kultur (Zamroni, 2011:5).
Sekiranya diibaratkan rumah,
rumah demokrasi membutuhkan dua hal,
yaitu struktur demokrasi dan kultur demokrasi.
Dewasa ini dalam alam demokrasi harus ditumbuhkan kesadaran
bahwa demokrasi hanya akan tumbuh kuat jika didukung oleh warga-warga
yang demokratis, yakni warga yang memiliki dan menjalankan sikap hidup
demokratis. Ini artinya warga negara yang bersikap dan berbudaya hidup
demokratis menjadi syarat bagi berjalannya negara demokrasi. Sebagaimana
dikatakan Bahmueller dalam Udin Winataputra (2001:72 ) bahwa
perkembangan demokrasi suatu negara tergantung pada sejumlah faktor yang
menentukan, yakni: tingkat perkembangan ekonomi, perasaan akan identitas

107
nasional, pengalaman sejarah dan budaya kewarganegaraan. Budaya
kewarganegaraan mencerminkan tradisi demokrasi yang ada di masyarakat.
Jika di masyarakat tumbuh budaya demokrasi, maka akan sangat mendukung
perkembangan demokrasi negara yang bersangkutan.
Oleh karena itu, tradisi atau budaya demokrasi di masyarakat perlu
untuk ditumbuhkembangkan. Menumbuhkembangkan budaya demokrasi
tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan demokrasi. Pendidikan
demokrasi pada hakikatnya adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi supaya
bisa diterima dan dijalankan oleh warganegara. Pendidikan demokrasi secara
subtantif menyangkut sosialisasi, diseminasi, aktualisasi dan implementasi
sistem, nilai, konsep dan praktik demokrasi melalui pendidikan.
Pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan warga masyarakat
berperilaku dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan pada
generasi muda akan pengetahuan, kesadaran dan nilai-nilai demokrasi.
Pendidikan demokrasi pada dasarnya membangun kultur demokrasi, yang
nantinya bersama dengan struktur demokrasi akan menjadi fondasi bagi
negara demokrasi. Menurut Zamroni, (2001:17) pengetahuan dan kesadaran
akan nilai demokrasi itu meliputi tiga hal.
Pertama, kesadaran bahwa
demokrasi adalah pola kehidupan yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat itu sendiri, demokrasi adalah pilihan terbaik diantara yang buruk
tentang pola hidup bernegara.
Kedua, demokrasi adalah sebuah learning
process
yang lama dan tidak sekedar meniru dari masyarakat lain. Ketiga,
kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan mentrans-formasikan
nilai-nilai demokrasi pada masyarakat. Lebih lanjut dikatakan, bahwa
pendidikan harus mampu melahirkan manusia-manusia yang demokratis.
Tanpa manusia yang memegang teguh nilai-nilai demokrasi, masyarakat yang
demokratis hanya akan merupakan impian belaka (Zamroni, 2011:39).
Pendidikan demokrasi dalam arti luas dapat dilakukan baik secara
informal, formal dan non formal. Secara informal, pendidikan demokrasi bisa
dilakukan di lingkungan keluarga yang menumbuhkembangkan nilai-nilai
demokrasi. Secara formal, pendidikan demokrasi dilakukan di sekolah baik

108
dalam bentuk intra dan ekstrakurikuler. Sedangkan secara non formal
pendidikan demokrasi berlangsung pada kelompok masyarakat, lembaga
swadaya, partai politik, pers, dan lain-lain.
Penting untuk memberi perhatian mengenai pendidikan demokrasi
formal yakni di sekolah atau lembaga pendidikan lain termasuk pendidikan
tinggi. Hal ini dimungkinkan karena sekolah sebagai lembaga pendidikan
yang telah terprogram, terencana, teratur dan berkesinambungan dalam
rangka mendidik warga termasuk melakukan pendidikan demokrasi.
Hal yang sangat penting dalam pendidikan demokrasi di sekolah
adalah mengenai kurikulum pendidikan demokrasi yang menyangkut dua
hal: penataan dan isi materi (Winarno, 2007: 113). Penataan menyangkut
pemuatan pendidikan demokrasi dalam suatu kegiatan kurikuler, apakah
secara eksplisit dimuat dalam suatu mata pelajaran atau mata kuliah ataukah
disisipkan kedalam mata pelajaran umum. Sekarang ini mata pelajaran dan
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (
Civic Education) memuat misi
sebagai pendidikan demokrasi. Mata pelajaran yang lain, yakni Ilmu
Pengetahuan Sosial (
Social Studies) juga bertujuan membentuk warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab (Permendiknas No. 22 Tahun 2006).
Isi materi berkenaan dengan kajian atau bahan apa sajakah yang layak
bagi pendidikan demokrasi. Agar benar-benar berfungsi sebagai pendidikan
demokrasi, maka materinya perlu ditekankan pada empat hal, yaitu: asal-usul
sejarah demokrasi dan perkembangan demokrasi, sejarah demokrasi di
Indonesia, jiwa demokrasi Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 1945, dan
masa depan demokrasi. Asal-usul demokrasi akan membelajarkan anak
mengenai perkembangan konsep demokrasi dari mulai konsep awal sampai
sekarang menjadi konsep global sekarang ini. Materi tentang demokrasi
Indonesia membelajarkan anak akan kelebihan, kekurangan serta bentukbentuk ideal demokrasi yang tepat untuk Indonesia. Materi masa depan
demokrasi akan membangkitkan kesadaran anak mengenai pentingnya
demokrasi serta memahami tantangan demokrasi yang akan muncul di masa
depan.

109
BAB VI
NEGARA HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA
A. Pengertian dan Ciri Negara Hukum
1. Pengertian Negara Hukum
Negara dalam pandangan teori klasik diartikan sebagai suatu
masyarakat yang sempurna
(a perfect society). Negara pada hakikatnya
adalah suatu masyarakat sempurna yang para anggotanya mentaati aturan
yang sudah berlaku. Suatu masyarakat dikatakan sempurna jika memiliki
sejumlah kelengkapan yakni internal dan eksternal. Kelengkapan secara
internal, yaitu adanya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan di dalam
kehidupan masyarakat itu. Saling menghargai hak sesama anggota
masyarakat. Kelengkapan secara eksternal, jika keberadaan suatu masyarakat
dapat memahami dirinya sebagai bagian dari organisasi masyarakat yang
lebih luas. Dalam konteks ini pengertian negara seperti halnya masyarakat
yang memiliki kedua kelengkapan internal dan eksternal,
there exists only
one perfect society in the natural order, namely the state
(Henry J. Koren
(1995:24).
Dalam perkembangannya, teori klasik tentang negara ini tampil
dalam ragam formulasinya, misalnya menurut tokoh; Socrates, Plato dan
Aristoteles. Munculnya keragam konsep teori tentang negara hanya karena
perbedaan cara-cara pendekatan saja. Pada dasarnya negara harus
merepresentasikan suatu bentuk masyarakat yang sempurnya.Teori klasik
tentang negara tersebut mendasarkan konsep “masyarakat sempurna”
menginspirasikan lahirnya teori modern tentang negara, kemudian dikenal
istilah
negara hukum.
Istilah negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata
Rechtsstaat atau Rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim
menggunakan istilah
Rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon
110
menggunakan istilah Rule of Law. Di Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule
of law
biasa diterjemahkan dengan istilah “Negara Hukum” (Winarno, 2007).
Gagasan negara hukum di Indonesia yang demokratis telah
dikemukakan oleh para pendiri negara Republik Indonesia (Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan) sejak hampir satu abad yang lalu.
Walaupun pembicaraan pada waktu itu masih dalam konteks hubungan
Indonesia (Hindia Belanda) dengan Netherland. Misalnya melalui gagasan
Indonesia (Hindia Belanda) berparlemen, berpemerintahan sendiri, dimana
hak politik rakyatnya diakui dan dihormati. Jadi, cita-cita negara hukum yang
demokratis telah lama bersemi dan berkembang dalam pikiran dan hati para
perintis kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila ada pendapat yang
mengatakan cita negara hukum yang demokratis pertama kali dikemukakan
dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) adalah tidak memiliki dasar historis dan bisa
menyesatkan.
Para pendiri negara waktu itu terus memperjuangkan gagasan negara
hukum. Ketika para pendiri negara bersidang dalam BPUPKI tanggal 28
Mei –1 Juni 1945 dan tanggal 10-17 Juli 1945 gagasan dan konsep Konstitusi
Indonesia dibicarakan oleh para anggota BPUPKI. Melalui sidang-sidang
tersebut dikemukakan istilah
rechsstaat (Negara Hukum) oleh Mr.
Muhammad Yamin (Abdul Hakim G Nusantara, 2010:2).
Dalam sidang–sidang tersebut muncul berbagai gagasan dan konsep
alternatif tentang ketatanegaraan seperti: negara sosialis, negara serikat
dikemukakan oleh para pendiri negara. Perdebatan pun dalam sidang terjadi,
namun karena dilandasi tekad bersama untuk merdeka, jiwa dan semangat
kebangsaan yang tinggi (nasionalisme) dari para pendiri negara, menjunjung
tinggi azas kepentingan bangsa, secara umum menerima konsep negara
hukum dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Semangat cita negara hukum para pendiri negara secara formal dapat
ditemukan dalam setiap penyusunan konstitusi, yaitu Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950. Dalam konstitusi – konstitusi tersebut dimasukkan Pasal-pasal

111
yang termuat dalam Deklarasi Umum HAM PBB tahun 1948. Hal itu
menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan tentang penghormatan, dan
perlindungan HAM perlu dan penting untuk dimasukkan ke dalam konstitusi
negara (Abdul Hakim G Nusantara, 2010:2)
Pengertian negara hukum selalu menggambarkan adanya
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas
hukum. Pemerintah dan unsur-unsur lembaga di dalamnya dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya terikat oleh hukum yang berlaku.
Menurut Mustafa Kamal (2003), dalam negara hukum, kekuasaan
menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (
supremasi
hukum
) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum.
Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum” Konsep negara hukum mengarah pada
tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi hak azasi manusia,
serta kesejahteraan yang berkeadilan.
Menurut Winarno (2010), konsepsi negara hukum Indonesia dapat di
masukkan dalam konsep negara hukum dalam arti material atau negara
hukum dalam arti luas. Pembuktiannya dapat kita lihat dari perumusan
mengenai tujuan bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD
Negara RI 1945 Alenia IV. Bahwasannya, negara bertugas dan
bertanggungjawab tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia tetapi juga memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bukti lain yang menjadi dasar yuridis bagi keberadaan negara hukum
Indonesia dalam arti material, yaitu pada: Bab XIV Pasal 33 dan Pasal 34
UUD Negara RI 1945, bahwa negara turut aktif dan bertanggungjawab atas
perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.

112
2.Ciri Negara Hukum
Konsep negara hukum yang berkembang pada abad 19 cenderung
mengarah pada konsep negara hukum formal, yaitu pengertian negara hukum
dalam arti sempit. Dalam konsep ini negara hukum diposisikan ke dalam
ruang gerak dan peran yang kecil atau sempit. Seperti dalam uraian terdahulu
negara hukum dikonsepsikan sebagai sistem penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum. Pemerintah dan unsurunsur lembaganya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya terikat oleh
hukum yang berlaku. Peran pemerintah sangat kecil dan pasif.
Dalam dekade abad 20 konsep negara hukum mengarah pada
pengembangan negara hukum dalam arti material. Arah tujuannya
memperluas peran pemerintah terkait dengan tuntutan dan dinamika
perkembangan jaman. Konsep negara hukum material yang dikembangkan di
abad ini sedikitnya memiliki sejumlah ciri yang melekat pada negara hukum
atau
Rechtsstaat, yaitu sebagai berikut.
a. HAM terjamin oleh undang-undang
b. Supremasi hukum
c. Pembagian kekuasaan ( Trias Politika) demi kepastian hukum
d. Kesamaan kedudukan di depan hukum
e. Peradilan administrasi dalam perselisihan
f. Kebebasan menyatakan pendapat, bersikap dan berorganisasi
g. Pemilihan umum yang bebas
h. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
B.Makna Indonesia sebagai Negara Hukum
Bukti yuridis atas keberadaan negara hukum Indonesia dalam arti
material tersebut harus dimaknai bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum dinamis, atau negara kesejahteraan (
welfare state), yang membawa
implikasi bagi para penyelenggara negara untuk menjalankan tugas dan
wewenangnya secara luas dan komprehensif dilandasi ide-ide kreatif dan
inovatif.

113
Makna negara Indonesia sebagai negara hukum dinamis, esensinya
adalah hukum nasional Indonesia harus tampil akomodatif, adaptif dan
progresif. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan
masyarakat yang dinamis. Makna hukum seperti ini menggambarkan
fungsinya sebagai pengayom, pelindung masyarakat. Adaptif, artinya mampu
menyesuaikan dinamika perkembangan jaman, sehingga tidak pernah usang.
Progresif, artinya selalu berorientasi kemajuan, perspektif masa depan.
Makna hukum seperti ini menggambarkan kemampuan hukum nasional untuk
tampil dalam praktiknya mencairkan kebekuan-kebekuan dogmatika. Hukum
dapat menciptakan kebenaran yang berkeadilan bagi setiap anggota
masyarakat.
C.Negara Hukum dan Hak Azasi Manusia
Dimana pun suatu negara hukum tujuan pokoknya adalah
melindungi hak azasi manusia dan menciptakan kehidupan bagi warga yang
demokratis. Keberadaan suatu negara hukum menjadi prasyarat bagi
terselenggaranya hak azasi manusia dan kehidupan demokratis.
Dasar filosofi perlunya perlindungan hukum terhadap hak azasi manusia
adalah bahwa hak azasi manusia adalah hak dasar kodrati setiap orang yang
keberadaannya sejak berada dalam kandungan, dan ada sebagai pemberian
Tuhan, negara wajib melindunginya. Perlindungan hak azasi manusia di
Indonesia secara yuridis didasarkan pada UUD Negara RI 1945.

114
BAB VII
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA
A. WILAYAH SEBAGAI RUANG HIDUP.
Setiap bangsa mendapatkan anugerah Tuhan berupa Alam dengan
segala Isinya yang berbeda antar satu wilayah dengan wilayah lain. Demikian
pula manusia sebagai Ciptaan Yang Maha Kuasa, di bekali dengan akal, budi
yang mewajibkannya untuk mengarungi samudera kehidupan ini dengan
senantiasa mengembangkan hubungan yang baik antar sesama, lingkungan
alam, hubungan dengan PanciptaNYA.
Kesadaran dari olah pikir dan budi tersebut membawa konsekuensi
bahwa setiap manusia harus berjuang secara sendiri dan bersama sama untuk
dapat meningkatkan harkat dan derajatnya, potensi kemanusiawiannya
dengan memberdayakan alam sebagai anugerah pemberian Tuhan untuk
dikelola secara bertanggungjawab.
Konsep Geopolitik, sesungguhnya adalah merupakan ilmu
penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalahmasalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa.
Negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan sekaligus
kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang
strategis dan kaya sumber daya alam. Sementara kelemahannya terletak pada
wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan
dalam satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana telah diperjuangkan oleh
para pendiri Negara ini.
Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu memiliki prinsip-prinsip dasar
sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam memperjuangkan
kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Salah
satu pedoman bangsa Indonesia adalah wawasan nasional yang berpijak pada
wujud wilayah nusantara sehingga disebut dengan wawasan nusantara.
Kepentingan nasional yang mendasar bagi bangsa Indonesia adalah upaya
menjamin persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa, dan segenap aspek

115
kehidupan nasionalnya. Karena hanya dengan upaya inilah bangsa dan
Negara Indonesia dapat tetap eksis dan dapat melanjutkan perjuangan menuju
masyarakat yang dicita-citakan.
Salah satu kepentingan nasional Indonesia adalah bagaimana
menjadikan bangsa dan wilayah ini senantiasa satu dan utuh. Kepentingan
nasional itu merupakan turunan lanjut dari cita-cita nasional, tujuan nasional
maupun visi nasional.
Pandangan geopolitik bangsa Indonesia yang didasarkan pada nilainilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang luhur dengan jelas tertuang di dalam
Pembukaan UUD 1945. bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai,
tetapi lebih cinta kemerdeklaan. Bangsa Indonesia menolak segala bentuk
penjajahan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
1. Konsep Geopolitik (Asal istilah Geopolitik).
Istilah geopolitik semula diartikan oleh Frederic Ratzel (1844-
1904) sebagai ilmu bumi politik (Political Geogrephy). Istilah ini
kemudian dikembangkan dan diperluas oleh sarjaan ilmu politik Swedia,
Rudolph Kjellen (1864-1922) dan Karl Haushofer (1869-1964)dari Jerman
menjadi Geographical Politic dan disingkat Geopolitik. Perbedaan dari dua
istilah di atas terletak pada titik perhatian dan tekanannya, apakah pada
bidang geografi ataukah politik. Ilmu bumi politik (Political Geography)
mempelajari fenomena geografi dari aspek politik, sedangkan geopolitik
mempelajari fenomena politik dari aspek geography.
Geopolitik memaparkan dasar pertimbangan dalam menentukan
alternative kebijaksanaan nasional untuk mewujudkan tujuan tertentu.
Prinsip-prinsip dalam heopolitik menjadi perkembangan suatu wawasan
nasional. Pengertian geopolitik telah dipraktekan sejak abad XIX, tetapi
pengertiannya baru tumbuh pada awal abad XX sebagai ilmu
penyelenggaraan Negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan
masalah-masalah geografi wilayah yang menjadi tempat tinggal suatu
bangsa.

116
Geopolitik secara etimologi berasal dari kata geo (bahasa Yunani)
yang berarti bumi yang menjadi wilayah hidup. Sedangkan politik dari
kata
polis yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atau
negara; dan
teia yang berarti urusan (politik) bermakna kepentingan umum
warga negara suatu bangsa (Sunarso, 2006: 195).
Sebagai acuan bersama, geopolitik dimaknai sebagai ilmu
penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan
masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa.
Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi politik (
political
geography
), Rudolf Kjellen menyebut geographical politic dan disingkat
geopolitik.
2. Teori-Teori Geopolitik.
Untuk lebih memahami konsep geopolitik secara global, berikut ini
adalah teori-teori mengenai geopolitik yang pernah ada di dunia;
a) Teori Geopolitik Frederich Ratzel
Frederich Ratzel (1844–1904) berpendapat bahwa negara itu
seperti organisme yang hidup. Negera identik dengan ruangan yang
ditempati oleh sekelompok masyarakat (bangsa) pertumbuhan
negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan
ruang hidup (
lebensraum) yang cukup agar dapat tumbuh dengan
subur. Semakin luas ruang hidup maka negara akan semakin
bertahan, kuat, dan maju. Oleh karena itu, jika negara ingin tetap
hidup dan berkembang butuh ekspansi (perluasan wilayah sebagai
ruang hidup). Teori ini dikenal seabgai teori organisme atau teori
biologis.

117
b) Teori Geopolitik Rudolf Kjellen
Rudolf Kjellen (1964–1922) melanjutkan ajaran Ratzel, tentang
teori organisme. Berbeda dengan Ratzel yang menyatakan negara
seperti organisme, maka ia menyatakan dengan tegas bahwa negara
adalah suatu organisme, bukan hanya mirip. Negara adalah satuan
dan sistem politik yang menyeluruh yang meliputi bidang
geopolitik, ekonomi politik, demo politik, sosial politik, dan krato
politik. Negara sebagai organisme yang hidup dan intelektual harus
mampu mempertahankan dan mengembangkan dirinya dengan
melakukan ekspansi. Paham ekspansionisme dikembangkan. Batas
negara bersifat sementara karena bisa diperluas. Strategi yang
dilakukan adalah membangun kekuatan darat yang dilanjutkan
kekuatan laut.
Pandangan Ratzel dan Kjellen hampir sama. Mereka
memandang pertumbuhan Negara mirip dengan pertumbuhan
organisme (makhluk hidup). Oleh karena itu Negara memerlukan
ruang hidup (lebensraum), serta mengenal proses lahir, tumbuh,
mempertahankan hidup, menyusut dan mati. Mereka juga
mengajukan paham ekspansionisme yang kemudian melahirkan
ajaran adu kekuatan (Power Politics atau Theory of Power).
c) Teori Geopolitik Karl Haushofer
Karl Haushofer (1896–1946) melanjutkan pandangan Ratzel dan
Kjellen terutama pandangan tentang
lebensraum dan paham
ekspansionisme. Jika jumlah penduduk suatu wilayah negara
semakin banyak sehingga tidak sebanding lagi dengan luas
wilayah, maka negara tersebut harus berupaya memperluas
wilayahnya sebagai ruang hidup (
lebensraum) bagi warga negara.
Untuk mencapai maksud tersebut, negara harus mengusahakan
antara lain :
1)
Autarki, yaitu cita-cita untuk memenuhi kebutuhan sendiri
tanpa bergantung pada negara lain. Hal ini dimungkinkan

118
apabila wilayah negara cukup luas sehingga mampu
memenuhi kebutuhan itu. Untuk itu politik ekspansi
dijalankan. Berdasarkan asumsi demikian, Karl Haushofer
membagi dunia menjadi beberapa wilayah (
region) yang
hanya dikuasai oleh bangsa-bangsa yang dikatakan unggul,
seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, Inggris, dan Jepang.
Dari pendapat ini lahirlah:
2) Wilayah-wilayah yang dikuasai (
pan-regional), yaitu :
a. Pan Amerika sebagai “perserikatan wilayah” dengan
Amerika Serikat sebagai pemimpinnya.
b. Pan Asia Timur, mencakup bagian timur Benua Asia,
Australia, dan wilayah kepulauan di mana Jepang
sebagai penguasa.
c. Pan Rusia India, yang mencakup wilayah Asia Barat,
Eropa Timur, dan Rusia yang dikuasai Rusia.
d. Pan Eropa Afrika, mencakup Eropa Barat – tidak
termasuk Inggris dan Rusia – dikuasai oleh Jerman.
Teori Geopolitik Karl Haushofer ini dipraktikkan oleh
Nazi Jerman di bawah pimpinan Hittler sehingga menimbulkan
Perang Dunia II.
Pandangan demikian ini semakin jelas pada pemikiran
Karl Haushofer yang pada masa itu mewarnai geopolitik Nazi
Jerman dibawah pimpinan Hitler. Pemikiran Haushofer disamping
berisi paham ekspansionisme juga mengandung ajaran rasialisme,
yang menyatakan bahwa ras Jerman adalah ras paling unggul yang
harus dapat menguasai dunia. Pandangan semacam ini juga
berkembang di dunia, berupa ajaran Hako Ichiu yang dilandasi oleh
semangat militerisme dan fasisme.
Pokok-pokok Pemikiran Haushofer adalah sebagai
berikut:

119
a. suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya tidak terlepas dari hukum alam. Hanya bangsa
yang unggul (berkualitas) saja yang dapat bertahan hidup
dan terus berkembangan, sehingga hal ini menjurus kea
rah rasialisme.
b. Kekuasaan Imperium Daratan yang kompak akan dapat
mengejar kekuasaan Imperium maritime untuk menguasai
pengawasan di lautan.
c. Beberapa Negara besar di dunia akan timbul dan akan
menguasai Eropa, Afrika, dan Asia Barat (yakni Jerman
dan Italia). Sementara Jepang akan menguasai wilayah
Asia Timur Raya.
d. Geopolitik dirumuskan sebagai perbatasan. Ruang hidup
bangsa dengan kekuasaan ekonomi dan social yang rasial
mengharuskan pembagian baru kekayaan alam dunia.
Geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik
untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya dan
mendapatkan ruang hidupnya. Berdasarkan teori yang
bersifat ekspansionisme, wilayah dunia dibagi-bagi
menjadi region-region yang akan dikuasai oleh bangsabangsa yang unggul seperti Amerika Serikat, Jerman,
Rusia, Inggris, dan Jepang.
d) Teori Geopolitik Halford Mackinder
Halford Mackinder (1861–1947) mempunyai konsepsi geopolitik
yang lebih strategik, yaitu dengan penguasaan daerah-daerah
„jantung‟ dunia, sehingga pendapatnya dikenal dengan teori
Daerah Jantung. Barang siapa menguasai „daerah jantung‟ (Eropa
Timur dan Rusia) maka ia akan menguasai pulau dunia (Eropa,
Asia, dan Afrika) yang pada akhirnya akan menguasai dunia.
Untuk menguasai dunia dengan menguasai daerah jantung
dibutuhkan kekuatan darat yang besar sebagai prasyaratnya.

120
Berdasarkan hal ini muncullah konsep Wawasan Benua atau
konsep kekuatan di darat.
e) Teori Geopolitik Alfred Thayer Mahan
Alfred Thayer Mahan (1840–1914) mengembangkan lebih lanjut
konsepsi geopolitik dengan memperhatikan perlunya
memanfaatkan serta mempertahankan sumber daya laut, termasuk
akses laut. Sehingga tidak hanya pembangunan armada laut saja
yang diperlukan, namun lebih luas juga membangun kekuatan
maritim. Berdasarkan hal tersebut, muncul konsep Wawasan
Bahari atau konsep kekuatan di laut. Barang siapa menguasai
lautan akan menguasai kekayaan dunia.
f) Teori Geopolitik Guilio Douhet, William Mitchel, Saversky, dan
JFC Fuller
Guilio Douhet (1869–1930) dan William Mitchel (1878–1939)
mempunyai pendapat lain dibandingkan dengan para
pendahulunya. Keduanya melihat kekuatan dirgantara lebih
berperan dalam memenangkan peperangan melawan musuh. Untuk
itu mereka berkesimpulan bahwa membangun armada atau
angkatan udara lebih menguntungkan sebab angkatan udara
memungkinkan beroperasi sendiri tanpa dibantu oleh angkatan
lainnya. Di samping itu, angkatan udara dapat menghancurkan
musuh di kandangnya musuh itu sendiri atau di garis belakang
medan peperangan. Berdasarkan hal ini maka muncullah konsepsi
Wawasan Dirgantara atau konsep kekuatan di udara.
a)
Teori Geopolitik Nicholas J. Spijkman
Nicholas J. Spijkman (1879–1936) terkenal dengan teori Daerah
Batas. Dalam teorinya, ia membagi dunia dalam empat wilayah
atau area :
o Pivot Area, mencakup wilayah daerah jantung.
o Offshore Continent Land, mencakup wilayah pantai benua
Eropa – Asia

121
o Oceanic Belt, mencakup wilayah pulau di luar Eropa –
Asia, Afrika Selatan.
o New World, mencakup wilayah Amerika.
Terhadap pembagian tersebut, Spijkman menyarankan pentingnya
penguasaan daerah pantai Eurasia, yaitu Rimland. Menurutnya, Pan
Amerika merupakan daerah yang ideal karena dibatasi oleh batas alamiah,
dan Amerika diperkirakan akan menjadi negara kuat. Atas pembagian
dunia menjadi empat wilayah ini, Spijman memandang diperlukan
kekuatan kombinasi dari angkatan-angkatan Perang untuk dapat
menguasai wilayah-wilayah dimaksud. Pandangannya ini menghasilkan
teori Garis Batas (Rimland) yang dinamakan Wawasan Kombinasi.
3. Paham Geopolitik Bangsa Indonesia
Setelah mengenal konsep geopolitik yang pernah dipakai oleh
negara-negara di dunia, penting bagi kita untuk mengetahui dan
memahami sejarah dan konsep geopolitik yang dianut oleh bangsa kita
sendiri, yaitu Bangsa Indonesia.
Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan
dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh
aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada
pertimbangan geografi, wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu
Negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung
kepada system politik suatu Negara. Sebaliknya, politik Negara itu secara
langsung akan berdampak pada geografi Negara yang bersangkutan.
Geopolitik bertumpu pada geografi sosial (hukum geografis), mengenai
situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap
relevan dengan karakteristik geografi suatu Negara.
Sebagai Negara kepulauan, dengan masyarakat yang berbhinneka,
Negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan sekaligus kelemahan.
Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan

122
kaya sumber daya alam. Sementara kelemahannya terletak pada wujud
kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam
satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana telah diperjuangkan oleh para
pendiri Negara ini. Dorongan kuat untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan Indonesia tercermin pada momentum sumpah pemuda tahun
1928 dan kemudian dilanjutkan dengan perjuangan kemerdekaan yang
puncaknya terjadi pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945.
Penyelenggaraan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai
system kehidupan nasional bersumber dari dan bermuara pada landasan
ideal pandangan hidup dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. dalam
pelaksanaannya bangsa Indonesia tidak bebas dari pengaruh interaksi dan
interelasi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan regional maupun
internasional. Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu memiliki prinsipprinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam
memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan
tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia adalah wawasan
nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara sehingga disebut
dengan wawasan nusantara. Kepentingan nasional yang mendasar bagi
bangsa Indonesia adalah upaya menjamin persatuan dan kesatuan wilayah,
bangsa, dan segenap aspek kehidupan nasionalnya. Karena hanya dengan
upaya inilah bangsa dan Negara Indonesia dapat tetap eksis dan dapat
melanjutkan perjuangan menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Pandangan geopolitik bangsa Indonesia yang didasarkan pada nilainilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang luhur dengan jelas tertuang di
dalam Pembukaan UUD 1945. bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta
damai, tetapi lebih cinta kemerdeklaan. Bangsa Indonesia menolak segala
bentuk penjajahan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan.
Berdasarkan uraian di atas, konsepsi Wawasan Nusantara dibangun
atas geopolitik bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki pandangan

123
sendiri mengenai wilayah yang dikaitkan dengan politik/kekuasaan.
Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional dibentuk dan dijiwai oleh
paham kekuasaan dan geopolitik bangsa Indonesia (HAN, Sobana : 2005).
Wawasan Nusantara dapat dikatakan sebagai penerapan teori geopolitik
dari bangsa Indonesia. (Chaidir Basrie : 2002).
Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga menolak paham
ekspansionisme dan adu kekuatan yang berkembang di Barat. Bangsa
Indonesia juga menolak paham rasialisme, karena semua manusia
mempunyai martabat yang sama, dan semua bangsa memiliki hak dan
kewajiban yang sama berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan
yang universal.
Dalam hubungan internasional, bangsa Indonesia berpijak pada
paham kebangsaaan atau nasionalisme yang membentuk suatu wawasan
kebangsaan dengan menolak pandangan Chauvisme. Bangsa Indonesia
selalu terbuka untuk menjalin kerjasama antar bangsa yang saling
menolong dan saling menguntungkan. Semua ini dalam rangka ikut
mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.
Oleh karena itu, wawasan nusantara adalah geopolitik Indonesia.
Hal ini dipahami berdasarkan pengertian bahwa dalam wawasan nusantara
terkandung konsepsi geopolitik Indonesia, yaitu unsur ruang, yang kini
berkembang tidak saja secara fisik geografis, melainkan dalam pengertian
secara keseluruhan (Suradinata; Sumiarno: 2005).
Salah satu kepentingan nasional Indonesia adalah bagaimana
menjadikan bangsa dan wilayah ini senantiasa satu dan utuh. Kepentingan
nasional itu merupakan turunan lanjut dari cita-cita nasional, tujuan
nasional maupun visi nasional. Cita-cita nasional bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea II adalah untuk
mewujudkan Negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur. Adapun tujuan nasional Indonesia sebagaimana tertuang
dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV, salah satunya adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Visi

124
nasional Indonesia menurut ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang
Visi Indonesia Masa Depan adalah adalah terwujudnya masyarakat
Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera,
maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara.
Sejalan dengan hal tersebut, bangsa Indonesia berkepentingan
untuk mewujudkan hal-hal di atas. Upaya untuk terus membina persatuan
dan keutuhan wilayah adalah dengan mengembangkan wawasan nasional
bangsa. Wawasan nasional bangsa Indonesia itu adalah Wawasan
Nusantara.
Setelah mengenal konsep geopolitik yang pernah dipakai oleh
negara-negara di dunia, penting bagi kita untuk mengetahui dan
memahami sejarah dan konsep geopolitik yang dianut oleh bangsa kita
sendiri, yaitu Bangsa Indonesia.
Prinsip geopolitik Indonesia sebagaimana tersebut di atas
menandakan bahwa dalam hal wilayah, bangsa Indonesia tidak ada
semangat untuk mempeluas wilayah sebagai ruang hidup (
lebensraum).
Secara historis, kesepakatan para pendiri negara Republik Indonesia
adalah wilayah Indonesia merdeka hanyalah wilayah bekas jajahan
Belanda atau eks Hindia Belanda. Wilayah yang bangsanya memiliki “
Le
desir d’etre ensemble dan Character-gemeinschaft
” – menurut Soekarno –
itulah yang harus kita satukan dan pertahankan. Upaya membangun
kesadaran untuk bersatunya bangsa dalam satu wilayah adalah dengan
konsepsi Wawasan Nusantara. Ciri nasionalisme Indonesia adalah
nasionalisme yang tidak chauvisnisme dan juga bukan kosmopolitanisme.
Nasionalisme Indonesia tumbuh dalam internasionalisme,
mengembangkan hubungan baik dengan bangsa lain secara sederajat.
Sejalan dengan hal tersebut, bangsa Indonesia berkepentingan
untuk mewujudkan hal-hal di atas. Upaya untuk terus membina persatuan
dan keutuhan wilayah adalah dengan mengembangkan wawasan nasional
bangsa. Wawasan nasional bangsa Indonesia itu adalah Wawasan
Nusantara.

125
B. WAWASAN NUSANTARA (PENERAPAN GEOPOLITIK
INDONESIA).
Latar belakang muculnya konsep Wawasan Nusantara adalah
Karakteristik wilayah Nusantara sebagai suatu wilayah Negara yang
berasaskan Negara Kepualauan. Konsep Negara Kepulauan pada awalnya
dianggap asing oleh kebanyakan Negara di dunia ini, namun melalui usaha
yang gigih dan konsisten, pada akhirnya Konsepsi Negara Kepulauan diakui
oleh Banyak Negara dalam Konvensi Hukum Laut Internasional di akui
sebagai bagian ciri khas tersendiri dari Yurisdiksi Suatu Negara, meliputi laut
Terotorial, Perairan Pedalaman, ZEE dan Landas Kontinen. Selain itu
pemikiran Wawasan Nusantara juga diilhami oleh aspek sejarah perjuangan
Bangsa, aspek filosophis dari Pancasila sebagai Ideologi Negara serta Jati diri
bangsa Indonesia.
Dengan keberhasilan diplomasi luar Negeri Indonesia di dukung oleh
Negara Lain terhadap konsepsi ini, maka potensi Kekayaan Alam Indonesia
menjadi semakin berlimpah. Dalam kondisi demikian maka Tantangan
pemberdayaan Kelautan di Indonesia harus lebih dioptimalisasikan guna
memenuhi kesejahteraan dan kemakmuran bagi Masyarakat Indonesia.
Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila dan UUD
1945 yang merupakan pondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegera kesatuan RI memberikan kaedah nilai, moral dan etika serta
tuntunan sikap Bangsa Indonesia yang harus mengedepankan Persatuan dan
Kesatuan Bangsa di segala aspek kehidupan nasional sebagai Visi Bangsa
yang harus dijunjung Tinggi dan ditaati bersama.
Kesadaran Ruang Negara , bahwa matra kehidupan darat, laut dan
Udara adalah merupakan Wadah Bangsa yang harus di jaga kelestariannya, di
jaga ekssitensinya dan didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
Rakyat , di jaga dari berbagai potensi kemungkinan ancaman yang dapat
menjurus pada terkikisnya nilai-nilai kebangsaan, Jati diri atau kepribadian
Bangsa. Terlebih dalam era globalisasi dan otonomi daerah pada saat ini.

126
1. Pengertian Wawasan Nusantara
Istilah wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan,
tinjauan, atau penglihatan indrawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’
yang berarti memandang, meninjau, atau melihat, atau cara
melihat.sedangkan istilah nusantara berasal dari kata ‘nusa’ yang berarti
diapit diantara dua hal. Istilah nusantara dipakai untuk menggambarkan
kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau Indonesia yang
terletak diantara samudra Pasifik dan samudra Indonesia, serta diantara
benua Asia dan benua Australia.
Secara umum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa
tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan
sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya
untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Sedangkan wawasan
nusantara memiliki arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan
bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.
2. Faktor Kewilayahan yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara
a). Asas Kepulauan (Archipelagic Principle)
Kata ‘Archipelago’ dan ‘Archipelagic’ berasal dari kata Italia
‘Archipelagos’. Akar katanya adalah ‘archi’ yang berarti terpenting,
terutama, dan ‘pelagos’ berarti laut atau wilayah lautan. Jadi,
‘Archipelago’ berarti lautan terpenting.
Istilah ‘Archipelago’ adalah wilayah lautan dengan pulaupulau di dalamnya. Arti ini kemudian menjadi pulau-pulau saja tanpa
menyebut unsur lautnya sebagai akibat penyerapan bahasa barat,
sehingga Archipelago selalu diartikan kepulauan atau kumpulan
pulau.
Lahirnya asas Archipelago mengandung pengertian bahwa
pulau-pulau tersebut selalu dalam kesatuan utuh, sementara tempat

127
unsure perairan atau lautan antara pulau-pulau berfungsi sebagai unsur
penghubung dan bukan unsur pemisah. Asas dan wawasan kepulauan
ini dijumpai dalam pengertian the Indian Archipelago. Kata
Archipelago pertama kali dipakai oleh Johan Crawford dalam
bukunya the history of Indian Archipelago (1820). Kata Indian
Archipelago diterjemahkan kedalam bahasa Belanda Indische
Archipel yang semula ditafsirkan sebagai wilayah Kepulauan
Andaman sampai Marshanai.
b). Kepulauan Indonesia
Bagian wilayah Indische Archipel yang dikuasai Belanda
dinamakan Nederlandsch oostindishe Archipelago. Itulah wilayah
jajahan Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Republik
Indonesia. Sebagai sebutan untuk kepulauan ini sudah banyak nama
yang dipakai, yaitu ‘Hindia Timur’, ‘Insulinde’ oleh Multatuli,
‘nusantara’. ‘indonesia’ dan ‘Hindia Belanda’ (Nederlandsch-Indie)
pada masa penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia sangat mencintai
nama ‘Indonesia’ meskipun bukan dari bahasanya sendiri, tetapi
ciptaan orang barat. Nama Indonesia mengandung arti yang tepat,
yaitu kepulauan Indonesia. Dalam bahasa Yunani, ‘Indo’ berarti India
dan ‘nesos’ berarti pulau. Indonesia mengandung makna spiritual
yang didalamnya terasa ada jiwa perjuangan menuju cita-cita luhur,
Negara kesatuan, kemerdekaan dan kebebasan.
c). Konsepsi tentang Wilayah Indonesia
Dalam perkembangan hukum laut internasional dikenal
beberapa konsepsi mengenai pemilikan dan penggunaan wilayah laut
sebagai berikut :
1. Res Nullius, menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang
memilikinya.
2. res Cimmunis, menyatakan bahwa laut itu adalah milik
masyarakat dunia karena itu tidak dapat dimiliki oleh masingm,asing Negara

128
3. Mare Liberum, menyatakan bahwa wilayah laut adalah bebas
untuk semua bangsa
4. Mare Clausum (the right and dominion of the sea),
menyatakan bahwa hanya laut sepanjang pantai saja yang
dimiliki oleh suatu Negara sejauh yang dapat dikuasai dari
darat (waktu itu kira-kira sejauh tiga mil)
5. Archipelagic State Pinciples (Asas Negara Kepulauan) yang
menjadikan dasar konvensi PBB tentang hokum laut.
Saat ini Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nation
Convention on the Law of the sea UNCLOS) mengakui adanya
keinginan untuk membentuk tertib hokum laut dan samudra yang
dapat memudahkan komunikasi internasional dan memajukan
penggunaan laut dan samudra secara damai. Di samping itu ada
keinginan pula untuk mendayagunakan kekayaan alamnya secara adil
dan efesien, konservasi dan pengkajian hayatinya, serta perlindungan
lingkungan laut.
Sesuai dengan hukum laut Internasional, secara garis besar
Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki Teritorial, Perairan
Pedalaman, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landasan Kontinental.
Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Negara kepulauan adalah suatu Negara yang seluruhnya
terdiri atas satu atau lebih kepulauan dapat mencakup pulaupulau lain. Pengertian kepulauan adalah gugusan pulau,
termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain
wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian
erat sehingga pulau-pulau perairan dan wujud alamiah
lainnya merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi dan
politik yang hakiki, atau yang secara histories dianggap
demikian.
2. laut territorial adalah salah satu wilayah laut yang lebarnya
tidak melebihi 12 nil laut diukur dari garis pangkal,

129
sedangkan garis pangkal adalah garis air surut terendah
sepanjang pantai, seperti yang terlihat pada peta laut skala
besar yang berupa garis yang menghubungkan titik-titik
terluar dari dua pulau dengan batasan-batasan tertentu sesuai
konvensi ini. Kedaulatan suatu Negara pantai mencakup
daratan, perairan pedalaman dan laut territorial tersebut.
3. perairan pedalaman adalah wilayah sebelah dalam daratan
atau sebelah dalam dari garis pangkal.
4. zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak boleh melebihi 200 mil
laut dari garis pangkal. Di dalam ZEE Negara yang
bersangkutan memiliki hak berdaulat untuk keperluan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber
daya alam hayati dari perairan.
5. landasan kontinen suatu Negara berpantai meliputi dasar laut
dan tanah dibawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah
daratannya. Jarak 200 mil laut dari garis pangkal atau dapat
lebih dari itu dengan tidak melebihi 350 mil, tidak boleh
melebihi 100 mil dari garis batas kedalaman dasar laut
sedalam 2500 m.
d). Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Pengumuman Pemerintah Negara tentang Zona Ekonomi
Eksklusif terjadi pada 21 Maret 1980. Batas ZEE adalah sekitar 200
mil yang dihitung dari garis dasar laut wilayah Indonesia. Alasanalasan yang mendorong pemerintah mengumumkan ZEE adalah :
1. Persediaan ikan yang semakin terbatas
2. Kebutuhan untuk pembangunan nasional Indonesia
3. ZEE memiliki kekuatan hokum internasional
Melalui perjuangan panjang di forum Internasional, akhirnya
Konferensi PBB tentang Hukum Laut II di New York 30 April 1982
menerima “The United Nation Convention on the Law of the sea”

130
(UNCLOS), yang kemudian ditandatangani pada 10 Desember 1982
di Montego Bay, Jamaica oleh 117 negara termasuk Indonesia.
Konvensi tersebut mengakui atas asas Negara Kepualauan serta
menetapkan asas-asas pengukuran ZEE. Pemerintah dan DPR RI
kemudian menetapkam UU No.5 tahun 1983 tentang ZEE, serta UU
No. 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS. Sejak 3 Februari
1986 indonesia telah tercatat sebagai salah satu dari 25 negara yang
telah meratifikasinya.
e). Karakteristik Wilayah Nusantara
Nusantara berarti Kepulauan Indonesia yang terletak diantara
benua Asia dan benua Australia dan diantara samudra Pasifik dan
Samudra Hindia, yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau besar maupun
kecil. Jumlah pulau yang sudah memiliki nama adalah 6.044 buah.
Kepulauan Indonesia terletak pada batas-batas astronomi sebagai
berikut :
Utara
Selatan
Barat
Timur
: 60 08’ LU
: 110 15’ LS
: 940 45’ BT
: 1410 05’ BT
Jarak utara selatan sekitar 1.888 km, sedangkan jarak barat
timur sekitar 5.110 km. bila diproyeksikan pada peta benua Eropa,
maka jarak barat timur tersebut sama dengan jarak antara London
dengan Ankara, Turki. Bila diproyeksikan pada peta Amerika Serikat,
maka jarak teresbut sama dengan jarak antara pantai barat dan pantai
timur Amerika Serikat.
Luas wilayah Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 km2,
yang terdiri atas daratan seluas 2.027.087 km2 dan perairan
127.166.163 km2. luas wilayah daratan Indonesia jika dibandingkan
dengan Negara-negara Asia Tenggara merupakan yang terluas.
f). Perkembangan wilayah Indonesia dan Dasar Hukumnya.
a. Sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 13 Desember 1957.

131
Wilayah Negara Republik Indonesia ketika merdeka
meliputi wilayah bekas hindia belanda berdasarkan ketentuan
dalam “Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie” tahun
1939 tentang batas wilayah laut territorial Indonesia. Ordonisasi
tahun 1939 tersebut menetapkan batas wilayah laut teritorialsejauh
3 mil dari garis pantai ketika surut, dengan asas pulau demi pulau
secara terpisah-pisah.
Pada masa tersebut wilayah Negara Indonesia bertumpu
pada wilayah daratan pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan
atau selat antara pulau-pulau itu. Wilayah laut territorial masih
sangat sedikit karena untuk setiap pulau hanya ditambah perairan
sejauh 3 mil disekelilingnya. Sebagian besar wilayah perairan
dalam pulau-pulau merupakan perairan bebas. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara
Kesatuan RI.
b. Dari Deklarasi Juanda (13 Desember 1957) sampai dengan 17
Februari 1969
Pada tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan deklarasi
Juanda yang dinyatakan sebagai pengganti Ordonansi tahun 1939
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Perwujudan bentuk wilayah Negara Kesatuan RI yang utuh
dan bulat.
2. Penentuan batas-batas wilayah Negara Indonesia disesuaikan
dengan asas Negara kepulaauan (Archipelagic State
Principles).
3. Pengaturan lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin
keselamatan dan keamanan Negara Indonesia.
Asas kepulauan itu mengikuti ketentuan Yurespundensi
Mahkamah Internasional pada tahun 1951 ketika menyelesaikan
kasus perbatasan antara Inggris dengan Norwegia. Dengan
berdasarkan asas kepulauan maka wilayah Indonesia adalah satu

132
kesatuan kepulauan nusantara termasuk peraiarannyayang utuh dan
bulat. Disamping itu, berlaku pula ketentuan “point to point theory
“ untuk menetapkan garis besar wilayah antara titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar.
Deklarasi Juanda kemudian dikukuhkan dengan UndangUndang No. 4/Prp?1960 tanggal 18 Februari 1960 tentang Perairan
Indonesia. Sejak itu terjadi perubahan bentuk wialayh nasional dan
cara perhitungannya. Laut territorial diukur sejauh 12 mil dari titiktitik pulau terluar yang saling dihubungkan, sehingga merupakan
satu kesatuan wilayah yang utuh dan bulat. Semua perairan diantara
pulau-pulau nusantara menjadi laut territorial Indonesia. Dengan
demikian luas wilayah territorial Indonesia yang semula hanya
sekitar 2 juta km2 kemudian bertambah menjadi 5 juta km2 lebih.
Tiga per lima wilayah Indonesia berupa perairan atau lautan. Oleh
karena itu, Negara Indonesia dikenal sebagai Negara maritime.
Untuk mengatur lalu lintas perairan maka dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1962 tentang lalu lintas damai di
perairan pedalaman Indonesia, yang meliputi :
1. Semua pelayaran dari laut bebas ke suatu pelabuhan
Indonesia,
2. Semua pelayaran dari pelabuhan Indonesia ke laut bebas,
3. Semua pelayaran dari dan ke laut bebas dengan melintasi
perairan Indonesia.
4. Pengaturan demikian sesuai dengan salah satu tujuan
Deklarasi Juanda tersebut, sebagai upaya menjaga
keselamatan dan keamanan Negara.
c. Dari 17 Februari 1969 (Deklarasi Landas Kontinen) sampai
sekarang
Deklarasi tentang landas kontinen Negara RI merupakan
konsep politik yang berdasarkan konsep wilayah. Deklarasi ini
dipandang pula sebagai upaya untuk mengesahkan Wawasan

133
Nusantara. Disamping dipandang pula sebagai upaya untuk
mewujudkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. konsekuensinya bahwa
sumber kekayaan alam dalam landas kontinen Indonesia adalah
milik eksklusif Negara.
Asas pokok yang termuat di dalam Deklarasi tentang landas
kontinen adalah sebagai berikut :
1. Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landasan
kontinen Indonesia adalah milik eksklusif Negara RI
2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis
batas landas kontinen dengan Negara-negara tetangga
melalui perundingan
3. Jika tidak ada garis batas, maka landas kontinen adalah
suatu garis yang di tarik ditengah-tengah antara pulau
terluar Indonesia dengan wilayah terluar Negara tetangga.
4. Claim tersebut tidak mempengaruhi sifat serta status dari
perairan diatas landas kontinen Indonesia maupun udara
diatasnya.
Demi kepastian hukum dan untuk mendukung kebijaksanaan
Pemerintah, asas-asas pokok tersebut dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Disamping itu
UU ini juga memberi dasar bagi pengaturan eksplorasi serta penyidikan
ilmiah atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalah-masalah yang
ditimbulkannya.
3. Wilayah Indonesia
Wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan pada aspek administratif dan atau aspek fungsional
(Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta
untuk Penataan Ruang Wilayah Presiden Republik Indonesia).

134
Sedangkan definisi lain mengatakan bahwa wilayah adalah sebuah
daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Pada
masa lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh batas-batas
kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah
masa kolonialisme, batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang
menduduki daerah tersebut, dan berikutnya dengan adanya negara bangsa,
istilah yang lebih umum digunakan adalah batas nasional
(www.wikipedia.com).
Adapun ruang mengandung pengertian sebagai “wadah yang
meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”. Ruang itu terbatas
dan jumlahnya relatif tetap. Sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya
perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk
beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan
kebutuhan akan ruang semakin tinggi.
Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi
sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “
bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
“. Dalam konteks ini
ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan
berkelanjutan.
Indonesia termasuk negara yang memiliki keragaman ruang yang
sempurna, yaitu ruang udara, darat dan air. Dengan memiliki ruang yang
beragam ini, maka Indonesia secara otomatis juga memiliki kekayaan alam
yang besar, yang berada di udara, di dalam perairan (laut, sungai, dan
danau), serta di dalam daratan (tanah). Apalagi Indonesia dikenal sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di sepanjang garis
khatulistiwa, memungkinkan memiliki keragaman hewan dan tumbuhan
dengan komposisi tanah yang sangat subur.

135
Indonesia yang terletak di benua Asia bagian Tenggara (Asia
Tenggara) pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BB - 141°45'BT,
melintang di antara benua Asia dan Australia/Oseania serta antara
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia (terbentang sepanjang 3.977 mil).
Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia
disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Indonesia adalah
negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau sebanyak 18.110
buah pulau besar dan kecil, 6000 pulau di antaranya tidak berpenghuni,
menyebar di sekitar khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis.
Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya
3.257.483 km². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana
setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar,
yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km², Sumatra dengan luas 473.606 km²,
Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km²,
dan Papua dengan luas 421.981 km². Batas wilayah Indonesia searah
penjuru mata angin, yaitu:
Utara : Negara Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut China
Selatan
Selatan : Negara Australia, Timor Leste, dan Samudera Hindia
Barat
Timur
: Samudera Hindia
: Negara Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudera
Pasifik
Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonik, yang berarti
Indonesia rawan terkena gempa bumi dan dapat menimbulkan tsunami.
Indonesia juga banyak memiliki gunung berapi, salah satu yang sangat
terkenal adalah gunung Krakatau, terletak di selat Sunda antara pulau
Sumatra dan Jawa.
Upaya untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) ini menjadi kewajiban seluruh rakyat

136
Indonesia, terutama pemerintahan yang tengah berkuasa. Mengingat
bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Para pendiri negara ini telah
mengamanahkan setiap jengkal Republik Indonesia ini kepada para
penerusnya untuk dipelihara, dikembangkan, dan dikelola untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyatnya. Berbagai kasus persengketaan yang
menginginkan wilayah Indonesia di beberapa perbatasan semakin
menyadarkan bahwa betapa pentingnya memahami kondisi geografis
Indonesia, sehingga tetap menjadi ruang hidup yang menjadikan
masyarakat Indonesia yang aman, damai dan sejahtera.
Beberapa contoh kasus perbatasan yang berakhir pada lepasnya
sebagian wilayah NKRI. Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah Republik
Indonesia setelah dibawa ke Mahkamah Internasional akan mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa. Perselisihan antara Indonesia dan Malaysia
mengenai sengketa pulau Ambalat, yang menyebabkan ketegangan
diplomatik, militer serta sosial masyarakat dalam bentuk demonstrasi, dan
lainnya menjadi kasus berikutnya. Selanjutnya kasus Aceh dan Papua yang
saat ini belum selesai secara tuntas. Bisa jadi kasus-kasus serupa akan
terus terjadi, jika pemerintah tidak mengantisipasi sejak dini.
Konsep penguasaan wilayah geografis harus menyatu dengan
sistem politik yang dianut oleh Indonesia, sehingga penjagaan terhadap
sejengkal wilayah NKRI juga sama bobotnya dengan kedaulatan negara
ini. Konsep Geopolitik digunakan untuk memperkaya wawasan dan
kesadaran akan arti penting wilayah NKRI sebagai ruang hidup seluruh
rakyat Indonesia.
4. Batas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia, negara Indonesia merupakan negara kepulauan. Dalam negara
kepulauan diterima asas bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan
yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk
daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas

137
atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara
Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia
yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Pernyataan
dalam undang-undang ini didasarkan pada fakta sejarah dan cara pandang
bangsa Indonesia bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945 secara geografis adalah negara kepulauan.
Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia
meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta
ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman, serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak ini, maka
wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi tanah (daratan) dan
air (lautan) serta udara di atasnya.
a) Wilayah Daratan
Wilayah daratan adalah daerah di permukaan bumi dalam batas-batas
tertentu dan di dalam tanah permukaan bumi. Untuk menentukan batas
wilayah daratan biasanya dilakukan dengan negara-negara yang
berbatasan darat. Batas-batas dapat dibuat dengan sengaja atau dapat
pula ditandai dengan benda-benda alam, seperti gunung, hutan, dan
sungai. Indonesia memiliki wilayah daratan yang berbatasan dengan
Malaysia (Serawak dan Sabah), Papua Nugini, dan Timor Leste.
b) Wilayah Perairan
Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman. Laut Teritorial Indonesia adalah
jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia. Perairan kepulauan Indonesia adalah
semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus
kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak
pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia,
termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada

138
sisi darat dari suatu garis penutup. Penentuan batas perairan
khususnya yang berbatasan dengan negara tetangga dilakukan dengan
perjanjian bilateral. Contoh; Indonesia dengan Malaysia, Indonesia
dengan Filipina
c) Wilayah Udara
Wilayah udara adalah wilayah yang berada di atas wilayah daratan
dan lautan (perairan) negara itu. Dalam menentukan seberapa jauh
kedaulatan negara terhadap wilayah udara di atasnya, terdapat banyak
aliran atau teori. Batas udara wilayah Indonesia ditentukan oleh garis
tegak lurus 90o yang ditarik dari batas wilayah daratan dan perairan
C. Unsur-Unsur Dasar wawasan Nusantara.
Untuk lebih memudahkan peserta belajar dalam mengidentifikasi
pokok-pokok pikiran yang penting mengenai Wawasan Nusantara, maka
dapat dikategorisasikan dalam 3 (tiga) unsure penting Wawasan Nusantara
yaitu Unsur Wadah, Unsur Isi dan Tata Laku.
Wawasan Nusantara sesungguhnya memiliki ranah pengetahuan,
sikap dan perilaku. Sebagai Konteks Wadah dan Isi maka Wawasan
Nusantara adalah merupakan penerapan Geopolitik Bangsa Indonesia yang
senantiasa harus di jiwai oleh Pancasila dan UUD 1945, sebagai ramburambu Nasional yang menjadi sumber inspirasi dalam mengembangkan
potensi kewilayahan untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Wawasan Nusantara yang di dalam perwujudannya adalah
pengutamaan persatuan dan kesatuan meliputi aspek kehidupan politik,
Ekonomi, Sosial-Budaya dan Pertahanan Kemanan hendaknya pula dapat
mengilhami pelaksanaan pembangunan nasional karena persatuan dan
kesatuan Bangsa inilah yang dalam pengalaman sejarah keindonesiaan telah
di gali dan membuktikan keampuhannya dalam perjalanan sejarah Bangsa
dalam mencapai cita-cita dan tujuannya.

139
1. Wadah
Wawasan Nusantara sebagai wadah meliputi tiga komponen yaitu:
1.1. Wujud wilayah
Batas ruang lingkup wilayah nusantara ditentukan oleh lautan
yang didalamnya terdapat gugusan ribuan pulau yang saling
dihubungkan oleh dalamnya perairan. Baik laut maupun selat serta di
atasnya merupakan satu kesatuan ruang wilayah. Oleh karena itu
nusantara dibatasi oleh lautan dan daratan serta dihubungkan oleh
perairan dalamnya. Sedangkan secara vertikal ia merupakan suatu
bentuk kerucut terbuka ke atas dengan titik puncak kerucut dipusat
bumi.
Letak geografis negara berada di posisi dunia antar dua
samudera dan dua benua. Letak geografis ini berpengaruh besar
terhadap aspek-aspek kehidupan nasional di Indonesia. Perwujudan
wilayah nusantara ini menyatu dalam kesatuan politik, ekonomi, sosial
budaya dan pertahanan keamanan.
1.2. Tata Inti Organisasi
Bagi Indonesia, tat inti organiasi negara didasarkan pada UUD
1945 yang menyangkut bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan
pemerintahan, sistem pemerintahan dan sistem perwakilan. Negara
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.
Kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan menurut
Undang-Undang. Sistem pemerintahannya menganut sistem
presidensial. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
berdasarkan UUD 1945. Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat)
bukan negara kekuasaan (machsstaat). Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) mempunyai kedudukan kuat, yang tidak dapat dibubarkan oleh
Presiden. Anggota MPR merangkap sebagai anggota MPR.
1.3.Tata Kelengkapan Organisasi
Tata kelengkapan organisai adalah kesadaran politik dan
kesadaran bernegara yang harus dimiliki oleh seluruh rakyat yang

140
mencakup partai politik, golongan dan organnisasi masyarakat,
kalangan pers serta seluruh aparatur negara.
Semua lapisan masyarakat itu diharapkan dapat mewujudkan
denokrasi yang secara konstiyusional berdasarkan UUD 1945 dan
secara ideal berdasarkan dasar falsafah Pancasila, dalam berbagai
kegiatan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
2. Isi wawasan Nusantara.
Isi Wawasan Nusantara tercermin dalam perspektif kehidupan
manusia Indonesia dalam eksistensinya yang meliputi cita-cita bangsa dan
asas manunggal yang terpadu.
a) Cita-cita bangsa Indonesia tertuang di dalam pembukaan UUD 1945
yang meliputi:
1. Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
2. Rakyat Indonesia yang berkehidupan kebangsaan yng bebas.
3. Pemerintaahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesiadan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan
ikutmmelaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
b) Asas keterpaduan semua aspek kehidupan nasional berciri manunggal,
utuh menyeluruh yang meliputi:
1. Satu kesatuan wilayah Nusantra yang mencakup daratan, perairan
dan digantara secara terpadu.
2. Satu kesatuan politik, dalam arti UUD dan politik
peelaksanaannyaserta satu ideologi dan identitas nasional.
3. Satu kesatuan sosial budaya, dalam arti satu perwujudan
masyarakat Indonesia atas dasar “BhinekaTunggal Ika”, satu
tertib sosil dan satu tertib hukum.Satu kesatuan ekonomi

141
dengan berdasarkan atas asas usaha bersama dan asas kekelurgaan
dalam satu sistem ekonomi kerakyatan.
4. Satu kesatuan pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(Sishankamrata)
5. Satu kesatuan kebijakan nasional dalam arti pemerataan
pembangunan dan hasil- hasilnya yang mencakup aspek
kehidupan nasional.
3. Tata Laku Wawasan Nusantara Mencakup Dua Segi, Batiniah dan
Lahiriah
a) Tata laku batiniah berdasarkan falsafah bangsa yang membentuk sikap
mental bangsa yang memilki kekuatan batin.
b) Tata laku lahiriah merupakan kekuatan yang utuh, dalam arti
kemanunggalan kata dan karya, keterpaduan pembicaraan,
pelaksanaan, pengawasan dan pengadilan.
4. Implementasi wawasan Nusantara Sebagai Pancaran falsafah
Pancasila dan Pembangunan Nasional.
a) Wawasan Nusantara Sebagai Pancaran Falsafah Pancasila
Falsafah pancasila diyakini sebgagai pandangan hidup bangsa
Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya. Keyakinan ini dibuktikan
dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal proses
pembentukan Negara kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang.
Konsep Wawasan Nusantara berpangkal pada dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagi sila pertama yang kemudian melahirkan hakikat misi
manusia Indonesia yang terjabarkan pada sila-sila berikutnya.
Wawasan nusantara sebagai aktualisasi falsafah Pancasila menjadi
landasan dan pedoman kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Dengan demikian wawasan Nusantara menjadi pedoman bagi
upaya mewujudkan kesatuan aspek kehidupan nasional untuk
menjamin kesatuan, persatuan dan keutuhan bangsa, serta upaya untuk

142
mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.dan Wawsan Nusantara
merupakan konsep dasar bagi kebijakan dan strategi pembangunan
Nasional.
b) Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional
1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu kesatuanPolitik
a. Kebulatan wilayah dengan segalaisinya merupakan modal dan
milik bersama bangsa indonesia.
b. Kenaneka ragaman suku, budaya, dan bahasa daerah serta
agama yang dianutnya tetap dalam kesatuan bangsa
Indonesia
c. Secara psikologis, bangsa Indonesia merasa satu pesaudaran,
senasib dan seperjuangan, sebangsa dan setanah air
untuk mencapai satu cita-cita bangsa yang sama.
d. Pancasila merupakan falsafah dan ideologi pemersatu bangsa
Indonesia yang membimbing ke arah tujuan dan cita-cita
yang sama.
e. Kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara sistem hukun
nasional
f. Seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem
hubungan nasional.
g. Bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa lain ikut
menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi
melalui politik luar neeri bebas dan aktif.
2. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu kesatuan Politik
a. Kekayaan di seluruh wilayah Nusantara, baik potensial
maupun efektif, adalah modal dan milik bangsa untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia
secara merata.
b. Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi di
seluruh daerah tanpa mengabaikan ciri khas yang memiliki
daerah masing-masing.

143
c. Kehidupan perekonomi di seluruh Indonesia diselenggarakan
sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan dalam
sistem ekonomi kerakyatan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
d. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan
Sosial budaya
e. Masyarakat Indonesia adalah satu bangsa yang harus memiliki
kehidupan serasidengan tingkat kemajuan yang merata dan
seimbang sesuai dengan kemajuan bangsa.
f. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu kesatuan
dengan coraka ragam budaya yaang menggambarkan
kekayaan budaya bangsa. Budaya Indonesia tidak menolak
nilai- nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan hasilnya
dapat dinikmati.
3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan pertahanan
Keamanan
a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau satu daerah pada
hakikatnya adalah ancaman terhadap seluruh bagsa dan
negara.
b. Tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang
sama untuk ikut serta dalam pertahanan dan keamanan
negara dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.
D. PENERAPAN WAWASAN NUSANTARA DAN TANTANGAN
IMPLEMENTASINYA
1. Penerapan Wawasan Nusantara
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa sampai dengan saat
ini, problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak

144
akan pernah berhenti dan malah semakin rumit dan kompleks.
Kompleksnya tantangan ini juga di dorong oleh penetrasi Globalisasi yang
syarat dengan nilai-nilai yang kadang bertentangan dengan kepribadian
dan Jati diri Bangsa. Dalam keadaan demikian dikhawatirkan terjadilah
erosi kebangsaan yaitu melunturnya semangat kebangsaan, rasa
kebangsaan dan Jiwa Kebangsaan, sehingga pola pikir, sikap dan perilaku
Warga Negara tidak lagi mengutamakan kepentingan bersama namun
lebih mengedepankan kepentingan golongan bahkan kepentingan
Individu.
Perjalanan sejarah terus berlangsung, namun pada saat ini nilainilai perasatuan dan kesatuan sudah mulai perlahan-lahan ditinggalkan.
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, misalnya munculnya
kebijakan otonomi daerah disinyalir oleh banyak kalangan semakin
meningkatkan semangat kedaerahan. Kebijakan ini juga mengusik ikatan
emosional antar warga Bangsa yang dulunya merasa senasib dan
sepenanggungan sebagai satu Bangsa Indonesia. Namun pada saat
pemberlakuan otonomi daerah saat ini sepertinya ikatan rasa kebangsaan
sudah hampir punah.
Di tingkat nasional, kita juga melihat terdapat praktek
penyelenggaraan Negara yang mengalami kemunduran, misalnya dengan
dicabutnya ketetapan MPR No. II/MPR/1989, tentang GBHN terutama
pada Sub Ayat E tentang Wawasan Nusantara. Telah menjadi penanda
buruk bahwa usaha untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan di segala
Bidang Kehidupan Nasional tidak lagi menjadi rambu-rambu penuntun
dalam melangsungan kehidupan Bangsa dan Negara demi mencapai citacita dan tujuan Nasinal sebagai mana tercantum dalam Pembukaan UUD
1945.
Dengan dinamika globalisasi yang semakin menggerus sendi-sendi
kehidupan nasional, maka wawasan Nusantara justru perlu menjadi acuan
pokok dalam memperkecil penetrasi global dan semakin memperkokoh
kehidupan Bangsa Indonesia.

145
a. Salah satu manfaat paling nyata dari penerapan wawasan
Nusantara, khususnya, di bidang wilayah, adalah diterimanya
konsepsi Nusantara diforum internasional, sehingga terjaminlah
integritas wilayah teriterorial Indonesia. Laut Indonesia yang
semula dianggap bebas menjadi bagian integral dari wilayah
Indonesia. Di samping itu pengakuan terhadap landas kontinen
Indonesia dan ZEE Indonesia menghasilakn pertambahan luas
wilayah yang cukup besar.
b. Pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup tersebut
menghasilkan sumber daya alam yang cukup besar untuk
kesejahteraan bangsa Indonesia.
c. Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia
internasional termasuk Negara-negara tetangga.
d. Penerapan wawasan nusantara dalam pembangunan Negara di
berbagai bidang tampak pada berbagai proyekpembangunan sarana
dan prasarana komunikasi dan transportasi.
e. Penerapan di bidang sosial budaya terlihat pada kebijakan untuk
menjadikan bangsa Indonesia yang Bhineka Tungga Ika tetap
merasa sebangsa dan setanah air, senasib sepenanggunan dengan
asas pancasila.
f. Penerapan Wawasan Nusantara di bidang pertahanan keamanan
terlihat pada kesiapan dan kewaspadaan seluruh rakyat melalui
Sistem Pertahan keamanan Rakyat semesta untuk menghadapi
berbagai ancaman bangsa dan Negara.
2. Tantangan Implementasi Wawasan Nusantara dalam Era Globalisasi.
Dalam mencapai tujuan dan cita –cita nasional Sikap dan perilaku
Bangsa berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena wawasan nasional setiap
bangsa tidak sama. Wawasan Nasional suatu Bangsa ditentukan oleh
berbagai factor seperti kesejahteraan, kondisi dan konstelasi geografis,
serta kondisi social budayanya. Sementara itu Bangsa yang memiliki

146
kesamaan dalam factor tersebut, belum tentu pula sama wawasan
nasionalnya karena ada factor subyektif yang berperan.
Oleh karena itu, wawasan nasional Indonesia, seperti halnya
wawasan nasional bangsa atau Negara lain akan bersifat khas.
Enam konsepsi yang menjadi elemen wawasan nasional Indonesia
ialah persatuan dan kesatuan, Bhineka Tunggal Ika, Kebangsaan, Negara
kebangsaan, Negara Kepulauan dan Geopolitik, pada dasarnya dapat di
pandang dari 2 dimensi pemikiran, yaitu dimensi kewilayahan dengan
segenap isi di dalamnya, atau yang di sebut realita dan dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atau yang di sebut sebagai
fenomena kehidupan.
Dimensi kewilayahan, mengandung pemahaman bahwa wilayah
beserta isinya merupakan realita sesuatu yang diterima atau merupakan
karunia Tuhan sebagai apa adanya.
Dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
di serap dari inetraksi antara Bangsa beserta aspirasi dan cita-citanya
dengan wilayah beserta isinya yang beraneka ragam, merupakan fenomena
social.
Wilayah beserta isinya yaitu kondisi dan konstelasi geografis,
kekayaan alam, serta kependudukan, dapat didayagunakan sebesar-besar
kesejahteraan Bangsa Indonesia. Sedangkan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, demi tercapai kesejahteraan bersama bangsa
Indonesia diselenggarakan dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
Bangsa serta kesatuan wilayah Nasional Indonesia.
Agar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat
terselenggara seperti yang diharapkan, maka keinginan tersebut perlu
sinergi dalam satu keinginan bersama yang dinyatakan melalui aspirasi
nasional. Sehubungan dengan hal itu, meskipun bangsa Indonesia
mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan nasional, cirri
khas daerah atau kelompok masyarakat tetap dihormati dan
dikembangkan. Demikian pula, Status sebagai satu Bangsa Indonesia tidak

147
melebur suku bangsa yang ada, tetapi menghimpunnya dalam kehidupan
bersama tanpa ada dominasi satu suku terhadap suku lainnya.
Sama halnya dengan penggunaan satu bahasa nasional, bahasa
Indonesia, Hal itu tidak berarti tidak mematikan bahasa daerah sebagai
bahasa kelompok.
Selain kita dihadapkan pada tantangan internal di atas, Dewasa ini
kita menyaksikan bahwa kehidupan Individu dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sedang mengalami perubahan yang sangat
dasyat. Faktor utama yang mendorong perubahan yang cepat tersebut
adalah nilai-nilai kehidupan baru yang di bawa Negara maju dengan
kekuatan penetrasi globalnya. Dalam kaitan dengan hubungan antar
bangsa maka nilai-nilai kehidupan baru tersebut merupakan tantangan
bangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama Bangsa Indonesia.
Beberapa teori atau konsep dengan nilai-nilai baru tersebut, antara
lain :
a. Pemberdayaan Masyarakat oleh
John Naisbit dalam bukunya
“Global Paradox”, Ia menulis “To Be a Global Powers, The
Company must give more to the smallest part.” Yang intinya
Negara harus dapat memberikan peranan sebesar besarnya kepada
kemakmuran rakyat. Dengan memberikan peran dalam bentuk
aktifitas dan partisipasi masyarakat untuk mencapai tujuan nasional
hanya dapat dilaksanakan oleh Negara-negara yang sudah maju
yang menjalankan Bottom-Up Planning (Perencanaan dari bawah).
Sedangkan Negara-negara berkembang seperti NKRI masih
melaksanakan program Top-Down Planning (Perencanaan
terpusat) karena keterbatasan kualitas SDM, karena itu NKRI
memerlukan landasan operasional berupa Program Pembangunan
Nasional (Propernas).
b.
Kenichi Omahe dengan dua bukunya yang terkenal Boderless
World
dan The End of Nation State mengatakan bahwa dalam
148
perkembangan masyarakat global dan politik relative masih tetap,
namun kehidupan dalam suatu Negara tidak mungkin dapat
membatasi kekuatan global yang berupa informasi, Investasi,
Industri dan konsumen yang semakin Individualis.
c.
Sloan dan Zureker, dalam bukunya Dictionary of Economics,
menyebutkan bahwa kapitalisme meruopakan suatu system
ekonomi berdasarkan hak milik swasta atas macam-macam barang,
dan kebebasan Individu utuk mengadakan perjanjian dengan pihak
lain, untuk berkecimpung dalam aktivitas ekonomi yang dipilihnya
sendiri berdasarkan kepentingannyaa sendiri. Di Era baru
kapitalisme, system ekonomi untuk mendapatkan keuntungan
dengan melakukan aktifitas secara luas dan mencakup semua aspek
kehidupan masyarakat memerlukan strategi baru, yaitu adanya
keseimbangan antara kepentingan Individu dengan kepentingan
masyarakat.
d.
Lester Thurow, dalam bukunya The Future of Capitalism, Ia
menegaskan antara lain bahwa untuk dapat bertahan dalam era baru
kapitalisme, kita harus membuat strategi baru, yaitu keseimbangan
antara paham Individualistik dan Paham Sosialis. Era Baru
kapitalisme tidak terlepas dari globalisasi, Negara-negara kapitalis,
yaitu Negara-negara maju berusaha mempertahankan eksistensinya
di bidang ekonomi dengan menekan Negara-negara berkembang
melalui isu global, yang mencakup demokratisasi, HAM dan
Lingkungan Hidup. Strategi baru yang ditekankan oleh Lester
Thurow pada dasarnya tidak tertuang dalam nilai-nilai falsafah
Bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang mengamanatkan kehidupan
yang serasi, selaras dan seimbang antar Individu, Masyarakat,
Bangsa serta Alam semesta.
e.
Hezel Henderson dalam bukunya Building Win Win World
mengatakan bahwa perlu ada perubahan nuansa perang ekonomi
menjadi masyarakat dunia yang bekerjasama memanfaatkan

149
teknologi yang bersih lingkungan dalam rangka menjamin
kelestarian lingkungan hidup, serta mewujudkan pemerinta yang
lebih demokratis.
f.
Ian Marison dalam bukunya The Second Curve menjelaskan
bahwa dalam era baru timbul adanya peran pasar, konsumen dan
teknologi baru yang lebih besar yang membantu terwujudnya
masyarakat baru.
Dari uraian di atas tampak bahwa dalam Era Reformasi, kesadaran
persatuan dan kesatuan masyarakat mengalami penurunan. Anak-anak
bangsa belum sepenuhnya sadar bahwa sebagai warga Negara, mereka
harus selalu mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan
pribadi dan golongan.Kondisi ini merupakan Tantangan Wawasan
Nusantara.
Dari uraian di atas, tugas kita sebagai bagian dari kesatuan Bangsa
adalah mensikronisasikan realita terhadap kecenderungan penyimpangan
wawasan nusantara baik dari sisi wadah, isi maupun tata laku semua
komponen bangsa dengan
pedoman perwujudan wawasan nusantara
sebagai berikut :
a). Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan
Politik.Artinya :
1. kebulatan wilayah nasional dgn segala isinya dn kekayaaannya
merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup dan
kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik
bersama bangsa
2. Bangsa Indonesia terdiri berbagai suku, bahasa, agama merupakan
satu kesatuan bangsa yang bulat dlm arti luas.
3. Secara psikologis bangsa Indonesia harus merasa senasib
sepenanggungan.

150
4. Pancasila satu2nya Falsafah serta ideologi bangsa dn negara yg
melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju
tujuannya
5. Kehidupan politik di seluruh Indonesia merupakan satu kesatuan
politik yg diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
6. Seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem
Hukum.
7. Bangsa Indonesia hidup berdampingan dgn bangsa lain, ikut
menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui politik luar negeri
bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional
b). Dalam bidang ekonomi :
1. Kekayaan Nusantara adalah milik bersama bangsa dn kebutuhan
hidup se-hari-hari harus tersedia diseluruh tanah air .
2. Tingkat Perkembangan Ekonomi harus serasi dan seimbang di
seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yg dimiliki oleh
masing2 daerah dlm pengembangan ekonominya.
3. Kehidupan perekonomian diseluruh INDONESIA merupakan satu
kesatuan ekonomi yg diselenggarakan sbg usaha bersama atas asas
kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
4. Masy Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus
merupakan kehidupan bangsa yg serasi dgn terdapatnya tingkat
kemajuan masyarakat yg sama serta adanya kesetaraan yg sesuai
dengan tingkat kemajuan bangsa.
c). Dalam Bidang Budaya : Budaya Indonesia adalah satu, sedangkan
corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya
bangsa yg menjadi modal dan landasan pengembangan budaya
bangsa seluruhnya dan tdk menolak nilai2 budaya lain yg tdk

151
bertentangan dgn nilai budaya bangsa yg hasilnya dapat dinikmati
oleh bangsa Indonenesia
1. Penataan Daerah melalui Otda dengan menjunjung empat Pilar
Kebangsaan.
2. Pengembangan Infrastruktur Transportasi dan Komunikasi agar
dapat menjangkau seluruh wilayah NKRI.
3. Pemerataan Pembangunan seluruh wilayah NKRI yg menjangkau
pulau2 terdepan diperbatasan negara dan daerah tertinggal.
4. Pengembangan Postur TNI shg mampu mengamankan Wilayah
Nasional.
Dapat di ambil kesimpulan bahwa Wawasan Nusantara sebagai
cara pandang Bangsa Indonesia dan sebagai Visi Nasional yang
mengutamkan persatuan dan kesatuan Bangsa masih tetap sah (Solid) baik
untuk saat sekarang maupun masa mendatang.

152
BAB VIII
KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
Ketahanan sebuah bangsa (persekutuan hidup manusia) sangatlah penting
bagi kelangsungan kehidupan manusia yang bersangkutan. Ketahanan bangsa
merupakan kemampuan suatu bangsa untuk mempertahankan persatuan dan
kesatuannya serta memperkuat daya dukung kehidupannya. Dengan kata lain
kemampuan menghadapi segala bentuk ancaman yang dihadapinya, sehingga
memiliki kemampuan melangsungkan kehidupannya dalam mencapai
kesejahteraan bangsa tersebut. Konsepsi ketahanan bangsa untuk konteks
Indonesia dikenal dengan nama Ketahanan Nasional yang dikembangkan oleh
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) pada tahun 1970-an.
Secara konsepsional, ketahanan nasional diartikan sebagai “Kondisi
dinamis suatu bangsa, yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang
terintegrasi. Isinya berupa keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala
tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam
maupun luar. Tujuannya untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup
bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Adapun inti
dari Ketahanan Nasional Indonesia adalah kemampuan yang dimiliki bangsa dan
negara dalam menghadapi segala bentuk ancaman yang dewasa ini spektrumnya
semakin luas dan kompleks.
Bab ini membahas konsep ketahanan bangsa dengan judul Ketahanan
Nasional Indonesia, yang meliputi pengertian dan sejarah konsepsi Ketahanan
Nasional Indonesia, unsur-unsur dalam ketahanan nasional, pendekatan Asta
Gatra dan pengaruh globalisasi terhadap Ketahanan Nasional Indonesia.

153
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH KETAHANAN NASIONAL
INDONESIA
Ketahanan nasional merupakan istilah khas Indonesia yang
muncul pada tahun 1960-an. Istilah ketahanan nasional dalam bahasa Inggris
bisa disebut sebagai
national resillience. Dalam terminologi Barat,
terminologi yang kurang lebih semakna dengan ketahanan nasional, dikenal
dengan istilah
national power (kekuatan nasional).
Teori
national power telah banyak dikembangkan oleh para ilmuwan
dari berbagai negara. Hans J Morgenthau dalam bukunya
Politics Among
Nation
ia menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai “The elements of
National Powers”
yang berarti beberapa unsur yang harus dipenuhi suatu
negara agar memiliki kekuatan nasional. Secara konsepsional, penerapan teori
tersebut di setiap negara berbeda, karena terkait dengan dinamika lingkungan
strategis, kondisi sosio kultural dan aspek lainnya, sehingga pendekatan yang
digunakan setiap negara juga berbeda. Demikian pula halnya dengan konsepsi
Ketahanan Nasional Indonesia, yang unsur-unsurnya mencakup Asta Gatra
dan pendekatannya menggunakan Pendekatan Asta Gatra. Dari sini terlihat
jelas bahwa konsep Ketahanan Nasional (
National Resillience) dapat
dibedakan dengan konsepsi Kekuatan Nasional (
National Power).
Secara etimologis, istilah ketahanan berasal dari kata dasar “tahan”
yang berarti tahan penderitaan, tabah, kuat, dapat menguasai diri, gigih, dan
tidak mengenal menyerah. Ketahanan memiliki makna mampu, tahan dan
kuat menghadapi segala bentuk tantangan dan ancaman yang ada guna
menjamin kelangsungan hidupnya.
Sebagai konsepsi yang khas Indonesia, gagasan tentang ketahanan
nasional muncul di awal tahun 1960-an sehubungan dengan adanya ancaman
yang dihadapi bangsa Indonesia, yakni meluasnya pengaruh komunisme dari
Uni Sovyet dan Cina. Pengaruh mereka terus menjalar sampai ke kawasan
Indo Cina, sehingga satu persatu Negara di kawasan Indo Cina, seperti Laos,
Vietnam dan Kamboja menjadi Negara komunis. Infiltrasi komunis tersebut

154
bahkan mulai masuk ke Thailand, Malasyia dan Singapura. Apakah efek
domino itu akan terus ke Indonesia ?
Gejala tersebut mempengaruhi para pemikir militer di lingkungan
SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) atau sekarang SESKOAD
(Sunardi, 1997:12). Mereka mengadakan pengamatan dan kajian atas
kejadian tersebut. Tahun 1960-an gerakan komunis semakin masuk ke
wilayah Philipina, Malaysia, Singapura dan Thailand. Di tahun 1965 komunis
Indonesia bahkan berhasil mengadakan pemberontakan (Gerakan 30
September 1965) yang akhirnya dapat diatasi. Menyadari akan hal tersebut,
maka gagasan tentang masalah kekuatan dan unsur-unsur apa saja yang ada
dalam diri bangsa Indonesia serta apa yang seharusnya dimiliki agar
kelangsungan hidup bangsa Indonesia terjamin di masa-masa mendatang
terus menguat.
Pada tahun 1968 pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Lemhanas
(Lembaga Pertahanan Nasional). Kesiapan menghadapi tantangan dan
ancaman itu harus diwujudkan dalam bentuk ketahanan bangsa yang
dimanifestasikan dalam bentuk perisai (tameng) yang terdiri dari unsur-unsur
ideologi, ekonomi, sosial budaya dan militer. Tameng yang dimaksud adalah
sublimasi dari konsep kekuatan dari SSKAD. Secara konseptual pemikiran
Lemhanas merupakan langkah maju dibanding sebelumnya, yaitu
ditemukannya unsur-unsur dari tata kehidupan nasional yang berupa ideologi,
politik, ekonomi, sosial dan militer.
Pada tahun 1969 lahir istilah Ketahanan Nasional, yang dirumuskan
sebagai : “
Keuletan dan daya tahan suatu bangsa yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional yang ditujukan untuk
menghadapi segala ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup
negara dan bangsa Indonesia
”.
Kesadaran akan spektrum ini pada tahun 1972 diperluas menjadi
hakekat ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG). Saat itu
konsepsi Ketahanan Nasional diperbaharui dan diartikan sebagai : “
Kondisi
dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang

155
mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional, didalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan baik yang datang luar maupun dari dalam, yang langsung maupun
tidak langsung yang membahayakan identitas, integritas, kelangsungan hidup
bangsa dan negara, serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasional
”.
Dari sini kita mengenal tiga konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia.
yakni konsepsi tahun 1968, tahun 1969 dan tahun 1972. Menurut konsepsi
tahun 1968 dan 1969 ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan,
sedang pada konsepsi 1972 ketahanan nasional merupakan suatu kondisi
dinamik yang berisi keuletan dan ketangguhan. Jika pada dua konsepsi
sebelumnya dikenal istilah IPOLEKSOM (Panca Gatra), dalam konsepsi
tahun 1972 diperluas dan disempurnakan berdasar asas Asta Gatra
(Haryomataraman dalam Panitia Lemhanas, 1980: 95-96).
Pada tahun-tahun selanjutnya konsepsi ketahanan nasional
dimasukkan ke dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yakni mulai
GBHN 1973 sampai dengan GBHN 1998. Adapun rumusan konsep
ketahanan nasional dalam GBHN tahun 1998 adalah sebagai berikut;
1. Untuk tetap memungkinkan berjalannya pembangunan nasional yang
selalu harus menuju ke tujuan yang ingin dicapai dan agar dapat
secara efektif dielakkan dari hambatan, tantangan, ancaman dan
gangguan yang timbul baik dari luar maupun dari dalam, maka
pembangunan nasional diselenggarakan melalui pendekatan
Ketahanan Nasional yang mencerminkan keterpaduan antara segala
aspek kehidupan nasional bangsa secara utuh dan menyeluruh.
2. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi
dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakekatnya
Ketahanan Nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu
bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidup menuju kejayaan
bangsa dan negara. Berhasilnya pembangunan nasional akan
meningkatkan Ketahanan Nasional. Selanjutnya Ketahanan Nasional
yang tangguh akan mendorong pembangunan nasional.

156
3. Ketahanan Nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan politik,
ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya dan ketahanan
pertahanan keamanan.
a. Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia yang
berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang
mengandung kemampuan untuk menggalang dan memelihara
persatuan dan kesatuan nasional dan kemampuan menangkal
penetrasi ideologi asing serta nilai-nilai yang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa
b. Ketahanan politik adalah kondisi kehidupan politik bangsa
Indonesia yang berlandaskan demokrasi politik berdasarkan
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mengandung
kemampuan memelihara sistem politik yang sehat dan dinamis
serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas dan
aktif
c. Ketahanan ekonomi adalah kondisi kehidupan perekonomian
bangsa yang berlandaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan
Pancasila yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas
ekonomi yang sehat dan dinamis serta kemampuan menciptakan
kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing yang tinggi dan
mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata
d. Ketahanan sosial budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya
bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila
yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan
kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun,
bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam
kehidupan yang serba selaras, serasi seimbang serta kemampuan
menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan
kebudayaan nasional

157
e. Ketahanan pertahanan keamanan adalah kondisi daya tangkal
bangsa yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang
mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan
keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan
hasil-hasilnya serta kemampuan mempertahankan kedaulatan
negara dan menangkal segala bentuk ancaman
Apabila menyimak rumusan mengenai konsepsi Ketahanan Nasional
dalam GBHN tersebut, kita mengenal adanya tiga wujud atau wajah konsepsi
Ketahanan Nasional, yaitu ;
1. Ketahanan nasional sebagai metode, tercermin dari rumusan pertama
2. Ketahanan nasional sebagai kondisi, tercermin dari rumusan kedua
3. Ketahanan nasional sebagai doktrin dasar nasional, tercermin dari
rumusan ketiga
Rumusan pertama menunjuk Ketahanan Nasional sebagai suatu
metode berfikir sekaligus sebagai suatu pendekatan, yaitu suatu pendekatan
khas Ketahanan Nasional yang membedakannya dengan metoda-metoda
berfikir lainnya. Dalam dunia akademis dikenal ada dua metoda berfikir,
yakni metoda berfikir induktif dan deduktif. Metoda yang sama juga
digunakan dalam Ketahanan Nasional, tetapi dengan tambahan bahwa
seluruh bidang (gatra) dilihat dan dipertimbangkan secara utuh dan
menyeluruh (komprehensif integral). Oleh sebab itu metoda berfikir
Ketahanan Nasional disebut juga dengan metoda berfikir secara sistemik atau
pemikiran kesisteman
Sebagai kondisi dinamis, Ketahanan Nasional mengacu kepada
pengalaman empirik, artinya pada keadaan nyata yang berkembang dalam
masyarakat dan dapat diamati dengan panca indera manusia. Dalam
hubungan ini yang menjadi fokus perhatian adalah adanya ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) di satu pihak, serta adanya
keuletan dan ketangguhan untuk mengembangkan kekuatan dan kemampuan
di pihak lain. Ketahanan Nasional sebagai kondisi amat tergantung dari

158
unsur-unsur yang mendukungnya. Untuk itu kita akan mempelajari lebih
lanjut mengenai unsur-unsur yang mempengaruhi Ketahanan Nasional.
Ketahanan sebagai doktrin dasar nasional, menunjuk pada konsepsi
pengaturan bernegara. Fokus perhatian diarahkan pada upaya menata
hubungan antara aspek kesejahteraan dan keamanan dalam arti luas. Artinya,
suatu bangsa dan negara akan memiliki Ketahanan Nasional yang kuat dan
kokoh jika bangsa tersebut mampu menata atau mengharmonikan
kesejahteraan dan keamanan rakyatnya secara baik.
Dengan dimasukkannya Ketahanan Nasional ke dalam GBHN (dalam
hal ini sebagai modal dasar pembangunan nasional) maka konsepsi
Ketahanan Nasional telah menjadi doktrin pelaksanaan pembangunan.
Artinya, dia memberikan tuntunan dalam penerapan program-program
pembangunan serta bagaimana memadukannya menjadi satu kesatuan yang
bulat pada benang merah yang ditunjukkan oleh konsepsi Wawasan
Nusantara. Di lain pihak, dipandang dari segi kepentingan pemeliharaan
stabilitas maka Ketahanan Nasional berfungsi sebagai kekuatan penangkalan.
Sebagai daya tangkal Ketahanan Nasional tetap relevan untuk masa sekarang
maupun nanti, karena setelah berakhirnya Perang Dingin hakekat ancaman
lebih banyak bergeser kearah non fisik, antara lain ; budaya dan kebangsaan
(Edi Sudradjat, 1996: 1-2).
Inti dari ketahanan Indonesia pada dasarnya berada pada tataran
“mentalitas” bangsa Indonesia dalam menghadapi dinamika masyarakat yang
menuntut kompetisi di segala bidang. Oleh sebab itu kita diharapkan agar
memiliki ketahanan yang benar-benar ulet dan tangguh, mengingat Ketahanan
Nasional dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ketidakadilan sebagai
“musuh bersama”. (Armaidy Armawi dalam Kapita Selekta, 2002: 90).
Konsep ketahanan juga bukan hanya Ketahanan Nasional sematamata, tetapi juga merupakan suatu konsepsi yang berlapis atau
Ketahanan
Berlap
is. Artinya, juga sebagai ketahanan individu, ketahanan keluarga,
ketahanan daerah, ketahanan regional dan ketahanan nasional (Chaidir Basrie
dalam Kapita Selekta, 2002:59). Selain itu “ketahanan” juga mencakup

159
berbagai ragam aspek kehidupan atau bidang dalam pembangunan, misalnya
ketahanan pangan, ketahanan energi dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa saat ini Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sebagai dokumen perencanaan pembangunaan nasional tidak lagi digunakan.
Sebagai penggantinya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN), yang pada hekekatnya merupakan penjabaran dari visi,
misi dan program presiden terpilih. Misalnyam dokumen RPJMN 2010-2014
yang tertuang dalam Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010. Pada
dokumen tersebut tidak lagi ditemukan konsepsi Ketahanan Nasional. Kalau
demikian, apakah konsepsi Ketahanan Nasional tidak lagi relevan untuk masa
sekarang?
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa konsepsi Ketahanan Nasional
tidak lagi dijadikan doktrin pembangunan nasional. Namun jika merujuk pada
pendapat-pendapat sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konsepsi
Ketahanan Nasional sebagai kondisi dinamik bangsa yang ulet dan tangguh
dalam menghadapi berbagai ancaman masih tetap relevan untuk dijadikan
kajian ilmiah. Hal ini dikarenakan bentuk ancaman di era modern semakin
luas dan kompleks. Ancaman yang sifatnya non fisik dan non militer,
cenderung meningkat dan secara masif amat mempengaruhi kondisi
Ketahanan Nasional. Contohnya : musim kemarau yang panjang di suatu
daerah akan mempengaruhi kondisi “ketahanan pangan” di daerah yang
bersangkutan.
Dengan demikian penting bagi kita untuk mengetahui : dalam kondisi
yang bagaimana suatu wilayah negara atau daerah memiliki tingkat ketahanan
tertentu. Tinggi rendahnya Ketahanan Nasional amat dipengaruhi oleh unsurunsur ketahanan nasional itu sendiri.
B. UNSUR-UNSUR KETAHANAN NASIONAL
Apa sajakah unsur, elemen atau faktor yang dapat mempengaruhi
ketahanan nasional sebuah bangsa ?

160
Hans J Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations : The
Struggle for Power and Peace
melakukan observasi atas tata kehidupan
nasional secara makro dilihat dari luar, sehingga ketahanan masyarakat
bangsa tertampilkan sebagai kekuatan nasional. Menurut Morgenthau (1989;
107-219), ada 2 (dua) faktor yang memberikan kekuatan bagi suatu negara,
yaitu :
pertama, faktor-faktor yang relatif stabil (stable factors), terdiri atas
geografi dan sumber daya alam; dan
kedua, faktor-faktor yang relatif berubah
(
dinamic factors), terdiri atas kemampuan industri, militer, demografi,
karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi dan kualitas pemerintah.
Alfred Thayer Mahan dalam bukunya
The Influence Seapower on
History
, mengatakan bahwa kekuatan nasional suatu bangsa dapat dipenuhi
apabila bangsa tersebut memenuhi unsur-unsur : letak geografi, bentuk atau
wujud bumi, luas wilayah, jumlah penduduk, watak nasional dan sifat
pemerintahan. Menurut Mahan kekuatan suatu negara tidak hanya tergantung
pada luas wilayah daratan, tetapi juga pada faktor luasnya akses ke laut dan
bentuk pantai dari wilayah negara. Sebagaimana diketahui Alferd T Mahan
termasuk pengembang teori geopolitik tentang penguasaan laut sebagai dasar
bagi penguasaan dunia. “Barang siapa menguasai lautan akan menguasai
kekayaan dunia” (Armaidy Armawi. 2012:9).
Cline dalam bukunya
World Power Assesment, A Calculus of
Strategic Drift
, melihat suatu negara sebagaimana dipersepsikan oleh negara
lain. Baginya hubungan antar negara amat dipengaruhi oleh persepsi suatu
negara terhadap negara lainnya, termasuk di dalamnya persepsi atas sistem
penangkalan dari negara tersebut. Kekuatan sebuah negara (sebagaimana
dipersepsikan oleh negara lain) merupakan akumulasi dari faktor-faktor
sebagai berikut : sinergi antara potensi demografi dengan geografi,
kemampuan militer, kemampuan ekonomi, strategi nasional, dan kemauan
nasional atau tekad rakyat untuk mewujudkan strategi nasional. Potensi
demografi dan geografi, kemampuan militer dan kemampuan ekonomi
merupakan faktor yang
tangible, sedangkan strategi nasional dan kemauan
nasional merupakan
intangible factors. Menurutnya, suatu negara akan
161
muncul sebagai kekuatan besar apabila ia memiliki potensi geografi besar
atau negara yang secara fisik wilayahnya luas dan memiliki sumber daya
manusia yang besar (Armaidy Armawi. 2012:10).
Para ahli lain, yang berpendapat tentang unsur-unsur yang
mempengaruhi ketahanan atau kekuatan nasional sebuah bangsa, ialah :
1. James Lee Ray
Unsur kekuatan nasional negara terbagi menjadi dua faktor, yaitu ;
a.
Tangible factors terdiri atas : penduduk, kemampuan industri
dan militer
b.
Intangible factors terdiri atas : karakter nasional, moral nasional
dan kualitas kepemimpinan
2. Palmer & Perkins
Unsur-unsur kekuatan nasional terdiri atas : tanah, sumber daya,
penduduk, teknologi, ideologi, moral dan kepemimpinan
3. Parakhas Chandra
Unsur-unsur kekuatan nasional terdiri atas tiga, yaitu :
a. Alamiah, terdiri atas : geografi, sumber daya dan penduduk
b. Sosial terdiri atas : perkembangan ekonomi, struktur politik,
dan budaya & moral nasional
c. Lain-lain : ide, intelegensi, diplomasi dan
kebijaksanaan kepemimpinan (Winarno,
2007: 176-177)
Akan halnya konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia, dikemukakan
adanya sejumlah unsur atau faktor yang selanjutnya diistilahkan sebagai
gatra. Gatra Ketahanan Nasional Indonesia disebut Asta Gatra (delapan
gatra), yang terdiri atas
Tri Gatra (tiga gatra) dan Panca Gatra (lima gatra).
Unsur atau gatra dalam Ketahanan Nasional Indonesia tersebut ada;ah
sebagai berikut;
Tiga aspek kehidupan alamiah (tri gatra), yaitu :
a. Gatra letak dan kedudukan geografi
b. Gatra keadaan dan kekayaan alam
c. Gatra keadaan dan kemampuan penduduk

162
Lima aspek kehidupan sosial (panca gatra) yaitu :
a. Gatra ideologi
b. Gatra politik
c. Gatra ekonomi
d. Gatra sosial budaya (sosbud)
e. Gatra pertahanan dan keamanan (hankam)
Model Asta Gatra tersebut merupakan perangkat hubungan bidangbidang kehidupan manusia dan budaya yang berlangsung di atas bumi ini
dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang dapat dicapai dengan
menggunakan kemampuannya. Model ini merupakan hasil kajian Lemhanas.
Adapun penjelasan dari masing-masing gatra adalah :
Gatra letak geografi atau wilayah menentukan kekuatan nasional
negara. Hal yang terkait dengan wilayah negara meliputi;
a. Bentuk wilayah negara : dapat berupa negara pantai, negara kepulauan
atau negara kontinental
b. Luas wilayah negara : ada negara dengan wilayah yang luas dan
negara dengan wilayah yang sempit (kecil)
c. Posisi geografis, astronomis, dan geologis negara
d. Daya dukung wilayah negara ; ada wilayah yang
habittable dan ada
wilayah yang
unhabittable
Dalam kaitannya dengan wilayah negara, pada masa sekarang perlu
dipertimbangankan adanya kemajuan teknologi transportasi, informasi dan
komunikasi. Suatu wilayah yang pada awalnya sama sekali tidak mendukung
kekuatan nasional, karena penggunaan teknologi bisa kemungkinan menjadi
unsur kekuatan nasional negara

163
Sumber kekayaan alam dalam suatu wilayah, baik kualitas maupun
kuantitasnya sangat diperlukan bagi kehidupan nasional. Oleh karena itu
keberadaannya perlu dijaga kelestariannya. Kedaulatan wilayah nasional,
merupakan sarana bagi tersedianya sumber kekayaan alam dan menjadi
modal dasar pembangunan. Selanjutnya pengelolaan dan pengembangan
sumber kekayaan alam merupakan salah satu indikator ketahanan nasional.
Hal-hal yang berkaitan dengan unsur sumber daya alam sebagai
elemen ketahanan nasional adalah meliputi :
a. Potensi sumber daya alam wilayah yang bersangkutan ; mencakup
sumber daya alam hewani, nabati, dan tambang
b. Kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam
c. Pemanfaatan sumber daya alam dengan memperhitungkan masa depan
dan lingkungan hidup
d. Kontrol atas sumber daya alam
Gatra
penduduk sangat besar pengaruhnya terhadap upaya membina
dan mengembangkan ketahanan nasional. Penduduk yang produktif, atau
yang sering disebut sebagai sumber daya manusia yang berkualitas,
mempunyai korelasi positif dalam pemanfaatan sumber daya alam serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup
(geografi), baik fisik maupun sosial.
Gatra
ideologi menunjuk pada perangkat ideologis untuk
mempersatukan persepsi dan mempersatukan bangsa, yaitu Pancasila. Hal ini
dikarenakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki
keanekaragaman yang tinggi. Keadaan ini mempunyai dua peluang, yakni : di
satu sisi berpotensi perpecahan, dan di sisi lain sebagai kekayaan bangsa dan
menumbuhkan rasa kebanggaan, Unsur ideologi diperlukan untuk
mempersatukan bangsa yang beragam ini.
Gatra
politik berkaitan dengan kemampuan mengelola nilai dan
sumber daya bersama agar tidak menimbulkan perpecahan, tetapi stabil dan
konstruktif untuk pembangunan. Politik yang stabil akan memberikan rasa

164
aman serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, sehingga pada
gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional suatu bangsa.
Ekonomi yang dijalankan oleh suatu negara merupakan kekuatan
nasional negara yang bersangkutan terlebih di era global sekarang ini. Bidang
ekonomi berperan langsung dalam upaya pemberian dan distribusi kebutuhan
warga negara. Kemajuan pesat di bidang ekonomi tentu saja menjadikan
negara yang bersangkutan tumbuh sebagai kekuatan dunia. Contoh Jepang,
dan Cina. Setiap negara memiliki sistem ekonomi tersendiri dalam rangka
mendukung kekuatan ekonomi bangsanya.
Dalam aspek
sosial budaya, nilai-nilai sosial budaya hanya dapat
berkembang di dalam situasi aman dan damai. Tingginya nilai sosial budaya
biasanya mencerminkan tingkat kesejahteraan bangsa, baik fisik maupun
jiwanya. Sebaliknya keadaan sosial yang timpang dengan segala kontradiksi
didalamnya, memudahkan timbulnya ketegangan sosial. Kondisi sosial
budaya masyarakat Indonesia disokong dengan baik oleh seloka
Bhinneka
Tunggal Ika
. Selama seloka ini dijunjung tinggi maka ketahanan sosial
budaya masyarakata relatif terjaga.
Unsur pertahanan keamanan negara merupakan salah satu fungsi
pemerintahan negara. Negara dapat melibatkan rakyatnya dalam upaya
pertahanan negara sebagai bentuk dari hak dan kewajiban warga negara
dalam membela negara. Bangsa Indonesia dewasa ini menetapkan politik
pertahanan sesuai dengan Undang Undang No. 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara. Pertahanan negara Indonesia bersifat semesta dengan
menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama
pertahanan, didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung,
terutama dalam hal menghadapi bentuk ancaman militer. Sedangkan dalam
menghadapi ancaman non militer, sistem pertahanan menempatkan lembaga
pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan
bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi.
Berdasar pada unsur Ketahanan Nasional di atas, kita dapat membuat
rumusan kuantitatif tentang kondisi ketahanan suatu wilayah. Model

165
Ketahanan Nasional dengan delapan gatra (Asta Gatra) ini secara matematis
dapat digambarkan sebagai berikut (Sunardi, 1997: ) :
K(t) = f (Tri Gatra, Panca Gatra)t atau
= f ( G,D,A), (I,P,E,S,H)t
Keterangan
K(t)
G
D
A
I
P
E
S
H
f
t
= kondisi ketahanan nasional yang dinamis
= kondisi geografi
= kondisi demografi
= kondisi kekayaan alam
= kondisi sistem ideologi
= kondisi sistem politik
= kondisi sistem ekonomi
= kondisi sistem sosial budaya
= kondisi sistem hankam
= fungsi, dalam pengertian matematis
= dimensi waktu
Mengukur kondisi ketahanan secara holistik tentu saja tidak mudah,
karena perlu membaca, menganalisis dan mengukur setiap gatra yang ada.
Unsur dalam setiap gatrapun memiliki banyak aspek dan dinamika. Oleh
karena itu, kita dapat memulainya dengan mengukur salah satu aspek dalam
gatra ketahanan. Misal mengukur kondisi geografi suatu daerah dalam rangka
mengetahu ketahanan regional daerah yang bersangkutan terkait dengan gatra
wilayah. Adapun aspek dari geografi yang perlu dilihat, dianalisis dan diukur,
misalnya batas dan luas wilayah, daratan atau kepulauan, kondisi cuaca,
potensi bencana alam dan lain sebagainya. Dari hasil tersebut kita dapat
menggambarkan ketahanan daerah yang bersangkutan.
Untuk melakukan pengukuran kondisi Ketahanan Nasional tersebut,
saat ini Lemhanas telah mengembangkan Laboratorium Pengukuran

166
Ketahanan Nasional (Labkurtannas) yang bertugas mengkaji, menganalisis
dan menggambarkan kondisi ketahanan yang nantinya bisa digunakan sebagai
Early Warning System dan Policy Advice bagi pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Namun demikian, upaya mengkaji ketahanan sebagai
kondisi bukan semata-mata tanggung jawab Lemhanas. Kita sebagai warga
negara terutama kaum cendekiawan dapat pula memberi analisis dan
gambaran mengenai kondisi ketahanan suatu wilayah demi kepentingan
kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
.
C. PENDEKATAN ASTA GATRA DALAM MEWUJUDKAN
KETAHANAN NASIONAL
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, pengertian ketahanan
nasional terdiri atas 3 konsep, yakni Ketahanan Nasional sebagai kondisi,
Ketahanan Nasional sebagai metode atau pendekatan, dan Ketahanan
Nasional sebagai doktrin pengaturan bernegara.
Sebagai kajian akademik, kita tidak menggunakan konsepsi ketahanan
sebagai doktrin tetapi sebagai kondisi. Ketahanan Nasional adalah kondisi
dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsa
dan negara. Aspek kehidupan tersebut telah dielaborasi dalam wujud Asta
Gatra yang meliputi Tri Gatra (aspek alamiah) dan Panca Gatra (aspek
sosial). Ketahanan nasional juga merupakan pendekatan yang utuh
menyeluruh, yakni mencerminkan keterpaduan antara segala aspek kehidupan
nasional bangsa. Aspek tersebut juga telah terangkum dalam Asta Gatra
Ketahanan Nasional.
Dengan demikian, ketahanan nasional Indonesia akan semakin kuat
dan kokoh, jika dilakukan upaya pembinaan dan pengembangan terhadap
setiap aspek (gatra) secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan.
Pembinaan Ketahanan Nasional dilakukan dengan menggunakan
pendekatan Asta Gatra (delapan aspek), yang merupakan keseluruhan dari
aspek-aspek kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

167
Pembinaan terhadap aspek sosial penting dilakukan sebab aspek ini
bersifat dinamis, lebih mudah berubah dan termasuk dalam
intagible factor.
Pembinaan terhadap aspek ideologi, yakni ideologi Pancasila adalah
berkaitan dengan 5 (lima) nilai dasar yang dikandungnya, yang terjabarkan
dalam nilai instrumental dalam UUD 1945. Amandemen atas UUD 1945
serta adanya rencana perubahan yang akan datang harus terus dapat
dikembalikan pada nilai dasar Pancasila. Dalam hal ini Pancasila tetap
ditempatkan sebagai kaidah penuntun hukum, termasuk UUD 1945. Sebagai
cita hukum, Pancasila harus tetap diletakkan sebagai fungsi konstitutif dan
regulatif bagi norma hukum Indonesia. Di sisi lain, pendidikan mengenai
ideologi Pancasila perlu terus dijalankan dalam sistem pendidikan nasional.
Pembinaan kehidupan politik dewasa ini mengarah pada sistem politik
demokrasi dan budaya demokrasi. Pengembangan sistem politik diarahkan
pada penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses
pelembagaan demokrasi dengan menata hubungan antara kelembagaan politik
dan kelembagaan pertahanan keamanan dalam kehidupan bernegara. Di sisi
lain pengembangan budaya politik yang dititikberatkan pada penanaman
nilai-nilai demokratis terus diupayakan melalui penciptaan kesadaran budaya
dan penanaman nilai-nilai politik demokratis, terutama penghormatan nilainilai HAM, nilai-nilai persamaan, anti-kekerasan, serta nilai-nilai toleransi,
melalui berbagai wacana dan media serta upaya mewujudkan berbagai
wacana dialog bagi peningkatan kesadaran mengenai pentingnya memelihara
persatuan bangsa. Jika kehidupan politik berlangsung demokratis dan stabil
maka ketahanan politik bangsa akan terjaga.
Gatra ekonomi diarahkan pada landasan yang bertumpu pada kekuatan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan stabilitas ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, jika hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat justru
dapat melemahkan ketahanan bangsa. Oleh karena itu pengembangan
ekonomi harus dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh dan
seimbang, konsisten dan adil. Kemiskinan terjadi bukan sekadar karena
belum terpenuhinya kebutuhan pokok, tetapi karena tidak adanya hak dan

168
akses untuk memenuhi kebutuhan pokok. Akses tidak hanya mencakup
ketersediaan pasokan kebutuhan pokok yang berkualitas sesuai dengan lokasi
kebutuhan, tetapi juga keterjangkauan harganya, dan keamanan pasokan
sepanjang waktu. Rakyat Indonesia akan menjadi sejahtera bila hak dan
aksesnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya terjamin.
Dalam gatra sosial budaya, ancaman yang muncul adalah mudahnya
infiltrasi nilai-nilai budaya barat yang sekuler, liberal, dan materialistik ke
masyarakat Indonesia. Pembinaan yang dilakukan terutama dengan
meningkatkan pemahaman, kesadaran dan penghargaan terhadap nilai-nilai
budaya bangsa sendiri. Salah satunya adalah nilai luhur budaya Pancasila
yang selalu menjaga keseimbangan yang harmonis antara hubungan manusia
dengan dirinya, dengan masyarakat, dengan Tuhan, serta keseimbangan
antara kemajuan fisik material dengan kesejahteraan mental spiritul dan
keseimbangan antara kepentingan dunia dengan akhirat.
Dalam hal gatra pertahanan dan keamanan, kepentingan nasional
Indonesia yang vital dan permanen adalah tetap tegak dan utuhnya NKRI
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam mewujudkan kepentingan
nasional tersebut, pertahanan negara Indonesia diselenggarakan untuk
menangkal dan mencegah segala bentuk ancaman dan gangguan, baik yang
bersumber dari luar maupun dari dalam negeri. Dalam mewujudkan
komitmen bangsa Indonesia yang anti-penjajahan dan penindasan suatu
bangsa terhadap bangsa yang lain, orientasi penyelenggaraan pertahanan
negara diarahkan untuk sebesar-besarnya mewujudkan daya tangkal bangsa
yang handal.
D. GLOBALISASI DAN KETAHANAN NASIONAL
Pada bagian sebelumnya telah dinyatakan bahwa konsepsi Ketahanan
Nasional sebagai kondisi dan pendekatan semakin penting di era global.
Mengapa demikian ? Ini disebabkan karena bertambah banyaknya bentuk
ancaman, sebagai akibat dari semakin tingginya intensitas hubungan antar
bangsa dan antar individu dari berbagai negara. Kemajuan global sebenarnya

169
tidak dimaksudkan berdampak negatif bagi manusia. Dampak negatif yang
kemudian dipersepsi sebagai ancaman hakekatnya merupakan ekses dari
pengaruh gejala global tersebut.
1. Dimensi Globalisasi
Globalisasi yang dipicu oleh kemajuan di bidang teknologi
komunikasi, transportasi dan perdagangan berpengaruh besar terhadap
kehidupan manusia dan bangsa di segala bidang. Malcolm Waters
menyebut ada 3 (tiga) tema atau dimensi utama globalisasi, yaitu :
economic globalization , political globalization dan cultural globalization.
Economic globalization atau globalisasi ekonomi ditunjukkan dengan
tumbuhnya pasar uang dunia, zona perdagangan bebas, pertukaran global
akan barang dan jasa serta tumbuhnya korporasi internasional.
Political
globalization
atau globalisai politik ditandai dengan digantikannya
organisai internasional dan munculnya politik global.
Cultural
globalization
atau globalisasi budaya ditandai dengan aliran informasi,
simbol dan tanda ke seluruh bagian dunia (Kalijernih, 2009:40). Pendapat
lain mengatakan bahwa aspek globalisasi, meliputi :
economic, cultural
dan environmental yang memiliki implikasi penting bagi suatu negara
bangsa (Kate Nash, 2000 : 95).
Masing masing dimensi tersebut membawa pengaruh bagi suatu
bangsa. Pengaruh globalisasi terhadap ideologi dan politik ialah semakin
menguatnya pengaruh ideologi liberal dalam perpolitikan negara-negara
berkembang, yang ditandai oleh menguatnya ide kebebasan dan
demokrasi. Pengaruh globalisasi terhadap bidang politik, antara lain
maraknya internasionalisasi dan penyebaran pemikiran serta nilai-nilai
demokratis, termasuk di dalamnya masalah hak asasi manusia (HAM).
Disisi lain ialah masuknya pengaruh ideologi lain, seperti ideologi Islam
yang berasal dari Timur Tengah. Implikasinya adalah negara semakin
terbuka dalam pertemuan berbagai ideologi dan kepentingan politik dunia.

170
Pengaruh globalisasi terhadap ekonomi antara lain menguatnya
kapitalisme dan pasar bebas. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
tumbuhnya perusahaan-perusahaan
transnasional yang beroperasi tanpa
mengenal batas-batas negara. Selanjutnya juga akan semakin ketatnya
persaingan dalam menghasilkan barang dan jasa dalam pasar bebas.
Kapitalisme juga menuntut adanya ekonomi pasar yang lebih bebas untuk
mempertinggi asas manfaat, kewiraswastaan, akumulasi modal, membuat
keuntungan dan manajemen yang rasional. Ini semua menuntut adanya
mekanisme global baru berupa struktur kelembagaan baru yang ditentukan
oleh ekonomi raksasa.
Pengaruh globalisasi terhadap sosial budaya adalah masuknya
nilai-nilai dari peradaban lain. Hal ini berakibat terjadinya erosi nilai-nilai
sosial budaya, atau bahkan jati diri suatu bangsa. Pengaruh ini semakin
lancar sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi media informasi dan
komunikasi seperti televisi, komputer, satelit, internet, dan sebagainya.
Masuknya nilai budaya asing akan membawa pengaruh pada sikap,
perilaku dan kelembagaan masyarakat. Menghadapi perkembangan ini
diperlukan suatu upaya yang mampu mensosialisasikan budaya nasional
sebagai jati diri bangsa.
Globalisasi juga berdampak terhadap aspek pertahanan dan
keamanan negara. Menyebarnya perdagangan dan industri di seluruh dunia
akan meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan yang
dapat mengganggu keamanan bangsa. Globalisasi juga menjadikan suatu
negara perlu menjalin kerjasama pertahanan dengan negara lain, seperti :
latihan perang bersama, perjanjian pertahanan dan pendidikan militer antar
personel negara. Hal ini dikarenakan ancaman dewasa ini bukan lagi
bersifat konvensional, tetapi kompleks dan semakin canggih. Contohnya
ialah : ancaman terorisme, pencemaran udara, kebocoran nuklir,
kebakaran hutan,
illegal fishing, illegal logging dan sebagainya.
Gejala global menghadirkan fenomena-fenomena baru yang belum
pernah dihadapi oleh negara bangsa sebelumnya. Fenomena baru itu

171
misalnya, hadirnya perusahaan multinasional, semakin luasnya
perdagangan global, dan persoalan lingkungan hidup. Di tengah era global,
negara bangsa dewasa akan berhadapan dengan fenomena-fenomena
antara lain ;
a. Menguatnya identitas lokal atau
etno nationalism
b. Berkembangnya ekonomi global
c. Munculnya lembaga-lembaga transnasional
d. Disepakatinya berbagai hukum internasional
e. Munculnya blok-blok kekuatan
f. Pertambahan populasi dan meningkatnya arus migrasi
g. Munculnya nilai-nilai global
h. Kerusakan lingkungan hidup
Fenomena-fenomena tersebut, tentu saja akan dampak terhadap
kelangsungan hidup bangsa yang bersangkutan. Di satu sisi orang boleh
berharap adanya dampak positif yang dapat memberi kesejahteraan dan
kemajuan, namun di sisi lain pengaruh global ternyata juga berdampak
negatif. Sebagai contoh, tingginya intensitas interaksi dan komunikasi
antar orang dari berbagai negara, secara tidak disengaja juga berpotensi
dalam hal penularan berbagai macam penyakit. Akibatnya sebuah negara
menghadapi ancaman wabah penyakit. Contohnya, penyebaran wabah Flu
Burung di Indonesia. Dengan demikian, golbalisasi Abad XXI diyakini
berpengaruh besar terhadap kehidupan suatu bangsa. Globalisasi dapat
dilihat dari dua sisi,
pertama, sebagai ancaman dan kedua, sebagai
peluang. Globalisasi akan menimbulkan ancaman, ditengarai oleh adanya
dampak negatif bagi bangsa dan negara.. Di sisi lain globalisasi
memberikan peluang yang itu akan berdampak positif bagi kemajuan
suatu bangsa. Oleh karena itu, dalam era global ini perlu kita ketahui
macam ancaman atau tantangan apa yang diperkirakan dapat melemahkan
posisi negara–bangsa.

172
2. Spektrum Ancaman di Era Global
Dampak negatif globalisasai dipersepsi sebagai bentuk ancaman
bagi kelangsungan bangsa yang bersangkutan. Istilah ancaman tidak selalu
berkonotasi dengan militeristik atau perang. Konsepsi tentang ancaman
tidak hanya ada di era Orde Baru atau orde sebelumnya. Di era reformasi
sekarang inipun, masih tetap diterima konsep tentang ancaman,
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara. Justru dengan mengetahui berbagai bentuk ancaman di
era global inilah maka Ketahanan Nasional menemukan relevansinya.
Pada mulanya kita menegenal istilah ancaman sebagai salah satu
dari bentuk Ancaman, Hambatan, Tantangan dan Gangguan (ATHG)
sebagaimana dirumuskan dalam konsepsi Ketahanan Nasional tahun 1972.
Di masa sekarang, hanya dikenal satu istilah saja, yakni “
ancaman”.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara, definsi
ancaman, adalah ”setiap usaha dan kegiatan baik dari
dalam maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa”. Dalam
Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
istilah
ancaman juga diartikan sama, yakni “setiap upaya dan kegiatan,
baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan
keselamatan segenap bangsa”
Dari ketentuan–ketentuan hukum di atas, maka ancaman telah
mencakup didalamnya gangguan, tantangan dan hambatan yang dihadapi
bangsa dalam rangka membangun integrasi maupun dalam pembangunan
demi mencapai tujuan bangsa. Hal ini sesuai dengan ketentuan undangundang yang lama, yakni Undang-Undang No 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI bahwa yang
dimaksud
ancaman adalah ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan
(ATHG).

173
Sejalan dengan perubahan jamaqn, maka konsepsi Ketahanan
Nasional Indonesia bukanlah semata–mata dalam pendekatan tradisional
atau yang berasal dari pandangan realisme.
Pertama, adanya asumsi
bahwa ancaman terhadap Ketahanan Nasional suatu negara selalu datang
dari lingkungan eksternal negara itu.
Kedua, ancaman yang datang akan
selalu bersifat tradisional, berupa kekuatan senjata, sehingga menuntut
respons yang bersifat militer pula.
Asumsi di atas memberi pemahaman amat terbatas terhadap
konsep Ketahanan Nasional. Dalam kenyataannya, fenomena yang
dihadapi umat manusia (baik sebagai warga negara dan dunia) tidaklah
selalu bersifat militer semata. Persoalan ketahanan sebuah bangsa dewasa
ini lebih berkaitan dengan aspek-aspek non militer, seperti kesenjangan
ekonomi, penyelundupan narkotika, kriminalisasi, kerusakan alam dan
sebagainya. Dengan demikian spektrum ancaman menjadi semakin luas
dan kompleks.
Menurut Buku Putih Pertahanan Tahun 2008, ancaman yang
membahayakan keamanan dan kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara itu ada dua yaitu ; 1). Ancaman militer dan 2). Ancaman nir
militer.
Yang dimaksud dengan
ancaman militer adalah ancaman yang
menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi, yang dinilai
mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman
militer dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan
bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan
laut dan udara, serta konflik komunal.
Yang dimaksud ancaman
nir militer adalah ancaman yang
menggunakan faktor-faktor nirmiliter, yang dinilai mempunyai
kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter dapat berupa
bentuk ancaman berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,

174
teknologi dan informasi, serta ancaman yang berdimensi keselamatan
umum.
Ancaman berdimensi ideologi, contohnya ialah gerakan
kelompok radikal sebagai salah satu ancaman nyata. Motif yang
melatarbelakangi gerakan-gerakan tersebut dapat berupa dalih agama,
etnik, atau kepentingan rakyat. Pada saat ini masih terdapat anasir-anasir
radikalisme yang menggunakan atribut keagamaan yang berusaha
mendirikan negara dengan ideologi lain, seperti yang dilakukan oleh
kelompok NII (Negara Islam Indonesia). Bagi Indonesia keberadaan
kelompok tersebut merupakan ancaman terhadap eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mengancam kewibawaan
pemerintah sehingga harus ditindak.
Ancaman berdimensi politik dapat bersumber dari luar negeri
maupun dari dalam negeri. Dari luar negeri, ancaman dilakukan oleh
suatu negara dengan melakukan tekanan politik terhadap Indonesia.
Intimidasi, provokasi, atau blokade politik merupakan bentuk-bentuk
ancaman nirmiliter berdimensi politik yang sering kali digunakan oleh
pihak-pihak lain untuk menekan negara lain. Ancaman berdimensi politik
yang bersumber dari dalam negeri dapat berupa penggunaan kekuatan
berupa mobilisasi massa untuk menumbangkan suatu pemerintahan yang
berkuasa, atau menggalang kekuatan politik untuk melemahkan kekuasaan
pemerintah. Ancaman separatisme merupakan bentuk ancaman politik
yang timbul di dalam negeri.
Ancaman berdimensi ekonomi dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu internal dan eksternal. Dalam konteks Indonesia, ancaman dari
internal dapat berupa inflasi dan pengangguran yang tinggi, infrastruktur
yang tidak memadai, penetapan sistem ekonomi yang belum jelas,
ketimpangan distribusi pendapatan dan ekonomi biaya tinggi, sedangkan
secara eksternal, dapat berbentuk indikator kinerja ekonomi yang buruk,
daya saing rendah, ketidaksiapan menghadapi era globalisasi, dan tingkat
dependensi yang cukup tinggi terhadap asing.

175
Ancaman yang berdimensi sosial budaya dibedakan antara
ancaman dari dalam, dan ancaman dari luar. Ancaman dari dalam didorong
oleh isu-isu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakadilan.
Isu tersebut menjadi titik pangkal timbulnya permasalahan, seperti
separatisme, terorisme, kekerasan yang melekat-berurat berakar, dan
bencana akibat perbuatan manusia. Isu tersebut lama kelamaan menjadi
“kuman penyakit” yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,
nasionalisme, dan patriotisme. Ancaman dari luar timbul bersamaan
dengan dinamika yang terjadi dalam format globalisasi. Hal ini ditindai
dengan penetrasi nilai-nilai budaya dari luar negeri yang sulit dibendung,
yang mempengaruhi nilai-nilai di Indonesia. Kemajuan teknologi
informasi mengakibatkan dunia menjadi kampung global yang interaksi
antarmasyarakat berlangsung dalam waktu yang aktual. Yang terjadi tidak
hanya transfer informasi, tetapi juga transformasi dan sublimasi nilai-nilai
luar secara serta merta dan sulit dikontrol. Akibatnya, terjadi benturan
peradaban, yang lambat-laun nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa
semakin terdesak oleh nilai-nilai individualisme. Fenomena lain yang juga
terjadi adalah konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, di
samping konflik horizontal yang berdimensi etno-religius, yang keduanya
masih menunjukkan potensi yang patut diperhitungkan.
Ancaman berdimensi teknologi informasi adalah munculnya
kejahatan yang memanfaatkan kemajuan Iptek tersebut, antara lain
kejahatan siber, dan kejahatan perbankan. Kondisi lain yang berimplikasi
menjadi ancaman adalah lambatnya perkembangan kemajuan Iptek di
Indonesia sehingga ketergantungan teknologi terhadap negara-negara
maju semakin tinggi. Ketergantungan terhadap negara lain tidak saja
menyebabkan Indonesia menjadi pasar produk-produk negara lain, tetapi
lebih dari itu, sulit bagi Indonesia untuk mengendalikan ancaman
berpotensi teknologi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk
melemahkan Indonesia.

176
Ancaman berdimensi keselamatan umum ialah adanya bencana
alam, seperti gempa bumi, meletusnya gunung berapi, dan tsunami.
Bencana lain ialah yang disebabkan oleh ulah manusia, antara lain : tidak
terkontrolnya penggunaan obat-obatan dan bahan kimia lain yang dapat
meracuni masyarakat, baik secara langsung maupun kronis (menahun),
misalnya pembuangan limbah industri atau limbah pertambangan lainnya.
Sebaliknya, bencana alam yang disebabkan oleh faktor alam yang dipicu
oleh ulah manusia, antara lain bencana banjir, tanah longsor, kekeringan,
kebakaran hutan, dan bencana lainnya. Bencana alam baik langsung
maupun tidak langsung mengancam keselamatan masyarakat. Selain itu,
keamanan transportasi juga merupakan salah satu dimensi ancaman
keselamatan umum yang cukup serius di Indonesia.
Berdasar spektrum ancaman di atas, kita dapat memprediksi atau
memprakirakan potensi ancaman apa sajakah yang dapat mempengaruhi
kondisi ketahanan nasional atau ketahanan suatu daerah. Tentu saja setiap
daerah memiliki potensi ancaman yang berbeda-beda.

177
BAB IX
INTEGRASI NASIONAL
Masalah integrasi nasional merupakan persoalan yang dialami hampir
semua negara, terutama negara-negara yang usianya masih relatif muda, termasuk
Indonesia. Hal ini disebabkan karena mendirikan negara berarti menyatukan
orang-orang dengan segala perbedaan yang ada menjadi satu entitas kebangsaan
yang baru menyertai berdirinya negara tersebut. Begitu juga negara Indonesia
yang usianya masih relatif muda. Sejak proklamasi kemerdekaan sampai sekarang
negara Indonesia masih menghadapi persoalan bagaimana menyatukan penduduk
Indonesia yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam suku, memeluk agama
yang berbeda-beda, berbahasa dengan bahasa daerah yang beranekaragam, serta
memiliki kebudayaan daerah yang berbeda satu sama lain, untuk menjadi satu
entitas baru yang dinamakan bangsa Indonesia.
Pengalaman menunjukkan bahwa dalam perjalanan membangun
kehidupan bernegara ini, kita masih sering dihadapkan pada kenyataan adanya
konflik atar kelompok dalam masyarakat, baik konflik yang berlatarbelakang
kesukuan, konflik antar pemeluk agama, konflik karena kesalahpahaman budaya,
dan semacamnya. Hal itu menunjukkan bahwa persoalan integrasi nasional
Indonesia sejauh ini masih belum tuntas perlu terus dilakukan pembinaan.
Walaupun harus juga disadari bahwa integrasi nasional dalam arti sepenuhnya
tidak mungkin diwujudkan, dan konflik di antara sesama warga bangsa tidak
dapat dihilangkan sama sekali. Tulisan ini akan memaparkan kondisi
masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh berbagai macam perbedaan dan upaya
mewujudkan integrasi nasional dengan tetap menghargai terdapatnya perbedaanperbedaan tersebut.

178
A. Integrasi Nasional dan Pluralitas Masyarakat Indonesia
1. Pengertian Integrasi Nasional
Integrasi nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur suatu
bangsa dengan pemerintah dan wilayahnya (Saafroedin Bahar,1998).
“Mengintegrasikan” berarti membuat untuk atau menyempurnakan dengan
jalan menyatukan unsur-unsur yang semula terpisah-pisah. Menurut
Howard Wrigins (1996), integrasi berarti penyatuan bangsa-bangsa yang
berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh
atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak menjadi satu
bangsa. Jadi menurutnya, integrasi bangsa dilihatnya sebagai peralihan
dari banyak masyarakat kecil menjadi satu masyarakat besar.
Tentang integrasi, Myron Weiner (1971) memberikan lima definisi
mengenai integrasi, yaitu:
a. Integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok
budaya dan sosial dalam satu wilayah dan proses pembentukan
identitas nasional, membangun rasa kebangsaan dengan cara
menghapus kesetiaan pada ikatan-ikatan yang lebih sempit.
b. Integrasi menunjuk pada masalah pembentukan wewenang
kekuasaan nasional pusat di atas unit-unit sosial yang lebih kecil
yang beranggotakan kelompok-kelompok sosial budaya masyarakat
tertentu.
c. Integrasi menunjuk pada masalah menghubungkan antara
pemerintah dengan yang diperintah. Mendekatkan perbedaanperbedaan mengenai aspirasi dan nilai pada kelompok elit dan
massa.
d. Integrasi menunjuk pada adanya konsensus terhadap nilai yang
minimum yang diperlukan dalam memelihara tertib sosial.
e. Integrasi menunjuk pada penciptaan tingkah laku yang terintegrasi
dan yang diterima demi mencapai tujuan bersama.
Sejalan dengan definisi tersebut, Myron Weiner membedakan 5
(lima) tipe integrasi yaitu integrasi nasional, integrasi wilayah, integrasi

179
nilai, integrasi elit-massa, dan integrasi tingkah laku (tindakan integratif).
Integrasi merupakan upaya menyatukan bangsa-bangsa yang berbeda dari
suatu masyarakat menjadi satu keseluruhan yang lebih utuh, atau
memadukan masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi satu
bangsa.
Howard Wriggins (1996) menyebut ada 5 (lima) pendekatan atau
cara bagaimana para pemimpin politik mengembangkan integrasi bangsa.
Kelima pendekatan yang selanjutnya kami sebut sebagai faktor yang
menentukan tingkat integrasi suatu negara adalah: 1) adanya ancaman dari
luar, 2) gaya politik kepemimpinan, 3) kekuatan lembaga-lembaga politik,
4) ideologi nasional, dan 5) kesempatan pembangunan ekonomi. Hampir
senada dengan pendapat di atas, Sunyoto Usman (1998) menyatakan
bahwa suatu kelompok masyarakat dapat terintegrasi apabila, 1)
masyarakat dapat menemukan dan menyepakati nilai-nilai fundamental
yang dapat dijadikan rujukan bersama, 2) masyarakat terhimpun dalam
unit sosial sekaligus memiliki “croos cutting affiliation” sehingga
menghasilkan “croos cutting loyality”, dan 3) masyarakat berada di atas
saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di
dalamnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
2. Pentingnya Integrasi Nasional
Masyarakat yang terintegrasi dengan baik merupakan harapan bagi
setiap negara. Sebab integrasi masyarakat merupakan kondisi yang
diperlukan bagi negara untuk membangun kejayaan nasional demi
mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika masyarakat suatu negara
senantiasa diwarnai oleh pertentangan atau konflik, maka akan banyak
kerugian yang diderita, baik kerugian berupa fisik materiil seperti
kerusakan sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
maupun kerugian mental spiritual seperti perasaan kekawatiran, cemas,
ketakutan, bahkan juga tekanan mental yang berkepanjangan. Di sisi lain
banyak pula potensi sumber daya yang dimiliki oleh negara, yang

180
mestinya dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi
kesejahteraan masyarakat, harus dikorbankan untuk menyelesaikan
konflik tersebut. Dengan demikian negara yang senantiasa diwarnai
konflik di dalamnya akan sulit untuk mewujudkan kemajuan.
Integrasi masyarakat yang sepenuhnya memang sesuatu yang tidak
mungkin diwujudkan, karena setiap masyarakat di samping membawakan
potensi integrasi juga menyimpan potensi konflik atau pertentangan.
Persamaan kepentingan, kebutuhan untuk bekerjasama, serta konsensus
tentang nilai-nilai tertentu dalam masyarakat, merupan potensi yang
mengintegrasikan. Sebaliknya perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masyarakat seperti perbedaan suku, perbedaan agama, perbedaan budaya,
dan perbedaan kepentingan adalah menyimpan potensi konflik, terlebih
apabila perbedaan-perbedaan itu tidak dikelola dan disikapi dengan cara
dan sikap yang tepat. Namun apapun kondisinya integrasi masyarakat
merupakan sesuatu yang sangan dibutuhkan untuk membangun kejayaan
bangsa dan negara, dan oleh karena itu perlu senantiasa diupayakan.
Kegagalan dalam mewujudkan integrasi masyarakat berarti kegagalan
untuk membangun kejayaan nasional, bahkan dapat mengancam
kelangsungan hidup bangsa dan negara yang bersangkutan.
Sejarah Indonesia adalah sejarah yang merupakan proses dari
bersatunya suku-suku bangsa menjadi sebuah bangsa. Ada semacam
proses konvergensi, baik yang disengaja atau tak disengaja, ke arah
menyatunya suku-suku tersebut menjadi satu kesatuan negara dan
bangsa.(Sumartana dkk, 2001:100).
3. Pluralitas Masyarakat Indonesia
Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
pluralis atau masyarakat majemuk merupakan suatu hal yang sudah samasama dimengerti. Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh Clifford
Geertz, masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagibagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri,

181
dalam mana masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan
yang bersifat primordial. (Geertz, 1963: 105 dst.) Apa yang dikatakan
sebagai ikatan primordial di sini adalah ikatan yang muncul dari perasaan
yang lahir dari apa yang ada dalam kehidupan sosial, yang sebagian besar
berasal dari hubungan keluarga, ikatan kesukuan tertentu, keanggotaan
dalam keagamaan tertentu, budaya, bahasa atau dialek tertentu, serta
kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang membawakan ikatan yang sangat kuat
dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan menurut Pierre L. van den Berghe masyarakat majemuk
memiliki karakteristik (Nasikun, 1993: 33):
a. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang
seringkali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain;
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembagalembaga yang bersifat non-komplementer;
c. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya
terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;
d. Secara relatif seringkali mengalami konflik di antara kelompok
yang satu dengan kelompok yang lain;
e. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (
coercion)
dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi;
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompokkelompok yang lain.
Walaupun karakteristik masyarakat majemuk sebagaimana
dikemukakan oleh Pierre L. van den Berghe sebagaimana di atas tidak
sepenuhnya mewakili kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia,
akan tetapi pendapat tersebut setidak-tidaknya dapat digunakan sebagai
acuan berfikir dalam menganalisis keadaan masyarakat Indonesia.
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik.
Secara horizontal masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa,

182
perbedaan agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara
vertikal struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaanperbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam. (Nasikun, 1993: 28).
Dalam dimensi horizontal kemajemukan masyarakat Indonesia
dapat dilihat dari adanya berbagai macam suku bangsa seperti suku bangsa
Jawa, suku bangsa Sunda, suku bangsa Batak, suku bangsa Minangkabau,
suku bangsa Dayak, dan masih banyak yang lain. Tentang berapa jumlah
suku bangsa yang ada di Indonesia, ternyata terdapat perbedaan yang
cukup signifikan di antara para ahli tentang indonesia. Hildred Geertz
misalnya menyebutkan adanya lebih dari 300 suku bangsa di Indonesia
dengan bahasa dan identitas kulturalnya masing-masing. Sedangkan
Skinner menyebutkan lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia dengan
bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan yang
mencolok dari jumlah suku bangsa yang disebutkan di atas bisa terjadi
karena perbedaan dalam melihat unsur-unsur keragaman pada masingmasing suku bangsa tersebut. Namun seberapa jumlah suku bangsa yang
disebutkan oleh masing-masing, cukup rasanya untuk mengatakan bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk.
Sebelum kita menanggapi diri kita ini sebagai bangsa Indonesia,
suku-suku bangsa ini biasa dinamakan bangsa, seperti bangsa Melayu,
bangsa Jawa, bangsa Bugis, dan sebagainya. Masing-masing suku bangsa
memiliki wilayah kediaman sendiri, daerah tempat kediaman nenek
moyang suku bangsa yang bersangkutan yang pada umumnya dinyatakan
melalui mitos yang meriwayatkan asal usul suku bangsa yang
bersangkutan. Anggota masing-masing suku bangsa cenderung memiliki
identitas tersendiri sebagai anggota suku bangsa yang bersangkutan,
sehingga dalam keadaan tertentu mereka mewujudkan rasa setiakawan,
solidaritas dengan sesama suku bangsa asal. (Bachtiar, 1992: 12).
Berkaitan erat dengan keragaman suku sebagaimana dikemukakan
di atas adalah keragaman adat- istiadat, budaya, dan bahasa daerah. Setiap

183
suku bangsa yang ada di Indonesia masing masing memiliki adat-istiadat,
budaya, dan bahasanya yang berbeda satu sama lain, yang sekarang
dikenal sebagai adat-istiadat, budaya, dan bahasa daerah. Kebudayaan
suku selain terdiri atas nilai-nilai dan aturan-aturan tertentu, juga terdiri
atas kepercayaan-kepercayaan tertentu, pengetahuan tertentu, serta sastra
dan seni yang diwariskan dari generasi ke generasi. Secara umum dapat
dikatakan bahwa sebanyak suku bangsa yang ada di Indonesia, setidaktidaknya sebanyak itu pula dapat dijumpai keragaman adat-istiadat, budaya
serta bahasa daerah di Indonesia.
Di samping suku-suku bangsa tersebut di atas, yang bisa dikatakan
sebagai suku bangsa asli, di Indonesia juga terdapat kelompok warga
masyarakat yang lain yang sering dikatakan sebagai warga peranakan.
Mereka itu seperti warga peranakan Cina, peranakan Arab, peranakan
India. Kelompok warga masyarakat tersebut juga memiliki kebudayaannya
sendiri, yang tidak mesti sama dengan budaya suku-suku asli di Indonesia,
sehingga muncul budaya orang-orang Cina, budaya orang-orang Arab,
budaya orang-orang India, dan lain-lain. Kadang-kadang mereka juga
menampakkan diri dalam kesatuan tempat tinggal, sehingga di kota-kota
besar di Indonesia dijumpai adanya sebutan Kampung Pecinan, Kampung
Arab, dan mungkin masih ada yang lain.
Keberagaman suku bangsa di Indonesia sebagaimana diuraikan di
atas terutama disebabkan oleh keadaan geografis Indonesia yang
merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau yang sangat banyak
dan letaknya yang saling berjauhan. Dalam kondisi yang demikian nenek
moyang bangsa Indonesia yang kira-kira 2000 tahun SM secara
bergelombang datang dari daerah yang sekarang dikenal sebagai daerah
Tiongkok Selatan, mereka harus tinggal menetap di daerah yang terpisah
satu sama lain. Karena isolasi geografis antara satu pulau dengan pulau
yang lain, mengakibatkan masing-masing penghuni pulau itu dalam waktu
yang cukup lama mengembangkan kebudayaannya sendiri-sendiri terpisah
satu sama lain. Di situlah secara perlahan-lahan identitas kesukuan itu

184
terbentuk, atas keyakinan bahwa mereka masing-masing berasal dari satu
nenek moyang, dan memiliki kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan
suku yang lain.
Kemajemukan lainnya dalam masyarakat Indonesia ditampilkan
dalam wujud keberagaman agama. Di Indonesia hidup bermacam-macam
agama yang secara resmi diakui sah oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Di samping itu masih
dijumpai adanya berbagai aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat.
Keragaman agama di Indonesia terutama merupakan hasil
pengaruh letak Indonesia di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia
yang menempatkan Indonesia di tengah-tengah lalu lintas perdagangan
laut melalui kedua samodra tersebut. Dengan posisi yang demikian
Indonesia sejak lama mendapatkan pengaruh dari bangsa lain melalui
kegiatan para pedagang, di antaranya adalah pengaruh agama. Pengaruh
yang datang pertama kali adalah pengaruh agama Hindu dan Budha yang
dibawa oleh para pedagang dari India sejak kira-kira tahun 400 Masehi.
Pengaruh yang datang berikutnya adalah pengaruh agama Islam datang
sejak kira-kira tahun 1300 Masehi, dan benar-benar mengalami proses
penyebaran yang meluas sepanjang abad ke15. Pengaruh yang datang
belakangan adalah pengaruh agama Kristen dan Katholik yang dibawa
oleh bangsa-bangsa Barat sejak kira-kira tahun 1500 Masehi.
Sesuai dengan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kondisi
perbedaan dalam masyarakat Indonesia sebagaimana dimaksud terkait
dengan beberapa faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Faktor-faktor
tersebut secara garis besar meliputi faktor historis, faktor ekologis, dan
faktor perubahan sosial budaya.(Mutakin, 1998:29). Faktor historis
merupakan faktor yang berkaitan dengan sejarah asal mula terbentuknya
masyarakat Indonesia, faktor ekologis merupakan faktor yang terkait
dengan kondisi fisik geografis Indonesia, dan faktor perubahan sosial yang
terjadi seiring dengan perjalanan waktu masyarakat membangun
kehidupan bersama.

185
4. Potensi Konflik dalam Masyarakat Indonesia
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh berbagai
keanekaragaman, harus disadari bahwa masyarakat Indonesia menyimpan
potensi konflik yang cukup besar, baik konflik yang bersifat vertikal
maupun bersifat horizontal. Konflik vertikal di sini dimaksudkan sebagai
konflik antara pemerintah dengan rakyat, termasuk di dalamnya adalah
konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Sedangkan
konflik horizontal adalah konflik antarwarga masyarakat atau
antarkelompok yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam dimensi vertikal, sepanjang sejarah sejak proklamasi
Indonesia hampir tidak pernah lepas dari gejolak kedaerahan berupa
tuntutan untuk memisahkan diri. Kasus Aceh, Papua, Ambon merupakan
konflik yang bersifat vertikal yang bertujuan untuk memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasus-kasus tersebut merupakan
perwujudan konflik antara masyarakat daerah dengan otoritas kekuasaan
yang ada di pusat. Konflik tersebut merupakan ekspresi ketidakpuasan
terhadap kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan di daerah. Di
samping itu juga adanya kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat
yang ada di daerah.
Kebijakan pemerintah pusat sering dianggap memunculkan
kesenjangan antardaerah, sehingga ada daerah-daerah tertentu yang sangat
maju pembangunannya, sementara ada daerah-daerah yang masih
terbelakang. Dalam hubungan ini, isu dikhotomi Jawa-luar Jawa sangat
menonjol, di mana Jawa dianggap merepresentasikan pusat kekuasaan
yang kondisinya sangat maju, sementara banya daerah-daerah di luar Jawa
yang merasa menyumbangkan pendapatan yang besar pada negara,
kondisinya masih terbelakang.

186
Menurut Stedman (1991:373), penyebab konflik kedaerahan adalah:
1) Krisis pemerintahan nasional, baik karena persoalan suksesi
maupun jatuh bangunnya pemerintahan karena lemahnya
konstitusi.
2) Kegagalan lembaga-lembaga negara menengahi konflik, baik yang
melibatkan unsur-unsurr masyarakat maupun lembaga-lembaga
negara.
3) Pembatasan partisipasi politik warga negara di daerah-daerah.
4) Ketidakadilan distribusi sumber daya ekonomi nasional dan
sulitnya akses masyarakat di daerah terhadap sumber daya tersebut.
5) Rezim yang tidak responsif terhadap tuntutan warga negara dan
tidak bertanggungjawab terhadap rakyatnya.
Dengan mengacu pada faktor-faktor terjadinya konflik kedaerahan
sebagaimana disebutkan di atas, konflik kedaerahan di Indonesia agaknya
terkait secara akumulatif dengan berbagai faktor tersebut.
Di samping konflik vertikal tersebut, konflik horizontal juga sering
muncul, baik konflik yang berlatarbelakang keagamaan, kesukuan,
antarkelompok atau golongan dan semacamnya yang muncul dalam bentuk
kerusuhan, perang antarsuku, pembakaran rumah-rumah ibadah, dan
sebagainya. Dalam hal ini dapat kita sebutkan kasus-kasus yang terjadi di
Poso, Sampit, Ambon, kasus di Lombok, dan masih ada tempat-tempat
yang lain. Terjadinya konflik horizontal biasanya juga merupakan
akumulasi dari berbagai faktor baik faktor kesukuan atau etnis, agama,
ekonomi, sosial, dan sebagainya. Apa yang tampak sebagai kerusuhan
yang berlatarbelakang agama bisa jadi lebih terkait dengan sentimen etnis
atau kesukuan, begitu juga dengan konflik yang tampak dengan latar
belakang etnis atau keagamaan sebenarnya hanya merupakan perwujudan
dari kecemburuan sosial.
Berkenaan dengan konflik horizontal, khususnya konflik etnis
terdapat pandangan konstruktivis yang menyatakan bahwa konflik etnik

187
merupakan konstruksi sosial, yaitu hasil dari pengalaman historis serta
diskursus etnisitas dengan identitas. Pandangan ini merupakan sintesa dari
pandangan primordialis dan pandangan instrumentalis. Pandangan
primordialis mengatakan bahwa konflik etnik dapat dilacak akarnya pada
sifat naluri alamiah saling memiliki, dan sifat kesukuan (
tribalism)
berdasar pada perbedaan bahasa, ras, kekerabatan, tempramen, dan tradisi
suku-suku yang berkonflik. Sedangkan pandangan instrumentalis menolak
pendapat ini dengan menekankan sifat lentur dari identitas etnik yang biasa
digunakan, dimobilisasi, dan dimanipulasi oleh kelompok-kelompok elite
dan negara untuk tujuan politik tertentu.
Konflik horizontal lainnya yang juga sering terjadi adalah konflik
yang berlatar belakan keagamaan. Konflik keagamaan sering terjadi dalam
intensitas yang sangat tinggi oleh karena agama merupakan sesuatu hal
yang sifatnya sangat sensitif. Ketersinggungan yang bernuansa keagamaan
sering memunculkan pertentangan yang meruncing yang disertai dengan
tindak kekerasan di antara kelompok penganut suatu agama dan kelompok
penganut agama lainnya. Konflik dengan intensitas yang demikian tinggi
disebabkan karena masalah yang bernuansa keagamaan sangat mudah
membangkitkan solidaritas di kalangan sesama pemeluk agama untuk
melibatkan diri ke dalam konflik yang sedang berlangsung, dengan suatu
keyakinan bahwa perang ataupun konflik membela agama adalah
perjuangan yang suci.
Suatu pendapat menyatakan bahwa terjadinya konflik keagamaan
disebabkan oleh eksklusivitas dari sementara pemimpin dan penganut
agama; sikap tertutup dan saling curiga antaragama; keterkaitan yang
berlebihan dengan simbol-simbol keagamaan; agama yang seharusnya
merupakan tujuan hanya dijadikan sebagai alat; serta faktor lain yang
berupa kondisi sosial, politik dan ekonomi (Assegaf dalam: Sumartana,
2001:34-37). Apa yang disebutkan paling akhir memberikan pemahaman
bahwa konflik berlatarbelakang keagamaan tidak lepas dari aspek-aspek
lain dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan antarumat beragama

188
biasanya terjadi apabila kepentingan-kepentingan tertentu memainkan
peranan dalam percaturan hubungan anatarumat beragama (Ismail,
1999:1). Dengan demikian, apa yang dikatakan sebagai konflik agama
ketika dicermati ternyata bukan konflik yang berlatarbelakang keagamaan
tetapi konflik lain yang memanfaatkan simbol-simbol agama sebagai
sarana membangkitkan solidaritas kelompoknya.
Konflik horizontal juga banyak terjadi dengan latar belakang
perbedaan kepentingan, baik kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial.
Kepentingan suatu kelompok berbeda atau bahkan bertentangan satu sama
lain, sehingga upaya suatu kelompok untuk mencapai tujuan dirasakan
mengganggu pencapaian tujuan kelompok lainnya. konflik yang demikian
biasanya tidak bersifat laten akan tetapi hanya merupakan kejadian sesaat,
dan ketika kepentingan itu bergeser, konflik pun akan selesai dan bahkan
berubah menjadi kerjasama. Konflik antarpendukung partai, calon
presiden, atau kepala desa misalnya merupakan beberapa contoh di
antaranya.
Kecenderungan terjadinya disintegrasi semakin besar ketika antara
satu daerah dengan daerah lain yang saling terpisah itu menunjukkan
kondisi kemajuan sosial ekonomi yang jauh berbeda satu sama lain.
Dengan lain perkataan terjadi kesenjangan yang tajam antar daerah.
Kesenjangan antar daerah akan memunculkan kecemburuan antara daerah
satu dengan daerah lainnya, di mana daerah yang kondisinya “terbelakang”
merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu maka untuk
menghindari terjadinya disintegrasi, pemerintah perlu melaksanakan
pembangunan yang merata di seluruh daerah untuk mewujudkan kemajuan
yang seimbang antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah adanya daerah-daerah
yang merasa terpencil dan terisolasi dari daerah lainnya. Keadaan yang
demikian disebabkan oleh minimnya sarana transportasi dan sarana
komunikasi. Oleh karena itu keberadaan sarana transportasi dan sarana
komuinikasi yang memadai merupakan suatu hal yang sangat penting.

189
Ketika satu daerah dengan daerah lain jaraknya berjauhan dihubungkan
dengan sarana transportasi dan sarana komunikasi yang memadai, maka
jarak yang jauh itu akan terkesan lebih dekat dan tidak ada daerah yang
merasa terisolasi dari daerah yang lain. Karena itu menanggapi kondisi
wilayah geografis yang sangat luas dan saling terpisah satu sama lain,
pemerintah perlu membangun sarana transportasi dan sarana komunikasi
yang memadai. Dengan demikian mobilitas penduduk antar daerah dapat
terjadi dengan lancar, arus informasi dan komunikasi juga dapat berjalan
dengan baik sehingga tidak ada daerah yang merasa terpencil dan terisolasi
dari daerah lainnya. Tersedianya sarana transportasi dan komunikasi antar
daerah juga akan memicu perkembangan daerah-daerah yang
bersangkutan, dan pada gilirannya akan mengurangi kecenderungan
disintegrasi.
Berbagai keragaman masyarakat sebagaimana diuraikan di atas dan
kondisi negara kepulauan juga membentuk pola pemilahan sosial (
Social
Cleavage
) yang akan ikut berpengaruh pada upaya mewujudkan integrasi
nasional. Masalah pemilahan sosial menggambarkan pola pengelompokan
masyarakat terkait dengan berbagai aspek perbedaan yang ada di
dalamnya. Pola pemilahan sosial dapat dibedakan atas pemilahan sosial
yang bersifat c
onsolidated dan pola pemilahan sosial yang bercorak
intersected. Pemilahan sosial yang bercorak consolidated merupakan pola
pemilahan sosial di mana dua atau lebih kelompok masyarakat sekaligus
membawakan beberapa aspek perbedaan di antara mereka. Sedangkan
pemilahan sosial yang bercorak
intersected merupakan pemilahan sosial di
mana beberapa aspek perbedaan jatuh pada pengelompokan masyarakat
secara tidak bersamaan melainkan saling berpotongan atau interseksi.
Pemilahan sosial yang lebih mendukung upaya mewujudkan integrasi
nasional adalah pemilahan yang bercorak
intersected. Sedangkan dalam
beberapa hal pemilahan masyarakat Indonesia menampakkan pola
consolidated, suatu pola pemilahan yang sesungguhnya kurang
mendukung upaya pembinaan integrasi nasional.

190
B. Strategi Integrasi
Masalah integrasi nasional merupakan persoalan yang dialami oleh
semua negara, terutama adalah negara-negara berkembang. Dalam usianya
yang masih relatif muda dalam membangun negara bangsa
(nation state),
ikatan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam negara masih rentan
dan mudah tersulut untuk terjadinya pertentangan antar kelompok. Di
samping itu masyarakat di negara berkembang umumnya memiliki ikatan
primordial yang masih kuat. Kuatnya ikatan primordial menjadikan
masyarakat lebih terpancang pada ikatan-ikatan primer yang lebih sempit
seperti ikatan keluarga, ikatan kesukuan, ikatan sesama pemeluk agama, dan
sebagainya. Dengan demikian upaya mewujudkan integrasi nasional yang
notabene mendasarkan pada ikatan yang lebih luas dan melawati batas-batas
kekeluargaan, kesukuan, dan keagamaan menjadi sulit untuk diwujudkan.
Dalam rangka mengupayakan terwujudnya integrasi nasional yang
mantap ada beberapa strategi yang mungkin ditempuh, yaitu:
1. Stategi Asilmilasi
2. Strategi Akulturasi
3. Strategi Pluralis
Ketiga strategi tersebut terkait dengan seberapa jauh penghargaan
yang diberikan atas unsur-unsur perbedaan yang ada dalam masyarakat.
Srtategi asimilasi, akulturasi, dan pluralisme masing-masing menunjukkan
penghargaan yang secara gradual berbeda dari yang paling kurang, yang
lebih, dan yang paling besar penghargaannya terhadap unsur-unsur perbedaan
dalam masyarakat, di dalam upaya mewujudkan integrasi nasional tersebut.
1. Strategi Asimilasi
Asimilasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan atau
lebih menjadi satu kebudayaan yang baru, di mana dengan percampuran
tersebut maka masing-masing unsur budaya melebur menjadi satu
sehingga dalam kebudayaan yang baru itu tidak tampak lagi identitas
masing-masing budaya pembentuknya. Ketika asimilasi ini menjadi
sebuah strategi integrasi nasional, berarti bahwa negara mengintegrasikan

191
masyarakatnya dengan mengupayakan agar unsur-unsur budaya yang ada
dalam negara itu benar-benar melebur menjadi satu dan tidak lagi
menampakkan identitas budaya kelompok atau budaya lokal. Dengan
strategi yang demikian tampak bahwa upaya mewujudkan integrasi
nasional dilakukan tanpa menghargai unsur-unsur budaya kelompok atau
budaya lokal dalam masyarakat negara yang bersangkutan. Dalam konteks
perubahan budaya, asimilasi memang bisa saja terjadi dengan sendirinya
oleh adanya kondisi tertentu dalam masyarakat. Namun bisa juga hal itu
merupakan bagian dari strategi pemerintah negara dalam
mengintegrasikan masyarakatnya, yaitu dengan cara melakukan rekayasa
budaya agar integrasi nasional dapat diwujudkan. Dilihat dari perspektif
demokrasi, apabila upaya yang demikian itu dilakukan dapat dikatakan
sebagai cara yang kurang demokratis dalam mewujudkan integrasi
nasional.
2. Strategi Akulturasi
Akulturasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan
atau lebih sehingga memunculkan kebudayaan yang baru, di mana ciri-ciri
budaya asli pembentuknya masih tampak dalam kebudayaan baru tersebut.
Dengan demikian berarti bahwa kebudayaan baru yang terbentuk tidak
“melumat” semua unsur budaya pembentuknya. Apabila akulturasi ini
menjadi strategi integrasi yang diterapkan oleh pemerintah suatu negara,
berarti bahwa negara mengintegrasikan masyarakatnya dengan
mengupayakan adanya identitas budaya bersama namun tidak
menghilangkan seluruh unsur budaya kelompok atau budaya lokal.
Dengan strategi yang demikian tampak bahwa upaya mewujudkan
integrasi nasional dilakukan dengan tetap menghargai unsur-unsur budaya
kelompok atau budaya lokal, walaupun penghargaan tersebut dalam kadar
yang tidak terlalu besar. Sebagaimana asimilasi, proses akulturasi juga
bisa terjadi dengan sendirinya tanpa sengaja dikendalikan oleh negara.
Namun bisa juga akulturasi menjadi bagian dari strategi pemerintah
negara dalam mengintegrasikan masyarakatnya. Dihat dari perspektif

192
demokrasi, strategi integrasi nasional melalui upaya akulturasi dapat
dikatakan sebagai cara yang cukup demokratis dalam mewujudkan
integrasi nasional, karena masih menunjukkan penghargaan terhadap
unsur-unsur budaya kelompok atau budaya lokal.
3. Strategi Pluralis
Paham pluralis merupakan paham yang menghargai terdapatnya
perbedaan dalam masyarakat. Paham pluralis pada prinsipnya
mewujudkan integrasi nasional dengan memberi kesempatan pada segala
unsur perbedaan yang ada dalam masyarakat untuk hidup dan
berkembang. Ini berarti bahwa dengan strategi pluralis, dalam
mewujudkan integrasi nasional negara memberi kesempatan kepada semua
unsur keragaman dalam negara, baik suku, agama, budaya daerah, dan
perbedaan-perbedaan lainnya untuk tumbuh dan berkembang, serta hidup
berdampingan secara damai. Jadi integrasi nasional diwujudkan dengan
tetap menghargai terdapatnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pandangan multikulturalisme, bahwa setiap unsur
perbedaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama, sehingga masingmasing berhak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
C. Integrasi Nasional Indonesia
1. Dimensi Integrasi Nasional
Integrasi nasional dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi
vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi vertikal dari integrasi adalah
dimensi yang berkenaan dengan upaya menyatukan persepsi, keinginan,
dan harapan yang ada antara elite dan massa atau antara pemerintah
dengan rakyat. Jadi integrasi vertikal merupakan upaya mewujudkan
integrasi dengan menjebatani perbedaan-perbedaan antara pemerintah dan
rakyat. Integrasi nasional dalam dimensi yang demikian biasa disebut
dengan
integrasi politik. Sedangkan dimensi horisontal daari integrasi
adalah dimensi yang berkenaan dengan upaya mewujudkan persatuan di
antara perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, baik

193
perbedaan wilayah tempat tinggal, perbedaan suku, perbedaan agama,
perbedaan budaya, dan pernedaan-perbedaan lainnya. Jadi integrasi
horisontal merupakan upaya mewujudkan integrasi dengan menjembatani
perbedaan antar kelompok dalam masyarakat. Integrasi nasional dalam
dimensi ini biasa disebut dengan
integrasi teritorial.
Pengertian integrasi nasional mecakup baik dimensi vertikal
maupun dimensi horisontal. Dengan demikian persoalan integrasi nasional
menyangkut keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, serta
keserasian hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat
dengan latar belakang perbedaan di dalamnya.
Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia, tantangan
yang dihadapi datang dari keduanya. Dalam dimensi horizontal tantangan
yang ada berkenaan dengan pembelahan horizontal yang berakar pada
perbedaan suku, agama, ras, dan geografi. Sedangkan dalam dimensi
vertikal tantangan yang ada adalah berupa celah perbedaan antara elite dan
massa, di mana latar belakang pendidikan kekotaan menyebabkan kaum
elite berbeda dari massa yang cenderung berpandangan tradisional.
Masalah yang berkenaan dengan dimensi vertikal lebih sering muncul ke
permukaan setelah berbaur dengan dimensi horizontal, sehingga
memberikan kesan bahwa dalam kasus Indonesia dimensi horizontal lebih
menonjol daripada dimensi vertikalnya. (Sjamsuddin, 1989: 11).
Tantangan integrasi nasional tersebut lebih menonjol ke permukaan
setelah memasuki era reformasi tahun 1998. Konflik horizontal maupun
vertikal sering terjadi bersamaan dengan melemahnya otoritas
pemerintahan di pusat. Kebebasan yang digulirkan pada era reformasi
sebagai bagian dari proses demokratisasi telah banyak disalahgunakan oleh
kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bertindak seenaknya sendiri,
tindakan mana kemudian memunculkan adanya gesekan-gesekan antar
kelompok dalam masyarakat dan memicu terjadinya konflik atau
kerusuhan antar kelompok. Bersamaan dengan itu demontrasi menentang

194
kebijakan pemerintah juga banyak terjadi, bahkan seringkali demonstrasi
itu diikuti oleh tindakan-tindakan anarkhis.
Keinginan yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan aspirasi
masyarakat, kebijakan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan dan
harapan masyarakat, dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang sah,
dan ketaatan warga masyarakat melaksanakan kebijakan pemerintah
adalah pertanda adanya integrasi dalam arti vertikal. Sebaliknya kebijakan
demi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang tidak/kurang sesuai
dengan keinginan dan harapan masyarakat serta penolakan sebagian besar
warga masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menggambarkan kurang
adanya integrasi vertikal. Memang tidak ada kebijakan pemerintah yang
dapat melayani dan memuaskan seluruh warga masyarakat, tetapi setidaktidaknya kebijakan pemerintah hendaknya dapat melayani keinginan dan
harapan sebagian besar warga masyarakat.
Sedangkan jalinan hubungan dan kerjasama di antara kelompokkelompok yang berbeda dalam masyarakat, kesediaan untuk hidup
berdampingan secara damai dan saling menghargai antara kelompokkelompok masyarakat dengan pembedaan yang ada satu sama lain,
merupakan pertanda adanya integrasi dalam arti horisontal. Kita juga tidak
dapat mengharapkan terwujudnya integrasi horisontal ini dalam arti yang
sepenuhnya. Pertentangan atau konflik antar kelompok dengan berbagai
latar belakang perbedaan yang ada, tidak pernah tertutup sama sekali
kemungkinannya untuk terjadi. Namun yang diharapkan bahwa konflik itu
dapat dikelola dan dicarikan solusinya dengan baik, dan terjadi dalam
kadar yang tidak terlalu mengganggu upaya pembangunan bagi
kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan nasional.
2. Mewujudkan Integrasi Nasional Indonesia
Salah satu persoalan yang dialami oleh negara-negara berkembang
termasuk Indonesia dalam mewujudkan integrasi nasional adalah masalah
primordialisme yang masih kuat. Titik pusat goncangan primordial
biasanya berkisar pada beberapa hal, yaitu masalah hubungan darah

195
(kesukuan), jenis bangsa (ras), bahasa, daerah, agama, dan kebiasaan.
(Geertz, dalam: Sudarsono, 1982: 5-7).
Di era globalisasi, tantangan itu bertambah oleh adanya tarikan
global di mana keberadaan negara-bangsa sering dirasa terlalu sempit
untuk mewadahi tuntutan dan kecenderungan global. Dengan demikian
keberadaan negara berada dalam dua tarikan sekaligus, yaitu tarikan dari
luar berupa globalisasi yang cenderung mangabaikan batas-batas negarabangsa, dan tarikan dari dalam berupa kecenderungan menguatnya ikatanikatan yang sempit seperti ikatan etnis, kesukuan, atau kedaerahan. Di
situlah nasionalisme dan keberadaan negara nasional mengalami tantangan
yang semakin berat.
Namun demikian harus tetap diyakini bahwa nasionalisme sebagai
karakter bangsa tetap diperlukan di era Indonesia merdeka sebagai
kekuatan untuk menjaga eksistensi, sekaligus mewujudkan taraf peradaban
yang luhur, kekuatan yang tangguh, dan mencapai negara-bangsa yang
besar. Nasionalisme sebagai karakter semakin diperlukan dalam menjaga
harkat dan martabat bangsa di era globalisasi karena gelombang
“peradaban kesejagatan” ditandai oleh semakin kaburnya batas-batas
teritorial negara akibat gempuran informasi global yang nyaris tanpa
hambatan yang dihadirkan oleh jaringan teknologi informasi dan
komunikasi. (Budimansyah dan Suryadi, 2008:164).
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh berbagai
keanekaragaman, harus disadari bahwa masyarakat Indonesia menyimpan
potensi konflik yang sangat besar, baik konflik yang bersifat vertikal
maupun bersifat horizontal. Dalam dimensi vertikal, sepanjang sejarah
sejak proklamasi Indonesia hampir tidak pernah lepas dari gejolak
kedaerahan berupa tuntutan untuk memisahkan diri. Sedangkan dalam
dimensi horizontal, sering pula dijumpai adanya gejolak atau pertentangan
di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik konflik yang
bernuansa ras, kesukuan, keagamaan, atau antargolongan. Di samping itu
juga konflik yang bernuansa kecemburuan sosial.

196
Dalam skala nasional, kasus Aceh, Papua, Ambon merupakan
konflik yang bersifat vertikal dengan target untuk memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasus-kasus tersebut dapat dilihat
sebagai konflik antara masyarakat daerah dengan otoritas kekuasaan yang
ada di pusat. Di samping masuknya kepentingan-kepentingan tertentu dari
masyarakat yang ada di daerah, munculnya konflik tersebut merupakan
ekspresi ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang
diberlakukan di daerah. Kebijakan pemerintah pusat dianggap
memunculkan kesenjangan antardaerah, sehingga ada daerah-daerah
tertentu yang sangat maju pembangunannya, sementara ada daerah-daerah
yang masih terbelakang. Dalam hubungan ini, isu dikhotomi Jawa-luar
Jawa sangat menonjol, di mana Jawa dianggap merepresentasikan pusat
kekuasaan yang kondisinya sangat maju, sementara banya daerah-daerah
di luar Jawa yang merasa menyumbangkan pendapatan yang besar pada
negara, kondisinya masih terbelakang. Dengan mengacu pada faktor-faktor
terjadinya konflik kedaerahan sebagaimana disebutkan di atas, konflik
kedaerahan di Indonesia agaknya terkait secara akumulatif dengan
berbagai faktor tersebut.
Di samping konflik vertikal tersebut, konflik horizontal juga sering
muncul, baik konflik yang berlatarbelakang keagamaan, kesukuan,
antarkelompok atau golongan dan semacamnya yang muncul dalam bentuk
kerusuhan, perang antarsuku, pembakaran rumah-rumah ibadah, dan
sebagainya. Dalam hal ini dapat kita sebutkan kasus-kasus yang terjadi di
Poso, Sampit, Ambon, kasus di Lombok, dan masih ada tempat-tempat
yang lain. Terjadinya konflik horizontal biasanya juga merupakan
akumulasi dari berbagai faktor baik faktor kesukuan atau etnis, agama,
ekonomi, sosial, dan sebagainya. Apa yang tampak sebagai kerusuhan
yang berlatarbelakang agama bisa jadi lebih terkait dengan sentimen etnis
atau kesukuan, begitu juga dengan konflik yang tampak dengan latar
belakang etnis atau keagamaan sebenarnya hanya merupakan perwujudan
dari kecemburuan sosial.

197
Sejak awal berdirinya negara Indonesia, para pendiri negara
menghendaki persatuan di negara ini diwujudkan dengan menghargai
terdapatnya perbedaan di dalamnya. Artinya bahwa upaya mewujudkan
integrasi nasional Indonesia dilakukan dengan tetap memberi kesempatan
kepada unsur-unsur perbedaan yang ada untuk dapat tumbuh dan
berkembang secara bersama-sama. Proses pengesahan Pembukaan UUD
1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang bahannya diambil
dari Naskah Piagam Jakarta, dan di dalamnya terdapat rumusan dasar
dasar negara Pancasila, menunjukkan pada kita betapa tokoh-tokoh
pendiri negara (
the founding fathers) pada waktu itu menghargai
perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Para pendiri negara rela mengesampingkan persoalan
perbedaan-perbedaan yang ada demi membangun sebuah negara yang
dapat melindungi seluruh rakyat Indonesia.
Sejalan dengan itu dipakailah semboyan Bhinneka Tunggal Ika,
yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu adanya. Semboyan
tersebut sama maknanya dengan istilah “
unity in diversity”, yang artinya
bersatu dalam keanekaragaman, sebuah ungkapan yang menggambarkan
cara menyatukan secara demokratis suatu masyarakat yang di dalamnya
diwarnai oleh adanya berbagai perbedaan. Dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika tersebut segala perbedaan dalam masyarakat ditanggapi
bukan sebagai keadaan yang menghambat persatuan dan kesatuan bangsa,
melainkan sebagai kekayaan budaya yang dapat dijadikan sumber
pengayaan kebudayaan nasional kita.
Untuk terwujudnya masyarakat yang menggambarkan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, diperlukan pandangan atau wawasan
multikulturalisme. Multikulturalisme adalah pandangan bahwa setiap
kebudayaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan kebudayaan
lain, sehingga setiap kebudayaan berhak mendapatkan tempat sebagaimana
kebudayaan lainnya. (Baidhawy, 2005:5). Perwujudan dari
multikulturalisme adalah kesediaan orang-orang dari kebudayaan yang

198
beragam untuk hidup berdampingan secara damai. Di sini diperlukan sikap
hidup yang memandang perbedaan di antara anggota masyarakat sebagai
kenyataan yang wajar dan tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai
alasan untuk berkonflik. Di samping itu perlu memandang kebudayaan
orang lain dari perspektif pemilik kebudayaan yang bersangkutan, dan
bukan memandang kebudayaan orang lain dari perspektif dirinya sendiri.
Oleh karena itu multikulturalisme menekankan pentingnya belajar tentang
kebudayaan-kebudayaan lain dan mencoba memahaminya secara penuh
dan empatik sehingga dapat menghargai kebudayaan-kebudayaan lain di
samping kebudayaannya sendiri.

199
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sanusi. 2006. “Memberdayakan Masyarakat dalam Pelaksanaan 10 Pilar
Demokrasi” dalam
Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan
Kewarganegaraan
. Bandung: Laboratorium PKn UPI.
Afan Gaffar.1999.
Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Agussalim, Dafri. 1998.
Nasionalisme: Suatu Tantangan Reformasi (Makalah
Seminar). Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.
Aidul Fitriacida Azhari. 2005.
Menemukan Demokrasi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Anderson, Benedict. 2001.
Imagined Communities: Komunitas-komunitas
Terbayang.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Armaidy Armawi. 2012.
Karakter Sebagai Unsur Kekuatan Bangsa. Makalah
disajikan dalam “
Workshop Pendidikan Karakter bagi Dosen Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi” , tanggal 31 Agustus – 2
September 2012 di Hotel Bintang Griya Wisata Jakarta
As’ad Said Ali. 2009.
Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa.
Jakarta: LP3ES.
Asshiddiqie, Jimly. 2010.
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Bachtiar, Harsja W. 1992.
Wawasan Kebangsaan Indonesia: Gagasan dan
Pemikiran Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa.
Jakarta:
Bakom PKB Pusat.
Bachtiar, Harsja W. 1992.
Wawasan Kebangsaan Indonesia: Gagasan dan
Pemikiran Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa.
Jakarta:
Bakom PKB Pusat.
Bagir, Zainal Abidin, 2011,
Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik
Keragaman di Indonesia,
Mizan dan CRCS, Bandung-Yogyakarta.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2005.
Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.
Jakarta: Penerbit Erlangga.

200
Bakry, Noor Ms, 2009, Pendidikan Kewarganegaraan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta Kartasaputra, 1986,
Sistematika Hukum Tata Negara, Bina
Aksara, Jakarta
Bakry, Noor Ms, 2009,
Pendidikan Kewarganegaraan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Budiardjo, Miriam. 2010.
Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Budimansyah, Dasim dan Suryadi, Karim. 2008.
PKn dan Masyarakat
Multikultural
. Bandung: Prodi PKn Pasca Sarjana UPI.
Buku Pedoman, Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia, Lemhannas RI Tahun 2011.
Chaidir, Ellydar. 2007.
Hukum dan Teori Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total
Media.
Christine Sussana Tjhin. “Menjalin Demokrasi Lokal dengan Regional:
Membangun Indonesia, Membangun ASEAN” CSIS Working Paper
Series, November 2005. Dapat diakses pada
http://www.csis.or.id/papers/wps054
Darmaputra, 1988, Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan
Budaya
, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Declaration of Human Rights,
http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml
Departemen Pertahanan RI.2008. Buku Putih Pertahanan. Jakarta: Dephan
Diane Revitch & Abigail Thernstrom (ed).
Demokrasi: Klasik dan Modern.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Eep Saefulloh Fatah. 1994.
Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ermaya Suradinata, 2001. Geopolitik dan Geostrategi dalam mewujudkan NKRI,
dalam Jurnal Ketahanan Nasional, Nomor VI, Agustus 2001.
Ermaya Suradinata.
Geopolitik dan Geostrategi dalam mewujudkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia
dalam Jurnal Ketahanan Nasional No VI ,
Agustus 2001
Franz Magnis Suseno. 1997.
Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis.
Jakarta: Gramedia.
Freddy Kalidjernih. 2009.
Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan.
Bandung
: Widya Aksara Press
Georg Sorensen. 2003.
Demokrasi dan Demokratisasi. Terj. I Made Krisna.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Hans J Morgenthou. 1989.
Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia
Hendra Nurtjahyo. 2006.
Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara.
201
Hidayat, Arief. 2002. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Analisis Kritis
dari Perspektif Ketatanegaraan (Makalah Seminar)
. Semarang: Tidak
Diterbitkan.
http://wrks.itb.ac.id/app/images/files_produk_hukum/uud_45.pdf Video hak asasi
manusia
http://www.youtube.com/watch?v=Gji2hhtxURA
Ichlasul Amal & Armaidy Armawi.(ed). 1998. Sumbangan Ilmu Sosial Terhadap
Konsepsi Ketahanan Nasional
. Yogyakarta ; Gajah Mada Universitas
Press
Iriyanto Widisuseno, 2006, Pengembangan MPK dalam Perspektif Filosofis,
Ismail, Faisal. 1999.
Agama dan Integrasi Nasional (Makalah). Yogyakarta:
Tidak Diterbitkan.
Jimly Asshidiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Jakarta :
Sinar Grafika.
Kaelan, 2006, Pendidikan Kewarganegaraan, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Kaelan, MS, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, Edisi Pertama, 2012.
Kaelan; Zubaidi, Achmad, 2007,
Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan
Tinggi berdasar SK Dirjen Dikti No 43/DIKTI/KEP/2006
, Paradigma,
Yogyakarta.
Kate Nash,. 2000.
Contemporary Political Sociology. Globalization, Politics and
Power
. Massachusetts. Blakwell Publise
Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN 1998-2003
Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1998, Tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara.
Koento Wibisono, 2006, Revitalisasi dan Reorientasi MPK, Makalah Simnas III
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara, 2005,
Pedoman
Umum Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara
, PT. Cipta
Prima Budaya, Jakarta
Lubis, M.Solly. 1982.
Asas-asas Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni.
Mahfud MD. 1999.
Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta:
Gama Media.
Makalah Seminar Nasional Jati Diri Bangsa, Jakarta
Makalah Simnas IV. MPK, UNS Surakarta.
Mardenis. 2010.
Ketahanan Nasional. Dimuat dalam fkunand 2010. Files
.wordpress.com/2011/07/
ketahanan-nasional.ppt Diakses tanggal 28
Nopember 2012
Martosoewignjo, Soemantri. 1981.
Pengantar Perbandingan antar Hukum Tata
Negara
. Jakarta: Rajawali.
202
Maswadi Rauf. 1997. Demokrasi dan Demokratisasi. Pidato pengukuhan Guru
Besar FISIP UI, tanggal 1 November 1997 di Salemba, Jakarta.
Mirriam Budiardjo. 2008.
Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi Jakarta:
Gramedia.
Mohammad Hatta.1953.
Kumpulan Karangan. Jakarta: Penerbitan dan Balai
Buku Indonesia.
Mohammad Hatta.1966.
Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara.
MPK, UNDIP.
Mutakin, Awan. 1998.
Studi Masyarakat Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Nasikun. 1993.
Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nilai-Nilai Kebangsaan, sebuah pengantar, May. Jend. TNI (Purn) E. Imam
Maksudi, Pada Ceramahan Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan, 24
September 2012.
Notonagoro, 1967, Beberapa hal mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta, Pantjuran
Tudjuh.
Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Fak Filsafat UGM,
Yogyakarta.
Oetojo Usman dan Alfian, 1991.
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Berbegara
,
Jakarta : BP-7 Pusat
Padmo Wahyono. “Demokrasi Politik Indonesia“ dalam Rusli Karim & Fausi
Rizal. 1991.
Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan. Jakarta:
Tiara Wacana Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Pembinaan Kebangsaan Indonesia, R.M. Sunardi, Tahun 2003, Dismpaikan
dalam Penataran dan Loka Karya Dosen Kewarganegaraan, Kodam Jaya,
17 Februari 2003.
Pendidikan Kewarganegaraan, Membangun Kesadaran Berbangsa dan
Bernegara Berdasarkan Pancaila, TIM IDKI, Jakarta, Edisi Kedua, 2008.
Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila dalam rangka Meningkatkan Kualitas
Pendidikan Nasional, Marsda TNI (Purn) Gunaryadi, SE, MSc, pada
Ceramahan Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan, 24 September 2012.
Peraturan Presiden No 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014
Problem Epistemologis, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Prof.DR. H.
Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
(PUSKAPOL) dan Center for Democracy and Human Rights (DEMOS).
2011.
Laporan Riset Indeks Demokrasi Asia 2011: Potret Indonesia.
Jakarta: FISIP UI.
203
Samekto, Adji dan Kridalaksana, Doddy. 2008. Negara dalam Tata Tertib Hukum
Internasional (Diktat)
. Semarang: (Tidak Diterbitkan).
Samuel Huntington. 1997.
Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka
Utama Graffiti.
samuel________________ “Prospek Demokrasi” dalam Bernard E Brown.1992.
Perbandingan Politik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar 1945, Jakarta, MPR RI.
Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Jakarta, Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
SiswonoYudohusodo, 2005, Pancasila, Globalisasi dan Nasionalisme Indonesia,
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1989.
Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia.
Sri Soemantri. 1974.
Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Bandung:
Penerbit Alumni.
Strong, CF. 2008.
Konstitusi-konstitusi Politik Modern (Terjemahan). Bandung:
Nusa Media.
Sudarsono, Yuwono (Ed.). 1982.
Pembangunan Politik dan Perubahan Politik .
Jakarta: PT Gramedia.
Suhino. 2005.
Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Sukarna. 1981.
Demokrasi Versus Kediktatoran. Bandung: Alumni.
Sumartana, Th. 2001.
Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia.
Yogyakarta: Interfidei.
Sunardi. 1997.
Teori ketahanan nasional. Jakarta; HASTANAS
Surbakti, Ramlan. 1992.
Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.
Tim ICCE UIN. 2003.
Pendidikan Kewargaan. Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani.
Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media.
Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, 2011,
Pendidikan
Kewarganegaraan: Paradigma Terbaru untuk Mahasiswa,
Alfabeta,
Bandung.
Udin Winataputra. 2001.
Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana
Sistematik Pendidikan Demokrasi
. Disertasi UPI. Tidak diterbitkan.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Tahun 2005-2025.

204
Undang-Undang No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak asasi
Manusia
Utrecht, E. 1966.
Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta.
Wheare, K.C. 2010.
Konstitusi-konstitusi Modern (Terjemahan). Yogyakarta:
Nusamedia.
Wibowo, I, 2000,
Negara dan Masyarakat: Berkaca dari Pengalaman Republik
Rakyat Cina,
Gramedia, Jakarta.
Winarno, 2007 : Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi, Bumi Aksara, Jakarta.
Winarno. 2007.
Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi.
Bumi Aksara: Jakarta.
Winarno.2007.
Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Bumi
Aksara
Zamroni. 2001.
Pendidikan untuk Demokrasi. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
------------. 2002.
Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan . Bagian II .
Jakarta: Proyek Peningkatan Tenaga Akademik, Dirjen Dikti, Depdiknas
_______ 2011.
Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural.
Yogyakarta: Gavin Kalam Utama.
---------------------------------------------
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar